NovelToon NovelToon

RUN

Intro

Kegelapan menyeruak di antara tirai-tirai terbang. Mata saya sayu, meski belum sadar sepenuhnya. Dinding yang saya tahu terasa kering dan berdebu, kini terasa lembab dan berbau karat, semacam darah.

Terlalu menyengat hingga memaksa kesadaran saya yang berada di awang-awang untuk segera bangun dan beranjak.

Tapi...

Tak semestinya begini, saya tak mengerti apa yang telah terjadi. Pun bunyi-bunyi bising yang sebelumnya tak pernah saya ketahui, terasa berputar-putar di kepala hingga membuat pusing.

Sekali lagi, saya hanya sadar tapi tak sepenuhnya. Entah apa yang terjadi, tapi rasanya serupa mimpi.

Tubuh yang ringan dan tempat random yang tak pernah di telusuri. Suasana gelap dan saya hanya melihat warna serupa hitam dan putih. Tidak untuk buta warna, saya adalah seorang pelukis dan saya mampu membuat beribu warna hanya dengan tiga warna dasar.

Ini memang aneh, janggal, tubuh tak beraturan serupa terbang tapi cukup kaku. Sebelumnya saya tak pernah merasakan situasi semacam ini. Dan ini semakin mempertegas kalau semua hanyalah mimpi.

Saya memejamkan mata kembali, merutuki diri dan berusaha terbangun dari tidur aneh ini. Tapi ketika kedua mata terbuka lebar, apa yang terlihat masih sama seperti sebelumnya.

Kedua telapak tangan, tempat hitam putih, tirai-tirai terbang dan dinding lembab serta bau karatnya masih tetap sama seperti sebelumnya.

Saya berusaha bangun dengan pandangan yang terus menyusuri sekeliling tempat. Ketika tubuh saya sedikit bergerak, hal aneh mulai terasa.

Tubuh yang seharusnya saya perintahkan untuk duduk malah melesat ke langit-langit dan melayang bagaikan kantong kresek yang tertiup kipas angin.

Wuuusshh!!!

Saya memejamkan mata dan berusaha melindungi kepala dengan kedua tangan ketika hampir terbentur ke atas plafon, tapi hal mengejutkan kembali terjadi.

Saya melesat menembus benda padat, membuka mata ketika merasa sebuah cahaya menusuk ke dalam pandangan dan ternyata, saya menemukan warna aneh di bagian atap.

Tidak, ini bukan tikus!

Tak mungkin tikus memakai senter di kepalanya. Memangnya mereka mampu membeli baterai?? Mereka juga tak mungkin bisa berbelanja di toko dan memesan benda tersebut. Lantas, benda apa yang kini berada di hadapan saya??

Sepasang mata mulai menatap. Menyeringai tak memperhatikan tempat. Namun apa yang dia tuju hanya satu. Yaitu, saya.

Saya mengerjap, tak paham tentang apa yang telah terlihat. Seorang wanita berbaju putih kumal duduk berjongkok di atas sana. Rambutnya panjang dan acak-acakan. Kulitnya putih pucat seperti tak teraliri darah. Urat-urat tangan berwarna hijau keunguan, persis seperti tangan mayat. Dia memiliki tatapan aneh dengan kedua lingkar mata kemerahan sedikit hitam. Namun, siapa dia?

Tatapan kami terus terjalin, hingga pandangan itu berubah menjadi seringaian menyeramkan bak hendak menyantap saya yang berada di hadapannya.

"Kiiiiiiiiik!! Penipu jahan*m!!!"

Ia menyergah, sambil melemparkan sesuatu yang padat. Itu begitu cepat, bahkan saya tak bisa melihat gerakannya. Benda yang di lemparkan tersebut menghantam dada saya, membuat tubuh ini terhempas dan kembali jatuh ke tempat semula.

Bruuak!!

Kepala saya menghantam lantai, terpental dan kembali mengambang. Sakit, tapi bukan berasal dari hantaman, melainkan dari serangan mendadak tadi.

Saya terkapar di atas angin, kebingungan dan tak paham. Kalau ini mimpi, kenapa terasa menyakitkan?? Kalau tadi saya bisa menembus atap, sekarang kenapa tubuh saya menghantam lantai?

"Apa yang terjadi?" suara serak saya mulai terdengar.

Tapi tak akan ada yang bisa menjawab pertanyaan saya, jadi itu cuma sia-sia. Beranjak perlahan lebih baik ketimbang bertanya-tanya. Sambil mencengkram lantai, saya mengawasi sekeliling tempat dan atap, takut-takut akan terpental seperti sebelumnya.

Serangan tadi memberikan energi aneh pada tubuh saya. Membawa memori berputar pada saat sebelum semua ini terjadi.

Dan.. kenangan itu, kembali terputar dalam memori. Kenangan yang membawa saya pada ambang kematian. Meskipun pertama kali membuka mata, ada perasaan aneh yang membelah dan memisah dalam diri saya.

.......

.......

.......

.......

...Bersambung...

Pembunuhan

Saya menyalakan lampu senter sebagai penerangan. Dalam tiap langkah ketakutan, saya berdzikir seiring dengan napas yang berderu. Kalung yang berada di leher lantas bergetar hebat, seolah ikut panik dan menyuruh saya untuk segera berlari menjauh dari tempat ini. Saya harus bertemu dengan orang itu.. Apapun yang terjadi saya harus sampai dan menemui penjaga sekolah itu.

Dalam langkah tergopoh, saya bisa mendengarkan derap kaki yang ikut berlari di belakang. Apakah ia masih berniat untuk mengejar meski matanya sedang kelilipan pasir??

"GROAAAH!! ADAAAAM!!" Ia memekik memanggil nama saya, dan seketika itu juga saya merasakan denyutan panjang menghantam ulu jantung.

Tapi.. kalau saya mendengarkan derap kakinya.. artinya ia mengejar saya dengan cara berlari, tidak terbang seperti yang ia lakukan di dalam tadi. Padahal, kalau mengejar saya dengan cara terbang, mungkin dia akan lebih cepat sampai dan menangkap saya. Tapi.. kenapa ia tak melakukannya??

Dari ujung ruangan, lampu senter saya bisa menangkap sebuah cahaya dari atas. Itu adalah ruang seni, saya harus sampai ke atas.. Bagaimana pun caranya, saya harus cepat.. Saya harus naik dengan cepat dan segera sampai ke atas sana.

Adrenalin saya memacu, dan kemampuan saya bertambah berlipat-lipat. Biasanya saya tak pernah bisa bergerak cepat dan saya adalah orang yang pemalas, karena kini saya terdesak, maka saya menaiki tiap anak tangga bak Spiderman yang sedang memanjat dinding.

Senter yang menjadi penerangan yang saya bawa sejak tadi, kini harus di masukkan ke dalam mulut agar tak mengganggu pergerakkan tangan dan kaki.

Ketika hampir sampai ke atas, sebuah tangan menarik pergelangan kaki saya. Saya terkesiap kaget, tatkala ia menghentakkan saya ke bawah, hingga terperosok jatuh menuruni beberapa anak tangga. Beruntungnya saya masih bisa berpegang teguh pada salah satu anak tangga agar tak langsung terhempas ke bawah.

Saya berusaha naik ke atas, namun cengkramannya semakin kuat di kaki saya, seolah tak membiarkan saya untuk pergi ke mana-mana. Jantung saya terus berpacu. Yang berada di bawah saya kini bukan sekedar seorang pembunuh, tapi dia adalah seorang iblis.

"Allahu Akbar!!" Saya berteriak sambil menendang wajahnya. Di pandangan saya, itu adalah Ayah. Tapi sekarang, saya tak tahu itu ayah atau bukan, kalau dia iblis, maka saya tak akan berdosa, tapi kalau dia ayah, maka saya akan mendapat tulah karena menendang wajahnya.

Ia terperosok jatuh dan saya dapat mendengar suara tubuhnya yang menghantam lantai dasar. Kesempatan ini saya pergunakan untuk kabur, meskipun tubuh ini terus bergetar seolah tak menghendaki agar dapat bergerak lebih baik.

Ketika sampai di sebuah lubang di dalam dinding, saya segera memaksa masuk dan menyumpal tubuh saya ke dalam sana, hingga saya terjatuh di lantai atas ruang seni karena letak lubangnya berada di pertengahan dinding. Lumayan tinggi untuk ukuran tubuh saya yang mungil.

Napas kian berderu karena kelelahan. Keringat membasahi baju yang saya kenakan, serta menetes melalui helaian rambut.

Ketika hendak beranjak dari atas lantai, tiba-tiba saja lukisan saya mendadak jatuh, padahal tak ada angin sama sekali yang sedang bertiup.

"Mau lari ke mana kamu?!" Tanya sebuah suara rendah di belakang tubuh saya. Saya menoleh, dan kedua mata terbelalak ketika melihat ayah telah berdiri tegap di belakang.

Secepat itu ia menyusul? Padahal tadi ia masih berada jauh di dasar bunker. Saya yang tak sempat beranjak malah merangkak di atas lantai. Saya terlalu ketakutan, dan tubuh saya seolah menolak perintah yang di lakukan otak.

Ia menertawakan saya, dan tentu saja ini membuat saya merasa sedikit gentar dan semakin ketakutan, tapi tiba-tiba saja.. saya yang sedang merangkak terhenti ketika merasakan ada sesuatu yang menarik bagian pergelangan kaki.

Saya terkesiap kaget, dan berusaha menoleh ke arahnya. Namun, belum sempat melakukan hal tersebut, ia sudah melemparkan tubuh saya, hingga menghantam dinding dan beberapa kursi yang tersusun rapi di ujung ruangan.

Bruak!!!

Tubuh saya terhempas ke atas lantai. Demi apapun, saya benar-benar melayang di buatnya. Tubuh ayah saya memang begitu besar dan tinggi, sementara tubuh saya begitu mungil dan kecil, jadi melempar bukanlah hal yang sulit untuk ia lakukan.

Saya terbatuk, merasakan desakkan yang menyakitkan dan berdenyut di tulang punggung akibat hempasan tadi. Saya menggeliat di atas lantai, menahan kesakitan ini. Rasanya mirip seperti tertabrak sepeda motor yang sedang melaju kencang. Tubuh saya lantas bergetar dan sulit untuk di gerakkan.

Tap.. Tap.. Tap..

Saya menilik, menatap langkah kaki ayah yang menuju ke arah saya. Pandangan mulai kabur dan samar-samar. Saya meringis, begitu kesakitan dan seolah tanpa ampun, ayah kembali menendang tubuh bagian depan saya, hingga lagi-lagi saya terpelanting dan menghantam beberapa kursi dan meja, membuat posisi mereka berubah dari yang semestinya.

Saya kembali terbatuk, karena dada dan juga perut saya merasakan denyutan yang kuat. Saya rasa, organ bagian dalam telah terluka. Saya yang jatuh tengkurap hampir tak sadarkan diri. Napas tersengal, namun dzikir seolah tak dapat membantu saya mengalahkannya.

Saat hampir kehilangan kesadaran, saya kembali merasakan sebuah benda berat menekan kepala, membuat pipi saya benar-benar bersentuhan dengan lantai.

Mulut saya ternganga, karena hanya dapat bernapas menggunakan mulut. Saluran pernapasan saya terasa perih dan terluka, saya bernapas cepat bak orang yang baru beranjak dari dalam air setelah beberapa saat tenggelam.

Ia semakin menekan kepala saya, dan saya yakin.. Yang berada di atas kepala saya adalah sebuah kaki. Ia sedang menginjak kepala saya dengan kakinya yang besar. Sakit sekali, rasanya benar-benar sakit..

"Uuuh.." Saya mengeluh sembari meringis, tak dapat berteriak sama sekali, dan yang dapat saya lakukan hanyalah bergumam kecil.

Ia mengangkat kakinya dari atas kepala saya, dan menghempaskan sesuatu beberapa kali ke atas punggung saya. Saya rasa itu seperti sebuah papan kanvas yang biasa saya gunakan untuk melukis. Apakah ia sedang menghancurkan lukisan yang saya buat tadi??

Buagh!! Buagh!! Buagh!!

Dia menyerang memb*bi-buta, dan seolah tak mengizinkan saya bernapas sebentar, ia terus menghantam tubuh saya bertubi-tubi.

Kalau ia ingin membunuh, kenapa ia tak langsung membunuh dan menghisap darah saja seperti yang sudah ia lakukan pada wanita tadi? Kenapa dia seolah menyiksa saya sebelum mati? Apa yang ia mau??

"Ayah.. Ber.. berhenti.. Ampuni saya!" Saya bergumam dengan suara serak. Ia masih terus menghantam tubuh saya bertubi-tubi, seolah tak peduli dengan permohonan saya tadi.

Ya Allah, apa yang harus saya lakukan?? Haruskan saya melawan?? Percuma saja saya berdzikir, namun tak mempunyai usaha untuk mencoba melawannya.

Allah akan memberikan pertolongan, pada setiap hambanya yang mau berusaha dan berdoa, dan jika saya hanya berdoa tanpa usaha, maka Allah tak akan mau menolong saya..

Maka dari itu..

Saya...

Harus berusaha, dan..

MELAWANNYA!!!

Buagh!!!

Saya membalikkan tubuh dengan bacaan bismillah sambil menendang kanvas yang ia gunakan untuk memukul tubuh saya. Kanvas tersebut terpelanting, dan menghantam wajah ayah. Ia menutup hidungnya yang nampak mengeluarkan darah.

Saya setengah beranjak dari posisi berbaring sembari menahan perut yang terasa nyeri. Ayah memundurkan langkahnya, menjauh dari saya. Setidaknya ia mengizinkan saya untuk dapat bernapas sebentar.

Ia terbahak, ketika menyadari kalau tendangan saya menyebabkan darah keluar dari dalam hidungnya. Dan terus terang saja, suara tertawaannya itu membuat saya merasakan merinding yang luar biasa.

Ia yang sedang menutup wajahnya perlahan mengalihkan kedua tangannya, dan menyergah saya dengan tatapan matanya yang tajam.

Jantung saya berhenti berdetak beberapa saat, ketika mata kami bertemu pandang. Ia memelototi saya dengan pandangan yang seram dan berbeda. Bahkan seumur hidup, saya tak pernah melihat ayah menunjukkan ekspresi seperti ini.

Benarkah? Benarkah dia sungguh ingin menghabisi nyawa saya? Apakah karena saya berusaha mengungkapkan kasus ini, dan lagi saya telah melihat dengan mata dan kepala saya sendiri, bagaimana sadisnya cara ia membunuh para wanita tadi.

"Adam.. Maafkan ayah.." Ia tampak mengubah raut wajahnya. Dan dari ekspresi yang saya tangkap, ia telah menyesali perbuatannya. Saya tersenyum tipis, karena yang saat ini saya lihat, benar-benar tatapan mata milik ayah saya. Tulus dan begitu baik.

"Ayah?" Gumam saya berhati-hati, masih merasa was-was, apakah seseorang yang berada di hadapan saya ini betul-betul ayah atau iblis.

Ia tampak menundukkan wajah sambil menekan kepala dengan jemarinya. Ia menatap haru ke arah saya, dan membentangkan kedua tangan seolah meminta saya datang dan memeluknya.

"Kemari lah, nak.. Peluk Ayah, dan maafkan Ayah." Pintanya, dengan tatapan yang serius dan lembut.

Dengan perlahan saya beranjak. Dalam kondisi seluruh tubuh yang kesakitan dan babak belur. Saya tersenyum senang, dan memandangnya dengan penuh haru.

"Bagus sekali.." Gumam saya, membuat Ayah menilik bingung. "Aktingmu itu bagus sekali, iblis!! Kamu pikir saya akan percaya hanya dengan kata-kata konyol seperti itu?!!" Balas saya lagi, membuat Ayah menggeleng bingung.

"Apa yang kamu katakan, nak? Ini benar-benar Ayah, Ayah sudah kembali dan tak kesurupan iblis lagi." Lanjutnya, saya semakin melebarkan senyuman. Kalung di leher saya berkata lain. Ia, bukan ayah.. melainkan iblis.

"Cih!! Menjijikkan sekali.." Ujar saya dengan tubuh yang masih gemetaran. "Kamu pikir saya bocah dua tahun yang bisa di bohongi dengan cara seperti itu?" Lanjut saya, membuat ayah tersenyum.

"Jadi begitu.. Kalau begitu.. Ayah terus terang saja.." Ia menilik ke arah saya. "Mari sini nak, biar ayah bunuh!" Lanjutnya, dan seketika itu tatapannya kembali berubah.

Angin kencang tiba-tiba saja datang dan menyergah saya. Seolah mendorong tubuh saya ke arah ayah dengan kencang. Dan ketika kaki saya tak kuat untuk bertahan dalam kondisi tubuh yang luka dalam, tubuh saya bak tersedot ke arahnya, dan tepat ia kalungkan leher saya ke dalam genggamannya.

Greep!!

Cengkramannya begitu kuat, seolah ingin membunuh dengan cara mematahkan leher. Saya meringis dengan kedua mata yang mengernyit menahan sakit. Tubuh saya terangkat tinggi, membuat kaki saya melayang dan tak menapak lantai.

"Anak kecil sepintar kamu, akan sangat merepotkan jika di biarkan hidup lebih lama. Maka, matilah di tangan Ayahmu sendiri.. Setidaknya kau akan masuk ke dalam surga setelah ini!" Ujarnya, sambil mengerekatkan gigi dan memperkuat cekikkannya.

Kepala saya terasa pening, dan semakin lama napas saya semakin sesak, seolah kehilangan kesadaran.

Sebuah ingatan terlintas. Kenapa ia harus membunuh dengan cara mencekik saya? Bukankah ia pemakan darah manusia??

Atau jangan-jangan...

Saya langsung tersenyum sambil mengeluarkan sebuah kalung belati dari dalam baju saya. Ayah terlihat terkejut, ketika saya mengeluarkan benda tersebut. Kedua matanya terbelalak, dan ia seolah menjaga jarak dengan tubuh saya dengan merentangkan tangannya jauh-jauh.

"Belati.. Asmaul Husna?" Gumamnya parau, seketika itu juga saya membuka sarung belati dan mengarahkan pisau tersebut ke arahnya.

"Kamu pikir bisa membunuh saya dengan cara seperti itu?" Ia meremeh. Saya hanya tersenyum di antara tenggorokkan yang tercekik, dan...

Zreeet!!

Darah mengucur dan menetes di atas lantai. Ayah langsung mengerang hebat sambil menjauhkan diri dan melepaskan cengkramannya.

"Darah.. Darah menjijikkan itu!!"

Pekiknya kuat, ketika menyadari kalau saya melukai telapak tangan saya sendiri hingga mengeluarkan darah. Benar, ini adalah kelemahannya.. Darah, keturunan lelakinya.

Ia tampak begitu ketakutan selepas melihat darah saya. Ia mengerang dan berteriak hebat, apalagi beberapa percikkan darah terciprat di wajahnya.

Tiba-tiba saja ayah kembali membuka mulutnya dengan lebar, membuat sebuah lidah besar yang saya lihat di dalam bunker tadi kembali keluar.

Itu iblisnya, dan kini ia melepaskan diri dari tubuh ayah meskipun tidak sepenuhnya. Tubuh ayah yang terhuyung menatap ke arah saya.

"Barend Otte, menurut lah pada iblis sesembahanmu. Bunuh anak lelakimu, dan aku akan memberikanmu kejayaan yang luar biasa, dan aku berjanji, jika kau membunuhnya, maka selama enam belas tahun, aku tak akan meminta seorang pun tumbal padamu. Namun kekayaanmu tak akan ku renggut." Ia merayu Ayah, saya yang masih merasa kesakitan lantas menatap ragu dan memelas pada Ayah.

"Ayah.. jika itu ayah, saya mohon jangan dengarkan dia!! Ayah menyayangi saya kan? Ayah tak akan membunuh saya kan?" Tanya saya, dengan perasaan yang harap-harap cemas. Di sisi lain, saya benar-benar yakin kalau Ayah akan membunuh saya.

"Kelahiran anak ini, sejak awal telah menjadi kesialan untukmu. Maka tak ada jalan baik yang bisa kau tempuh, kecuali membunuh anak ini untukku!" ujar si iblis lagi, membuat Ayah terdiam beberapa saat. Dan setelah terdiam cukup lama, ia pun menganggukkan kepalanya.

"Sewak besekutu dengan ibwis, maka tak ada pilihan lain kecuali menuwuti pemintaanmu.. (Sejak bersekutu dengan iblis, maka tak ada pilihan lain kecuali menuruti permintaanmu)" Tukas Ayah, berbicara dengan sedikit aneh karena lidahnya keluar dari dalam mulut.

"Bagus.. Kau adalah budak yang patuh!" Ujar si iblis, dan tak berselang beberapa lama, angin kencang datang dan membuat belati dan sarungnya yang saya genggam terlepas dari tangan dan menancap ke arah pintu yang telah saya ukir.

Tubuh saya terhuyung, dan kali ini ayah kembali menggenggam leher saya. Ia mencengkramnya dengan kuat, dan rasanya bahkan lebih sakit dari cengkraman iblis tadi di tubuh saya.

Sakit.. benar-benar sakit.. Rasa sakit yang belum pernah saya rasakan seumur hidup saya. Bukan perihal fisik, tapi hati saya lah yang sakit.

Saat ini saya tak berusaha melawan sama sekali. Yang bisa saya lakukan hanyalah menangis. Menangisi kekejaman yang di lakukan ayah saya sendiri.

Hati saya terasa perih dan terluka, tak ada darahnya, tapi rasanya benar-benar menyakitkan. Air mata saya terus mengalir, dan isak tangis memecah, saya dapat merasakan cengkraman Ayah kian melemah ketika melihat air mata saya.

"Kenapa kau menangis?! Laki-laki tak boleh menangis, Adam!!" Bentak Ayah sambil menghentakkan tubuh saya.

"Ini sakit sekali.. Ayah.." Gumam saya, dengan suara yang tertahan di antara kerongkongan. Namun Ayah berusaha memejamkan matanya, seolah tak mau melihat raut wajah saya yang memelas.

"Rasanya sakit.." Saya mulai mengangkat kedua tangan saya yang sempat terhuyung di samping tubuh. Ayah kira saya akan berusaha melepaskan cengkraman tangannya, namun saya hanya menunjuk hati saya dengan menggunakan tangan itu. "Sakitnya, di dalam sini." Lanjut saya, sambil memecahkan tangis.

Dan entah ini halusinasi atau bukan, saya melihat Ayah meraungkan tangisnya mendengar ucapan saya tadi. Baru kali ini sepanjang hidup saya, melihat Ayah menangis sekencang ini.

"Bunuh dia, Barend Otte!!" Perintah iblis itu lagi, dan agaknya, ia tak dapat membunuh saya dengan kedua tangannya sendiri, ia memerintahkan tubuh Ayah yang melakukannya.

"Apa.. permintaan terakhirmu, nak?" Ayah bertanya pada saya, seolah ia bisa mengabulkan permintaan saya saja. Saya tersenyum sebelum kehilangan kesadaran.

"Ya Allah, ini doa hamba kepadamu, ugh.. Izinkan hamba membunuh iblis ini, dan berikan saya kesempatan hidup sekali lagi.."

"Dengan terlahir, dalam bentuk dua wujud anak laki-laki!!" Pinta saya dengan sisa-sisa kehidupan dan napas terakhir.

"Kurang ajaaar!! Bunuh anak ini!!!" Perintah iblis itu, dan dengan segera, Ayah mencengkram leher saya hingga membuat saya kesulitan bernapas dan akhirnya...

Krak!!!

Saya merasakan rasa sakit di sekujur tubuh saya, bak sedang di kuliti hidup-hidup. Mirip juga dengan sabetan ribuan pedang di seluruh tubuh saya secara bersamaan.

Roh saya terpental keluar dari dalam tubuh, dan tersembunyi di suatu tempat yang tak saya ketahui. Saya kebingungan, seolah baru saja terbangun dari tidur.

Apakah saya.. benar-benar sudah mati??

.......

.......

.......

.......

...Bersambung......

Telah Mati

Krieeet... Kriiieeet..

Suara gesekan kuku pada lemari berwarna coklat yang merupakan jalur keluar masuk si iblis Ludira kini malah saya gunakan untuk bertengger di atasnya.

Saya masih bingung dengan ini, pun ini menjadi momok yang sedikit menakutkan bagi saya. Pertanyaannya sederhana tapi sulit sekali untuk percaya.

Apakah...

Apakah saya benar-benar sudah mati??

Lalu di mana saya sekarang? Kenapa saya.. saya berada di ruangan seni yang tampak berantakan?

Sesungguhnya ruangan berantakan ini sudah menjadi bukti kuat, kalau kejadian pembunuhan yang di dalangi oleh Ayah itu sungguhan terjadi.

Saya mati, dan pembunuhnya adalah Ayah saya sendiri. Sama seperti dugaan saya sebelumnya.

Cakaran kuku saya terhenti, kini bibir pun terasa bergetar ketika berusaha menerima semua ini. Kesakitan menjelang maut kemarin tak bisa saya katakan sebagai mimpi. Itu nyata, dan saya...

Telah mati??

"Apa.. apa yang harus saya lakukan?"

Suara itu terdengar lirih. Sesak dan penat berkumpul di dalam relung hati, dan saya masih bisa merasakan sakit. Kalau saya betulan roh, apakah roh bisa sakit??

Kepalan tangan pucat saya tempelkan pada dada, berusaha menahan segenap rasa. Tapi satu lagi tamparan keras yang menyadarkan saya, kala mengetahui tak ada lagi debaran keras di dalam dada.

Tunggu!! Kemana jantung saya?? Kemana debarannya?? Mati?? Saya bisa mati kalau dia berhenti??

Saya panik dan merogoh dada saya, lagi-lagi hal ini kembali membuat kalang-kabut. Dada bahkan perut saya tak naik turun atau kembang kempis? Saya meletakkan telunjuk ke bawah hidung, tak ada hembusan angin berarti. Sama sekali tak ada perasaan itu sama sekali.

Sulit untuk mengatakan rasanya, tak ada debaran jantung dan napas. Tak ada nadi yang berdenyut. Tak ada darah yang mengalir ke seluruh tubuh. Tak ada!! Semua itu tak ada!

Kemana?? Kemana perginya fungsi paru-paru? Kemana perginya fungsi Jantung?? Kemana??

Sambil terus menekan dada dan perut, saya merasa kalut dalam kepanikan. Saya bahkan memukul dada agar jantung ini terkejut dan berpacu.

Mana?? Kenapa saya tak bernapas?? Kenapa dalam kegugupan ini jantung saya tak berdebar? Harusnya napas saya berderu, naik turun! Sebagaimana air mata yang telah berkumpul di pelupuk mata dan bersedia jatuh. Setiap menangis, paru-paru harusnya kembang kempis.

Kenapa??

Kenapa???

Kenapa ini terjadi??

Apakah ini rasanya mati?? Kenapa?? Kenapa jadi seperti ini?? Dan kenapa saya tak di tempatkan ke alam lain? Sebanyak apa dosa saya? Apakah semasa hidup, amalan saya tak cukup? Atau.. atau mulut ini selalu menyakiti perasaan orang lain?

Apa jangan-jangan, akhirat itu wujudnya seperti ini?? Seperti dunia? Lalu, di mana para malaikat??

Saya mendongak ke atap plafon yang berjarak lima senti dari atas kepala. Bukankah tadi ada seorang wanita di atas? Apakah malaikat wujudnya seperti itu??

Saya menggeleng keras. Jangan konyol Adam!! Kamu tahu agama dan dia jelas-jelas semacam jin kafir yang menyerupai manusia, atau roh yang gentayangan? Tak ada rupa malaikat seperti mereka.

Di atap lemari ini terasa gamang. Saya memang menapak dan duduk di atasnya, tapi rasanya seperti di awang-awang. Kulit tak menyentuh seluruhnya. Tubuh ini sungguh ringan, membuat saya harus menyesuaikan diri agar tak terbang tanpa batas dan melampauinya seperti tadi.

Saya menunduk, menyadari bercak darah yang bercipratan di beberapa bagian lantai ruang seni. Kanvas yang patah, kursi dan meja yang berhamburan.

Ini nyata. Sungguh nyata. Setiap melihat tempat berantakan ini, kerongkongan saya tercekat, teringat bagaimana saya di bunuh. Saya memejamkan mata sesaat dan duduk berjongkok memeluk lutut. Namun tiba-tiba...

"Gyaaaaaaah!!!" Saya meneriaki diri saya sendiri. "Baju partai apa yang saya kenakan ini?? Warna putih, lusuh dan sedikit kotor. Baunya seperti taik cicak yang masih basah. Huuek!!" Saya merutuki diri.

"Gyaaaaaaah!!" kali ini teriakan yang sama terjadi lagi. Bahkan saya telah lupa kalau sebelumnya hampir menangis. "Celana pendek apa ini?? Baju longgar? Celana pendek?? Baju longgar? Celana pendek??" Saya menggeleng untuk menghentikan ocehan. Kenapa juga saya berubah jadi kaset rusak??

Dalam kebingungan, saya merasakan sesuatu yang menambah keanehan. Tiba-tiba saya tersentak dan hidung ini menerima suatu aroma yang tak di ketahui.

Saya mengendus, berusaha mencari tahu apa yang telah tertangkap oleh indra penciuman. Aroma macam apa ini??? Wangi, seperti bau makanan. Liur saya tanpa sadar hampir menetes.

Kruyuuuk...

Perut saya berbunyi. Aneh? Mati tapi bisa kelaparan juga?? Tidak ada fungsi jantung, tidak ada fungsi paru-paru, tapi kenapa lambung masih bereaksi??

"Sudah pasti ini hanya mimpi, kihihihi.. UPH!!" Saya langsung membungkam mulut, ketika merasa aneh dengan suara tertawaan saya sendiri. "Kenapa?? Kenapa kihihihi??" gumam saya dengan kernyitan. Aneh, tapi terjadi sendiri.

Tap.. Tap.. Tap..

Suara langkah kaki terdengar mendekati ruangan. Semakin lama semakin jelas. Saya memejamkan mata untuk merasakan, dan memasang telinga lekat-lekat agar bisa mendengar dengan seksama.

Suara ketukan sepatu tebal berjalan dengan cepat dan gagah, begitu ramai. Siapa ini?? Kearah sini?? Mendekat ke sini??

Kriiiiieet...

Mata saya terbuka, seiring dengan pintu yang ikut terbuka. Beberapa orang berbadan besar, tinggi, dengan perut seperti orang hamil, wajah yang tegas dan dada bidang masuk berurutan ke dalam.

"Polisi gendut?!" pekik saya senang. Saya hendak beranjak menghampiri, tapi lagi-lagi saya lupa kalau tubuh ini begitu ringan.

"Gyaaaaaaah!!" Saya terbang melayang bagaikan balon besar yang di keluarkan anginnya. Kesana-kemari, tak tentu arah.

Bagaimana cara mengendalikan tubuh aneh ini??? Susah sekali, padahal saya ingin memberitahukan semuanya pada mereka. Pasti para polisi ini sedang mencari keberadaan Ayah dan juga saya.

Tapi bagaimana?? Tubuh ini terpental-pental bagaikan jeli yang di tabok centong nasi. Menghantam atap, lantai, dinding kiri, kanan, depan belakang, dan terus terjadi tanpa henti.

Konsentrasi!

Apa yang harus di lakukan dalam kondisi seperti ini??

Kalau balon besar itu di lepaskan anginnya, dan kalau layangan di putus talinya, mereka sama-sama akan melayang bebas. Cara untuk menghentikannya hanya satu.

TANGKAP DAN KENDALIKAN!!

Saya membuka mata seiring dengan teriakan, merasakan semacam rasa gamang yang aneh, seperti duduk di dekat benda bergetar cukup lama, lalu terhenti mendadak.

Zuuuummm!!

Saya terpaku usai membentak diri dalam hati. Bahkan karena itu, tubuh ini sungguh berhenti. Oke! Cukup bagus untuk permulaan. Terasa tak nyata dan membingungkan.

Saya menjaga keseimbangan, bagaikan berdiri di atas papan seluncur renang, tapi ini bukan air melainkan udara.

Kalau jatuh, saya tak akan tenggelam, tapi saya juga tak mau mencium lantai. Kalau para polisi sepatunya menginjak taik ayam bagaimana??

"Sepertinya dia sudah meninggal dunia."

Perkataan itu lantas membuat saya terkesiap usai sibuk sendiri. Saya menoleh, menatap para polisi yang menyebar ke sekeliling ruangan dengan posisi duduk, berdiri, bahkan jongkok, mengamati setiap kerusakan serta bercak darah yang di buat si iblis semalam.

"Apa? Secepat itu kamu bilang saya mati? Cari lah lebih dulu, banyak sekali hal yang saya tinggalkan sebagai bukti!" pekik saya, kesal.

Beberapa orang polisi datang dari luar dengan napas berderu. "Lapor Pak!!" Mereka memberi hormat pada seorang polisi yang perutnya paling besar. "Kami sudah mencari ke seluruh penjuru sekolah, di bantu Wanto, tapi tidak di temukan tanda-tanda keberadaan anak itu."

Nyuuuut!! Dada saya serasa tertusuk. Rasa panik dan sedih bercampur aduk. Baru kali ini saya bisa merasakan kepanikan yang sama seperti yang di rasakan orang lain.

"Tidak!! Lihat CCTV!! Lihat!!" Saya masih menyergah, melakukan hal konyol seolah-olah dapat di dengar oleh mereka.

Polisi gendut terdiam sejenak. "Sekolah yang di dirikan oleh Tuan Barend Otte ini telah menggunakan sistem canggih dari CCTV karena maraknya kehilangan siswi di sekolah serta kerusuhan yang terjadi di seluruh Indonesia, jadi.. segera periksa rekaman CCTV!" perintah si polisi gendut yang sepertinya adalah kepala polisi.

Saya sedikit lega mendengar perintahnya. Setidaknya dia tak berpangku tangan seperti yang sudah-sudah, dan dengan gamblang berkata para siswi mati setelah keberadaannya tak di temukan.

"Maaf, pak.. Tapi, terdapat kendala yang terjadi." sahut bawahannya.

"Kendala seperti sebelumnya?" tanya kepala polisi, dan mendapat anggukan dari anggotanya.

Apa?? Kendala macam apa yang mereka maksud?

Ia menghela napas pasrah. "Tim forensik polri apakah sudah sampai ke lokasi?? Segera bertindak sebelum matahari terbit!!" titahnya lagi.

Saya masih mengambang di tempat dengan harap cemas, melihat usaha mereka dalam pengungkapan kasus yang pada akhirnya terjadi pada saya.

Rasanya tak percaya, mati dan melihat orang-orang sibuk mencari saya. Padahal sebenarnya, saya berada di hadapan mereka.

Beberapa orang datang dengan baju hitam serta tulisan tim forensik berwarna kuning di belakangnya. Mereka membawa peralatan dan mulai memeriksa sekitar ruangan.

Saya hanya diam, karena bicara pun tak akan di dengar oleh siapapun. Saya berdoa setiap mereka melakukan pergerakan dan menyentuh barang-barang yang sudah saya isyaratkan sebagai bukti siapa pelaku pembunuhan.

Puncaknya, seluruh tim yang terbagi-bagi tadi datang dengan menyimpulkan hasil penyidikan, bahwa...

"Korban yang bernama Adam Suganda, dinyatakan tewas tanpa di temukan jasadnya. Sama seperti yang telah terjadi pada kasus-kasus sebelumnya. Jadi, hentikan penyelidikan ini." ucap kepala kepolisian.

Saya tersentak kaget. Air mata tak dapat keluar dan tertahan di dalam hati saya. Rasanya sakit dan melelahkan. Tercekat berat di antara kerongkongan.

Apa-apaan mereka?? Secepat itu menghentikan penyelidikan?? Saya baru saja memujinya karena masih berusaha melacak keberadaan, pada akhirnya nasib saya sama saja dengan para siswi yang meninggal.

Mati..

Hilang..

Dan di lupakan.

Saya terbang panik ke arah mereka, mendekati salah seorang polisi dan menatap harap ke wajahnya. "Tidak!! Saya di sini!!" pinta saya dengan suara bergetar.

"Tolong cari tubuh saya!! Kalau pun saya mati, setidaknya cari tubuh saya!" suara saya mulai terdengar berat. "Pasti karena itu saya masih berada di dunia ini. Saya tidak tenang!! Ayo cari tubuh saya!!! Saya mohon!!" Saya memelas, berteriak dengan nada suara yang sama sekali tak keluar.

Pada akhirnya, saya gugur dan turut menjadi korban karena berusaha ikut campur. Rasanya hancur dan menyedihkan. Saya memang terbiasa mengabaikan orang lain, tapi baru kali ini..

Baru kali ini saya menyesal karena tak bisa berinteraksi dengan orang lain.

Mereka...

Mereka tak mendengarkan ucapan saya? Mereka tak bisa mendengarnya. Ini alam yang berbeda?? Tapi kenapa saya masih bisa melihat mereka??

Sungguh, Al Qur'an itu benar adanya. Bahwasanya perbedaan antara dunia manusia dan dunia jin, hanya setebal kulit bawang. Dimana mereka tak dapat melihat, tapi saya bisa melihat mereka.

"Ayo, bereskan barang-barang kalian. Kita kunjungi Nona Arsya untuk memberikan informasi penyelidikan ini padanya dan tuan Barend Otte."

Saya menggeleng. Mulut saya mendower dengan air mata yang tiba-tiba menggenang. Bagaimana.. Bagaimana bisa semudah itu?? Kenapa mereka tak bersikeras sebagaimana saya yang bersikeras mencari dan menemukan bukti bahwa Ayah adalah pelakunya?

Ini adalah nyawa manusia, bukan kambing atau belalang kayu.

Kenapa?? Kenapa kebenaran selalu kalah?? Kenapa??

Saya memejamkan mata, dan merasakan aliran hangat dari air yang jatuh di pipi. Roh.. bisa menangis?? Dan tangisan ini, terasa sangat menyakitkan ketimbang semasa hidup.

Kriiiieeet....

Suara pintu terbuka, seiring dengan kedua mata yang ikut terbuka pula. Pencahayaan luar menerobos masuk ke dalam ruangan, tidak.. ini bukan cahaya lampu. Bukan sama sekali.

Terang, hangat, dan aromanya... begitu manis. Ketukan sepatu tepleknya mengingatkan saya pada seseorang.

Saya...

Terdiam?

Terdiam memandang wajah wanita yang sungguh saya kenal dengan baik. Pupil mata membesar, begitu juga dengan bingkainya. Saya terpaku dengan mulut menganga.

Ia datang, dengan rambut lepek dan berantakan, saya menatap wajahnya, tanpa polesan lipstick di bibir dan bedak di wajahnya, lagipun matanya sembab dan membengkak.

Kedua matanya melebar, menatap satu orang tapi terlihat kosong dan kacau.

"Mana?? Dimana adik saya?!" Ia memekik dengan air mata yang berjatuhan, berjalan cepat menuju kepala kepolisian dan menarik kerah bajunya

"Yuk Arsya?" Saya bergumam.

"DIMANA ADIK SAYA?!" suaranya memekik, dan saya merasakan kehancuran di dalam hati, melihat ia sekacau ini. "Dimana adik saya? Adik saya!!! Adam!!" Ia menangis sambil menarik dan menghentakkan baju kepala kepolisian, meski tubuh pria buncit itu tidak bergeming.

Polisi tersebut pasrah, begitu pula dengan ekspresinya. Ia memejamkan mata, seolah tak tega untuk mengatakan semua ini pada Yuk Arsya.

Polisi itu menarik napas dan menghembuskannya. "Mohon maaf, Adam.. telah menjadi salah satu korban menghilang tanpa jasad." Yuk Arsya menggelengkan kepalanya. "Kami telah memeriksa hasil rekaman CCTV, namun para anggota mengalami kesurupan massal di ruangan CCTV, untuk itu penyidikan kamera pengintai kami hentikan." wajah Yuk Arsya terlihat jelek dan masam.

"Kami telah meminta bantuan penjaga sekolah seperti biasanya, serta menyelidiki ke semua ruangan di sekolah ini, tapi tak di temukan tanda-tanda keberadaannya."

"Puncaknya adalah, tim forensik kami telah memeriksa darah yang berceceran di ruangan seni serta di kanvas dan beberapa bagian lantai. Di duga, darah ini telah keluar beberapa jam lalu, perkiraan kami adalah sekitar jam dua belas malam tepat. Kerusakan barang-barang di tempat ini juga menjadi tanda kalau telah terjadi penganiayaan atau pembunuhan di tempat ini. Jadi, mohon maaf.. Dengan sangat menyesal kami menyatakan.." Ia terdiam sesaat, seolah tak mampu untuk mengatakannya.

"Kalau Adam dinyatakan meninggal dunia dalam kejadian in-"

"Huaaaaaa!!!" teriakan keras memekik, menghentikan ucapan si polisi.

Saya terkesiap, ketika pekikan kuat Yuk Arsya serasa memecahkan telinga, begitu juga dengan yang di rasakan semua orang di ruangan ini, mereka menutup telinganya masing-masing. "Adikku!! Adikku, Adaaam!! Kamu di mana sayang?? Adaaaam!!" Ia memekik sejadi-jadinya membuat wajahnya memerah padam, hingga tubuhnya terkulai dan hampir jatuh.

"Nona, nona Arsya.. Berhati-hati lah. Anda sedang hamil besar. Tolong tenanglah." pinta mereka sambil menghampiri Yuk Arsya.

"Adaaaam... Adaaaam!! Adaaaam!!" Ia terus memanggil nama saya, membuat perasaan saya semakin hancur dan merasakan kesakitan. Para polisi panik dan menenangkannya.

Saya mematung. "Yuk Arsya.. jangan begitu.. Jangan berteriak begitu. Saya menyayangimu." gumam saya dengan suara aneh. "Maafkan saya yang pergi lebih dulu. Maaf.. Maafkan saya.. Saya gagal mengungkap dalang di balik semua ini."

"Maaf kalau telah membuatmu menangis dan hancur. Saya telah gugur, dan saya.."

"Saya.."

"Huaaaaa..." Saya ikut memecah tangis. Sungguh, saya tak bisa menahan perasaan ini. Sama sekali tak bisa.

"Saya tuntut kalian semua kalau tak menemukan adik saya!! Saya tuntut kalian semua!! Cari!! Kemanapun cari adik saya!! Dia masih hidup!! Kalau tak ada jasadnya, artinya dia masih hidup!! CARIIIIIII!! CARI DIAAA!!" pekikan suaranya bertambah kencang dan menjadi-jadi. Ia kini lebih terlihat seperti orang gila dan tak sadarkan diri.

"Ah?!" tiba-tiba saja Yuk Arsya terhenti, ia menahan perutnya dengan wajah yang pucat pasi. Darah keluar dari lantai yang ia duduki. Dan terus terang saja, aroma darahnya...

Sangat manis.

"AYUUUK!!" Saya memekik panik dan terbang ke arahnya dengan baik, padahal sebelumnya saya tak mampu melakukannya. Ketika hendak menyentuh Yuk Arsya, tiba-tiba saja...

Duuum!!

Saya mengerang kesakitan. Kepala saya pusing dan tubuh saya terhempas jauh dari tubuh Yuk Arsya.

Saya beranjak panik, menatap kedua tangan saya sendiri. Kenapa?? Kenapa tubuh ini?? Sakitnya seperti terikat kuat dan terbelit. Kenapa?? Kenapa saya tak bisa menyentuh Ayuk saya sendiri?

"Nona!! Nona Arsya pendarahan!! Bawa dia!! Bawa dia kerumah sakit!!" pekik anggota kepolisian yang lain.

"Adaaaaaam... Adaaaaaam..." Ia masih menangis dan memanggil nama saya.

Para anggota kepolisian keluar dari ruang seni dan bergegas menggendong Yuk Arsya. Dengan sekuat tenaga, saya beranjak dan terbang melesat menuju pintu yang terbuka. Ketika panik, saya tiba-tiba saja bisa terbang dengan baik.

Namun, saat hendak melewati ambang pintu..

Duuumm!!!

Tubuh saya terpental seolah menabrak dinding, dan saya jatuh terpelanting ke dalam ruang seni lagi.

"A.. apa-apaan ini?? Bukankah hantu bisa menembus dinding? Tapi kenapa, saya tak bisa melewati pintu yang terbuka ini??"

.......

.......

.......

.......

...Bersambung......

.......

.......

.......

...Note :...

Cerita ini berlatar pada tahun 1998, saat tragedi kelam terjadi di Indonesia. Kenapa sudah ada kamera CCTV? Indonesia sendiri mengenal CCTV sekitar tahun 1995, dan penggunaannya pun hanya pada kantor – kantor besar, tetapi setelah terjadi kerusuhan Mei 1998 penggunaan CCTV semakin banyak. Jadi si Barend Otte yang kaya raya Sultan tajir membahenol udah pake CCTV buat sekolah elitnya yuaaaaaa!!!

Dan kejadian pembunuhan ini, tepat pada tanggal 11 Maret 1998.

Sekian terima gaji!!! 🥰

Semoga shopee-mu gratis ongkir

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!