KISAH INI ADALAH LANJUTAN DARI Novel CINTA GADIS OBAT NYAMUK...Tapi langsung baca tetep nyambung kok. Langsung tekan FAVORIT ya kakak...
***
Namaku Nadine Sakhi Albiru, orang-orang biasa memanggilku Nadine. Aku tinggal di Jawa timur, kota Bangil. Dekat dengan wilayah pondok pesantren Sidogiri.
Aku nekat merantau ke Jakarta berbekal beasiswa yang ku dapat untuk mengenyam pendidikan di universitas xxx, Jakarta. Berharap suatu saat nanti bisa memperbaiki perekonomian keluarga.
Di Jakarta aku akan tinggal bersama dengan bibiku, di rumah majikannya yang bernama Tuan Iqbal. Aku sangat beruntung majikan bibiku yang baik hati mengizinkan ku untuk tinggal di rumahnya. Semoga di lipat gandakan pahalanya.
"Jakarta, I am coming...." Baru turun dari terminal bus. Berdiri di pinggir jalan.
"Zleeeeep....."
"Jambreeeettt.... Jambreeeettt.... Jambreeeettt..." Ah sial, baru beberapa langkah keluar dari terminal bus aku sudah kejambretan, dua pria berboncengan mengendarai sepeda motor merampas tas yang bertengger di bahuku.
Teriakanku tidak mampu mengembalikan tas yang berisi HP dan semua uangku. Barang ku raib, beruntung berkas penting masih terselamatkan di dalam ranselku.
"Hah, hah, hah...." Nafasku, masih ngos-ngosan setelah mengejar penjambret tersebut.
"Sial, sial, sial..."
Ku tatap kaleng bekas yang teronggok tak berdaya di atas jalan beraspal. Ku tendang sekuat tenaga untuk meluapkan emosi yang menggelegar di hatiku.
"Braaaaakkkk..." Oh sial ku berlipat ganda, tendangan kalengku mengenai kepala pengemudi jalan hingga mobilnya menabrak dinding.
Pengemudi itu turun dari mobilnya, melihat kondisi mobil di bagian depannya yang ringsek.
"HEY KAU.... BERHENTI..." pria itu meneriakiku yang hendak kabur.
"Manggil aku." tanyaku pura-pura bodoh.
"Kau yang melemparkannya?..." pria itu mengayunkan kaleng yang ku tendang tadi di tangannya di depan wajahku.
"Tidak." jawabku berbohong.
"Hah, ya kau tidak melemparnya tapi menendangnya."
"Iya. Maaf aku tidak sengaja?..."
"Kau lihat kepala ku sampai benjol begini. Bahkan mobilku sampai menabrak tembok. Kau harus ganti rugi."
"Iya, iya..." aku mengeluarkan semua uangku di saku celana sebesar Rp.32.500. "Cuma itu yang ku punya."
"Kau pikir ini cukup untuk perbaikan mobilku?..."
"Aku kan cuma bikin kepalamu benjol. Kalau masalah mobilmu rusak, itu salah kamu sendiri suruh sapa nubruk dinding."
"Serahkan identitas mu, kita selesaikan ini ke kantor polisi."
"Iya iya, aku bakal tanggungjawab. Memangnya aku harus ganti berapa sih?..."
"10 juta, itu sudah murah."
"APA?... Mahal sekali. Aku nggak punya uang kalau segitu."
"Harus ganti atau masuk penjara." ancam pria itu.
"Eh apaan tuh?..." aku menunjuk ke arah belakang pria itu, dia pun menoleh ke belakang. Seketika itu pula aku lari terbirit-birit sembari berteriak. "Kalau ada uang pasti aku ganti."
Sialku tak tanggung-tanggung, belum 1 jam menginjakkan kaki di Jakarta, aku sudah terlilit hutang 10 juta akibat insiden tendang kaleng.
Mana aku punya uang sebanyak itu. Aku pasti akan mengganti kerugiannya tapi tak secepat ini. Apa lagi dia mengancam akan menjebloskan ku ke penjara, ya kabur saja karena aku tidak mau jadi napi.
Setelah perjuangan panjang, malam hari aku baru sampai dengan selamat di rumah majikan bibiku.
***
Keesokan harinya Bi Ijah menyuruhku mengantarkan teh ke ruang tamu untuk di berikan pada asisten pribadi tuan Iqbal, namanya Zain.
Aku terkejut....Ternyata yang duduk di sofa ruang tamu adalah sang pengemudi mobil yang menabrak dinding hingga ringsek karena insiden tendang kaleng. Dia adalah asisten pribadi sekaligus supir majikan bibiku. Aku segera pergi ke kamar untuk mengambil masker. Kemudian aku kembali ke ruang tamu untuk menyajikan teh panas di hadapannya dengan tangan gemetaran.
"Terima kasih." Ucapnya. Namun aku tidak menjawab. Setelah itu aku berbalik. Baru saja kakiku melangkah, dia sudah mengeluarkan taringnya.
"Apa kau tidak bisa bicara?..." ucapannya tegas, membuatku terperanjat.
"Bisa Tuan." Sahutku.
"Apa kau bisa bersikap sopan! Begini kah caramu berbicara dengan orang?..."
"Huuuuufffhhh, cerewet sekali." Aku menggerutu dalam hati.
"Maaf Tuan, saya bisa bicara." Ucapku setelah berbalik. Dia malah menatapku dengan tatapan tajam.
"Lalu kenapa tidak menjawab ucapan ku."
"Maaf saya sedang sariawan." Sergahku cepat.
"Sepertinya aku pernah melihat mu!!..." Dia menatapku dengan intens.
Aku mulai gelisah ketika dia mulai mendekatiku.
"Buka masker mu." Selorohnya.
"Deg..." Aku gugup "Uhuuukkk Uhuuukkk Uhuuukkk Uhuuukkk, Saya Flu, takut anda tertular."
"Pergilah..."Dia meringis jijik.
Ah, selamat....Aku pun segera pergi.
***
Keesokan harinya aku keluar dari rumah tuan Iqbal, hendak pergi ke kampus baruku untuk mengikuti OSPEK. Langkahku terhenti di samping mobil mewah.
Aku bercermin di kaca jendela mobil yang gelap. Mematut diri, merapikan bedak di wajah dan merapikan kuncir rambut yang di ikat di kedua sisi Seperti anak TK dengan pita warna merah yang melilit di rambut yang di kuncir.
"Sreeeettt...." Tiba tiba kaca jendela mobil terbuka, aku terperangah, terkejut ternyata ada kak Zain menatap ku tajam dari dalam mobil.
Aku berlari cepat hendak kabur tapi aku malah terjerembab jatuh.
Ku lihat kak Zain keluar dari mobil menghampiri ku. Aku hendak kabur tapi kak Zain keburu menjambak rambutku. Membuat langkah ku terhenti.
"Adu du du du.... Sakit kak lepas...."
"Mau kabur lagi?...."
"Aku nggak kabur kak...."
"Nggak kabur tapi melarikan diri, itu sama saja."
"Aku nggak akan melarikan diri kak, aku cuma kaget, terkejut dan bingung. Aku nggak akan kabur, aku akan tanggung jawab. Lepasin rambutku kak. Aku harus segera pergi ke kampus. Nanti aku bisa telat dan di hukum.''
Aku sangat gugup, aku takut dia akan menjebloskan ku ke penjara seperti ancamannya waktu itu.
Kak Zain menyeretku dan memasukkan ku ke dalam mobil. Kak Zain pun segera memasuki mobil dan secepat kilat mengunci pintu mobil tersebut. Membuat ku tak bisa kabur lagi.
Aku berusaha membuka pintu mobil namun pintu tidak bisa terbuka, membuatku semakin di dera rasa takut.
"Kakak mau ngapain?..."
"Mana tas mu." Kak Zain menjarah tasku.
"Buat apa kak?...."
"Buat jaminan supaya kamu tidak kabur lagi." Dia pun menggeledah tasku.
"Jangan kak" Kami pun saling berebut tasku, Kak Zain tetap menggeledah isi tasku.
"KAKAK, puas..." Wajahku bersemu merah saat kak Zain memegang dan mengeluarkan pembalut wanita milikku. Dia malah melempar pembalut itu ke wajahku, membuatku semakin malu.
Dia mengambil dompetku, di dalamnya hanya ada uang Rp.20.000, itu pun pemberian dari Bi Ijah.
"Sekarang, apa bentuk pertanggungjawaban mu padaku." Dia menatapku tajam.
"Aku akan usaha cari uang, tapi tidak sekarang. Aku belum punya uang."
"KTP mu ku sita sampai kau bisa melunasi hutang mu." Dia membuka kunci pintu mobil. "Sekarang keluar lah."
"Nyebelin, sekarang main ngusir seenak jidatnya." Aku menggerutu kesal.
"Kamu bicara apa?..."
"Aku bilang kakak baik hati."
"Sudah cepat sana keluar."
Aku berusaha membuka pintu tapi pintu itu tidak bisa terbuka seolah-olah sedang macet. Dia berusaha membantu membuka pintu yang memang macet, hingga membuat jarak kami begitu dekat, membuatku menutup mata dan menahan nafas saat aroma tubuhnya yang harum menerobos masuk ke dalam Indra penciumanku. Sungguh aroma yang memabukkan.
"Heh, kalian berdua sedang apa?..." Saat pintu berhasil di buka, Kak Rani sudah berdiri di samping tuan Iqbal. Mereka berdua terkejut melihat posisi kami yang begitu dekat. Refleks aku mendorong kak Zain hingga tulang rusuknya terbentur bagian depan mobil.
"Sialan kau." Kak Zain membentakku Karena dia kesakitan.
"Kakak jangan curi curi kesempatan dong." Ketusku yang tak kalah kesal, sialnya dia malah menyentil dahiku.
"Aaakkkkhhhhh sakit kak." Aku merengek sambil menggosok dahinya. Namun kak Zain tak peduli.
"Zain." Tuan Iqbal menatap kak Zain dengan tajam, sebab tak suka dia bersikap kasar padaku karena aku keponakan Bi Ijah ART yang di hormati tuan Iqbal, karena sudah lama mengabdikan hidup padanya.
"Maaf Tuan." Ucap kak Zain.
Aku pun keluar dari mobil dengan wajah bersungut-sungut.
"Hey, mau kemana?... Mending berangkat bareng kami ke kampusnya. Toh jalannya searah dengan kantor Suamiku." Kak Rani, istri dari tuan Iqbal menahan tanganku. Kak, Rani sangat baik, dia bahkan menyuruhku memanggilnya kakak dan bukan Nyonya.
"Nggak usah kak, aku naik angkot saja."
"Nanti telat loh kalau naik angkot, ini udah jam berapa?..."
"Ayo masuk, ini perintah." Ucap tuan Iqbal yang tiap ucapannya tak bisa di bantah.
"Iya Tuan." Aku pun menuruti.
"Zain kau apakan anak orang sampai rambutnya berantakan begitu?..." Ucap kak Rani pada Kak Zain. Kak Rani memang baik, selalu perhatian padaku.
"Rambutku di Jambak kak sama dia." Sahutku, kak Zain hanya menghembuskan nafas kesal.
"Heh, Zain jangan suka melakukan kekerasan sama anak orang."
Aku pun berangkat kuliah dengan mobil mewah milik majikan ku.
***
Keesokan harinya.
Rani meletakkan kopi panas di hadapan Iqbal yang sedang membaca koran.
"Sudah banyak informasi lewat sosmed, kenapa masih membaca koran." Ucap Rani sambil duduk di samping Iqbal.
"Suka suka aku." Jawab Iqbal singkat.
"Mulai sekarang Nadine berangkat ke kampus bareng kamu ya, kasian dia kalau naik angkot. Masih nunggu dan desak desakan takut telat lagi. Apa lagi kan kampusnya searah dengan kantor mu."
"Hemmm...." Iqbal berdehem sambil mengangguk samar.
"Ikhlas nggak nih?... Masak aku ngomong panjang lebar cuma di jawab hemm..." Iqbal hanya tersenyum mendengar keluhan sang istri.
"Mungkin."
"Ih ngeselin."
***
1 minggu kemudian...
Pagi ini Nadine tampil cantik dengan mengenakan dress berwarna putih yang ia dapat dari majikannya. Di hari pertama kuliah setelah masa orientasi, dia berangkat sekolah menumpang mobil mewah milik sang majikan sebab kampus tempatnya menimba ilmu searah dengan perusahaan yang di tuju sang majikan.
Mobil Sweeptail Rolls Royce berhenti tepat di depan gerbang kampus baru Nadine. Semua mata tertuju pada mobil mewah milik Iqbal. Pintu mobil mulai terbuka, Nadine mulai menapakkan kakinya di atas jalanan beraspal, dia turun dari mobil Sweeptail Rolls Royce. Dia mulai melangkah dengan anggun dia atas jalan papingan, parasnya yang cantik, penampilan keren dan mobil mewah yang ia tumpangi menarik perhatian para mahasiswa terutama kaum Adam sementara beberapa mahasiswi merasa iri. Mereka semua menerka nerka siapakah Nadine, apakah dia anak orang kaya?...
"Hy Nadine." Dion menyapa Nadine dengan senyuman ramahnya.
"Hy kak..." Nadine terus melangkahkan kakinya berjajar dengan Dion.
"Hmmm, Itu tadi mobil siapa?..."
"Mobil majikanku, aku nebeng..."
"Oh kirain mobilmu hehe...Kamu cantik hari ini."
"Ah, biasa aja kak."
"Serius, itu fakta loh..." Ucap Dion terus menggoda Nadine.
"Iih lebay..." Ujar Nadine seraya menggelengkan kepala.
"Tuh lihat..." Dion menunjuk para mahasiswa yang melihat kearah Nadine. "Kamu jadi sorotan sekarang, temen temen ku pikir kamu anak orang kaya."
"Masak sih kak."
"Iya... Udah tau letak kelasmu di mana?..." Tanya Dion. Nadine hanya tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban.
"Ku antar ya, takut kesasar."
"Nggak usah kak, makasih." Ucap Nadine. Dion tidak memperdulikan penolakan darinya, dia masih mengikuti langkah Nadine.
"Ngantin dulu yuk..."
"Nggak kak, Aku udah sarapan dan masih kenyang."
***
Renata, Nara, dan Bella terus memperhatikan kedekatan Nadine dan Dion, menatapnya dengan rasa iri, cemburu dan marah saat melihat laki-laki yang sudah lama ia cintai malah PDKT dengan mahasiswi baru.
"Siapa sebenarnya gadis itu, semenjak dia menginjakkan kaki di kampus ini, Dion terus mepet ke dia?..." Kata Nara.
"Iya, Cover Boy kampus ini bisa nempel terus ke dia sejak masa orientasi kemaren." Sahut Bella.
"Yang ku tahu namanya Nadine." Ucap Renata. Dia and the gang sedang menggosipkan Nadine.
"Kamu bakal pasrah gitu aja lihat Dion Deket sama tuh cewek?..."
"Ya nggak lah, enak aja. Kalau Dion nggak bisa sama aku, dia juga nggak boleh bersama dengan cewek lain...."
"Terus?..."
"Kita bully dia..." Rasa cemburunya membutakan mata hatinya, niat buruk sudah terselubung di hatinya.
***
Setelah masuk kelas, Nadine mulai menyapa teman barunya, dia bernama Zahra wanita muslimah berparas cantik dan berhijab dan Ganis wanita cantik dengan pakaian sedikit terbuka.
Mereka berbincang bincang hingga jam pelajaran di mulai. Hari pertama belajar di kampus baru, dosen mulai mengabsen mahasiswa dan mahasiswi di kelasnya dan mulai memperkenalkan diri sebagai pendekatan pada para mahasiswanya.
Saat jam pulang kampus Nadine berjalan sendiri melewati koridor seorang diri. Renata dan teman temannya bersembunyi di balik dinding tembok tepat di persimpangan koridor. Saat Nadine berbelok, Renata dengan sengaja menumpahkan minuman ke baju Nadine.
"Aah..."
"Aduh, maaf maaf nggak sengaja."
"Ck,,," Nadine mengibas ngibaskan tangannya pada pakaian putihnya yang bernoda merah. Bukan hanya pada pakaian tapi minuman itu juga membasahi wajah Nadine.
"Maaf ya, aku nggak sengaja. Aku nggak tahu kalau kamu lewat." Renata berpura pura membersihkan pakaian Nadine dengan sapu tangan yang ia ambil dari dalam tasnya.
Sedangkan Bella dan Nara menyeringai jahat.
"Iya nggak apa-apa..." Ujar Nadine, ia membalikkan tubuhnya hendak pergi ke toilet namun Renata mencegahnya.
"Hey mau kemana?..." Ucap Renata.
"Mau ke toilet kak..."
"Ayo ku antar ke toilet yang lebih dekat. Kalau yang di sana terlalu jauh, lagi perbaikan lagi nggak ada air." Ujar Renata. Nadine terdiam sejenak untuk berpikir kemudian mengangguk.
Setelah cukup lama melangkah melewati parkiran, sampai lah pada gedung kosong yang lama tak di huni, banyak dedaunan berserakan memenuhi lantai, suasana begitu sunyi senyap hanya suara daun yang bergesekan.
"Itu di sana." Renata menunjuk toilet yang letaknya tak jauh dari tempat dia berdiri. Nadine mengernyitkan dahinya merasa ada yang aneh.
"Serius kak di sini tempatnya?..."
"Iya... Toilet di dalam Kampus lagi perbaikan nggak ada air." Ujar Bella.
"Kami tinggal dulu ya... Kita lagi buru buru." Ujar Renata. Tanpa rasa curiga, Nadine melangkah dan memasuki toilet. Nadine berdiri di depan wastafel yang cerminnya sudah buram karena lama tak terawat. Dia mulai menyalakan air dan membersihkan dirinya, mulai dari wajah kemudian pakaiannya.
Dengan kehati hatian Renata mengunci pintu dari luar kemudian pergi meninggalkan Nadine di dalam toilet sendirian.
"Ren, apa nggak apa-apa kita kunciin dia di sana?... Kalau sampai dia kenapa kenapa gimana?..." Ujar Nara yang merasa khawatir dan cemas takut terjadi hal buruk pada Nadine.
"Jangan khawatir, sebelum magrib biasanya ada security keliling buat meriksa semua tempat, termasuk di sini." Ujar Renata meyakinkan.
"Tapi aku khawatir, ini gedung lama tak di huni. Jarang ada yang lewat sini. Kalau sampai dia..." kata Nara dengan kaki yang terus melangkah semakin jauh.
"Udah lah, jangan mikir terlalu jauh, nanti magrib aku akan telpon security untuk kontrol tuh tempat..." Ujar Renata.
"Bener ya, kalau ada apa-apa sama tuh cewek. Aku nggak ikut ikut." Ujar Nara yang sebenarnya masih merasa was was.
"Dia nggak akan kenapa kenapa, orang cuma di kunciin beberapa jam aja."
***
Setelah membersihkan dirinya Nadine melangkah ke pintu, namun pintu itu terkunci. Nadine menggedor-gedor pintu berharap ada orang yang mendengar suaranya.
"Toloooooong.... Buka pintunya..." Berulang kali Nadine berteriak namun tidak satupun orang bisa mendengar suaranya.
"Brak brak brak... Toloooooong..." Nadine menarik narik gagang pintu tapi percuma pintu tetap tak terbuka. Nadine merogoh tasnya mencoba mencari sesuatu yang kiranya bisa sedikit membantu. Dia mengambil penggaris niat hati ingin menyelipkannya pada bibir pintu namun penggaris terlalu tebal.
Setelah cukup lama terkurung, Nadine memegangi perutnya yang terasa perih, ia sangat lapar dan haus. Keringat mulai membasahi wajah dan lehernya. Nadine yang kelelahan dan lemas mulai menyerah. Dia duduk di atas kloset dan bersandar, dia hanya bisa pasrah berharap ada seseorang yang bisa menemukannya.
***
Zain terus memperhatikan ekspresi Iqbal, wajah bosnya tersebut terlihat cerah dengan senyum yang sedari tadi terbit.
"Zain..."
"Iya Tuan..."
"Istriku sedang membuat makanan istimewa untukku. Aku tidak ingin dia menunggu ku terlalu lama. Apa kamu bisa menghendle semua pekerjaan sendiri?..."
"Bisa Tuan, anda pulang lah... Apa perlu saya antar."
"Tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri. Mana kontak mobilnya." Zain pun memberikan kontak mobilnya yang Iqbal minta.
***
AUTHOR...
TERIMAKASIH SUDAH MAMPIR,,, JANGAN LUPA LIKE, KOMENTAR DI SETIAP EPISODE YA KAK.
VOTE DAN FAVORITE YA KAKAK JUGA BIAR NGGAK HILANG...
Nara berjalan mondar mandir di dalam kamarnya, memikirkan keadaan Nadine pikirannya bertanya tanya apakah Nadine sudah terbebas dari toilet. Sejak tadi dia gelisah memikirkan keadaan Nadine, dia takut akan terjadi sesuatu yang buruk padanya. Hati nuraninya sedang mengusik ketenangannya.
Nara memutuskan keluar dari rumah, pergi ke counter HP terdekat untuk membeli SIM card. Tepat ba'da magrib, Ia menghubungi nomor telepon security yang berjaga di pos depan kampus.
"Pak tolong periksa toilet di gedung yang sudah lama tidak di huni, sebab tadi saya mendengar seseorang berteriak minta tolong." Nara segera menutup panggilan teleponnya setelah berbicara dengan menutup hidung dan mengubah suaranya seperti suara laki-laki lalu mengeluarkan SIM card tersebut dari Hpnya dan membuangnya.
Security bergegas pergi menuju toilet di gedung yang sudah lama tidak di huni tersebut.
Dia menggunakan senter sebagai penerangan sebab tidak ada lampu di gedung itu.
"Apa ada orang?..." Ujar security setelah sampai di depan pintu toilet.
"Pak tolong saya..." Ujar Nadine lirih di dalam toilet yang gelap. Security terkejut mendengar suara seorang wanita. Nadine hanya bisa melihat bulan terbit dari kaca jendela yang begitu tinggi yang sejak tadi coba ia gapai.
Security segera membuka pintu dan menyorot Nadine dengan cahaya dari senter. Nadine terlihat lemas duduk di lantai yang kotor, dia bangkit dan berjalan dengan kaki gontai, lututnya terasa lemas seperti tak ada tenaga.
"Kamu tidak apa-apa?..."
"Seperti yang bapak lihat..." Ucap Nadine lirih, tangannya berpegangan pada bibir pintu."Terima kasih pak..." lanjut Nadine.
"Iya, sama-sama..."
Langkah Nadine terhuyung hampir jatuh tapi security tersebut menahan tubuh Nadine. Nadine menyingkirkan tangan security yang memegangi tangannya.
"Maaf ya bapak refleks..."
"Iya, nggak apa-apa. Terimakasih pak, saya masih bisa jalan sendiri." Jawab Nadine.
Dengan langkah gontai dia berjalan menuju pos security, dia meminta tolong pada security untuk memesankan taksi online. Nadine duduk di pinggir jalan karena kakinya sudah tidak kuat untuk berdiri. Belum selesai Security memesan taksi online, tiba tiba Nadine di kejutkan dengan mobil yang berhenti tepat di depannya.
"Kamu kenapa, jam segini belum pulang?..." Ucap Zain setelah membuka kaca jendela mobil untuk melihat Nadine yang terlihat menyedihkan.
"Terkurung di dalam toilet." Bukan Nadine yang menjawab melainkan Security.
"Ayo masuk." Ajak Zain yang duduk di kursi penumpang, dia membuka pintu dan menggeser tempat duduknya. Nadine beranjak kemudian masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya. Beruntung Zain bekerja lembur sebab Iqbal mengalihkan semua pekerjaannya pada Zain, hingga akhirnya Zain pulang lebih malam dan bisa bertemu dengan Nadine.
Gadis itu menyandarkan kepalanya pada jendela mobil, dia bungkam diam seribu bahasa tidak seceria dan secerewet biasanya.
Zain melirik Nadine, memperhatikan gerakan tangan yang memeluk erat pinggangnya dengan mata yang terlihat sembab dan tubuh yang lemas.
"Kamu sakit?..." Zain bertanya.
"Lapar..." Jawab Nadine singkat, kemudian menegakkan kepalanya.
"Pak cari tempat makan terdekat." Ucap Zain pada supir yang sedang mengemudi.
"Iya Tuan." Jawabnya singkat.
"Bugh..." Zain menahan nafas, terkejut saat tiba-tiba kepala Nadine terjatuh di pangkuan Zain.
"Hey Nadine, bangun. Jangan pura-pura pingsan." Ujar Zain dengan menghentakkan kakinya agar Nadine terbangun, dia begitu risih dengan sikap Nadine. Namun usaha Zain sia sia sebab Nadine tetap tak bergeming. Dia mengangkat kepala Nadine dari pangkuannya dan menyandarkan kepalanya Nadine pada bahunya.
"Begini lebih baik, dari pada harus tidur di pangkuanku." Zain bergumam.
"Tuan, apa kita masih mau mencari tempat makan."
"Tidak, langsung saja ke rumah sakit." Zain memegangi kepala Nadine saat hampir terjatuh.
Mobil terus melaju menyusuri jalanan beraspal sampai akhirnya mobil memasuki halaman rumah sakit. Setelah membayar ongkos taksi online, Zain mengangkat tubuh Nadine dan membawanya memasuki rumah sakit.
"Gadis ini selalu merepotkan ku." Gumam Zain.
***
Zain terkejut ketika mengetahui jika Riska sang mantan kekasih yang masih ia cintai lah yang menangani Nadine.
"Zain dia siapa?..." kalimat pertama yang di lontarkan Riska dengan wajah tak suka.
"Dia kekasihku?..."
"Zain kamu bohong..."
"Bisakah anda bersikap profesional DOKTER?..." Ujar Zain tegas dengan tatapan mata tajamnya yang dingin. Riska hanya mengangguk dan mulai memeriksa kondisi kesehatan Nadine.
"Dia mengalami dehidrasi dan kelelahan, sepertinya dia juga belum makan. Setelah dia sadar segera berikan makanan dan minuman yang manis untuknya."
"Zain." Riska ingin bertanya banyak hal pada Zain.
"Jangan bicara apapun padaku jika bukan menyangkut masalah kesehatan kekasih ku." Ujar Zain tanpa mengalihkan pandangannya dari Nadine.
"Zain, kamu...."
"Menyingkir lah..."
Dengan hati terluka dan rasa kecewanya Riska pergi meninggalkan Zain dan Nadine berdua di dalam ruang rawat.
Zain menghubungi seseorang dan memintanya untuk membelikan makanan, air mineral dan minuman yang manis. Dia juga menghubungi Iqbal, menanyakan keadaan Rani.
Beberapa saat kemudian Nadine mulai membuka mata, kepalanya terasa pusing.
"Sudah bangun?..."
"Kak, aku ada di mana?..."
"Di rumah sakit. Kamu makan lah itu." Zain menunjuk makanan dan minuman yang ada di atas meja tepat di samping ranjang Nadine."Aku harus segera pergi."
"Kakak mau kemana?..."
"Menemui tuan Iqbal. Nona Rani akan melahirkan."
"Hah, bukannya masih lama ya kak..."
"Nona Rani terjatuh dan harus melakukan operasi."
"Astaghfirullah hal adzim..."
"Aku harus pergi."
"Aku harus gimana?..."
"Lihat saja nanti, sekarang makan lalu Istirahatlah, nanti aku kesini lagi..."
Nadine mengangguk, Zain mulai beranjak dari sofa dan melangkah menuju pintu.
"Kak..." Zain yang sudah memegang handle pintu menghentikan langkahnya.
"Ada apa?..."
"Terimakasih..."
"Hemmmm..."
"Kak..."
"Ada apa lagi?..."
"Kenapa kakak baik padaku?..." Nadine bertanya.
"Selain karena aku masih punya hati nurani... Kamu juga harus hidup dan sehat... Jika kamu tutup usia, lalu siapa yang akan membayar hutang mu padaku."
"Iih ngeselin...Kirain naksir aku..."
"Amit amit...." Ujar Zain kemudian hilang di balik pintu. Nadine melempar bayangan Zain dengan bantal. Tiba-tiba Zain kembali masuk...
"Kalau ada yang bertanya siapa kamu, katakan kalau kamu adalah kekasih ku..."
"Iiih amit amit...." Nadine mengembalikan ucapan Zain padanya.
"Kalau kamu mau, maka hutangmu ku potong satu juta."
"Serius" Zain mengangguk." Ok deh aku mau."
Setelah kepergian Zain, Nadine mulai makan dengan lahap sejak tadi dia sangat lapar.
***
Zain melihat Iqbal yang terlihat gusar, dia mondar-mandir. Berjalan kesana kemari sambil memijat keningnya. Dia sangat gelisah dan khawatir, berulang kali dia menghela nafas berat untuk mengurangi sedikit kecemasannya.
Zain datang dengan langkah tergesa menghampiri Iqbal.
"Tuan bagaimana?..."
"Entah lah...." Iqbal menjambak rambutnya karena stress. Dia kemudian duduk di kursi tunggu dengan wajah menunduk dan masih menjambak rambutnya sendiri, Zain ikut duduk dan memegang bahu Iqbal seolah sedang memberikan kekuatan pada Iqbal.
"Anda harus tenang dan kuat. Jika anda rapuh
lalu siapa yang akan menjaga Nona Rani." Zain menasehati. Kehadiran Zain sedikit mengurangi rasa khawatirnya.
"Terimakasih karena selalu ada untukku."
Beberapa saat kemudian...
"Hooeeeekk, hooeeeekk hooeeeekk hooeeeekk...." Iqbal mendongak, terasa ada angin segar di tengah gundah yang ia rasakan saat mendengar suara tangis bayi...
"Zain.... Anakku..." Iqbal terlihat sangat bahagia, hatinya terasa lega. Dia seperti menemukan oase di tengah gurun pasir saat mendengar tangisan bayi.
***
Author....
Maaf ya ceritanya kembali pas Rani lahiran...
Jangan lupa klik like dulu dan komentar, kalau mau vote juga nggak apa-apa sih.
Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam, Nadine gelisah tidak bisa tidur, memikirkan kejadian tadi, dia marah dan sedih tapi tidak tahu harus melampiaskannya pada siapa. Dia menerka-nerka apakah seniornya yang mengurung dirinya di toilet, tapi kenapa? Nadine bahkan tidak mengenalnya.
"Ceklek." Pintu ruang rawat Nadine terbuka, Nadine menoleh, di lihatnya Zain sudah ada di pintu.
"Bagaimana keadaan mu?..." Ucap Zain yang sudah berada di hadapan Nadine dan membiarkan pintu terbuka dengan lebar.
"Sudah lebih baik." Jawab Nadine dengan mata yang saling memandang. Dengan segera Zain melengos tak mau berlama-lama menatap mata indah yang di tumbuhi bulu bulu lentik itu.
"Kalau begitu ayo kita pulang."
"Bagaimana keadaan Nona Rani?..."
"Semuanya baik baik saja. Bayinya perempuan."
"Alhamdulillah, aku ikut senang..." Ucap Nadine, Zain memberikan kode pada Nadine untuk segera beranjak dari tempat tidurnya.
"Kakak nggak tanya kenapa aku bisa terkurung di dalam toilet?..." Tanya Nadine saat Zain hendak berpaling.
"Buat apa???... Tidak penting..." Jawaban sederhana dari Zain membuat wajah Nadine bersungut-sungut. Dia menyesal memberikan Zain pertanyaan semacam itu.
"Kakak nggak punya perasaan banget sih, aku ini baru kena musibah loh... nggak ada rasa empati sama sekali."
Zain menghampiri sofa kemudian duduk, dia menatap Lekat-lekat wajah Nadine.
"Kalau aku tidak punya perasaan dan rasa empati, aku tidak akan membawamu kemari... Dasar gadis tidak tahu terima kasih."
"Iya, iya maaf... Tapi aku pengen tanya sesuatu!!!..."
"katakan???..."
"Kalau misalnya kakak sengaja di kurung oleh seseorang, apa yang akan kakak lakukan."
"Jika ada yang ada yang melempar ku dengan batu kerikil maka aku akan melemparinya dengan batu bata."
"Balasannya lebih kejam dong kak..."
"Biar ada efek jera. Lagian kenapa kamu tidak menghubungi seseorang saat terkurung di dalam toilet?...." Ujar Zain.
"Aku nggak punya HP kak, pas baru sampai di Jakarta aku di jambret. Makanya pas aku lagi esmosi..."
"Emosi..." Ujar Zain meralat ucapan Nadine.
"Yang penting kakak ngerti maksud ku..."
"Hadeeehhh..." Zain menggelengkan kepala.
"Makanya pas aku emosi nendang kaleng terus kena kepala kakak yang lagi nyetir mobil dan akhirnya kakak nabrak sampe mobilnya penyok, terus kakak minta ganti rugi terus.."
"STOP... Kamu terlalu banyak bicara..." Bukannya menyembuhkan luka hati Nadine, dia malah memperkeruhnya...
"Jahat banget sih, aku kan lagi sakit hati abis di kurung dan di kerjain orang. Sejak tadi aku marah tapi bingung harus ngapain..." Ujar Nadine penuh emosi sambil menepuk nepuk dadanya, wajahnya bersungut-sungut sedangkan bibirnya mengerucut. Bukannya merasa bersalah Zain malah tersenyum.
"Kak Zain itu benar benar nggak ada perasaan ya... Aku lagi kesel, Kenapa senyum senyum kayak gitu."
"Perempuan yang sedang marah itu ibarat Oli Yamaha, bibirnya semakin di depan." Jawab Zain santai.
"Kak Zaaiiiiiinnn...." Nadine berteriak semakin kesal dengan candaan Zain. Sedangkan Zain malah cekikikan.
"Drrrtt drrrttt drrrttt...." Ponsel Zain berdering, di lihatnya Panggilan dari Iqbal. "Jangan berisik" Ucap Zain. Nadine pun mengangguk. Zain segera menggeser layar berwarna hijau ke atas.
"Iya Tuan..."
"Jangan pulang dulu, aku takut jika nanti membutuhkan bantuan mu..." Seperti biasa, Iqbal selalu memutuskan panggilan teleponnya sebelum mendapatkan jawaban dari Zain.
"Aku tidak bisa pulang." Ucap Zain pada Nadine.
"Terus aku gimana?..."
"Terserah, aku lelah ingin tidur." Zain langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa dan menutupi matanya dengan tangannya untuk menghalau sinar lampu.
"Kak nanti subuh pulang ya, aku ada kuliah."
"Hemmm..." Zain hanya berdehem tanpa mengubah posisinya.
"Hemmm apa?..."
"Iya..."
"Kak Zain?..."
"Apa lagi?..."
"Kalau bibiku cari aku gimana?..."
"Jangan khawatir, aku sudah menghubunginya dan memberi tahu keadaan mu."
Nadine memilih menginap di rumah sakit, dia merebahkan diri di atas ranjang rumah sakit. Beberapa saat kemudian Nadine masih belum bisa tidur, dia sangat gelisah. Berkali-kali dia merubah posisi tidurnya, hingga gerakan kecil dari tubuhnya menciptakan bunyi "Kriek Kriek Kriek..." Bunyi yang mengusik ketenangan Zain.
"Kau bisa diam tidak." Ujar Zain ketus karena sejak tadi gerakan Nadine mengganggu tidurnya.
"Maaf kak, tapi aku tidak bisa tidur."
"Masalah mu mengganggu tidur ku, aku tidak peduli kamu bisa tidur atau tidak. Yang jelas jangan berisik." Ucap Zain dengan mata yang masih tertutup.
"Tapi aku gelisah."
"Kenapa?..."
"Aku tidak biasa tinggal satu kamar dengan laki laki." Mendengar jawaban Nadine, Zain langsung membuka mata, menoleh dan menatapnya dengan intens, membuat Nadine salah tingkah dengan tatapan itu. Ada rasa takut, canggung dan gelisah di mata gadis itu.
Zain duduk dan menghela nafas kemudian menghembuskannya kasar. Dia berdiri, melangkah menuju pintu.
"Kak mau kemana?..."
"Mau cari tempat tidur..."
"Maaf."
"Aku yang harusnya minta maaf." Ucap Zain kemudian pergi dan menghilang di balik pintu.
Nadine bisa bernafas lega setelah kepergian Zain, bagaimana mungkin dia bisa tidur satu kamar dengan laki laki yang bukan mahramnya walaupun tak seranjang tetap saja terasa risih dan rasa tak rela.
Entah kenapa langkah kaki Zain malah tergerak menuju musholla kecil yang tersedia di rumah sakit. Zain mengambil wudhu dan melakukan sholat malam, setelah itu dia berdzikir dan berdoa tanpa mengeluarkan suara. Terdengar Isak tangis di tiap doanya seolah begitu banyak beban yang tertumpu padanya.
Setelah selesai melakukan ibadah malam, Zain tertidur di mushola tepat di lantai, yang tak tertutup karpet tempat orang biasa melakukan shalat.
***
Setelah melakukan ibadah shalat subuh Zain dan Nadine berjalan menuju ruang rawat Rani. Zain mengatakan akan membawa pulang bu Narsih dan Nadine ke kediaman Iqbal.
Nadine menunggu di depan ruangan sebab Iqbal melarang siapapun menjenguk putrinya kecuali Keluarga inti.
Beberapa saat kemudian Zain dan Bu Narsih keluar dari ruang rawat Rani. Nadine meraih tangan Bu Narsih kemudian mencium punggung tangannya.
"Kamu siapa Nak?..."
"Saya Nadine, pacarnya kak Zain." Zain terkejut mendengar jawaban Nadine.
"Nak Zain, kalau pacaran Jangan lama lama, nggak baik. Segera lah menikah. Kamu kan sudah cukup umur." Ujar Bu Narsih menatap Zain sambil mengusap lembut lengan Nadine, mengingat kesalahannya dulu karena menunda nunda Pernikahan Rani akhirnya dia hamil di luar nikah, beliau tidak ingin Nadine juga mengalaminya.
Zain hanya bisa memijat tengkuknya saat mendengar nasihat Bu Narsih sebab dia sama sekali tidak memiliki tujuan untuk menikah.
"Doain aja ya Bu, Semoga hubungan kami langgeng sampai ke jenjang pernikahan." Sahut Nadine, membuat Zain salah tingkah. Zain memelototi Nadine, namun Nadine malah mengernyitkan dahinya tak mengerti makna dari tatapan tajam yang Zain berikan padanya. Bukankah Zain yang menyuruhnya untuk mengatakan bahwa dia adalah kekasihnya agar hutangnya berkurang 1 juta.
"Lebih baik Kita segera pulang..." Ucap Zain tiba tiba sebelum Nadine bicara panjang lebar.
Mereka pun mulai melangkah melewati koridor menuju ke parkiran mobil di mana jemputannya sudah menunggu. Zain menarik tangan Nadine agar mendekat ke arahnya.
"Kenapa kamu bilang pada Ibunya Nona Rani jika kamu pacarku?..."
"Lah katanya aku di suruh ngaku ngaku jadi pacar kak Zain supaya hutangku berkurang satu juta."
"Bukan padanya maksudku, tapi pada orang di rumah sakit ini." Ucap Zain lirih hampir tak terdengar.
"Lah bukan salahku, kenapa tadi kak Zain nggak bilang. Pokoknya hutangku berkurang 1 juta."
"Enak saja, hutangmu tetap utuh 10 juta."
"Iih kak Zain jahat, curang ih..." Nadine mencubit lengan Zain karena kesal sudah merasa tertipu.
***
Author
Jangan lupa like and komentar ya Kakak kakak yang cantik....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!