NovelToon NovelToon

Kamuflase Cinta Sang CEO

BAB 1 Pertemuan

Hari mulai senja, seorang pria dengan tas carrier di pundaknya berjalan terhuyung menuruni gunung di sebuah desa terpencil. Namun, langkahnya mulai melambat di pertengahan jalan, dia mulai kelelahan dan memutuskan untuk beristirahat sejenak. Tas carrier yang dibawanya dilepaskan, duduk di atas batu besar, mengeluarkan minuman kaleng beralkohol dari tasnya, membuka lalu menenggaknya. Menikmati minuman sambil meratapi nasibnya yang kurang beruntung.

Merrik seorang pria berusia 27 tahun, baru saja menerima kenyataan bahwa kekasihnya telah selingkuh, wanita yang selama ini mengisi hatinya. Dia selalu menganggap mereka adalah pasangan yang paling sempurna. Namun, kenyataannya wanita itu berkhianat dengan sahabatnya sendiri.

Merrik terus menghabiskan minuman kaleng tersebut, entah sudah kaleng yang keberapa. Pandangannya mulai kabur, mulai kehilangan keseimbangan dan mulai kehilangan kewarasannya. Dia meluruhkan tubuhnya, hingga merebahkan tubuhnya di tanah. Tiba-tiba di depan matanya tampak seorang gadis cantik berambut cokelat, bermata hijau dan berkulit putih. Wajah yang sangat lembut bagaikan tidak pernah terkena polusi udara, gadis itu mendekatinya.

‘Ah, apakah dia malaikat? Cantik sekali! Apakah dia akan membawaku ke surga?’ batin Merrik.

“Apa kamu butuh bantuan?” tanya Elena.

Merrik tidak menjawab pertanyaan Elena, dia mencoba melebarkan matanya, memastikan benar di depannya adalah seorang manusia. Dalam benaknya, tidak mungkin ada seorang gadis di tengah hutan pegunungan seperti ini, terlebih gadis ini sangat cantik alami, tidak ada polesan riasan sama sekali di wajahnya. Merrik masih dalam pikirannya sendiri, memikirkan apakah gadis ini seorang malaikat ataukah iblis penggoda?

Elena berlutut untuk lebih dekat melihat Merrik. “Paman, apa kamu baik-baik saja?” tanya Elena menyentuh lengan Merrik. Namun, masih tidak ada jawaban dari Merrik.

‘Paman! Apakah aku tampak setua itu?’ batin Merrik.

“Paman tunggu disini, aku akan mencari bantuan.” Elena berbalik untuk memanggil bantuan. Tetapi, lengannya di tarik oleh Merrik hingga dia terjatuh.

“Ah! Paman, apa yang kamu lakukan?” jerit Elena.

“Siapa Kau? Apa kamu seorang wanita penggoda?” tanya Merrik dengan tatapan tajam.

“A—ku Elena, seorang yang tinggal di sekitar kaki gunung ini dan aku bukan penggoda. Aku hanya mencari jamur di sekitar sini.” Elena terbata menjawab pertanyaan Merrik.

“Bohong! Kamu ingin memanfaatkanku, bukan?”

“Tidak, aku hanya sedang lewat sini dan tidak sengaja melihatmu tertidur di tanah. Aku pikir kamu membutuhkan bantuan. Jika, memang tidak membutuhkan bantuan, aku akan pergi.” Elena segera bangkit untuk pergi meninggalkan Merrik. Namun lengannya tiba-tiba ditarik kembali oleh Merrik hingga Elena terjatuh.

Merrik langsung menindih Elena dan memaksa menciumnya. Jiwa Merrik sudah dikuasai oleh minuman beralkohol, dia menyatukan bibirnya pada bibir gadis itu. Elena ketakutan, dia hanya bisa memukul tubuh Merrik. Ingin berteriak, tetapi mulutnya dibungkam oleh Merrik, Elena hanya terus memukul. Namun, Merrik seperti tidak merasakan pukulan Elena. Tangan Merrik mulai bergerak kesegala arah. Alkohol benar-benar menguasai dirinya, akalnya sudah tidak waras, dia sudah hilang kendali. Dia sangat tergoda dengan kecantikan Elena. Elena masih memberontak tanpa suara, Merrik masih terus memaksanya.

Bibir Merrik turun kebawah, memberi sentuhan di leher gadis malang itu, Elena membuka mulutnya dan mulai memohon pada Merrik. “Hiks… hiks … lepaskan aku, Paman! Aku mohon.” Elena terus memohon dan menangis sambil memukul punggung Merrik.

Merrik tidak peduli isak tangis Elena, dalam pikirannya, mereka sedang berada di dalam hutan, tidak mungin ada orang yang akan datang. Maka dari itu, dia tetap meneruskan aksinya, hingga terdengar suara pakaian terkoyak.

Srekkk! Baju Elena robek.

Baru saja Merrik ingin melanjutkan aksinya, sudah ada suara menggema di sekitarnya. Beberapa orang datang menghampiri mereka. “Sedang apa kalian?” ucap seorang pria berusia sekitar empat puluh tahun.

Merrik bangkit dari tubuh Elena, melihat pundak Elena yang terekspose karena pakaian yang dikenakannya robek. Dia membuka jaketnya dan memberikan pada Elena. Elena hanya bisa menangis dan memakai jaket yang diberikan Merrik.

“Kami tidak melakukan apapun!” jawab Merrik.

“Tidak melakukan apapun! Kenapa Elena menangis dan mengapa pakaiannya terkoyak?” ucap seorang pria berperawakan gempal.

“Kamu memperrkosanya?” ucap lelaki berambut keriting dengan menahan amarah.

Bugh! Seorang pria tiba-tiba memukul wajah Merrik.

“Sungguh aku tidak memperrkosanya!” ucap Merrik. ‘Belum sempat,’ tambah Merrik dalam hati.

Bugh! Sekali lagi wajah Merrik terkena pukulan dan sukses membuatnya tersungkur.

“Jangan percaya, cepat bawa dia ke Kantor polisi atas tindakan pemerrkosaan!" timpal pria gempal.

“Tidak, Aku tidak melakukannya!” ucap Merrik panik, yang lebih panik jika kabar ini terdengar oleh ibu tirinya, dia tidak ingin ditertawakan oleh orang-orang yang dibencinya.

“Sudah, cepat bawa dia!” ucap seseorang lagi.

“Kami melakukannya atas dasar suka sama suka!” tiba-tiba terlontar kata-kata suka sama suka dari mulut Merrik.

“Elena katakan yang sebenarnya? Jika benar dia melakukan pelecehan padamu maka kami akan membawanya ke kantor polisi!” tegas salah satu pria tertua di sana.

Merrik menatap Elena dengan tatapan memohon. “Katakan pada mereka bahwa kita suka sama suka!” Merrik menyentuh tangan Elena dan menekankan kata suka sama suka.

Elena menatap mata Merrik yang sendu, tatapan mata memohon. Dia tidak tega dengan sorot mata Merrik, tetapi tidak tau harus berbuat apa. Elena hanyalah gadis berusia delapan belas tahun, pikirannya masih labil dan belum dewasa. Air mata masih terus mengalir dari mata indahnya yang berwarna hijau.

“Cepat katakan pada mereka jika aku tidak memperrkosamu!” bujuk Merrik, dia tidak sabar atas diamnya Elena.

Elena terkesikap. “Di—a tidak memperrkossaku!” ucap Elena, dia hanya berpikir untuk menyelesaikan masalah ini dengan cepat dan tidak ingin bertemu pria dengan pria di sampingnya ini.

Akhirnya sebuah kalimat terlontar dari mulut Elena seperti yang diharapkan oleh Merrik. Merrik merasa lega dengan apa yang didengarnya.

“Jika dia tidak memperrkosamu, artinya kalian sama-sama saling suka?” ucap pria berusia empat puluh tahun tersebut.

“Iya, dia kekasihku!” Merrik menjawab pertanyaan pria tersebut tanpa menunggu jawaban dari Elena.

“Elena, apa benar?” tanya pria tersebut.

Merrik menatap intens Elena, seperti terintimidasi dan akhirnya Elena berkata dengan gugup. “I—ya! Kami saling menyukai.”

“Kalian sudah melakukannya?” tanya pria itu lagi.

“Ha?” Elena tidak mengerti maksud dari pertanyaan pria tersebut.

Merrik langsung mengambil alih pembicaraan. “Ya, kami belum sempat melakukan itu karena kalian datang. Jadi, ini bukan kasus pemerrkossaan!”

“Baiklah. Jika seperti itu, kami akan segera menikahkan kalian.”

“Apa?” ucap Merrik dan Elena bersamaan.

“Tidak, kami belum sempat melakukannya jadi tidak perlu menikah!” ujar Merrik.

“Kalau kalian sudah melakukannya, bukan hanya dinikahkan, tapi juga diarak telanjjang keliling kampung!” ucap pria gempal tegas.

“Ha!” Merrik tidak habis pikir dengan desa ini, bagaimana mungkin masih menggunakan hukuman diarak keliling kampung.

“Sudah ikut kami, apa kamu tidak ingin bertanggung jawab?” ujar seorang pria berambut keriting.

“Baik, aku akan menikah dengannya!” ucap Merrik pasrah.

Bersambung….

Jangan lupa untuk like, love n komentarnya yach 😊😊😊

Salam Age Nairie 🥰😘

BAB 2 Pernikahan

Merrik dan Elena dibawa ke balai desa untuk dinikahkan. Sepanjang proses pernikahan Elena tidak hentinya menitikan air mata, dia tidak menyangka perkataannya membuat dirinya dinikahkan. Dia pikir jika mengatakan mereka saling menyukai, mereka akan dilepaskan begitu saja. Namun, kenyatannya tidak sesuai dengan apa yang dia pikirkan. Dia harus menerima nasibnya menikah dengan pria asing yang hampir menodainya. Entah mengapa dia tidak berani mengatakan yang sejujurnya bahwa pria ini memang sengaja mencoba menodainya.

Mereka hanya dinikahkan secara agama. “Karena Elena masih sekolah maka kalian menikah secara agama terlebih dahulu, setelah lulus barulah kalian pergi mendaftarkan pernikahan kalian secara resmi,” tutur Kepala Desa.

‘Apa? Jadi dia masih anak sekolah!’ batin Merrik.

“Sekarang Elena menjadi tanggungjawabmu. Jagalah dia!” lanjut Kepala Desa.

“Ya.” Merrik hanya menjawab dengan singkat.

Elena dan Merrik meninggalkan balai desa, mereka pergi ke rumah Elena, diperjalanan pulang Merrik membuka obrolan. “Hei, kenapa Kepala Desa tadi yang menjadi wali nikahmu? Kemana Ayahmu?” tanya Merrik. Dia penasaran di sepanjang mereka dinikahkan tidak ada yang memperkenalkan kerabat Elena.

“Namaku Elena, Paman. Sepertinya tadi kamu lancar menyebut namaku saat akad tadi. Aku tidak memiliki Ayah dan juga saudara, aku hanya tinggal dengan Nenekku. Namun, dia pergi meninggal dunia enam bulan lalu,” ujar Elena sedih mengingat Neneknya.

“Jadi kamu sebatang kara?” tanya Merrik.

“Iya.”

Merrik terdiam setelah mendengar penuturan gadis yang baru saja ia nikahi. Dia sempat sedikit iba. Ya, hanya sedikit. Dirinya tidak pernah menyukai gadis miskin, baginya semua gadis miskin sama saja dengan ibu tirinya, manusia-manusia yang mencari jalan pintas untuk mengejar kekayaan. Menikah dengan Elena hanyalah lelucon baginya agar terhindar dari hukum adat dan juga pihak berwajib. Ada kelegaan di hatinya setelah mendengar pernikahan mereka hanya dilakukan secara agama. Dia tidak perlu repot mengurus perceraian jika dia meninggalkan gadis itu.

“Sudah sampai.” Elena membuka pintu dan masuk ke dalam rumah.

Merrik melihat keadaan rumah tersebut, rumah semi permanen dan kecil, tidak lebih besar dari kamar miliknya. “Selama ini kamu tinggal di sini?”

“Iya, Paman.”

Merrik terganggu dengan panggilan paman darinya. “Bisa kamu ganti panggilanmu padaku? Telingaku sakit mendengarnya!” ucap Merrik mengorek telinganya.

“Jadi aku harus panggil, apa?” tanya Elena.

“Yang penting jangan Paman!”

“Om,” ucap Elena ragu.

“Aish … panggil saja Kakak! Apa aku setua itu sampai harus dipanggil Om?” Merrik tidak ingin dipanggil Paman atau Om. Apalagi harus dipanggil suami. Dia lebih memilih dipanggil Kakak.

“Iya, Kak!”

“Kamu benar masih sekolah?”

“Sudah lulus, tinggal tunggu ijazah.”

“Apa rencanamu setelah lulus?”

“Aku akan mencari pekerjaan, setelah itu aku berencana untuk melanjutkan kuliah.”

“Selama ini, biaya hidup dapat dari mana?”

“Saat Nenek masih hidup, kami berjualan kue. Aku akan membawa ke sekolah untuk menjualnya. Tetapi sekarang aku juga membuat aksesoris dari biji-bijian untuk kujual.”

“Berapa usiamu?”

“Empat bulan lagi delapan belas tahun.”

“Kau tidak mau bertanya padaku? Dari tadi hanya aku yang bertanya padamu.”

“Emm ….” Elena bingung harus bertanya apa. “Berapa usia, Kakak?” dia bertanya seperti pertanyaan Merrik yang terakhir.

“27 tahun,” jawab Merrik singkat.

“Owh,” ucap Elena sedikit menunduk.

“Kenapa?” Merrik melihat kekecewaan pada wajah Elena, Apakah dirinya terlalu tua untuk Elena? Mereka hanya terpaut kurang dari sepuluh tahun.

“Tidak, tidak apa!” sergah Elena.

“Ada lagi yang mau kamu tanyakan?” tanya Merrik.

‘Ayo tanyalah! Tanyakan padaku, siapa diriku sebenarnya! Apa pekerjaannku? Berapa banyak kekayaaanku? Kamu pasti ingin tau bukan! Kamu pasti bisa melihat sendiri kalau aku bukan dari kalangan orang miskin!’ batin Merrik.

Elena hanya menatap Merrik dan menggelengkan kepalanya, dia benar-benar tidak tau apa yang harus dia tanyakan.

“Kau tidak ingin bertanya apapun padaku?” ucap Merrik lagi dan menatap lekat Elena.

‘Kamu pasti sedang berpura-pura, bukan? Aku yakin, kamu pasti sudah tau dari penampilanku bahwa aku tidak sama denganmu. Semua barang-barang yang aku pakai adalah dari designer terkenal. Kamu hanya berpura-pura polos agar aku jatuh hati padamu. Mencari pria kaya untuk mendapatkan kekayaan dan kemewahan secara instan.’ Otaknya berbicara terus-menerus meyakinkan Merrik untuk tidak mudah percaya pada perempuan miskin.

Elena bingung harus bicara apa, akhirnya terpikirkan sesuatu. “Kakak lapar?”

“Ha?”

“Maaf, aku tidak menawarkan makan Kakak dari tadi. Aku akan buatkan makan malam untuk Kakak.” Elena pergi meninggalkan Merrik sendiri dan menuju dapur. Lima belas menit kemudian Elena datang dengan membawa dua mangkuk mie instan, makanan instan seperti pernikahan instan mereka.

“Maaf Kak, hanya ada ini di dapur.” Elena meletakkan dua mangkuk mie di atas meja.

Merrik menatap mie instan tersebut. ‘Pandai sekali kamu berpura-pura lugu!’ ucap Merrik dalam hati.

Mereka makan sambil sedikit berbincang, “Sedang apa tadi kamu ke hutan?” tanya Merrik.

“Aku mencari jamur dan beberapa tumbuhan untuk dimasak, lumayan mengurangi pengeluaran. Sejak kecil aku sudah akrab dengan hutan.” ucap Elena jujur.

“Orang-orang yang menangkap kita juga sama, mencari tumbuhan?”

“Tidak, mereka hanya berpatroli.”

“Patroli? Hutan pun di patroli?” tanya Merrik penasaran.

“Mencari babi hutan, akhir-akhir ini ternak warga banyak yang hilang. Kemungkinan babi hutan yang mencurinya.”

“Kamu tidak takut ke hutan sendirian?”

“Sudah terbiasa!” Elena menyeruput kuah mie.

Setelah makan malam, Elena membereskan mangkuk mie instan tersebut. Setelah itu mengantar Merrik ke kamarnya. “Mari Kak, aku tunjukan kamar Kakak.” Elena menggiring Merrik kearah kamar bekas Neneknya. “Ini bisa Kakak pakai.”

“Ini untukku tidur?”

“Ya,” jawab Elena.

“Kamu juga tidur di sini?”

“Apa!” panik Elena.

Merrik melihat ketakutan di wajah Elena, melihat wajah yang panik semakin membuat Merrik menggodanya. “Bukankah kita sudah menikah? Wajar bukan jika tidur di kamar yang sama!” Merrik melangkah mendekati Elena. Elena mudur selangkah, Merrik maju selangkah.

“Kakak, ku mohon jangan lakukan.” Air mata Elena mulai mengalir, dia sangat takut berdekatan dengan pria yang statusnya sudah menjadi suaminya. Saat makan malam tadi Elena tidak merasa takut. Namun, saat ini Merrik sangat mengerikan, dia takut kejadian di hutan terjadi kembali.

Merrik melihat air mata yang mengalir di pipi Elena, entah mengapa ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Dia mengulurkan tangan dan menghapus air mata yang ada di pipi Elena. “Sudah, aku hanya bercanda. Pergilah ke kamarmu.”

Elena mendongakkan kepalanya menatap wajah Merrik, lalu pamit meninggalkan Merrik dan kembali ke kamarnya sendiri.

Bersambung…

Novel ini on going, yang akan di up sehari sekali, kalau lebih berarti otor lagi sedeng 😁

Jangan lupa untuk like, love n komentarnya yach 😊😊😊 karena dukungan kalian sangat berarti untuk author

Salam Age Nairie 🥰😘

BAB 3 Tali Rafia

Subuh menjelang, Elena sudah sibuk di dapur dari pukul 03.00 dini hari, karena hanya tinggal menunggu Ijazah dia tidak perlu ke sekolah lagi. Dia memiliki waktu lebih untuk mencari uang. Barang dagangannya sudah tersusun rapih pada box yang akan ia kirim ke warung-warung dengan sistem penjualan konsinyasi. Jarak antar rumah tetangga lumayan jauh, terlebih rumah Elena agak naik ke arah gunung. Pukul lima pagi dia harus sudah jalan menuju warung-warung untuk menaruh barang dagangannya, untung barang dagangannya selalu habis setiap hari sehingga Elena bisa memenuhi kehidupannya walau dengan kesederhanaan.

Merrik bagun sudah pukul delapan, dia keluar dari kamarnya. Namun, dia tidak menemukan keberadaan Elena. Di meja dapur sudah terdapat sarapan, hanya ada beberapa sabosa, risol dan bakwan. Merrik mengambil satu sabosa dan memakannya. “Enak, apa ini kue-kue yang ia jual?” Puji Merrik. Setelah sarapan dia duduk di depan teras, memandangi pepohonan di depan mata, merogoh saku celananya mengambil benda pipih. “Masih belum ada signal,” gumam Merrik menatap ponselnya.

Merrik berkeliling rumah, dia masih enggan mengurus perusahaannya. Dia menitipkan pada Dion asistennya, untuk urusan kantor. Merrik terus melangkah hingga ke kamar Elena, tidak terlalu banyak barang di sana. Matanya tertarik pada photo di atas meja, dia melihat Elena bersama dua temannya memakai pakaian putih abu-abu. Photo berlatar di sekolah, sangat cantik, kontras dengan dua temannya. Bukan berarti dua temannya tidak cantik. Namun, Elena memiliki wajah yang sedikit blesteran. Matanya hijau, rambutnya berwana cokelat, lesung pipi di pipi kirinya menambah manis senyumannya, postur tubuhnya saja yang mungil, tinggi sekitar 160m. Hanya sebahu jika berdiri samping Merrik. Tinggi Merrik 187m. “Dari mana dia memiliki mata hijau seperti ini? Apakah orang tuanya campuran?” gumam Merrik melihat photo tersebut.

Merrik membuka laci meja belajar Elena, menemukan beberapa photo Elena, photo dari usia sekitar empat atau lima tahun hingga sekarang berusia belum genap delapan belas tahun. Dia menikmati pemandangan cantik di photo tersebut, baru kali ini dia melihat gadis yang cantik alami tanpa riasan, Clara mantan kekasihnya yang merupakan ratu kampus juga cantik tetapi masih belum menyaingi kecantikan alami Elena.

Tanpa sadar sudut bibir Merrik naik ke atas, menikmati kecantikan gadis yang sudah menjadi istrinya. Sedetik kemudian dia tersadar. “Untuk apa aku melihat ini semua!” gumam Merrik sambil meletakan photo-photo tersebut. Dia akan tetap menganggap perempuan miskin sama seperti Ibu tirinya. Rose adalah Ibu tirinya, berawal dari seorang Baby Sitter yang mengasuh Merrik. Namun, kenyataan begitu pahit, Ayahnya menceraikan Ibunya dan menikah lagi dengan Rose, usia Merrik baru sembilan tahun saat perceraian itu terjadi.

Melihat Ibunya meninggalkannya karena hak asuh anak berada di tangan Ayahnya, membuat Merrik membenci Ayah dan juga Ibu tirinya. Terlebih lagi saat mendengar kabar Ibu kandungnya meninggal saat Merrik berusia sepuluh tahun. Merrik tidak bersama Ibu kandungnya saat Ibunya menghembuskan nafas terakhirnya. Sampai detik ini, dia masih sangat membenci Ayah dan Ibu tirinya. Sejak di bangku Sekolah Menengah Pertama, Merrik lebih memilih tinggal di asrama sekolah, hingga saat ini dia tidak tinggal bersama Ayahnya.

Baginya, hanya Ibunya lah wanita terbaik. Merrik meraih tas carrier yang dia bawa saat mendaki gunung, dia duduk di ruang tamu, dalam tas tersebut masih ada beberapa kaleng minuman beralkohol, dia mengambil satu kaleng dan menenggaknya.

Dia teringat masa-masa kuliah, saat bertemu Clara, gadis modis, kaya dan cantik. Dia mengira persamaan status tidak akan membuat hubungan mereka kandas, terlebih hubungan mereka sudah terjalin empat tahun lamanya. Namun, nyatanya sama saja. Clara selingkuh di belakangnya. Penghianatan Clara membuatnya trauma akan suatu hubungan.

Merrik membuang kaleng minumannya secara asal. Satu demi satu minuman kaleng tersebut habis. Merrik bukanlah peminum handal, hanya beberapa kaleng dia akan mabuk, dia bukanlah seorang peminum, tetapi saat ini dia meminumnya karena butuh pelampiasan dan hingga akhirnya dia terjatuh ke lantai.

Elena pulang di saat hari sudah siang, setelah menitipkan barang dagangan, dia mencari beberapa bahan untuk pembuatan aksesoris, dia pulang dengan membawa tentengan plastik hitam. Dia mendorong pintu yang terbuka setengah, matanya sudah di suguhi oleh Merrik yang tertidur di lantai. Elena mulai panik, tidak ingin kejadian kemarin terulang kembali. Dia berlari ke dapur dan kembali dengan membawa tali rafia. Elena mulai mengikat tangan dan kaki Merrik, Merrik terlalu pulas dalam tidurnya, hingga tidak menyadari Elena mengikatnya.

Elena tidak dapat memindahkan Merrik ke kamar jadi dia hanya membawakan bantal, dia mengangkat kepala Merrik dan meletakan bantal di bawah kepala Merrik lalu dia menyibukkan dirinya membuat aksesoris.

Merrik bangun setelah empat jam tertidur, matanya mengerjap-kerjap ketika pupil menyesuaikan diri dari cahaya matahari yang masuk melalui jendela rumah. Dia mencoba menggerakkan tangannya namun sulit, membuka matanya lebar dan terkejut melihat dirinya terikat. "Ah!" jerit Merrik.

Elena mendengar suara Merrik, dia menghampirinya. "Kakak sudah bangun?"

"Kenapa kaki dan tanganku terikat? Siapa yang melakukannya?" beruntun pertanyaan keluar dari mulut Merrik dengan suara tinggi.

"A—ku," ucap Elena gugup.

"Kenapa kamu lakukan ini?" ucap Merrik melembut saat melihat wajah gugup Elena.

"Itu, karena Kakak tidak sadarkan diri, aku takut yang kemarin terulang lagi."

Merrik melihat kegugupan pada Elena, dia tidak tega membuatnya ketakutan seperti itu, semua berasal dari kesalahannya. Meskipun, dia membenci wanita, tetapi sampai detik ini Elena tidak ada tanda-tanda menggodanya. 'Apakah aku harus melepasnya? Haruskah ku ceraikan dia secepatnya?' batin Merrik.

Merrik tidak ingin terlibat lebih jauh lagi dari Elena, lebih baik jika dia tinggalkan gadis itu. "Cepat buka tali ini, aku tidak akan berbuat apapun padamu."

"Kakak janji?" Elena menyodorkan jari kelingking di hadapan Merrik.

"Bagaimana aku bisa memberikan tangan ku jika masih terikat." Protesnya.

"Yang aku ikat pergelangan tangan Kakak, Kakak masih bisa menjulurkan jari kelingking Kakak untuk berjanji!" ujar Elena.

'Dasar ABG! Janji saja pakai jari.' Ejek Merrik dalam hati.

"Ini." Merrik tetap menjulurkan jari kelingkingnya pada Elena agar ikatannya cepat di bukakan.

Elena berlutut dan mengaitkan jari mereka, setelah itu membuka tali rafia tersebut, agak sulit dia membukanya, dia mengigit bibir bawahnya karena kesal talinya tidak kunjung terlepas. Gerakan tersebut tidak luput dari penglihatan Merrik, hingga ikatan tali tersebut lepas. Merrik mendekatkan dirinya dan Cup, dia mencium sekilas bibir Elena. Elena reflek mundur dan terduduk di lantai. "Apa yang Kakak lakukan?"

Bersambung...

Ini Novel on going, yang akan di up sehari sekali karena saat ini otor sedang tahap menyelesaikan karya otor yg berjudul Samudra Nayna 😊 namun diusahakan untuk up lebih.

Bagi yang belum baca SAMUDRA NAYNA boleh diintip dulu, ceritanya oke punya loh 😁

Jangan lupa untuk like, love n komentarnya yach 😊😊😊 karena dukungan kalian sangat berarti untuk author

Salam Age Nairie 🥰😘

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!