Pagi ini langit sedang tak bersahabat. Ia menyembunyikan senyum cerahnya di balik awan gelap. Cuaca sangat mendukung untuk tak beranjak dari rumah. Lebih enak narik selimut dan berkelana di alam mimpi yang tertunda saat adzan Shubuh berkomandang.
Namun, Gadis cantik nan manis. Alesha Arin. Telah siap untuk berangkat kerja. Gadis 23 tahun ini bekerja di industri jasa kontruksi sebagai staf marketing. Sebelum pergi, ia selalu memastikan lampu kamar mandi sudah di matikan. Pintu belakang telah di kunci dan lainnya.
"Mendung. Semoga pas sampe baru hujan". Monolog Arin sembari mengunci pintu kostnya. Ia berjalan ke arah halte busway. Begitulah kegiatan Arin di setiap harinya. Pagi kerja sampai jam lima sore. Jika tak lembur maka ia langsung pulang. Nonton ytube atau baca komik untuk mengisi waktu luangnya. Monoton. Begitulah komentarnya.
Setelah Busway ke arah kantornya datang. Ia menghela napas berat melihat keadaan busway. Penuh. Desak-desakan. Tak naik. Terlambat. Jika naik, maka risikonya harus berimpitan.
"Tuhan. pengen nikah rasanya kalau suasana kayak gini. Tapi siapa yang mau? cowok ajak gak punya. Hah". Batin Arin menjerit sembari mengedarkan pandangan lalu ia geleng-geleng kepala saat melihat penumpang di sampingnya menonton acara gosip.
"Ck.Ck.Ck. Bisa-bisanya nonton dalam keadaan kayak gini". Batin Arin berkomentar.
Tak lama kemudian. Hujan turun diiringi dengan angin.
...--------------...
"Pak Edi enyahkan anak itu dari hadapanku".
"Tapi Nona, jika tuan As tahu kita bisa dapat masalah".
"Hah. Aku gak mau tahu pak Ed. Buang saja atau bunuh. Toh dia gak akan tahu kalo aku bilang bayinya meninggal".
Selin Anesa. Artis papan atas di ibu pertiwi. Sudah lama ia menaruh hati pada Aslan Alister sang sponsor utama. Namun Aslan tak pernah tertarik dengan Selin. Suatu hari ia sengaja mejebak Aslan. Niatnya supaya bisa memiliki sang sponsor.
Sayang sekali. Aslan hanya bilang.
"Oke. Aku mau tanggung jawab tapi tidak harus menikahimu. Catat semua kebutuhanmu dalam sembilan bulan dan ingat kau harus vakum dari industri hiburan". Setelahnya ia pergi ke negara tetangga tanpa bertanya bagaimana kondisi Selin.
Hari semakin gelap. Pak Edi bingung mau dibawa kemana bayi mungil yang baru melihat dunia. Niat hati ingin membesarkan. Namun, ia ingat biaya sekolah kedua anaknya. Tentunya sang istri akan menunduh yang tidak-tidak.
"Maaf. Paman minta maaf. Semoga pemilik rumah ini baik dan mau merawatmu". Ucap Pak Edi sembari mencium kening bayi mungil itu dan berlalu dengan berat hati.
Kiloanmeter dari tempat Pak Edi, Aslan yang mendengar kabar bahwa Selin sudah melahirkan, ia langsung terbang ke Indonesia.
"Rudi. Apa yang terjadi kenapa macet?". Suaranya meninggi. Ia kesal dengan keadaan ibu kota yang pada di jam-jam pekerja pulang.
"Sepertinya ada kecelakan Tuan". Jawab Rudi ragu-ragu. Aslan berdecak kesal sembari melempar pandangan keluar jendela.
"Ck. Sampai kapan gak akan gerak Rud?. Sial. Aku keluar saja cari ojek". Putusnya membuka pintu.
"Tapi Tuan. Hei. Ya sudahlah". Pasrah Rudi dan mengabaikan tuannya yang sudah berlalu. Ia hanya bisa memantau dari spion mobil.
Aslan celinguan mencari-cari ojek pengkolan. Lima menit berlalu. Ia tak menemukan ojek yang biasanya mangkal.
"Si sialan demen banget ngerjain orang". Omel seseorang yang berjalan di samping Aslan. Ia mengernyitkan dahi. Dan tanpa sengaja mengikuti orang itu.
"Ngapain aku ikuti dia". Aslan merutuki kebodohannya dan balik badan.
Namun ia urungkan berlalu saat telinganya mendengar sesuatu.
"Pasti mbak Arin, temannya Dokter Bian yang mau anter motor ke Rumah Sakit Kasih Ibu". Tebak sekuriti Apartemen.
"Tepat sekali Pak Munir. Untung saya baik. Mau-mau aja nganterin coba kalo jahat. Sudah saya gadain nih motor". Kelakar Arin.
"Hahaha. Mbak Arin bisa saja bercandanya. Ini kunci dan helmnya mbak. Oh iya kata Dokter Bian tadi, tolong sekalian di isi bensinya ya mbak". Jelas Pak Munir dan menyerahkan kunci tersebut.
Arin hanya menghela nafas mendengar kelakuan sahabat selama hampir sepuluh tahun itu.
"Ehm maaf mengganggu. Apakah bisa saya ikut dengan anda ke Rumah Sakit?". Tanpa basa-basi Aslan menondong Arin.
"Mobil saya mogok dan sodara saya di rawat di Rumah Sakit tersebut. Maaf tadi saya tak sengaja mendengar obrolan anda". Lanjut Aslan menjelaskan kondisinya. Arin mengernyitkan dahi.
"Hahh. menyebalkan sekali wanita ini. Iyain saja kenapa sih? apa gak tahu kalau aku sedang buru-buru". Gerutu Aslan dalam hati dan melihat mimik muka Arin.
Arin tak menjawab. Ia melanjutkan memakai helm dan menaiki kuda besi Bian. Lalu menghidupkan mesinnya.
"Sial. Kenapa wanita ini diem saja? Apa dia gak tahu siapa aku?". Batin Aslan gelisah.
"Oi. Jadi nebeng gak? kalau jadi buruan. Aku mau cepat-cepat sampai kost". Ketus Arin. Tanpa ba-bi-bu Aslan langsung naik.
Lalu Arin mengendarai kuda besi itu dengan kecepatan tinggi. Aslan takut. Pasalnya, ini pertama kalinya ia naik motor. Reflek Aslan memeluk Arin.
"Jangan cari kesempatan dalam kesempitan". Kesal Arin seraya teriak supaya terdengar Aslan.
"Gak usah kepedan. Aku gak sengaja". Sambar Aslan cepat dan melepas pelukannya itu.
Arin menggeleng. Ia malas untuk berdebat. Energinya sudah habis di tempat kerjanya. Entah kenapa hari ini, ia kena marah terus. Penawaran salah. Laporan mingguan salah. Kurang cepat. Hah. melelahkan sekali.
Lalu sore hari saat ia ingin cepat-cepat pulang. Tiba-tiba si setan mengirim pesan meminta motornya diantar dengan dalih sekalian ya sobat terbaik, kan kau searah.
Rasanya, ia ingin menggapar wajah tampan sang sobat karibnya itu.
Mentang-mentang kostnya searah dengan tempat kerja Bian. Sering sekali manusia satu ini memintanya mengantarkan motor.
Dalihnya, pagi-pagi itu macet capek kalau membawa motor. Memang titisan setan . Menyebalkan sekaligus membuat orang emosi.
"Huah. Akhirnya sampai juga". Keluh Arin sembari membuka helmnya.
"Terima ka.." Aslan tak melanjutkan ucapannya.
"Oi Setan. Tlaktir dong. Laper nih setahun belum makan" Teriak Arin saat netranya menangkap sosok yang ia kenal. Ia menghampiri seraya melempar kunci motor.
"Sopankah begitu? Awas saja kalau ketemu. Berani sekali mengabaikan omonganku". Kesal Aslan merapikan jasnya menuju resepsionis.
...----------------...
"Laper banget?". Tanya Bian.
"Hmm". Arin menjawab tanpa memalingkan perhatiannya dari makanan
"Pelan-pelan nanti ke sedak". Bian memberi peringatan dengan lembut.
"Sial. Jadi mules denger omonganmu". Sambung Arin menyudahi kegiatannya.
"Ha? omonganku gimana? perasaan biasa saja?". Kernyit Bian.
"Jangan pakai perasaan bos. Coba kau ngomong kayak gitu ke Dokter Mita. Aku jamin dia pasti berbunga-bunga and maybe she will think, you have feeling to her".
"What? seriusly? oh sial."Bian tak percaya dengan gaya omongannya yang terkesan sepele namun akan berbeda presepsi dari si pendengar.
"Oke sekarang lupakan soal gaya omonganmu yang sering kali disalah artikan oleh rekan kerjamu. Tapi yang penting saat ini aku gimana pulangnya? aku pastikan kau gak bisa nganter". Arin tepat sasaran.
"Hahaha. Sial. Tahu banget kebiasaan aku. Gimana kalau aku orderin ojol?". Tawar Bian.
"Oke. Tapi gretong ye". Arin negoisasi.
"Siap bos". Jawab Bian.
Bibi Imah hanya tersenyum melihat keromantisan pelanggan tetapnya itu. Bibi diam-diam mendukung hubungan mereka. Kata Bibi mereka cocok. Padahal mereka hanya sebatas berteman. Saling mendukung. Membantu. Tidak lebih.
Pesanan ojek online Arin telah tiba. Setelah motor itu berlalu Bian baru meninggalkan lobby dan menuju ruangannya.
Dokter Mita melihat kejadian di lobby. Dari keakraban Bian dengan Arin. Ternyata Bian dikenal dengan Dokter yang jarang tertawa, tersenyum maupun membalas senyuman rekannya.
Kali ini pemandangan langka yang tak sengaja Mita lihat. Bian tertawa dengan seorang wanita. Kenyataan itu membuat Mita cemburu dengan Arin.
Motor matic yang di naiki Arin membelah keramaian jalan raya. Sesekali bapak ojeknya mengajak ngobrol. Tak lama kemudian ia sampai di kostnya.
"Terima kasih pak". Ucap Arin.
"Sama-sama neng". Balasnya dan berlalu.
Arin menatap kostnya yang masih gelap. Perlahan mendekati pintu. Ia mengernyitkan dahi saat melihat kotak hijau depan pintu.
"Aku gak beli barang deh. Paket apaan nih?". Lirihnya sembari jongkok.
Ia terkejut saat melihat isinya.
......................
Arin tersentak. Tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia memastikan isi kotak itu. Tangannya gemetar, Ia menyalakan lampu telepon genggam.
"Seriusan bayi. Astaga siapa yang tega naroh di sini? Masih hidupkah?". Monolog Arin. Jantungnya berdebar hebat.
Ia buru-buru membuka pintu. Menyalakan lampu. Membuang tasnya ke sofa berlari menuju kamar mandi. Cuci tangan. Cuci muka.
Lalu kembali berlari ke kotak yang ia letakkan di meja ruang tamu. Pelan-pelan menyetuh dada bayi mungil itu.
"Dia masih bernafas kan?, aku harus bagaimana ini? lapor pak RT? telepon Bian? tidak mungkin. Bian lagi jaga malam. Paling bener lapor pak RT," Panik Arin.
"Tapi gimana gedongnya? Haruskah aku angkat sekotaknya?," bimbang Arin.
Aih bodoh amatlah. Arin tanpa pikir panjang membawa kotak hijau ke rumah pak RT.
Naasnya. Rumah pak RT sedang ada pengajian. Semua langsung bisik-bisik melihat kedatangan Arin.
"Ada apa nak Arin?". Bunda Erni si pemilik kost bertanya.
"Anu, ini Bun. Ada orang yang naroh bayi di depan pintu kostku. Aku ingin lapor ke pak RT. Tapi bayinya diem tidak nangis dan hanya merem terus," jawab Arin dengan nada bergetar.
Ya bayangkan saja. Seorang lajang. Awam terkait bayi . Lalu Tak ada angin. Tak ada hujan. Tiba-tiba mendapat paketan bayi mungil.
Mendengar perkataan si penyawa tepat waktu dalam bayar uang kost, bunda berdiri menghampiri.
Bu RT sigap memberi segelas air putih. Suasana pengajian itu pun menjadi ramai perkara kedatangan bayi.
"Astaga. Ini anak baru lahir". Komentar Bunda Erni.
"Kok tega ya buang anaknya sendiri."
"Itu pasti hasil zina jeng."
"Ck.Ck.Ck Dasar anak zaman sekarang. Mau enaknya gak mau tanggu jawab."
"Aduh kasihan sekali."
Begitulah komentar ibu-ibu pengajian. Dan masih banyak lagi komentar pedas yang menohok hati.
"Jangan-jangan itu anakmu ya?". Celetuk ibu-ibu yang duduk di dekat pintu.
Arin mengernyitkan dahi. Ia ingin menjawab, namun Bunda Erni menyahut lebih dulu.
"Ngaco sekali pertanyaanmu Jeng Eni. Nak Arin gak mungkin berbuat hal memalukan. Nak Arin itu,anaknya sopan, baik, perhatian. Jangan asal ngomong jeng". Bela Bunda.
Arin tersenyum mendengarnya. Percitraannya selama ini telah berhasil. Untung saja Bian tak mendengar. Kalau dengar. Pasti akan menjadi garda terdepan menentang pendapat Bunda Erni
Kiloanmeter dari lingkungan tempat tinggal Arin. Di Rumah Sakit Kasih Ibu, Aslan sangat kesal dengan sikap Selin.
"Kau buang kemana anakku? Aku gak percaya dia mati". Geram Aslan mecengkram pundak Selin.
"Dia beneran mati As. Kenapa kau tak percaya? Bukankah kau tak peduli selama ini?". Nyalang Selin sembari meringis menahan sakit.
"Jangan bohong. Siapa bilang aku tak peduli? bukankah selama ini kebutuhanmu aku penuhi?". Dingin Aslan membuat Selin bergidik ngeri.
"Sial. Kenapa aku harus takut dengan pria seperti ini dan anehnya lagi kenapa aku semakin jatuh cinta. Sialan. Aku gak ingin dia bertemu dengan bayi itu". Batin Selin mencuri pandang wajah tampan Aslan.
"Tanyakan saja dengan pihak rumah sakit kalau kau tak percaya". Selin menjawab sembari melihat pemandangan gelap di luar jendela.
"Segelap itukah hatimu, Aslan. Kenapa kau tak bisa melupakan tunanganmu yang sudah lama meninggal? Kenapa aku tak bisa mengisi gegelapan hatimu? Kenapa Aslan? Kenapa kau hanya peduli dengan anak itu? Kenapa kau tak ada sedikit rasa peduli padaku? Kenapa kau tak bertanya kondisiku?". Selin bertanya-tanya dalam hati yang tak mungkin ada jawabnya.
Aslan menyisir rambutnya dengan tangan. Tak mungkin ia bertanya pada pihak rumah sakit.
Itu akan merusak reputasi jika aibnya terungkap. Ia menghela nafas. Rencananya tak sesuai dengan kenyataan.
Setelah memastikan kandungan Selin baik-baik saja dan berhasil melahirkan bayi, dengan percaya diri Aslan menghentikan pengawasan.
Di situlah kesempatan Selin untuk meraibkan darah dagingnya.
Ia sangat membenci anak itu saat Aslan berkata jangan memimpikan pernikahan hanya karena mengandung anaknya.
Benar Aslan tanggung jawab dengan keperluan Selin selama hamil. Tapi tidak dengan kebutuhan rohani Selin.
"Baiklah, jika dia sudah meninggal aku ingin melihat makamnya. Setelah kau pulih, tunjukkan padaku". Ucap Aslan sembari meninggalkan ruangan itu.
"Kau jahat As. Benar-banar jahat". Lirih Selin menatap punggung Aslan.
Cinta bertepuk sebelah tangan memang sangat menyakitkan. Itulah yang di rasakan Selin selama bertahun-tahun. Ia berusaha untuk melupakan sang sponsor itu. Namun, rasa ingin memiliki semakin besar.
...----------------...
Semalam Arin memutuskan untuk membesarkan bayi mungil tanpa dosa itu. Ia pun privat bagaimana merawat bayi pada ibu-ibu pengajian.
Mereka dengan senang hati memberi tahu. Bagaimana mengganti popok. Memandikan bayi. Takaran air hangat untuk membuat susu. Sinyal bayi saat pipis dan lain-lain yang Arin tak pernah tahu.
Arin hanya mangut-mangut memperhatikan. Pelajaran berharga yang tak ia dapatkan di bangku sekolah. Bayi mungil itu semalam tak rewel. Ia hanya menangis sebentar saat haus dan kembali tidur.
"Assalamualaikum nak Arin sudah bangun?". Teriak Bunda Erni.
"Waalikumsalam. Sudah bun". Jawab Arin sembari membuka pintu.
"Nak Arin serius ingin membesarkan bayi ini? kalo nak Arin gak sanggup nanti Bunda sama bu Rt cari panti asuhan". Tutur Bunda.
Deg
Mendengar panti asuhan, Arin langsung menggeleng dan ada semburat aneh di wajahnya. Bunda mengernyit dengan perubahan sikap Arin.
"Saya serius bun, ingin membesarkan bayi ini. Hitung-hitung buat jadi temen Arin. Nanti kalau perlu sesuatu Arin minta tolong ya bun". Balas Arin sembari tersenyum.
"Iya Bunda bantu Nak. Ngomong saja kalau butuh sesuatu. Nanti kita urus dulu surat adopsinya terus mari buatkan akta kelahiran". Jelas Bunda menahan air mata. Ia haru sekaligus kasihan dengan bayi tak berdosa itu.
"Ya sudah kalau gitu Bunda ke bu rt dulu". Pamit Bunda. Arin hanya mengangguk.
"Wah anak Bubu masih tidur. Ayo nyampa paman Bian". Monolog Arin sembari tersenyum jahil. Ia mencari kontak nama Bian.
"Halo. Ada apa? tumben minggu-minggu telepon" . Suara serak dari sebrang.
"Aku punya anak". Balas Arin sembari tersenyum.
"What? seriusly? your kidding?". Bian langsung duduk karena terkejut.
"Seriuslah. Kesini aja pastikan sendiri". jawab Arin mengakhiri teleponnya.
Arin menatap bayi mungil yang masih terlelap.
Ia mengggeleng. Heran dengan orang tua si bayi. Pertanyaan-pertanyaan muncul di benaknya. Kenapa bisa di taruh di depan pintu? Ia juga berpikir pasti rumah sakit bersalin tak jauh dari tempat tinggalnya.
"Suatu hari nanti kalau Bubu menemukan orang tuamu, Bubu pastikan mereka mendapat kolak sendal legend Bubu". Ucap Arin pada bayi yang belum bisa apa-apa itu. Tiba-tiba kedoran pintu mengkagetkan Arin dan membangunkan bayi mungil yang terlelap.
"Oi masuk saja kaga dikunci". Komando Arin sembari menepuk-nepuk paha mungil si bayi supaya tidur lagi.
"Sial. Mana anakmu? siapa ba...?" Bian terdiam saat melihat bayi di hadapan Arin.
"Heiii. Arin mungut bayi dimana? Gila cakep kayak gini dibuang. Kagak waras tuh orang tuanya". Cerocos Bian.
"Dia di taroh di depan pintu kost. lihat! wajahnya tanpa dosa gini kok tega ditinggalin di teras? Kenapa harus berbuat kalau gak mau nangung risikonya?. Bian. Aku mutuskan buat adopsi dia". Jelas Arin.
"Benar menyebalkan sekali. Oke. Aku dukung. Eh, tapi Rin. Bentuk wajahnya kayak gak asing". Komentar Bian sembari menatap wajah tenang bayi itu. Sesekali si bayi melengkungkan bibirnya. Seakan ia sedang mimpi indah.
"Ha? Serius? Kayak siapa?". Arin penasaran.
"Selin Anesa. Si artis terkenal itu loh" timpal Bian manggut-manggut.
Buuagg.
"Awww sakit bodoh". Sentak Bian mengusap-usap lengannya.
"Makanya jangan asal ngomong. Penjara tahu rasa". Balas Arin sembari ke dapur.
"Aku gak asal ngomong Rin. Soalnya, kemarin aku liat dia dibawa ke ruang bersalin" balas Bian.
"What? serius? tapikan dia belum menikah?". Arin penasaran.
Lalu Bian pun bercerita tentang artis papas atas yang banyak di gemari kaula muda sejagad raya itu.
Arin hanya geleng-geleng kepala mendengar gosip yang selama ini beredar di kalangan artis.
Isu hangat yang menjadi pertanyaan di khalayak umum atas vakumnya sang artis idol mereka. Selin Anesa.
Arin benar-benar tidak tahu jika ada gosip huru-hara terkait sang Aris itu. Maklum ia tidak pernah mengikuti perkembangan dunia hiburan tanah air.
...----------------...
"Ha? Rin, serius namanya itu?," Bian tak percaya dengan rangkaian nama yang dibuat Arin.
"Seriuslah. Alister tuh tokoh komik yang aku baca. Memangnya ada masalah?." Kernyit Arin sembari membuat susu untuk Allea.
"Dasar korban komik. Kau tahu gak siapa Alister?." Kesal Bian pada sahabat karibnya itu.
"Emangnya ada nama Alister the real?." Arin balik nanya.
"Yee si dodol. Punya Hp bagus, canggih tuh gunain biar tahu. Jangan baca komik aja." Bian menonyor jidat Arin dengan jari telunjuk.
"Oi Setan. Leherku bisa patah nih."
Reflek Arin dengan nada tinggi. Seketika Allea menangis karena kaget. Arin langsung menenangkan. Tetapi, bukannya berhenti Justru semakin kencang.
"Sini-sini sama paman. Duh iya paman gak komentar namamu,"ucap Bian ke Allea.
"Ha? kok langsung diem?."
"Jelas dong. Kan pawang bayi". Sombong Bian sembari menimang-nimang Allea.
"Ck. kumat penyakitnya. Eh tapi aku gak nolak kok kalau kau mau jadi dokter penasehat dalam memantau perkembangan Allea" Arin negoisasi.
"Heiii. Ijazah S2 ku mahal nenek. Kaukan tipe yang suka gratisan". Cibir Bian.
"Hahaha. Jelas dong gratis itu sebuah nikmat tidak boleh didustakan"
Bian menyanyikan lagu penghantar tidur untuk bayi seumuran Allea.
Arin tersenyum melihat pemandangan itu. Jika orang awam melihat mereka. Bagaikan keluarga kecil yang sangat bahagian.
Di tempat lain dari kediaman Arin. Aslan tengah megeram. Ia marah atas sepucuk surat yang telah Selin tinggalkan.
Braakkk.
"Sialan. Berani sekali dia melawanku. Rudi!".
"Iya tuan".
"Aku tidak mau tau apapun caranya cari anak itu sampai ketemu. Dan hentikan semua kontrak kerja dengan wanita sialan itu".
Rudi hanya mengangguk dan berlalu dari ruangan sang bos. Wajah Rudi pias.
Bingung mau mencari jejak bayi itu dari mana.
Sebelum memulai pencari putri sang bos, ia lebih dulu mengurus dokumen untuk Selin dan mengirim lewat email.
Lelaki menawan itu menyugar rambutnya. Menjalankan mobil sedan miliknya menuju RS Kasih Ibu.
Tidak lama kemudian ia telah sampai. Menuju ruang sekuriti. Meminta izin untuk melihat CCTV beberapa minggu yang lalu.
Butuh negoisasi alot dulu untuk mendapatkan izin. Setengah jam baru bisa menyaksikan rekaman kegiatan RS sesuai yang diinginkan.
Nihil. Tidak ada yang mencurigakan. Rudi menghela nafas berat. Sesekali menyipitkan mata minusnya.
"Hah. Pak apa boleh saya copy?". Pinta Rudi menyodorkan flasdisknya.
Pak sekuriti hanya mengangguk pasrah. Sebab ia sudah mendapatkan imbalan tutup mulut dan tips untuk makan malam.
Bruug
"Mata dipakai dong. Etdah. Main nylonong saja". Kesal wanita yang tak sengaja Rudi tambrak.
"Maaf nona. Saya.. ". Rudi tak melanjutkan sebab wanita itu sudah memotong ucapannya.
"Hei itu coba kau pungut dot anak saya. Susah nih buat jongkok".
"Kemana suaminya?" Batin Rudi sembari jongkok mengambil dot bercorak kartun yang ia sukai. Baymax.
Tanpa sadar Rudi menyunggingkan senyum.
"Lucu". Lirihnya.
"Ariiin". Teriak Bian dari lorong bangsal mawar. Rudi menoleh ke sumber suara.
"Oh suaminya Dokter". Rudi menebak sesuka hati.
"Kebiasaan. Di kata tungguin sebentar udah kabur aja. Dasar nenek gak sabaran". Lanjut Bian sembari mengacak-acak rambut Arin.
"Dasar setan. Rambutku baru di smooting tar rusak". Arin cemberut.
Rudi hanya menyaksikan keromantisan dua insan beda jenis di depannya sembari memutar-mutar tutup dot yang ia pungut dan menunduk sembari tersenyum getir.
"Ini dotnya. Tidak usah ubar keromantisan di depan umum". Ketus Rudi berlalu dengan perasaan kesal. Entah apa penyebabnya.
"Wajahnya gak asing". Celetuk Bian menatap punggung Rudi sembari menggelengkan kepalanya.
"Kenalanmu?."
"Bukan. Ayo aku antar ke poli anak". Ucap Bian dan di sambut anggukan oleh Arin.
Percayalah, pegemar Dokter Bian sangat kesal melihat pemandangan di depan mata mereka.
...----------------...
Jam 17.00 sore.
Para pekerja berhamburan meninggalkan tempat kerja alias kantor mereka. Ada yang langsung pulang. Ada juga yang masih lembur, pun ada yang tidak langsung ke rumah. Melainkan mampir ke kafe.
Katanya, ingin menghilangkan penat sejenak sebelum pulang. Begitu juga dengan Arin. Ia mematung melihat lalu-lalang kendaraan. Tatapannya kosong.
Genap sebulan ia menjadi orang tua tunggal untuk Allea.
Selama sebulan ini, ia sering melakukan kesalahan di tempat kerja. Saat rapat, ia tak sengaja tertidur. Arin benar-benar berubah. Julukan sebagai pegawai rajin pun perlahan mengikis. Ia sering mendapat cibiran dari rekan kerja. Kena omelan dari sang atasan.
"Sial. Aku kira jadi seorang ibu itu mudah". Keluh Arin sembari menyisir rambutnya dengan jemari.
Perubahan jam tidur Allea yang tak beraturan membuatnya kelimpungan. Kurang tidur. Sering menunda pekerjaan yang ia bawa pulang.
Sesekali Bian mampir. Tapi ia tak menginap. Takut di gerebek warga setempat.
Ia hanya menyetor muka dan suara. Supaya ponakannya tak lupa.
Di lain tempat. Ada seorang ayah yang mati-matian mencari buah hatinya.
Mengerahkan seluruh kekuatan supaya sang buah hati ditemukan. Namun, lagi-lagi petunjuknya hanya sedikit.
"Tuan ada pihak kepolisian ingin bertemu".
"Hmmm".
Aslan berjalan menuju ruang rapat.
...----------------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!