Sebuah gedung pertemuan bernuansa bangunan Belanda tengah ramai dengan begitu banyak orang. Kesemuanya hampir mengenakan gaun pesta dengan make up sempurna menghias wajah. Rangkaian bunga terjuntai di mana-mana, tak lupa hiasan dedaunan dan kain tipis yang melambai-lambai tertiup angin ditata dengan pasnya. Rumput Jepang sebagai alas menjadi penyempurna seolah pemilik acara memang benar-benar menginginkan suasana hijaunya kebun nan damai.
Di atas panggung yang menjadi tempat lebih tinggi sebagai pelaminan, berdiri sepasang kekasih yang kini telah menyatukan cinta sebagai pasangan suami istri. Mempelai lelaki tampak mengenakan tuksedo berwarna hijau botol dengan aksen gelap. Kemeja dengan warna lebih muda, jam tangan berwarna hitam mengkilap senada dengan sepatu yang dikenakannya membuatnya seperti pangeran dari negeri dongeng. Di sampingnya berdiri wanita cantik mengenakan gaun panjang membentang dengan warna yang sama. Kulitnya yang putih bersih, rambut berwarna coklat keemasan dan rangkaian bunga kecil warna-warni yang menghias di kepala menjadikannya bak dewi yang turun dari kahyangan. Masih dilengkapi dengan senyum yang tak henti terulas dari bibirnya yang meski dipoles dengan lipstik, namun tetap cantik dan tidak berlebihan.
Keduanya tampak mencolok dengan pelaminan yang didominasi oleh warna putih. Bunga-bunga yang terangkai indah memagar di area belakang, lampu-lampu kecil redup yang merantai diletakkan dengan tepat di tempatnya, sungguh sesuai dengan keinginan mereka saat ini.
Berkali-kali ia menolehkan kepala ke arah kanan dimana suaminya pun juga tengah takjub menatapnya seperti baru saja bertemu. Sejujurnya ia benar-benar kagum dengan wanitanya saat ini. Terlihat sangat mempesona tidak seperti dihari-hari biasa. Mungkin karena kebiasaan istrinya ini yang selalu memulaskan riasan sederhana, sehingga ketika para perias me-make over wajahnya, ia tampak lain dan sangat cantik.
"Tiara, duduklah jika lelah." Helmia, ibu mertuanya mengangsurkan segelas cola dingin dengan senyum ke arahnya, lalu, menunggu di sampingnya dan memiringkan kepala ke arah Alfa menuntut perintah yang sama.
Tiara tampak menyesap setengah dari satu gelas penuh cola-nya dengan rasa lega. Para perias yang tampak berdiri tak jauh dari panggung kemudian memajukan dirinya untuk menata gaun yang dikenakan Tiara agar memudahkannya untuk melangkah dan duduk di kursi pelaminan.
Alfa tampak tak mau melepaskan tangannya dari Tiara dan membantunya duduk.
"Terima kasih Alfa, aku benar-benar hanya meminta dua hal padamu, tetapi, kau bisa mengabulkannya dengan hal luar biasa seperti ini." Senyum penuh rasa haru nampak di wajahnya.
"Apa yang tidak akan kukabulkan untukmu Tiara? Dan, ini semua sesuai permintaanmu bukan? Pesta pernikahan yang didominasi warna putih dan hijau, serta rangkaian hiasan bunga-bungaan." Dengan bangga ia menyapu pandang ke segala arah dan berakhir ke arah Tiara dengan senyum manis yang juga tersungging di sana.
Beberapa tamu undangan yang mendekat hendak berpamitan membuat keduanya berdiri dari tempat duduk dan menyalami dengan penuh penghormatan.
Tiara sangat lelah hari ini, akan tetapi, sungguh, ini adalah lelah yang menyenangkan dan membahagiakan. Menikah dengan pria yang dicintainya, disambut dengan pesta pernikahan yang meriah.
******
Duduk berhadapan, Yunus, ayah Alfa, Helmia, ibu Alfa, serta Berta ibu Tiara di paviliun kecil area belakang gedung pertemuan. Mereka tengah menikmati teh hangat yang disediakan oleh pelayan catering, membuang lelah setelah seharian berkutat dengan para tamu undangan di pernikahan putra dan putri tunggal mereka.
"Apakah Anda baik-baik saja Nyonya Berta?" Yunus akhirnya mengeluarkan suara setelah meneguk dengan penuh kepuasan rasa teh hangat yang disediakan, kemudian meletakkan kembali ke atas meja. Tadi sempat dalam sekilas pandang, besannya yang tengah duduk di atas kursi roda itu tampak muram.
"Ya, seperti yang kau lihat. Aku sedang menantikan kesepian yang sebentar lagi akan datang," ucapnya datar dengan senyum seadanya.
Tiara adalah anak satu-satunya sekarang. Bertahun-tahun berjuang dan menguatkan diri menjadi single parent tentulah tidak mudah. Ayah Tiara meninggal dunia di usianya yang ke-60 tahun. Dua orang kakak laki-laki Tiara wafat ketika usia mereka masih balita dan berusia 10 tahun. Kehilangan demi kehilangan tak membuat Berta menyerah, hingga lahirlah putri kecilnya yang telah tumbuh dewasa sekarang dan akan memulai hidup baru.
Sebenarnya, bukan hanya berdua dengan Tiara saja ia tinggal, ada satu perawatnya yang juga tinggal bersama, menemani dan melayani segala kebutuhannya sejak lama yang sudah seperti keluarga.
Yunus menampakkan senyum menyemangati sebelum berkata, "Aku tahu rasanya Nyonya Berta. Aku dan Helmia bahkan sudah lama merasakannya. Jauh dari anak sejak ia berusia sekolah menengah."
"Tapi kurasa, ada benarnya juga mereka memilih hidup terpisah dari kita." Helmia turut menyimak dan mengeluarkan isi hatinya. "Mereka akan benar-benar memulai dan belajar satu sama lain, menyesuaikan diri mereka ketika hidup bersama." ditatapnya Berta dengan rasa hangat yang sama.
"Kau benar. Kita sebagai orang tua tentu sudah berpengalaman dengan semuanya, tetapi, terlalu mencampuri urusan mereka bukan hal yang bijak, meskipun pada akhirnya, kita harus bertindak juga ketika ada hal-hal krusial yang membutukan campur tangan kita." Berta berkata dengan pandangan menerawang.
"Jangan terlalu dipikirkan Berta, aku bisa datang ke tempatmu dan kau bisa mengunjungiku juga kapanpun kau mau." Helmia berbinar-binar mencerahkan suasana.
******
Tiara masih duduk di depan toalet memandang pantulan dirinya di cermin besar di hadapannya. Senyumnya merekah dan dengan riang ia mengambil sisir di atas meja dan menyisir rambutnya. Ia telah berganti pakaian setelah membersihkan badan.
Di belakangnya, para perias nampak masih sibuk berkemas. Memasukkan segala rupa alat rias ke dalam boks-boks hitam berukuran besar.
Alfa masih belum kembali dari gedung pertemuan. Memastikan segala pembersihan area cepat dilakukan mengingat gedung ini akan dipakai kembali esok lusa.
Stefany, periasnya, mendekat ke arah Tiara dan memegang kedua pundaknya dengan senyum. Mengembuskan napas panjang kelegaan. Tiara menatap Stefany melalui kaca di depannya dan menggenggam tangan Stefany yang tersampir di pundaknya.
"Selamat ya Tiara, aku tak bisa memberimu hadiah pernikahan lebih dari ini."
Tiara mengangkat satu alis. Ia tahu, Stefany adalah perias kepercayaan ibunya sejak beberapa tahun lalu. Ia menawarkan diri menjadi periasnya begitu mengetahui Tiara akan menikah. Dan tentu saja, ia tidak memungut biaya kali ini dan menganggap apa yang dilakukannya adalah hadiah.
"Ini pemberianmu yang luar biasa Stef, kau selalu merendahkan diri. Aku sangat berterima kasih. Kau selalu mengerti yang aku inginkan." Tiara mendongak demi menatap wajah Stefany secara langsung.
Stefany kemudian menunduk dan berucap sambil setengah berbisik.
"Apa aku perlu meriasmu kembali untuk malam pertamamu?" Ucapnya menggoda.
"Tidak perlu Stef, aku lebih suka Tiara yang natural." Alfa mendadak sudah berdiri di ambang pintu. Laki-laki itu berdiri dengan santainya, menyakukan kedua tangan pada saku celana. Mata cokelat mudanya memandang dengan penuh kasih kepada wanita yang masih duduk tak jauh darinya.
Tiara dan Stefany sontak menengok ke sumber suara, hingga kemudian, Tiara menjadi salah tingkah.
"Oke. Tugasku sudah selesai. Aku harus pulang." Stefany menepuk bahu Tiara lalu mengambil tasnya di sofa seberang dan berpamitan. Ketika sampai pintu, ia mendekatkan mulutnya ke telinga Alfa dan mengatakan sesuatu dengan suara yang sangat rendah hingga tidak bisa terdengar sampai ke telinga Tiara. Entah apa yang dikatakan perempuan itu sampai-sampai berhasil membuat Alfa tersenyum hingga menampakkan gigi-giginya.
"Ayo Tiara. Kita juga harus pulang, karena aku sudah tidak sabar." Lelaki itu mengedikkan kepala ke arah luar pintu dengan ekspresi menggoda.
Tiara hanya menoleh sebentar dengan senyum pula yang terulas di bibirnya, kemudian menunduk dengan sikap malu untuk kemudian berdiri dan beranjak dari duduknya.
Begitu menempuh perjalanan selama hampir tiga puluh menit, mobil mungil berwarna merah cerah milik Alfa itu akhirnya sampai pada gerbang depan sebuah rumah dan berhenti dua puluh sentimeter sebelum menyentuh besi pagar. Alfa bergegas turun membuka kunci gerbang, membuka pintunya lebar-lebar untuk menyambut kedatangan mobilnya sendiri. Kemudian, lelaki itu kembali duduk ke balik kemudi dan menancapkan gas untuk memasuki garasi rumah yang kokoh dengan dominasi warna hitam disetiap sisinya. Mobil itu berhenti tepat setelah garis pintu yang memanjang pada bagian bawahnya.
Tiara masih duduk memaku di dalam mobil dan hanya terdiam menatap Alfa yang tengah sibuk dengan aktivitasnya. Pikirannya berkecamuk dipenuhi pertanyaan dan ketidakpercayaan tatkala dirinya mengetahui bahwa suami barunya itu tidak membawanya pulang ke rumah orang tua Alfa yang setelah ia pelajari, rumah ini berada jauh dari wilayah rumah mertuanya itu.
Rumah siapakah ini?
Seolah memang tidak memberi izin Tiara untuk turun, Alfa justru langsung masuk ke dalam rumah begitu saja tanpa mengajaknya dan menerobos ke dalam setelah membuka kunci pada pintu depan.
Tiara hanya cemberut menanggapi Alfa yang tak mau memberi jawaban ke mana mereka akan pergi selama di dalam kendaraan. Tidak mungkin bukan, mereka akan mengakhiri hari yang lelah ini bertamu di rumah orang mengingat Alfa yang terlihat sangat lelah begitu pun dengan dirinya? Alfa malah membawanya ke rumah ini dan membiarkan Tiara berada dalam kebingungannya sendiri dengan masih duduk di dalam mobil.
Penasaran. Tiara pun menyambar tas pundaknya dan bergegas turun. Menebar pandangan ke segala arah lalu mendekat ke arah pintu. Menunggu. Tak lama kemudian, Alfa berdiri di ambang pintu dan tersenyum melihat Tiara memunggungi pintu di depannya dan berdiri kaku menunggunya.
Terdengar Alfa berdeham dan ia pun menoleh. Wanita itu mengangkat kedua alis sebagai ekspresi penuh tanya, karena, Alfa hanya seorang diri di sana, tidak membawa siapapun yang menjadi tuan rumah. Laki-laki itu malahan hanya tersenyum tanpa menjawab tanya yang dilontarkan perempuan itu dalam diam.
“Selamat datang di rumahku, pengantinku.” Alfa membuka kedua lengannya lebar-lebar sebagai tanda untuk meminta Tiara mendekat kepadanya. Ekspresi terkejut begitu nampak nyata di wajah istrinya itu. Tiara justru menatap kaget dan kembali menyapukan pandangan matanya ke dalam rumah dan membiarkan Alfa menunjukkan wajah gemas ketika wanita itu malah memperhatikan isi rumah dan tak lagi memandang ke arahnya.
Tiara telah mempersiapkan diri sebelumnya untuk bertemu dengan siapa saja yang akan ditemuinya di rumah asing ini. Pertanyaan-pertanyaan tentang siapa penghuni rumah, dan untuk tujuan apa mereka datang kemari itu begitu memutar di kepalanya, sehingga wanita itu lebih sibuk menyusun kata-kata untuk percakapan yang mungkin terjadi nantinya, tanpa memikirkan kemungkinan lain yang bisa saja terjadi, termasuk tidak sempat mengira bahwa rumah ini adalah milik suaminya.
Lelah karena kedua tangannya yang menggantung tak mendapat sambutan, Alfa menarik tangan Tiara dan memeluknya dengan erat.
“Ini ... ini rumahmu?” Tiara bertanya terbata dalam dekapan Alfa yang tak membiarkannya menatap dirinya karena tangannya mengeratkan kepala wanita itu agar terbenam ke dalam dadanya.
“Ya, sayang, ini untukmu.” Tiara melingkarkan pula tangannya dan mencengkeram erat punggung suaminya, lalu, tenggelam ke dalam pikiran masing-masing selama beberapa lama.
Wanita itu akhirnya mendongak dan menatap lembut ke arah Alfa yang juga tengah menatapnya dengan teduh sebelum berucap, “Terima kasih. Aku benar-benar tak tahu harus bagaimana berterima kasih padamu. Hari ini kau memberiku banyak sekali kejutan.”
Alfa menganggukkan kepala tipis lalu mulai menggodanya, “Kau tak tahu harus bagaimana berterima kasih padaku?” Alfa memandangi bola mata Tiara dengan penuh kasih dan mengangkat alis dengan mimik wajah mengejek.
Tiara mengerucutkan bibirnya dan ragu-ragu untuk berucap. Ada rona merah di pipi yang mulai nampak di sana mendengar kalimat tanya yang diucapkan suaminya itu.
“Tapi aku tahu caranya.” Mendadak Alfa memiringkan tubuh dan mengangkat Tiara ke dalam gendongannya dengan senyum penuh bahagia dan ekspresi sensual.
Tiara memekik terkejut. Namun tak urung, ia melingkarkan jua kedua tangannya ke leher Alfa, menerima dengan penuh suka cita perlakuan penuh romansa suaminya itu dihari pertama pernikahan mereka.
******
Di dalam ruang kamar yang redup bercahayakan lampu meja berwarna emas ....
Tiara masih belum bergerak dari tidur telentangnya di atas ranjang sejak tadi ia ditidurkan oleh Alfa, merasai sekujur tubuhnya yang gugup dengan rasa dingin pada ujung jari tangan dan kakinya. Alfa berbaring miring di sebelahnya, menatap Tiara yang sama gugupnya dengan dirinya, mengelus rambut, dahi, dan pipi berulang-ulang. Jantungnya berdebar kencang. Ini malam pertama mereka.
“Tiara ….,” ucapnya parau sambil terus menatap lekat istrinya. Memandanginya tanpa henti seperti takut saja jika Tiara hilang dari pandangannya.
Tiara akhirnya tersenyum dan memiringkan tubuhnya kemudian melakukan hal yang sama dengan Alfa. Ia menangkup kedua pipi Alfa dengan tangannya dan berkata, “Aku mencintaimu Alfa. Terima kasih telah memilihku. Aku bukan yang sempurna seperti yang kau harapkan, tetapi, aku berjanji, aku akan menyempurnakan apa yang belum sempurna di hidupmu. Aku akan berusaha menjadi istri yang baik.”
Alfa tersenyum mendengar kalimat penuh makna istrinya itu, kemudian menggenggam tangan Tiara yang masih menempel di pipinya dan mencium jemarinya sembari memejamkan mata sejenak dan terbuka kembali untuk menatap kembali wanitanya. “Aku sudah memilih wanita yang paling tepat untuk hidupku.”
Dengan gerakan perlahan, Alfa mulai menempatkan tangannya di leher Tiara. Menyibakkan rambut-rambut kecil yang menutupinya. Memeluk dengan mesra dan menempatkan kepalanya di antara pundak dan leher istrinya. Lelaki itu mengembuskan napasnya yang semakin memanas di sana. Menunjukkan dengan jelas apa yang diinginkannya. Dengan tergesa, Alfa menjauhkan kepalanya dan mendekatkan bibirnya untuk mencium bibir istrinya, sebelum kemudian mendadak Tiara mendorongkan kedua tangan pada dada suaminya untuk memberi jarak.
“Eh ... ehm….” Wanita itu mendeham keras demi keadaan canggung yang tengah melingkupinya. Sontak Alfa sedikit terperanjat menerima sikap istrinya itu yang seakan menolak sentuhannya.
“Kau … kau mau apa?” Tiara malah bertanya dengan polosnya yang tentu saja membuat Alfa mengerutkan kening.
“Aku … aku tak bisa…." Tiara kemudian kembali berbaring dengan telentang.
“Maksudku … ehm ... mungkin … kau harus bersabar beberapa hari lagi.” Tiara tak berani menatap suaminya dan menautkan kedua tangannya di depan dada mengusir kegugupan yang terus saja melandanya. Alfa melebarkan mata dan mengangkat alis dengan penuh keterkejutan dan tanya.
“Ah, aku tak bisa Alfa. Aku sedang … eh, aku sedang merah.” Tiara akhirnya memenuhi mulutnya dengan udara hingga menggembung dan mengembuskan napas panjang, merasa lega dan malu. Perempuan itu pun segera menoleh ke arah suaminya yang tengah menutup mukanya dengan telapak tangan.
“Oh.” Alfa akhirnya berbaring pula dan mencoba merilekskan tubuhnya yang sedikit kaku karena kejutan yang tak terduga itu.
“Oh ... astaga Tiara. Aku benar-benar terkejut," erangnya. “Terima kasih. Ini juga merupakan kejutan untukku,” ucapnya dengan senyum penuh ironi, kemudian terduduk dengan lesu.
Tiara menutupkan mulutnya dengan tangan, tertawa geli dalam suaranya yang tertahan, menyaksikan betapa frustrasinya suaminya itu di malam pertama mereka.
******
Malam semakin bergulir menuju puncaknya. Setelah adegan malam pertama yang gagal, Alfa akhirnya memutuskan untuk menenangkan diri dengan berada lama sekali di kamar mandi. Tiara yang merasa tak enak akhirnya memutuskan untuk melihat-lihat isi bangunan tempat tinggalnya.
Rumah ini memang tidaklah besar, hanya rumah satu lantai. Namun, dengan struktur tanah yang bertingkat. Area depan gerbang merupakan tempat terendah, disusul garasi rumah dan area ruang tamu yang berada sedikit di atasnya. Area belakang menjadi area tertinggi dengan separuh ruangan terbuka. Memperlihatkan kursi-kursi yang ditata menjadi ruang santai oleh pemiliknya.
Ia tidak menyangka, kesibukan Alfa di hari-hari menjelang pernikahannya ternyata diisi dengan mengerahkan semua kemampuannya untuk merekonstruksi rumah ini. Rumah yang mewakili Alfa di semua areanya.
Lampu kelap-kelip mendadak menyala di sepanjang pagar kayu yang melingkup teras belakang rumah ini di tengah lamunan Tiara. Wanita itu memundurkan langkahnya dengan sedikit terkejut.
“Kau suka?” Alfa memeluk dari arah belakang.
“Ya. Aku selalu suka apa yang kau suka.” Tiara menoleh sebentar ke arahnya dan senyum puas tersungging di sana.
“Mari tidur. Tak baik malam-malam begini ada di luar rumah.” Alfa melepas pelukannya. “Ah ya, ada baiknya aku tak menyentuhmu sebelum aku benar-benar lepas kendali.” Alfa terlihat membalikkan badan dan meninggalkannya seorang diri sambil mengumpat-umpat yang membuat sekali lagi, Tiara tak henti-hentinya menahan tawa.
Terbangun di pagi buta berkat dering ponsel yang memekakkan telinga, Alfa terduduk paksa dengan mata sayu. Sepertinya, Tiara tampak kelelahan karena sama sekali tak terusik oleh bunyi keras yang mendering berkat panggilan telepon di ponsel miliknya. Tubuh wanita itu masih diam tak bergerak.
Dengan malas, Alfa menggeser tombol hijau di ponselnya lalu menyapa singkat, "Ya?"
Suara jernih yang terdengar menjawab lirih di seberang telepon itu menjawab dengan suara datar. Namun, sukses membuat Alfa membelalakkan mata karena terkejut.
"Apa? Pagi buta seperti ini? Oh, konyol sekali kau." Lelaki itu sedikit menengok ke arah istrinya karena tanpa sadar telah berkata dengan nada tinggi.
Alfa mendecak setelah memutus telepon, karena merasa terusik akibat rasa kantuk yang masih melanda. Laki-laki itu akhirnya turun dari tempat tidur, melangkah menuju wastafel di kamar mandi dan berusaha mengusir rasa malas dengan mengusapkan air dingin yang keluar dari keran ke wajahnya, lalu berjalan gontai menuju arah depan rumah.
******
Keluar dari pintu utama, Alfa langsung melihat keberadaan Davian yang sedang menunggunya, bersandar di pintu pagar besi miliknya dan langsung tersenyum puas melihat Alfa benar-benar terganggu atas kedatangannya pagi ini.
"Bagaimana bulan madumu? Enak?" Tanyanya tanpa rasa berdosa sembari mengangsurkan tas kamera ke arahnya.
Sebelah alis Alfa langsung terangkat mendengar pertanyaan yang tak terduga itu bakal meluncur pertama kali.
Tak mungkin ia akan mengatakan tentang malam pertama yang gagal beberapa hari lalu itu bukan? Ah, sungguh ia tak mau lagi mengingat malam pertama memalukan, di mana ia sungguh sudah sangat berhasrat sementara keinginannya harus kandas begitu saja di tengah jalan karena Tiara yang tengah berhalangan. Tak sempat terlintas dalam pikirannya tentang hal seperti itu, karena Alfa benar-benar telah membayangkan bagaimana malam penuh suka cita nan bergelora akan menghiasi malam pertamanya itu.
Sambil mengatur nafas, Alfa akhirnya berusaha untuk berbicara dengan lancar agar tak terlihat gusar, lalu mengambil dengan gerakan setengah merebut, atas tas yang telah ada di depannya.
"Menikahlah segera, maka kau akan tahu sendiri rasanya." Alfa menatap dengan senyum paling sinis yang ia bisa dan langsung berbalik melangkahkan kaki ke area teras rumah setelah menerima kamera dari tangan Davian.
"Hei! Aku tak disuruh masuk terlebih dahulu?" Protesnya dengan sedikit berteriak karena Alfa sepertinya sama sekali tak punya niatan untuk membukakan gerbang dan mempersilakannya masuk.
"Maaf Alfa, aku tak bisa singgah, aku harus segera pergi agar tak tertinggal jadwal penerbangan pesawat. Harusnya kau berkata demikian." Alfa membalikkan badan sejenak sambil mencandai sahabatnya itu, yang hanya ditanggapi oleh Davian dengan geleng-geleng kepala.
Impas. Alfa telah berhasil mencandainya balik dengan kalimat pengusiran yang nyata pada kata-katanya. Tetapi, Davian memang sedang tidak berbohong, ia harus pergi ke luar kota pada pagi berembun yang belum tersentuh sama sekali oleh cahaya itu. Ia berniat untuk memberikan kamera Alfa yang pada hari resepsi itu dibawanya untuk mengambil foto, sebelum kepergiannya ini memakan waktu hingga berhari-hari dan membuat sahabatnya itu terlalu lama menunggu.
"Ya sudah, aku pamit, jangan lupa kau ceritakan pengalamanmu itu saat kita bertemu di studio nanti ya," sambungnya ceria dengan melambaikan sebelah tangannya dan langsung beranjak dari depan gerbang, memakai helm, lalu melesat jauh ke tengah keramaian jalanan yang terurai.
Alfa hanya meringis penuh kegetiran yang tampak di wajahnya, jika saja Davian menatapnya dengan jelas.
******
Setelah meletakkan kamera DSLRnya dengan perlahan di atas meja di dalam kamar, Alfa lalu menarik kursi kerjanya dan memindah dengan penuh kehati-hatian, memory card kameranya ke dalam card reader laptop miliknya. Layar hitam mengedip perlahan, menandakan aktivitas cold booting di sana.
Tak perlu waktu lama, setelah sekian detik, muncullah foto-foto dirinya dan Tiara di acara resepsi pernikahan mereka. Dibukanya satu persatu dan diamatinya secara menyeluruh. Melihat dengan pandangan penuh penilaian pada gambar besar yang nampak di layarnya.
"Kau sudah bangun?" Tiara mendekat sambil mengucek matanya pelan. "Kau ... sudah mulai bekerja lagi?" Tanyanya kembali dengan ekspresi terkesiap begitu melihat Alfa yang tengah sibuk dengan laptopnya dan tak memperhatikan kedatangannya.
*Baik. Jadi inikah pembalasan untuknya karena malam pertama yang gagal? Bekerja di hari cuti*?
Tiara berkacak pinggang dan berdiri menantang persis di depan meja.
Alfa lalu melambaikan tangannya, seolah baru menyadari kedatangan istrinya yang tak sempat ia perhatikan itu.
"Lihatlah ...." Alfa melihat sekilas ke arah Tiara dan menunjuk layar laptop.
Pertanyaan Tiara tak terjawab namun tak urung, dengan wajah dongkol, ia mendekat dengan segera.
"Huh, kau masih saja tak bisa memecah konsentrasi saat bekerja dan diajak berbicara," sungutnya lalu berjalan memutari meja dan pandangannya langsung bertemu dengan foto-foto yang ditampilkan di layar tipis itu.
"Itu foto-foto pernikahan kita?" Tiara tampak takjub.
"Ya, aku sungguh menyesal. Seharusnya aku sendiri yang mengambil foto resepsi kita. Aku benar-benar kecewa, ada banyak sekali sudut foto yang sangat pas sehingga membuatmu tampak sangat cantik." Alfa menjauhkan tubuhnya ke belakang dan bersedekap. "Padahal aku ingin kau terlihat cantik saat hanya ada aku saja yang menatapmu, dan aku yang akan mengambil fotomu sepuasnya," ujarnya dengan seringaian yang menggoda.
Tiara menolehkan polatan matanya ke arah Alfa dengan mulut menguncir ke depan diikuti Alfa yang mengeluarkan senyum tertahan.
"Lalu? Aku bersanding dengan siapa di pelaminan kalau kau terus berduaan dengan kameramu itu?" Nada mencela mulai muncul. "Dengan fotomu?" Tanyanya lagi dengan ekspresi mengejek.
Alfa hanya menjawab dengan terbahak melihat dengusan kesal Tiara yang terlihat manis di matanya itu.
Sesaat kemudian, dering ponsel mendadak bergema, memutus tawa Alfa sejenak. Setelah mengetahui dengan pasti siapa peneleponnya, lelaki itu langsung berbicara tanpa basa-basi lagi, "Sudah rindu padaku lagi huh?" Tanyanya dengan nada kesal yang dibuat-buat.
Tiara menoleh dan menyimak dengan saksama perubahan mimik wajah suaminya. Alfa melebarkan mata, mengerutkan kening, lalu mengembuskan napas panjang, menatap ke arah depan menerawang, menatap Tiara, menoleh lagi, begitu seterusnya sambil terus menempelkan ponsel di telinga kirinya, seakan lawan bicaranya itu tengah memberikan informasi yang membuat laki-laki itu berpikir keras. Semua ekspresi Alfa terekam jelas di mata Tiara membuat wanita itu bertanya-tanya.
"Ya. Iya oke, segera," ujarnya menutup pembicaraan lalu berdiri di depan istrinya, tersenyum masam dan meraih kedua tangan Tiara dalam genggaman.
“Aku butuh pendapatmu.” Alfa mengerutkan kening. Kecemasan mendadak mendominasi wajahnya.
“Tentang?” Tiara mengayun-ayunkan kedua tangannya yang saling bertautan dengan kedua tangan Alfa.
“Dony menyuruhku ikut serta melakukan sesi fotografi ke luar pulau. Ada bos perusahaan yang bekerja sama dengan tempatku bekerja dan ia menyuruhku yang menanganinya. Pemotretan untuk model produk," urainya.
“Oh ... lantas apa yang perlu kau pertimbangkan denganku?” Tiara bertanya dengan tersenyum.
“Jatah cutiku masih 7 hari lagi dan aku harus pergi besok, padahal di waktu-waktu ini aku benar-benar ingin berkonsentrasi untuk berkembang biak.” Raut muka Alfa berubah santai namun dipenuhi kekecewaan.
Tiara terkekeh dan mencubit hidung suaminya dengan gemas.
“Kau tahu Tiara? Aku sangat kesepian karena tak punya saudara kandung. Hidup dengan kedua orang tua membuatku cepat tua, mereka hanya membuatku terus berpikir dan bekerja. Aku ingin sekali punya banyak anak darimu," godanya.
Ekspresi Tiara yang semula santai menjadi sedikit tegang. Entah kenapa kata-kata terakhir Alfa mengusik jiwanya. Menyemburkan kehangatan yang membuat hatinya berbunga-bunga.
Mempunyai anak? Menjadi ibu?
Sungguhlah tentu Tiara sangat ingin segera mengandung dan melahirkan bayi mungil untuk Alfa, mendengar suara celoteh anak kecil yang menjadi buah cintanya, berbahagia menatap rumah yang berantakan karena ulah anaknya, tetapi, membuat hatinya senang karena mereka tumbuh sehat.
Kedua tangan yang semula saling bertautan itu terlepas. Tiara menyentuhkan telapak tangannya ke dada bidang suami di hadapannya.
“Aku sudah tidak sabar untuk mewujudkannya.” Bola mata Tiara menatap lekat kedua mata Alfa. “Pergilah. Aku tidak keberatan. Kau harus bekerja keras agar besok anak-anakmu bangga padamu. Memiliki seorang ayah yang sangat menyayangi keluarganya," ucap wanita itu lembut.
Alfa akhirnya menegakkan badan, menipiskan bibir untuk berusaha sekuat tenaga, melawan kebimbangan yang mendera. Namun tak lama, akhirnya anggukan tipis muncul di sana.
“Aku sungguh berat meninggalkanmu saat ini, tapi, ya … kalau kau setuju aku akan berangkat," ujarnya dengan yakin untuk memantapkan dirinya sendiri.
“Ya. Aku akan di rumah menunggumu pulang.” Tiara mengangguk-angguk menyetujui pikirannya sendiri.
“Kau boleh melakukan apa saja dan pergi kemana saja jika membutuhkan teman, asal kau tak membuatku cemburu.”
“Hm ... cemburu? Misalnya?” Bahu Tiara terguncang dengan kekehan, merasa geli dengan pernyataan Alfa.
“Terlalu larut dengan aktivitasmu sampai lupa padaku," jawabnya dengan tajam. "Kau harus selalu memberiku kabar, agar aku pun tahu bahwa kau baik-baik saja," harapnya dengan penuh kesungguhan.
“Ya. Baik. Aku tahu itu." Tiara tersenyum dan melepaskan kedua tangannya yang sedari tadi menempel pada dada suaminya itu. "Aku mandi dulu.” Tiara membalikkan badan begitu saja, hendak berjalan cepat menuju pintu ruang mandi … dan ... gagal. Alfa mengisyaratkan ketidaksetujuan dengan mencekal pergelangan tangan istrinya. Tiara sedikit memiringkan kepala sebagai pertanyaan.
Apa?
“Aku tak bisa menahan lagi Tiara.” Tangan kanan Alfa terangkat dengan lima jari terbuka. Wanita itu memandang sekilas ke arah tangan suaminya, memandang Alfa lagi dan mengangkat alis seolah bertanya lagi.
Apa maksudnya?
“Lima Tiara. Aku ingin punya lima orang anak," ucapnya sembari menyibakkan rambut istrinya ke belakang telinga.
“Apa?!” Tiara membelalak.
Tanpa menunggu lagi, lelaki itu mendorong tubuh Tiara ke belakang, membentur tepian ranjang hingga membuat wanitanya terbaring di sana, memulai pagi dengan aktivitas tiga malam lalu yang tertunda ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!