Antara bahagia dan tidak, besok aku akan memiliki seorang ayah baru. Setelah sembilan tahun lamanya aku tidak merasakan bagaimana rasanya memiliki seorang ayah.
Rindu. Aku ingin ada yang melindungi di saat aku merasa takut dari berbagai hal. Aku ingin ada yang mendukungku saat aku merasa terpuruk dan putus asa. Namun, aku sendiri tidak tahu akankah itu semua aku dapatkan dari ayah tiriku nanti?
Sodara yang paling jauh pun datang. Dari Jawa timur dan yang dari Kalimantan. Mereka semua berkumpul untuk menyaksikan pernikahan Mama. Sudah tiga hari ini rumahku begitu ramai. Kamarku berubah menjadi markas para gadis. Semula yang tertata rapi, kini menjadi seperti kapal pecah.
Aku benci itu.
Gelak tawa terdengar begitu bising. Mereka berbasa-basi, mengobrolkan sesuatu yang tidak ada lucu-lucunya sama sekali. Lalu apa yang membuat mereka tertawa begitu renyah?
Dasar emak-emak rempong!
Lebih baik aku menatap Suga dan kawan-kawannya. Setidak-tidaknya itu memberikan aku bahagia meski aku sadar itu hanya halu semata. Paling tidak, wajah Suga membuatku merasa rileks.
"Kenapa ada manusia setampan Yoongi? Good!"
Aku senyum-senyum sendiri melihat dia bernyanyi dan menari. Matanya yang sipit dan wajahnya yang imut itu selalu berhasil membuat level kebahagiaanku meningkat.
Ceklek!
Aku melirik sekilas saat pintu kamar terbuka. Memastikan siapa yang masuk. Ternyata Reni. Dia anak bibiku. Umurnya beda lima tahun denganku. Dia sudah menjadi mahasiswa hukum saat ini.
"Ngapain Lo di sini? Keluar gih."
"Moh!"
Reni duduk di sampingku. Dia mencondongkan wajahnya ke laptop untuk melihat apa yang sedang aku tonton.
"Ya ampun, para cowok lipstik diliatin. Gak geli?"
"Jangan gitu. Malu loh kalau nanti jadi army lewat jalur karma."
"Hmm! ngadi-ngadi."
"Belum tau aja gimana lucu dan absurdnya kelakuan mereka. Kalau udah lihat mah, ketagihan tau. Sok aja."
"Ogah!"
"Ya udah. Kalau sampai jadi army, awas aja! Gue denda Lo!"
Reni tidak memperdulikan. Dia mengganti pakaiannya dan langsung tidur di sampingku. Sementara aku masih asik menatap layar laptop. Saat Suga menatap tajam, aku merasa dia menatapku. Aiiihhh, tolooong.
*
Rasanya baru tadi aku menutup mata, sekarang aku harus terbangun karena dibangunkan paksa. Aku harus segera mandi lalu berdandan cantik. Meski mata masih terasa berat, mau tidak mau aku harus tetap bangun.
Hari ini adalah hari spesialnya Mama. Aku tidak boleh merusaknya.
Aku masuk ke kamar Mama. Di sana dia sudah selesai di dandani. Sederhana saja. Hanya riasan wajah flawless, rambut disanggul kecil, ada hiasan crown cantik di atasnya dengan balutan kebaya silver yang sederhana tapi mewah dan elegan.
Kecantikan itu bukan dari apa yang dia pakai, atau riasan wajah yang menghiasi. Tapi dari auranya sendiri. Mama terlihat sangat bahagia. Senyuman tidak pernah hilang dari wajahnya. Binar mata itu begitu kentara memancarkan kebahagiaan.
Sesekali dia mengecek riasan wajahnya di cermin. Memastikan detailnya. Hingga matanya bertemu dengan mataku di cermin besar itu. Dia segera berbalik. Masih dengan senyuman bahagianya.
"Ma ...." Aku mendekat. Mama langsing menyambut dengan pelukan. Dia mengusap punggungku lembut dan penuh kehangatan.
"Mama bahagia?" tanyaku masih dalam dekapan.
"Iya, Nak. Kamu?"
"Hmm. Me too."
Pelukan kami terurai. Aku menatap matanya yang terlihat sedikit berembun. Ada haru di sana. Di sorot matanya. Pun denganku.
"Please, don't cry, Mam. Nanti make-up nya luntur." Aku tertawa meski sedikit serak karena menahan tangis.
"Ya kali make-up nya murahan bisa luntur."
Kami berdua tertawa. Benar, tidak mungkin make-up Mama luntur. Secara MUA yang disewa Om Indra, calon ayahku, adalah MUA terkenal dan mahal.
Om Indra memang sangat baik. Entah itu pada Mama ataupun padaku. Kami pernah beberapa kali jalan bersama. Dia juga pernah menjemput ke sekolah dan mengajakku jalan-jalan ke mall.
Bagiku, itu sudah cukup membuktikan kalau Om Indra tidak hanya sayang pada Mama, tapi juga padaku.
*
Akad nikah berjalan dengan lancar. Mama keluar dari kamar setelah dia sah menjadi istri Om Indra. Pernikahan digelar secara sederhana. Hanya ada keluarga dan sahabat saja yang datang. Malu katanya. Mungkin karena mereka sudah bukan pengantin muda lagi.
Mama menggenggam tanganku erat saat kami berjalan keluar. Bukan hanya aku yang mendampingi Mama. Ada sepupu yang lainnya juga ikut serta menemani.
Di belakang rumah yang memang cukup luas, acara pernikahan di gelar. Meja ijab kabul ada di paling depan. Sementara meja dan kursi para tamu berbaris rapi di belakangnya.
Bentangan karpet merah kami injak. Berada di tengah-tengah barisan kursi para tamu undangan yang ada. Semuanya bernuansa putih kecuali pakaian kami yang berwana silver. Sementara laki-laki memakai batik mega mendung. Baik dari pihak Mama ataupun pihak Om Indra.
Semua mata tertuju pada kami. Itu membuat aku merasakan gugup juga. Seperti Mama mungkin.
Mama duduk di kursi yang ada di sebelah Om Indra. Dia harus menandatangani surat nikah dan berkas-berkas lainnya.
Aku duduk di kursi yang kosong. Tepat di belakang Mama dan Om Indra. Mungkin sudah saatnya aku panggil dia Papa.
"Kamu anaknya Tante Rina, kan?"
Seseorang yang duduk si sebelahku bertanya setengah berbisik. Aku menoleh.
Seorang pria muda tengah menatapku dengan tangan menyilang di dada. Kesan pertama yang aku dapatkan adalah ... tampan.
Sesaat aku bengong dibuatnya.
Alis laki-laki itu terangkat. Membuat aku segera sadar.
Aku mengangguk. Segera memalingkan wajah agar gugup itu tidak terlihat olehnya.
"Gue kakak tiri Lu."
"What?" Aku memekik kaget. Dengan suara lantang. Orang-orang menatap padaku termasuk Mama dan Papa yang langsung menoleh.
Aku tersenyum malu dan menganggukkan kepala pada mereka.
Dia yang menyebutkan dirinya sebagai kakak tiriku itu tampak tenang. Sementara aku masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar barusan. Memang, aku tahu kalau Om Indra punya anak cowok, tapi tidak pernah aku duga anaknya seganteng ini.
Sadar, woiii!
"Lo kenapa, sih?" bisik Lala, sepupuku. Aku menggelengkan kepala cepat.
Acara selanjutnya adalah sesi pemotret. Para keluarga segera berebut antrian agar bisa berfoto bersama mempelai.
Lah, aku anaknya malah tersisihkan. Ngenes.
Perut berbunyi. Dia minta haknya padaku. Sejak membuka mata, aku memang belum memakan apa-apa. Hanya minum teh hangat sedikit.
Bete menunggu giliran foto, aku memutuskan untuk makan terlebih dahulu. Ada berbagai macam makanan tersedia. Dari mulai masakan Sunda, Chinese, western pun ada. Aku memilih mengambil sushi beberapa dan juga salad.
Sebenernya aku tergiur pada nasi timbel. Ada ikan asin dan lalapan juga, tapi aku takut perutku tidak bersahabat jika makan sambal. Terpaksa aku telan kembali ludah.
Terdengar MC memanggil namaku setelah beberapa potong sushi dan semangkuk salad masuk ke dalam perut. Sepertinya yang lain sudah selesai berfoto. Kini, giliranku.
Dengan lari kecil aku menghampiri pelaminan. Ada Mama, Papa, cowok tadi dan ....
Gusti, siapa lagi itu?
Ada dua orang cowok yang berdiri di samping Papa. Yang satunya aku tahu karena dia memperkenalkan diri tadi. Lalu, siapa yang satunya lagi?
Anjiiir, mana dia lebih cakep.
Aku berdiri di samping Mama.
"Ok, ya. Siap. Satu, dua, tiga." Sang fotografer memberi aba-aba.
"Tolong ganti posisi. Anak laki-laki berdiri di samping pengantin wanita dan anak perempuan di samping pengantin pria."
Kami bergerak mengikuti arahan fotografer itu.
"Ok, sekarang giliran anak-anaknya saja yang berfoto. Yang perempuan di tengah-tengah, ya."
Mama dan Papa bergeser ke samping. Menjauh dariku dan dari dua orang cowok ini.
Entah kenapa aku merasa gugup sekali. Terutama saat cowok yang lebih tinggi itu bertemu tatap denganku. Tanganku berasa dingin malah.
Kami bertiga berdiri tegak.
"Ganti posisi lagi. Jangan kayak lagi upacara ya. Coba lebih rileks dan lebih terlihat akrab lagi."
Aku hanya diam kebingungan.
"Gimana?" tanyaku.
"Tolong itu yang laki-laki merangkul bahu adik perempuannya."
What?
Tangan cowok yang tadi memperkenalkan diri padaku, tanpa egan merangkul pundak ku. Kaget, aku langsing menoleh padanya.
"Lu nyender sana palanya." Dia menoyor kepalaku hingga menyandar pada lengan cowok yang satunya. Kembali aku kaget. Bersamaan dengan itu, flash berkilat.
"Bagus. Oke."
Aku segera turun begitu fotografer bilang ok.
Duh, pipiku panas.
...💞💞💞...
Hallo semuanya. Perkenalkan karya baru aku. Semoga kalian suka dengan cerita yang aku buat ya.
Jika suka, tolong berikan like dan komentar kalian ya. Plissss, plissss, plissss.
Acara pernikahan yang katanya simple itu ternyata sangat riweuh. Keluarga prik dan heboh memang tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Pesta dengan segala yang mendampinginya. Seperti: makanan, spot cantik, dan riasan wajah yang juga cantik. Semua dimanfaatkan untuk ber-pose ria.
Aku yakin, galeri ponsel mereka akan penuh dengan foto-foto selfi pernikahan orang tuaku.
Lah, aku malah gak pegang ponsel sama sekali. Ironis banget gaksiii
"Bilang ceeess!"
Tiba-tiba seseorang mendekatkan wajah pada wajahku. Entah kenapa tapi aku refleks mengikuti perintahnya. Jadilah kami berfoto dengan ekspresi ceria.
Menyebalkan!
"Ganggu aja."
"Lu kan gak lagi ngapa-ngapain. Gue ganggu Lu apanya?"
"Mager aku terganggu, woii!"
Dia hanya tersenyum dan melirikku sekilas, lalu kembali ke layar ponsel.
"Eh, btw ku namanya siapa?" tanyaku.
"Arzhan. Lu?"
"Liat aja di kartu keluarga," ucapku ketus. Aku segera berlalu meninggalkan dia yang tampak kesal.
Emang enak gue kerjain!
Aku mulai merasa lelah, jenuh itu mulai menguasai diri dan tidak bisa aku tahan lagi. Memilih pergi ke kamar ketimbang melihat pemandangan yang menurutku enggak, deh!
Menyibukkan diri dengan dunia sendiri. Melihat tujuh bujang yang selama ini menemani di setiap suka maupun duka. Entah kenapa, melihat mereka kebahagiaan itu tidak pernah jauh rasanya.
Tidak perduli apa kata orang. Bagiku mereka memberikan energi positif, dan pikiran yang positif. Selama ini, merekalah yang membuat aku bertahan. Bagaimana perjalanan mereka hingga mencapai puncak adalah motivasi diri menjalani hidup.
Kami berbeda agama, sodaraku sering bilang kalau aku hanya harus mengagumi warga lokal yang seiman, banyak artis Indonesia yang ganteng juga. Menurutku, mengagumi itu boleh kepada siapa saja, toh aku bukan ikut mengimani agamanya, tidak juga menirukan gaya hidup mereka. Selama itu positif, dari siapapun ya kita ambil.
Beberapa gadis mulai terdengar cekikikan sambil mengobrol. Semakin lama semakin jelas terdengar suaranya. Dan ....
Ceklek!
Pintu kamarku terbuka. Mereka masuk bergerombol sambil asik membicarakan sesuatu. Jika boleh aku menebak, itu pasti tentang seorang pria.
"Iksi, Lo ngapain malah dekem bae di kamar? itu di luar banyak cogan tau!"
Nah, kan! Bener dugaanku.
"Ada yang seganteng Min Yoongi, gak?"
"Itu lagi. Hei, Si. Gak ada manusia yang sama persis di dunia ini termasuk dengan Yoongi-mu itu."
"Itu artinya aku tidak akan tertarik."
"Lo belum lihat aja, Si. Coba, deh, keluar. Dia lagi duduk di dekat anggrek Lo."
Lala, Reni, Marsha, dan Leli terus mendesak ku agar melihat laki-laki ganteng versi mereka. Seganteng apa, sih?
Eh, kok penasaran?
"Anggrek aku dalam bahaya." Aku segera meninggalkan kamar dan turun menuju taman samping rumah. Di sana lah anggrek-anggrek kesayanganku berada.
Langkah kakiku terhenti saat melihat seseorang tengah duduk di bangku taman miniku. Aku terdiam beberapa saat. Bukan karena membenarkan bahwa dia tampan, yaaa, meski dia memang tampan. Aku akui itu.
"Sedang apa di sini?" Akhirnya aku melangkah mendekatinya. Dia menatap datar, lalu kembali menatap anggrek dan bunga lainnya.
"Ini tamanku. Tidak ada yang boleh duduk di sini kecuali keluarga."
"Ini hari pertama kita menjadi keluarga."
"Ya tapi ... tapi tetap saja, kita belum resmi menjadi keluarga."
"Apa kita juga harus melakukan ijab Qabul agar menjadi keluarga?"
What the ....
"Emang harus nikah dulu baru jadi keluarga?"
"Pertanyaan sama. Hanya beda kalimat saja."
Dia melewatiku begitu saja. Anehnya adalah meski taman ini mini tapi cukup luas untuk kami berdua. Dia tidak harus berjalan mepet hingga hidungku hampir menyentuh dadanya.
Kenapa juga jalannya harus miring? kenapa gak lurus aja coba?
Sejenak aku terkesima pada aroma tubuhnya yang ...
Allahu Akbar, wangi banget.
Dalam waktu yang bersamaan, sodara tiriku yang satu lagi melintas. Masih dengan ponsel di tangannya.
Ada apa dalam ponsel itu? apa dia menyimpan foto wanita seksi?
"Arzhan!" Aku berteriak, hingga pria wangi itupun menoleh. Sepertinya dia terkejut mendengar suaraku yang begitu keras.
Kini aku melewatinya. Wanginya kembali bisa aku hirup.
Ahhh, menyegarkan banget.
"Heh!" Aku menepuk pundak Arzhan. Barulah dia menoleh. "Lagi liat apa, sih? dipanggil sampe gak nengok gitu."
"Manggil?"
Aku menganggukkan kepala dengan mata sedikit melebar.
Arzhan nampak bingung. Tangannya menggaruk kepala yang sepertinya tidak gatal.
"Dia Fateeh. Aku Arzhan."
Suara itu tidak asing di telingaku, tapi aku begitu terkejut mendengarnya. Bukan karena suaranya, tapi karena isi kata-katanya.
Jadi, kakak tiriku ini menjahili aku, begitu? Astaga .... Arzhan! eh, bukan.
"Fateeeeh ...."
Suaraku yang begitu keras berhasil membuat Fateeh terbirit-birit.
Papa baru, Om Indra. Setelah menikah dia tinggal di rumah. Kini keluargaku sudah lengkap. Rasanya ada sesuatu yang berbeda saat kami makan malam maupun saat sarapan.
Senyuman Mama. Setiap pagi dia selalu tersenyum dengan wajah yang merona. Tubuh yang wangi dan baju yang rapi. Meski entah kenapa rambut dia selalu basah.
Ada yang bisa jelaskan? Apa tidak bosan setiap pagi harus keramas?
Saat berangkat sekolah, Papa mengantarku. Sementara Mama mengantarkan sampai depan rumah.
Suasana baru pun terjadi saat pertama kali aku ke sekolah diantar Papa Indra. Apalagi kalau bukan karena aku diantar pakai mobil. Bukan sembarang mobil tentu saja. Katanya, sih, mobil ini adalah mobil mewah dan mahal.
Perubahan drastis terjadi setelah beberapa lama aku dijuluki sebagai anak sultan. Ya, teman-teman berebut ingin dekat denganku. Aku seperti permen tanpa bungkus yang digerumuti semut.
Mungkin aku haru menjadi permen rasa bon cabe. Iya gak?
Nikmati saja. Dulu mereka yang menjauh dariku karena aku tidak memiliki seorang bapak, kini tanpa rasa malu berbaik-baik dan bersikap semanis mungkin padaku.
Pemanis buatan, sih, lewat!
Saat ini, pernikahan Mama dan Papa Indra sudah hampir dua bulan. Hidup kami berjalan normal. Aku dan Mama bahagia. Papa Indra baik dan memperlakukan Mama seperti ratu. Aku sangat bersyukur.
Bel kepulangan sekolah pun berbunyi, aku dan teman-teman yang lain bersiap, membereskan buku sebelum memulai berdoa.
"Sebelum pulang marilah kita berdoa sesuai agama masing-masing. Berdoa mulai." Ketua kelas memimpin kami berdoa.
"Berdoa selesai. Beri salam."
Kami kompak memberikan salam setelah itu mengucap selamat siang untuk manusia baik yang dijuluki sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.
"Kenapa malah tidur?" tanya temanku, teman yang benar-benar teman. Hilda namanya.
"Papa bilang hari ini akan menjemput tapi agak telat."
"Oh, mau aku temenin atau ...."
"Di sini saja. Nanti aku anter pulang sekalian."
Hilda begitu senang. Itu jelas terlihat dari gerak tubuh dan raut wajahnya. Ini bukan pertama kalinya dia ikut naik mobil dan diantar sampai rumahnya. Hilda senang karena sebelum pulang, Papa mengajak kami ke mini market. Hilda diperbolehkan mengambil apapun yang dia mau.
Mungkin karena itulah kali ini dia begitu bahagia.
Saat suasana terasa sunyi, tiba-tiba terdengar derap langkah yang sepertinya tidak hanya satu kaki.
"Si! Iksia."
Amel teman sekelasku dan kawan-kawannya berlari menghampiri kursi.
"Kalian kenapa? dikejar setan?" tanya Hilda.
"Bukan." Amel menggelengkan kepala. Dia masih ngos-ngosan. Jika dilihat dari wajahnya, dia pasti bukan dikejar hantu.
Masa iya dikejar hantu wajahnya sumringah gitu? Hantu apaan coba?
"Ada cowok ganteng nunggu kamu, Si."
"Iya bener. Itu siapa? ya ampun, udah kayak oppa Korea."
"Oppa Korea yang ganteng cuma Min Yoongi. Fix no debat." Aku kembali merebahkan badan di atas meja setelah menjelaskan siapa pria tertampan di Korea pada Amel cs.
"Katanya dia kakak kamu."
Apa?
Aku hanya tidak bisa sit-up, mendadak lancar. Bangun begitu saja dengan posisi yang sempurna.
"Siapa namanya? Fateeh kan? Pasti dia."
Amel menggelengkan kepala.
Oemegot! Jangan bilang itu ....
"Betah di sini?"
Suara itu?
Aku dan juga semua orang yang ada di sini kompak melihat ke arah pintu. Aku dan Amel yang selama ini sering berantem dan bertentangan pendapat, mendadak kompak mengalahkan gerakan Bangtan lagi dance.
"Ayo pulang."
"Gak mau. Aku nunggu papa."
"Papa gak bisa jemput."
"Ya udah, aku naik angkot aja."
"Oke. Kamu ngomong sendiri nanti sama papa, kalau ini semua keinginan kamu."
Eh, dia beneran pergi dong. Ih, dasar cowok gak peka! Gak pengertian!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!