NovelToon NovelToon

Who Am I

Sunyi

Sebuah gundukan dedaunan terlihat bergerak. Sebuah tangan perlahan muncul dari bawah dedaunan kering itu. Perlahan pergerakan besar lain terjadi, sebuah punggung muncul diikuti sebuah kepala. Setelah keseluruhan tubuh itu terduduk, barulah kita bisa melihat sosok pria dengan rambut ikal menutupi telinga dan matanya.

Pria itu menoleh kiri dan kanan. Telinganya bergerak seperti seekor kucing saat menanggapi suara yang masuk ke rungunya. Bola matanya yang semula coklat gelap perlahan menjadi terang dan berubah keemasan.

Pria itu terlihat kebingungan. Dia berusaha berdiri namun kakinya terasa kaku. Perlahan dia menggerakkan jari-jarinya. Semakin lama dia semakin bisa merasakan dedaunan yang menyentuh kulit kakinya. Ketika mencoba bangun lagi, dia sudah bisa berdiri.

Mata emasnya perlahan berubah kembali menjadi coklat gelap. Dia memperhatikan seluruh tubuhnya yang diselimuti oleh tanah dan debu. Menepuk-nepuk pinggangnya, sebagian debu beterbangan dan ada kepingan tanah yang jatuh dari sekujur tubuhnya.

Daun telinganya kembali bergerak. Sayup-sayup dia mendengar ada suara-suara yang mendekat. Insting melindungi diri bekerja dengan cepat, dengan cara mengendap-endap, dia mendekati arah suara.

Pria itu berdiri di balik sebuah pohon tua yang telah mati. Dedaunan yang dipijaknya menghasilkan suara, namun tidak cukup keras untuk bisa di dengar oleh dua orang yang sedang berbicara di sebuah jalan setapak.

Dua pria itu berjalan menjauh. Mereka memakai pakaian pelindung dan masker oksigen. Pria ini mengikutinya. Mengendap-endap seperti harimau yang mengincar mangsa.

Dia tiba di depan bangunan yang sudah porak-poranda. Terdapat dua mobil yang terparkir. Ada satu motor yang tergeletak, tumbang. Dipenuhi debu dan dedaunan. Tampaknya sudah cukup lama dibiarkan.

Dua pria itu masuk ke dalam mobil. Meninggalkan mobil lain begitu saja. Pria itu melangkahkan kakinya pada bangunan itu. Bangunan yang hanya tinggal dinding dan setengah atap yang masih utuh.

Tidak ada yang bisa ia temukan selain barang-barang rusak. Kabel-kabel bekas terbakar dan mesin-mesin hangus yang telah lama ditinggalkan. Dia masuk ke dalam satu-satunya ruangan yang masih utuh karena dindingnya yang terbuat dari besi.

Pria itu menemukan kertas-kertas berserakan dan setengahnya telah terbakar. Di lantai, ada satu foto yang berada di sudut. Terhimpit oleh kaki dari meja besi. Dengan mudah ia mengangkat meja itu dan mengambil foto tersebut.

Pupilnya melebar dan menjadi coklat terang. Foto itu terdiri dari sekumpulan orang. Salah satunya adalah dirinya sendiri. Dia ada ditengah-tengah, duduk di kursi sementara yang lain berdiri dibelakangnya. Dia membalik foto itu dan menemukan satu kalimat.

Ilmu pengetahuan tidak memiliki batasan

Pria itu keluar. Memeriksa mobil yang terparkir dan mencoba menyalakan mesin tampa kunci. Setelah berhasil, dia pergi dari sana mengikuti jalan yang tadi di lewati dua pria itu.

Jalan ini ternyata jalan tunggal. Dia menembus jalan raya setelah menempuh perjalanan selama dua puluh menit. Dengan tangannya yang kotor, wajah hitam karena tanah dan debu, dia melaju menyusuri jalan raya yang akhirnya dikenalinya. Untuk pertama kalinya, pria ini tahu dimana dia berada.

Dia berhenti pada pom bensin yang kosong dan sepertinya juga telah lama ditinggalkan. Memeriksa apakah masih ada bensin yang tersisa. Sayangnyanya dia tidak menemukannya. Mobil itu hampir kehabisan bahan bakar. Pria itu mau tidak mau melanjutkan perjalanan.

Dia melihat sebuah rumah di pinggir jalan dan berbelok ke sana. Seperti dugaannya, rumah ini juga kosong. Dengan menggunakan keahliannya, dia membuka kuci rumah itu menggunakan kawat yang ia temukan disekitar rumah, lalu masuk begitu saja.

Dia masuk ke dalam sebuah kamar dan melihat apakah persediaan airnya bisa ia gunakan untuk mandi. Sayangnya, air di dalam bak mandi sangat kotor. Air dari kran juga tidak keluar.

Dia mengitari seisi rumah dan menemukan sebuah genset model lama. Dia memeriksa minyaknya dan bersyukur masih penuh. Dengan cepat dia menyalakannya.

Setelah mandi, dia mengganti pakaiannya dengan pakaian pemilik rumah ini. Sebuah celana panjang dan baju kaus. Dia juga mengambil beberapa pakaian lain dan memasukkannya kedalam tas. Memeriksa penampilannya di cermin, saat itulah dia menjatuhkan tas ditangannya begitu saja.

Dia menatap pantulan dirinya dengan wajah syok luar biasa. Dia memeriksa telinganya yang mengalami perubahan bentuk. Rambut yang diketahuinya lurus berubah ikal dan bewarna coklat keemasan. Setelah ia perhatikan lagi, pupilnya juga berubah warna secara perlahan.

"Apa yang terjadi padaku?" tanyanya pada dirinya sendiri.

"Kenapa aku tidak bisa mengingat identitasku sendiri?" gumamnya lagi.

Dia terduduk di kasur dan memperhatikan tangannya. Kuku-kukunya memanjang dengan cepat seperti kuku harimau. Belum selesai keterkejutannya, kukunya kembali kebentuk semula dan memendek begitu saja.

Punggungnya juga terasa sakit, namun dia berusaha menekan rasa sakitnya. Hal yang tidak ia sadari, saat punggungnya sakit, sebuah tulang tumbuh dari sana dan perlahan masuk kembali.

"Aku tidak bisa pergi dengan keadaan seperti ini." gumamnya pada diri sendiri.

Dia berjalan keluar kamar. Pergi ke dapur dan menemukan roti basi. Kulkas yang sudah berisi makanan berjamur dan daging yang membusuk. Dengan kesal dia menghempaskan tutup pintu kulkas dan kembali keruang tamu.

Terdiam sambil berpikir. Dia kembali memperhatikan tangannya. Tidak ada perubahan seperti tadi. Semua terlihat normal. Namun saat dia kembali membayangkan kuku-kukunya yang tadi muncul, perlahan kuku-kukunya kembali memanjang dan meruncing dengan cepat.

Dia mengngkat tangannya dan memperhatikan kukunya dengan heran. Sepertinya dia memahami bagaimana itu terjadi. Otaknya dengan cepat mencerna dan mengendalikannya.

Ketika dia merasakan punggungnya sakit, pria itu berjalan kembali kedalam kamar. Membuka bajunya untuk memeriksa apakah ada luka karena terasa sangat pedih.

Alih-alih luka, dia melihat dari punggungnya, keluar tulang yang terus tumbuh disertai pertumbuhan bulu dengan sangat cepat. Seolah berlomba dengan pertumbuhan tulang itu sendiri. Semakin lama semakin bercabang dan melebar membentuk sayap. Karena semakin panjang, sayap itu menabrak dinding kamar dan tertekuk secara otomatis.

Pria itu menggigil dengan napas memburu, jantungnya berdebar kencang seolah dia telah berlari kencang tampa henti. Dia mencoba menjernihkan pikirannya. Mencoba melakukan hal yang sama seperti pada kuku-kukunya. Benar saja, ketika dia membuka mata. Bulu-bulu itu jatuh seperti debu dan hilang tertiup angin, tulang-tulangnya mengecil, memendek dan hilang disertai rasa ngilu yang luar biasa.

Perlahan dia jatuh berlutut. Dia merasa seluruh tenaganya terkuras habis, pria itu tersungkur dan jatuh pingsan di lantai yang dingin.

Kembali

Pria itu kehabisan bahan bakar. Sudah seminggu dia tinggal di rumah itu. Dia sudah bisa menggunakan sayapnya untuk terbang sehingga tidak membutuhkan mobil untuk bepergian.

Saat lapar, dia akan terbang menuju gunung dan berburu disana. Gunung itu cukup jauh. Kota lebih dekat dari jarak dia tinggal namun dia lebih memilih gunung. Hal itu disebabkan kemampuannya yang belum sempurna dalam mengendalikan diri. Emosi adalah biang masalah dari segalanya. Saat dia marah, kesal dan sedih, dia akan memunculkan perubahan yang tidak dia sadari.

Kakinya menapak di atas sebuah rumah kosong lain. Lebih besar dari rumah yang ia tempati saat ini. Daerah sekitar hutan mati tempat dia ditemukan memang tidak berpenghuni lagi. Seluruh orang tampaknya mengungsi karena sesuatu.

Pria itu menurunkan sayapnya, seperti sebelumnya, bulu sayapnya akan rontok dan menjadi hancur seperti debu ketika berpisah dari raganya. Tulangnya mengecil dan masuk secepat tiupan angin, kini dia hanya akan merasakan efek ngilu sesaat, tidak sakit apalagi kehabisan tenaga. Semakin dia sering menggunakannya, semakin cepat dia mampu mengendalikannya untuk tumbuh dan hilang dengan cepat.

Berjalan menuruni tangga, dia menemukan anjing mati di lantai dasar yang sudah menjadi tulang. Berbelok ke kanan, dia akhirnya menemukan garasi rumah itu. Sepertinya pemiliknya cukup kaya. Ada beberapa mobil sport tertinggal disana. Ada sebuah motor juga. Dia memeriksa tangki minyak masing-masing kendaraan dan bersyukur menemukan sumber bahan bakar yang cukup untuk menyalan listrik.

Dia akan segera terbang dari halaman rumah yang luas, namun daun telinganya bergerak diikuti rungunya yang menangkap suara helikopter. Secepat kilat dia berlindung di sudut rumah yang terlindung atap. Setelah helikopter itu lewat, dia baru terbang menuju rumah kembali.

Dia menyalakan televisi dan mencari informasi dari sana seperti biasa. Dengan tubuh masih bertelanjang dada, dia memulai latihannya lagi. Berolahraga dan meningkatkan kemampuan bela dirinya.

Dia hampir menyadari apa yang terjadi padanya setelah menonton TV selama beberapa hari ini. Tempat dia ditemukan, adalah hutan belantara dan dilindungi pada awalnya. Beberapa peneliti melakukan hal-hal ilegal disana dengan menggunakan nuklir. Menurut data yang di dapatkan, penelitian itu gagal dan memyebabkan musibah besar yang menewaskan seluruh orang di area terdekat. Seluruh tumbuhan dan hewan perlahan mati akibat terpapar.

.

Tepat dua minggu, pria ini memutuskan untuk membentuk identitas sementara karena dia harus mencari tahu identitas asli dirinya. Apa yang terjadi saat itu dan mencari tahu siapa saja orang-orang yang terlihat di foto itu. Dari media, dia hanya mendapatkan dugaan-dugaan sementara.

Pihak pemerintah masih menyelidiki dan belum menemukan siapa yang bertanggung jawab. Seluruh orang yang mati ditemukan dalam keadaan tidak bisa dikenali karena perubahan DNA dan daging mereka seperti meleleh terkena cairan asam, kulit mengelupas. Partikel radiasi memenuhi tubuh korban dan tidak bisa dibawa keluar dari area. Sehingga seluruhnya dikuburkan didalam hutan.

Pria itu terbang ditengah malam yang gelap gulita. Angin dingin yang menusuk kulit tidak berpengaruh padanya. Dia merentangkan sayapnya lebar lalu terbang menukik. Kuku-kuku kakinya memanjang dan dengan mudah dia menyambar ikan yang sedang naik ke permukaan.

Dia naik semakin tinggi dan menjatuhkan ikan yang terapit dikakinya. Sebelum ikan itu jatuh lagi ke air, dia menukik dengan cepat dan menyambarnya lagi. Kali ini dia menggunakan tangannya. Pupil matanya menjadi keemasan dan dia naik lagi ke atas.

Sebelah tangannya merogoh saku celana dan mengambil pisau. Dia mengiris daging ikan sambil terbang dan memakannya begitu saja. Sisanya ia buang dan jatuh kembali ke dalam lautan.

Dua jam terbang tampa henti, dia mendarat di atas pulau kecil tak berpenghuni. Dia duduk di atas sebuah batang kayu dan memulihkan tenaganya. Pertama kalinya dia terbang selama itu. Dia tahu dia sudah melewati perbatasan laut antar negara. Namun dia tidak yakin kearah negara mana ia pergi. Dia hanya mengikuti instingnya saja.

Dia menoleh ke arah timur, fajar hampir tiba dan dia tidak akan bisa menggunakan sayapnya di siang hari. Terlalu beresiko dilihat orang dengan segala teknologi yang ada.

Maka, dengan tekad yang kuat dia kembali terbang. Terus memasuki negara orang dan mendarat di sebuah padang rumput yang luas. Dengan cepat sayapnya hilang dan dia menggunakan kecepatannya untuk mendekati satu rumah disana.

"Pasangan tua," gumamnya setelah mengintip jendela kamar.

Dia masuk melalui pintu dapur dan memeriksa seluruh ruangan. Mencari-cari apakah dia memiliki anak atau tidak. Menyadari bahwa dia masuk ke dalam rumah yang benar, pria itu kembali keluar.

Dia duduk di atas lantai pintu masuk dan berpura-pura tidur disana. Seperti itulah dia mengelabui pemilik rumah. Saat keduanya keluar, mereka mendapati seorang anak muda yang tersesat dan kehilangan ingatannya. Baju usang dan tubuh yang sengaja dibuat kotor memicu belas kasihan mereka.

Dia sengaja meminta mereka untuk tidak memberitahu polisi dengan segala tipu daya yang ia lakukan. Mempengaruhi pasangan tua itu dengan kata-katanya yang tidak bisa mereka tolak.

Setelah dua bulan tinggal disana. Dia sudah memiliki identitas baru dari kedua orang tua itu. Dia di adopsi oleh mereka dan diberi nama Sean Abraham Lincon.

.

Sean berpura-pura kehilangan ingatan seluruhnya. Namun kemampuannya dalam belajar membuat siapa saja terperangah. Sean bahkan dimasukkan ke universitas ternama dengan perlakuan khusus. Dia dibantu oleh orang tua teman barunya di kota kecil itu untuk kuliah di tempat yang sama dengannya. Mereka bahkan tidak menyadari bahwa Sean bukanlah anak remaja karena perubahan fisiknya.

"Apa yang kamu pikirkan duduk di pinggir lapangan sendirian, Sean?"

Sean menoleh, mendapati dosen yang baru saja mengajarnya duduk di sampingnya. Dosen yang menaruh perhatian lebih pada Sean karena bakatnya. Dosennya ini juga bagian dari tim peneliti. Karena itu Sean sengaja mendekatinya.

"Saya dengar anda akan pergi ke negara Indonesia. Anda akan bergabung dengan tim disana, untuk menyelidiki apa yang terjadi pada desa yang dijuluki Chernobyl kedua. Apa itu benar Profesor Adam?"

"Kamu tahu dengan cepat, aku selalu bertanya-tanya seberapa jenius isi kepala ini?"

Sean tersenyum lebar. Dia membuka bungkus coklat dan memakannya. Dia menyodorkan sebagian pada dosennya itu namun dia menolaknya.

"Bolehkan saya ikut dengan anda?" tanya Sean tampa basa-basi.

Adam, laki-laki yang sudah menginjak kepala lima itu menatapnya untuk beberapa saat. Sean tahu Adam selalu melihatnya dengan sorot penuh kecurigaan. Sejak awal Sean menunjukkan bakat dan kemampuannya dibidang genetika. Sean juga terang-terangan menunjukkan kemampuannya di bidang teknik kimia. Sean baru saja kuliah selama 5 bulan namun langsung mengambil beberapa jurusan yang berbeda.

"Sean... Siapa kamu sebenarnya?" tanya Adam.

Sean berpura-pura tidak mengerti. Dia kembali memasang wajah polosnya. Adam seperti tersentak sesaat. Lalu dia tersenyum dan menepuk pundak Sean dengan pelan.

"Aku akan membawamu asal orang tuamu memberikan surat izin. Kamu baru tingkat awal namun karena keahlianmu, aku pikir Universitas akan memberikanmu izin untuk cuti sementara."

Sean memgangguk dengan penuh semangat. Dia segera memohon izin dengan raut senang. Memberi alasan akan memberi tahu orang tuanya.

Adam menatap punggung Sean. Senyumnya lenyap begitu saja. Dia membuka genggaman tangannya dan mendapati sehelai rambut Sean yang rontok di pundaknya.

Dengan cepat dia kembali menuju ruang laboratorium universitas dimana dia mengajar. Memasukkan rambut Sean kedalam sebuah plastik kaca dan menaruhnya dalam kotak sampel. Dia segera pergi menuju rumahnya. Dimana disana dia memiliki laboratorium miliknya pribadi. Dimana dia menyelidiki genetika hewan dan manusia. Melakukan percobaan-percobaan untuk dirinya sendiri.

Alasan mengapa dia mengambil rambut Sean berawal ketika mereka pertama kali bertemu. Malam ketika Sean baru saja memasuki bangku kuliah, dia mulai menjelajah kota ditengah malam. Tidak sengaja dia bertemu sekumpulan laki-laki mabuk. Mereka mencoba memgganggu Sean sehingga menyebabkan kemarahannya. Kuku-kuku Sean memanjang saat itu, matanya menjadi coklat terang dan dia melumpuhkan sekumpulan orang itu dengan sangat mudah.

Adam, sedang lewat sepulang dari rapat dengan tim peneliti. Dia hendak memasuki mobil ketika melihat Sean menghadapi sekumpulan orang. Saat itu memang sangat sepi, hampir dini hari. Dia hendak menolong namun terpaku di balik mobil ketika dibawah sorot cahaya lampu, Adam melihat kukunya yang tumbuh dengan cepat. Kecepatan Sean yang tidak masuk akal saat bergerak dan saat dia berbalik, Adam bisa melihat pupil matanya yang berubah keemasan.

Saat itu, Adam bahkan tidak berani bergerak sedikitpun. Dia bahkan menahan napasnya kala Sean melewatinya dalam jarak beberapa meter. Hal yang tidak disadari Adam saat itu adalah, bahwa Sean tahu kehadirannya. Tahu identitasnya dan dia memang sengaja memancing sekumpulan pria mabuk itu untuk menarik perhatian Adam.

.

Sean menatap dari jauh kedua orang tua angkat yang telah bersedia menampungnya selama ini. Meskipun semua hanyalah rekayasanya, Sean sudah mulai menyayangi mereka.

Kaki panjangnya melangkah menuju dua orang tua itu. Mereka sedang mengembalakan domba mereka. Keduanya sedang berdiskusi bagaimana cara merayakan ulang tahun Sean. Di dalam akta buatan mereka, Sean lahir pada 12 April, dua hari dari sekarang.

"Mom, Daddy."

Keduanya berbalik dan terkejut karena Sean tiba-tiba pulang tampa pemberitahuan. Mereka segera menghampirinya.

"Sayang, kenapa kamu ada disini? Bukankah kamu kuliah?" tanya ibunya.

"Aku ingin bicara."

Kedua orang tuanya bertukar pandang, ada raut kawatir di wajah keduanya. Hal yang Sean tahu alasannya. Namun dia tidak bisa menghibur mereka. Sean memiliki tujuannya sendiri.

Mereka kembali ke dalam rumah, berkumpul diruang tamu dengan posisi Sean diapit oleh keduanya.

"Izinkan aku ikut dengan Profesor Adam. Dia akan menjadi salah satu peneliti di Indonesia. Membantu menyelidiki penyebab dan dampak ledakan nuklir di sebuah desa."

Ibu angkatnya segera menggenggam tangannya dengan cemas. Dia menggeleng dengan raut sedih.

"Mom, aku ingin melakukan ini. Aku juga ingin mencari asal usulku. Aku memiliki DNA orang Asia. Bagaimana jika ternyata aku berasal dari sana. Aku hanya ingin memastikan. Aku akan segera kembali jika aku salah. Kalian akan tetap jadi orang tuaku."

Sean benar-benar pandai mengatur ekspresi wajahnya. Dia terlihat sama sedihnya. Semangat dan tekadnya ia tunjukkan sehingga orang tuanya mau tidak mau menyetujuinya.

"Terima kasih, aku juga ingin kalian merahasiakan tujuanku datang kesana dari Profesor Adam. Dia tidak akan menerimaku menjadi muridnya jika dia mengetahui tujuanku ini." pinta Sean dengan raut sedih.

"Kami mengerti nak, jangan bersedih. Kami selalu mendukungmu. Siapapun yang melakukan hal buruk padamu, membuangmu dan melukaimu, kami akan melindungimu dari mereka." ujar ibunya sambil memeluknya dengan erat.

"Terima kasih Mom, aku mencintai kalian."

"Kami juga mencintaimu, Son!" sahut ayahnya, memegang pundak Sean untuk memberikan dukungan.

.

Setelah pengurusan surat izin dari universitas, Sean berangkat bersama Adam. Dia juga di dampingi seorang asisten. Masih muda, jika pada umur sebenarnya, Sean pastinya lebih tua darinya, namun karena penampilan Sean yang sedikit berubah, dia terlihat lebih muda dari wanita itu.

Mereka terbang dari Australia dan mendarat di bandara pada tengah hari. Sean merasakan atmosfir yang telah lama ia rindukan. Dia merindukan musim di negara asalnya. Meskipun kehilangan sebagian ingatannya, tapi dia tidak melupakan kisah hidupnya hingga remaja.

"Aku dengar kamu mengalami amnesia, apa kamu benar-benar kehilangan seluruh ingatanmu?" tanya wanita itu.

Sean menoleh, mereka bahkan belum berkenalan, jadi Sean hanya mengabaikan pertanyaannya. Wanita itu tampak kesal, dia melirik Adam yang berjalan di belakang mereka.

"Profesor, apa dia memang menyebalkan seperti ini?" tanyanya.

Mereka berhenti di depan sebuah mobil dimana pengemudinya menyambut mereka dengan wajah senang. Seorang pria tua lainnya. Sean memberikan jabat tangan sebagai sapaan.

"Ayo masuk, kita akan langsung ke pusat penelitian." ujarnya.

Profesor duduk di depan bersama pria itu dan Sean duduk di belakang dengan asisten Adam.

"Aku Freya."

Wanita itu tiba-tiba mengulurkan tangan. Mau tidak mau Sean menjabatnya dan ikut memperkenalkan diri.

"Sean."

Jabat tangan terurai dan Sean kembali sibuk dengan pikirannya. Freya sendiri menatapnya dengan penuh kecurigaan. Sama seperti cara Adam menatapnya, namun Freya juga terlihat tertarik dan penasaran akan sosok Sean yang diceritakan Adam padanya. Apalagi, dialah yang menguji rambut Sean atas perintah Adam.

Kalung

Sean menempati satu kamar sendirian. Pemerintah setempat memberikan mereka tempat tinggal yang layak selama penelitian. Rumah itu cukup besar dan ditempati oleh beberapa orang.

Paginya, mereka telah bersiap menuju pangkalan militer. Disanalah pusat penelitian didirikan sementara. Mereka juga dijemput oleh mobil militer.

Sesampainya disana, mereka memasuki sebuah bangunan dan beberapa orang sudah menunggu. Profesor Adam menyuruh Sean dan Freya menunggu diluar sementara mereka akan mengadakan rapat.

Sean, dengan ketajaman pendengarannya, berdiri dengan tenang untuk mencuri dengar. Freya memperhatikan tingkah Sean. Bagaimana Sean berdiri dengan mata tertutup dan tangan terlipat. Punggungnya bersandar pada dinding.

Rasa penasaran membawa langkahnya berdiri di hadapan Sean. Mencoba menguji konsentrasi Sean dengan mengibaskan tangannya di depan wajahnya.

Sean mengutuk dalam hati, dengan sigap dia menangkap tangan Freya bersamaan dengan matanya yang terbuka.

"Jangan menggangguku." ucapnya dingin.

Freya meneguk ludahnya. Sean menjadi berbeda dan auranya berubah menyeramkan. Freya menarik tangannya dan berbalik untuk menjauh.

Sean kembali menutup matanya. Mengabaikan seluruh pandangan orang-orang yang tersisa disana. Termasuk Freya yang kembali diam-diam memperhatikannya.

Sementara itu, di dalam ruangan itu. Adam menatap list nama yang berhasil di dapatkan oleh intelejen beserta foto-foto mereka. Beberapa dari mereka adalah mantan muridnya. Karena itukah dia diminta untuk ikut menyelidiki apa yang coba sekelompok pemuda ini lakukan?

"Mr.Adam. Anda mengenal beberapa dari mereka, benar?" tanya kepala pasukan.

Dia adalah komandan pasukan yang ditugaskan untuk menyelidiki kasus ini. Seorang pria berusia empat puluh tahun bernama Anton. Bahasa inggrisnya cukup bagus meskipun terdengar masih kaku.

"Tiga diantara mereka."

"Apa anda pernah tahu mereka terlibat dengan kelompok tertentu?"

"Tidak."

Semua orang saling bertukar pandang. Adam menatap Anton yang tampak menyimpan keraguan atas pernyataannya. Adam memilih abai untuk saat ini. Dia lebih perduli pada identitas lainnya.

"Bisakah aku tahu latar belakang 7 orang lainnya?"

"Tentu, aku akan mengirim data mereka pada Anda setelah ini. Sekarang lebih baik Anda meninjau ulang bekas bangunan yang mereka gunakan. Meskipun kami sudah memeriksanya berulang kali, saya rasa Anda akan lebih bisa menemukan sesuatu."

Sean membuka matanya begitu pintu terbuka. Adam keluar dan langsung menoleh ke arahnya. Memberi pandangan untuk mengikutinya.

Mereka masuk ke dalam sebuah ruangan untuk memakai pakaian pelindung. Meskipun hal itu tidak berpengaruh pada Sean tentu saja. Setelah itu mereka di antarkan menuju bangunan yang sama, dimana Sean pergi untuk pertama kali setelah bangun dalam keadaan tidak tahu apa-apa.

"Cakupannya cukup luas Profesor, apakah ini bearti mereka menciptakan sesuatu yang besar?" tanya Freya. Mereka baru saja sampai.

"Kita akan tahu setelah menyelidikinya."

"Bagaimana orang-orang ini begitu ceroboh? Mungkinkah mereka sebenarnya menciptakan senjata pemusnah atau sebuah teknologi nuklir baru yang salah prediksi?"

Sean melirik Freya yang terus mengikuti langkahnya sambil berceloteh. Menatap wanita itu dengan wajah tidak suka.

"Apa?"

"Berhenti mengikutiku."

"Aku? Aku hanya melakukan hal yang sama. Bagaiman aku jadi disebut mengikutimu? Konyol sekali." kata Freya, berdecak kecil lalu melewatinya begitu saja.

Sean mengikuti pergerakan Freya dengan mata tajamnya. Menatap punggung wanita itu dengan geram. Ketika dia menyadari kukunya mulai melakukan generasi, di buru-buru menutup mata. Berusaha mengatur emosinya.

Sean membuka matanya tiba-tiba ketika pundaknya di sentuh seseorang. Dia mendapati Adam menatapnya.

"Ada yang salah denganmu?"

"Tidak Profesor, aku baik-baik saja. Aku akan memeriksa bagian luar."

Adam mengikuti pergerakan Sean dengan matanya. Jelas saja dia curiga, dia melihat bagaimana kuku ibu jari Sean yang keluar memanjang dan berubah seperti kuku elang.

"Freya, lain kali jangan memancing amarahnya. Jangan mengacaukan keadaan."

"Maaf Profesor." sahut Freya.

Mereka kembali melanjutkan pekerjaan mereka. Sementara itu, diluar bangunan yang nyaris roboh itu, Sean berjalan menuju tempat dia bangun pertama kali. Meskipun cukup jauh, dengan kecepatan yang ia miliki, dia bisa sampai disana dalam beberapa detik.

Mata Sean memeta keadaan, hanya ada tumpukan daun-daun kering dan pohon-pohon mati. Sean berdiri tepat dimana ia pernah terbaring entah berapa lama. Berharap ada sesuatu yang tertinggal sebagai petunjuk.

Sean berjongkok, mengibas daun-daun itu. Namun karena dedaunan yang sangat banyak bertumpuk, sulit baginya melihat permukaan tanah. Akhirnya, dia membuka bajunya dan melempar asal kesalah satu dahan pohon. Dia mengeluarkan sayap besarnya. Dengan sekali kibas, dedaunan itu terbang jauh kedepan.

Sean melipat sayapnya kebelakang dan berjongkok. Nalurinya benar, ada sesuatu yang ia tinggalkan disana. Sebuah kalung dengan bandul bulat sebesar jam tangan. Sean membukanya, menemukan foto dirinya bersama dua orang yang tidak diingatnya sama sekali. Seorang wanita dan seorang anak kecil.

Diantara foto yang melekat di masing-masing dinding, ada sebuah kartu memori direkatkan dengan selotip disana. Sean hendak mengambil kartu itu, namun rungunya menangkap suara yang memanggil-manggil namanya. Dia segera melenyapkan sayapnya dan dengan cepat memakai bajunya kembali. Dia memasukkan kalung itu ke dalam kantong celananya sebelum bergegas pergi.

"Kamu dari mana saja?" tanya Freya ketika ia muncul begitu saja di sebalik tembok.

"Kemana lagi? Hanya sekitar sini." jawabnya acuh tak acuh.

"Anak-anak, ayo pergi. Aku rasa sudah cukup. Tidak ada apa-apa disini." Adam muncul dari dalam dan berjalan kearah mereka.

"Siapapun kelompok ini, mereka tidak mungkin bekerja tampa perintah." kata Freya.

"Menurutmu begitu?" Sahut Adam lalu mulai masuk ke dalam mobil.

"Profesor, jika ini proyek asal-asalan, atau hanya sekelompok anak muda yang terlalau bersemangat, tidak mungkin kita tidak menemukan apapun. Semuanya terlalu jelas, kan? Setelah hancurnya tempat ini, ada orang yang membersihkannya duluan."

Adam terkekeh pelan. Dia melirik Sean yang sejak tadi hanya diam. Freya duduk di belakang dan Sean yang mengemudikan mobilnya.

"Bagaimana menurutmu, Sean?" tanya Adam.

"Saya tidak tahu Profesor, itu mungkin saja. Tapi terlalu dini membuat kesimpulan yang dangkal seperti itu." jawabnya.

"Dangkal? Hei! Tahu apa kamu tentang masalah ini." sahut Freya tidak terima.

Bagaimanapun, semua orang mengira Sean hanya anak baru masuk kuliah yang sedikit jenius. Sehingga wanita seperti Freya menganggapnya masih terlalu muda untuk memahami permainan kotor orang-orang dibalik kejadian itu.

"Biar aku beritahu satu hal adik kecil! Dunia ini penuh hal kotor, tidak seperti pemikiran polosmu." lanjut Freya lagi.

Sean hanya diam saja, dia melirik Adam yang tertawa tampa suara. Menyadari bahwa orang tua disamlingnya ini menikmati pertengkaran kecil mereka.

.

Sean memperhatikan Adam dari jauh. Adam dan Freya sedang membahas sesuatu bersama ilmuan lain. Karena posisi Sean hanya sebagai anak didik yang bertugas membantu, dia tidak bisa banyak ikut campur dalam kasus ini.

"Aku yakin orang yang terlibat bukan hanya yang ada di daftar ini. Kami sudah mencari banyak bukti tapi tidak menemukan apapun yang mengarah pada otak dari proyek ilegal ini." ujar Anton sambil menghembuskan rokoknya.

"Mesin-mesin hancur yang ada disana juga seperti rakitan pribadi." sahut yang lain.

"Tidak, mereka hanya sedikit memodifikasi. Aku kenal produk itu. Milik perusahaan Jerman bernama Window. Tapi meskipun begitu, bukan bearti mereka terkait. Siapapun bisa membeli barang mereka."

"Itu benar, kami juga menyelidiki pemasok bahan utama atau dalam bentuk reaktor. yang masuk dari berbagai daerah, namun tidak memiliki data ilegal atau legal yang barangnya tidak digunakan. Semua terdata oleh perusahaan dan ada bukti pemakaian."

Adam menatap Anton sesaat. "Perusahaan apa di kota ini sebagai pemasoknya?"

"Cell Farma, perusahaan swasta. Mereka juga juga memperkerjakan beberapa ilmuan, mereka meneliti obat baru, memasok perlengkapan medis dan obat-obatan juga. Sejauh ini mereka tidak terdeteksi melanggar hukum."

Adam terdiam sesaat, dia tanpak berpikir keras. Freya menatap Adam, penasaran akan apa yang dipikirkan atasannya itu.

Sean yang sejak tadi mencuri dengar, segera mengeluarkan ponselnya. Dia membuka internet dan mencari tahu mengenai Cell Farma. Beberapa foto gedung, informasi, kegiatan dan pencapaian perusahaan itu muncul di layar sebagai judul berita utama.

Sean memeriksa melalui ponselnya. Melihat logo perusahaa itu, Sean merasakan perasaan yang amat familiar. Matanya tertuju pada sebuah foto yang dicantumkan pada salah satu artikel, dua orang yang saling berjabat tangan. Keterangan pada foto menunjukkan bahwa salah satu dari mereka adalah Gubernur kota tempat mereka saat ini dan yang lain adalah pejabat cell farma.

"Aku dengar Gubernur dan CEO cell farma adalah keluarga, apa itu benar?" tanya Adam.

Sean mengangkat kepalanya, kembali fokus pada percakapan mereka. Anton tampak terganggu, Sean memperhatikan seluruh ekspresi orang yang ada disana. Setidaknya, ada tiga dari enam orang disana yang terlihat tidak nyaman.

"Itu tidak ada hubungannya, artikel itu dibuat oleh jurnalis sampah yang baru dipecat." ucap salah seorang peneliti lain.

'Ertikel apa yang mereka maksud?'

Sean melihat Adam terlihat tidak puas dengan jawaban mereka.

"Baiklah, tapi bagaimanapun juga, mencari bagaimana ini bisa terjadi tidak bisa hanya mempelakari TKP. Saya yakin anda tahu itu, pak Anton."

Anton tersenyum. "Anda diminta kesini untuk mencari apa yang tersisa dari bekas rongsokan yang terbengkalai di hutan itu Profesor Adam. Anda pasti sudah diberi tahu bahwa kita diperintahkan untuk menemukan apa yang coba mereka lakukan. Gubernur ingin bukti adanya kegiatan ilegal ini. Dia ingin kita mengungkap pelakunya."

Adam mengangguk, ketidak sukaaan jelas terpancar dari wajahnya saat mendengar nada bicara Anton yang otoriter. Sean pergi, tidak ada yang bisa ia dapatkan jika hanya berdiri di sana. Hal itu tentu saja tidak luput dari mata Adam. Bagaimanapun juga Sean adalah salah satu mahasiswanya.

.

Dimalam yang sudah cukup larut, seorang wanita dengan rambut lurus sepunggung, kulit putih dengan wajah bulat. Bola mata hitamnya menatap sendu sebuah foto yang dipajang di atas meja riasnya.

"Mama?"

Wanita itu tersentak. Dengan cepat ia merubah raut wajahnya. Dia tersenyum hangat sebelum berbalik. Mendapati seorang anak berumur 5 tahun berdiri di samping kasur. Wanita itu merentangkan tangannya. Anak perempuan itu berlari kecil dan masuk ke dalam pelukannya.

"Flo sudah cuci kaki?"

"Sudah! Sudah gosok gigi dan cuci muka juga. Lihat gigi Flo sudah bersih."

Anak kecil itu memamerkan deretan gigi kecilnya yang tampak imut. Sang ibu tertawa dan mencium kedua pipinya.

"Sekarang ayo tidur, mama akan membacakan sebuah kisah."

"Ma... kapan Papa pulang dari luar negeri? Kenapa lama sekali?" tanya anak itu disela ibunya bercerita.

Wanita itu menghentikan ceritanya, matanya reflek menatap figura di atas meja. Satu tangannya masih menepuk pelan punggung Flo yang tidur dalam pelukannya.

"Mungkin sebentar lagi sayang, Mama tidak tahu. Papa bilang pekerjaan disana sangat sulit. Flo sabar saja ya." bujuknya. Matanya sudah berkaca-kaca.

"Flo rindu Papa." Setelah mendengar pernyataan anaknya, wanita itu menutup matanya. Menahan agar ia tidak menangis.

"Mama juga, sekarang waktunya tidur." ucapnya tegas.

Flo diam saja. Hanya patuh jika nada bicara ibunya sudah berubah. Perlahan anak itu tertidur. Setelah memastikan Flo tidur, wanita itu melepaskan pelukannya dan turun dari kasur. Dia keluar dari kamar dan menangis sambil berjalan ke depan. Membuka pintu rumah dan berlari keluar. Menumpahkan seluruh rasa frustasinya pada angin malam. Hal yang biasa ia lakukan saat bersedih.

Ingatannya kembali ke masa lalu. Dimana seorang pria berdiri di hadapannya. Mereka masih sama-sama muda. Tapi mereka harus berjuang dengan masalah masing-masing.

"Lihatlah langit itu. Aku sangat menyukainya. Kesunyian malam membuatku tenang, El."

Wanita itu menengadah ke langit. "Daffin... Aku tidak suka langit malam, karena itu terasa sangat sepi. Tapi aku berusaha menyukainya karenamu. Bagaimanapun aku tidak siap tampa dirimu, Flo dan aku merindukanmu. Kenapa kamu pergi? Kenapa ikut orang-orang itu hanya untuk mati! Hihikhik!" dia terisak, bahunya bergetar dengan rasa sesak yang menyakitkan di dalam dadanya. Wanita itu jatuh tersungkur ditanah. Berlutut memegang dadanya sambil menangis dengan sangat menyedihkan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!