Jodoh Titipan Bagian 1
Oleh Sept
Malaysia
Seorang pria berdiri menatap keluar jendela. Ia menatap gedung-gendung pencakar langit. Wajahnya nampak serius, sepertinya sedang memikirkan sesuatu.
Taqi Bassami, pria 30 tahun itu sedang memperhatikan pemandangan di depannya. Bangunan tinggi dan cukup membuatnya enggan untuk kembali ke tanah kelahiran, Jakarta.
Wajahnya mengeras, tak kala mengenang masa lalunya. Di mana ia dibully oleh kakak kelas hanya karena Taqi terlahir miskin dan memakai baju yang lusuh.
Mendadak tangannya mengepal, ada dendam yang tiba-tiba muncul dalam benaknya. Dendam pada sulitnya masa lalu. Dendam ketika harus hidup dalam serba kekurangan.
Beruntung bagi Taqi, ketika remaja, saat beberapa anak laki-laki sedang menghajarnya di tepi jalan di tengah malam. Sebuah mobil berhenti, dua orang muncul dan langsung menghampiri Taqi.
"Hentikan! Pergi! atau saya panggilkan polisi!" ancam sosok pria yang keluar dari pintu depan. Sepertinya sopir dari kendaraan mewah tersebut.
Taqi yang sudah babak belur, mengusap sudut bibirnya. Tiba-tiba, sebuah tangan mengulurkan sebuah sapu tangan.
"Pakai ini!" ucap sosok pria dewasa tersebut.
Taqi masih menundukkan wajah, ia enggan untuk mengambil benda itu. Dan tidak disangka, pria itu berjongkok di depan Taqi.
"Usap pakai ini!" titah pria yang baru Taqi temui tersebut.
Beberapa saat kemudian
Taqi sudah duduk di dalam mobil bersama pria yang bernama Yusuf tersebut. Wajahnya tampak tenang, mobilnya juga bagus. Sepertinya orang yang kaya, pikir Taqi.
"Di mana rumahmu?" tanya pria tersebut.
Taqi hanya menunduk.
"Kau tidak punya rumah?" tanya pria itu lagi.
Taqi lantas mendongak, kemudian mengucapkan sebuah alamat. Setelah melewati banyak gedung tua, akhirnya mobil berhenti.
Taqi mengucapkan terima kasih, kemudian membuka pintu dan terus berlari menjauh. Itu adalah pertama kali ia bertemu dengan sosok pria yang kini menjadi ayah angkatnya.
Setelah pertemuan pertama itu, pak Yusuf akhir pekan selalu datang ke gang di mana Taqi tinggal. Hingga sampai pada suatu kejadian, di mana Taqi dipenuhi memar di seluruh tubuhnya. Kaus putih yang dikenakan Taqi, penuh dengan bercak darah.
Tuan dermawan yang pernah menolong Taqi terlihat sangat marah, ia langsung melapor polisi. Dan memaksa Taqi ke rumah sakit. Setelah Taqi diobati, bukannya diantar. Tuan Yusuf malah membawa Taqi pulang ke rumahnya.
Ternyata ia adalah pemilik yayasan terbesar di kota itu. Hal biasa bagi pak Yusuf untuk menolong orang lain. Dan kali ini, melihat keadaan Taqi Bassami yang sudah sangat parah dan memprihatinkan, pria itu langsung memutuskan mengangkatnya menjadi anak. Menjadi kakak dari Zain, anak satu-satunya.
***
Beberapa tahun kemudian
Kediaman Zain, saudara angkat Taqi Bassami.
"Mas harus kuat, Nada yakin ... Mas Zain pasti sembuh!" ucap seorang wanita muda bermata sembab dengan suaranya yang serak. Ia sesengukan menahan tangis. Tangannya sejak tadi mengengam tangan suaminya yang sedang terbaring lemah.
Tubuh wanita itu gemetar ketika melihat suaminya yang kesulitan berbicara. Jangankan bicara, Zain bahkan kesulitan untuk bernapas. Beberapa hari yang lalu, pria 27 tahun itu terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena mengalami sesak dan kemudian pingsan di dalam rumahnya.
Pasangan pengantin baru itu baru menikah dua bulan lalu. Zain yang semua sehat tanpa memiliki keluhan apapun, tiba-tiba hari itu drop. Salsabila Qotrunnada, wanita muda berusia 20 tahun itu pun shock.
Nada yang hari itu akan berangkat kuliah, tiba-tiba terkejut melihat suaminya yang tersenggal. Zain seperti kesulitan bernapas. Wajahnya dipenuhi bulir keringat dingin, dan Nada semakin panik saat suaminya tiba-tiba pingsan.
Sekarang, suaminya sudah ditangani oleh dokter terbaik. Tapi, sudah beberapa hari dirawat, Zain sama sekali tidak ada perubahan. Sempat drop berkali-kali, membuat Nada sama sekali tidak bisa berpikir jernih. Wanita muda itu terus saja menangis di dalam ruang perawatan.
"Mas ...!" panggil Nada lagi, kali ini sangat lirih. Ia kemudian menciumii telapak tangan dan punggung tangan suaminya. Dengan sendu ia tatap pria yang dua bulan ini menjadi imamnya. Menjadi pemimpin dalam bahtera yang baru saja mereka bangun bersama.
Sambil menggeleng dengan air mata yang terus mengalir deras, Nada kembali berbicara. Meski suaminya tidak bisa membalas ucapannya, Nada hanya ingin suami yang belum genap 100 hari ia nikahi itu, mendengar apa yang ada dalam hatinya.
"Mas Zain harus kuat, Mas Zain harus bisa lewati ini semua ... jangan tinggalin Nada Mas ... Nada nggak punya siapa-siapa," tangis Nada kembali pecah.
Wanita muda itu terisak, tidak sanggup melihat kondisi suaminya. Banyak selang yang menggelilingi tubuh Zain, membuat mata Nada selalu terasa perih jika melihatnya.
Pria yang semula gagah, sehat dan bugar itu, kenapa tiba-tiba menjadi seperti sekarang begini? Zain selama ini menjalani gaya hidup sehat. Pria itu selalu makan makanan sehat, olah raga rutin dan menjauhi zat-zat berbahaya, lalu bagaimana bisa dalam tubuh suaminya terdapat banyak penyakit yang telat untuk diketahui?
Nada seperti tidak terima, mengapa suaminya yang awalnya sehat-sehat saja harus mengalami komplikasi. Banyak penyakit yang ditemukan setelah dilakukan banyak pemeriksaan.
Mungkin terlalu stress berat, dah terlalu banyak menangis beberapa hari ini selama Zain dirawat, tiba-tiba kepala Nada terasa pusing. Matanya berkunang-kunang. Dan hitungan detik, tubuhnya jatuh perlahan ke basah ranjang.
Zain yang lemah itu nampak panik, ia ingin bicara, tapi malah merasakan sesak yang luar biasa. Yang ada hanya air mata yang keluar dari sudut matanya.
Kemudian terdengar suara panjang dan lama.
Tuttttttttt ....
Seketika ruangan Zain didatangi banyak petugas medis. Sebagian menangani Nada yang ditemukan pingsan di bawah ranjang suaminya yang telah sekarat. Sebagian lagi fokus pada Zain.
Semua tenaga medis begitu panik. Karena detak jantung Zain ternyata sudah berhenti berdetak. Berbagai tindakan medis langsung dilakukan. Demi menyelamatkan nyawa pasien.
Tapi sayang, setelah para dokter melakukan banyak tindakan, jantung Zain tidak mau kembali berdetak. Jantung itu benar-benar sudah berhenti. Begitu juga dengan napas Zain. Ia yang semula kesakitan hanya untuk bernapas, kini sudah berhenti bernapas untuk selama-lamanya.
Beberapa jam kemudian
Di ruangan lain, di sebuah ranjang rumah sakit. Nada nampak mengerakkan kelopak matanya. Tangannya juga mulai bergerak-gerak. Sepertinya ia baru sadar dari pingsannya.
Baru saja membuka mata, ia langsung dipeluk oleh seseorang. Seseorang yang sudah lama tidak ia temui.
"Sarah ... kamu di sini?" Nada melepaskan pelukan adik perempuannya yang masih duduk di bangku SMA.
"Yang sabar ya, Mbak," ucap sang adik sskali lagi.
Sarah Amelia, gadis 15 tahun itu menarik tangan kakak perempuannya. Ia merasa kasihan pada saudari yang memang tidak pernah tinggal bersama selama mereka kecil sampai kakaknya menikah dan harus menjadi janda di usia yang masih muda.
Ya, Sarah ditelpon oleh pihak keluarga Zain. Mewakili ibu Nada yang tinggal di kota lain bersama Sarah. Ia mulanya sangat kaget, mendengar kabar duka dari keluarga sang kakak. Bagaimana bisa, Mas Zain yang dua bulan lalu ia temui saat acara pernikahan, kini sudah tiada. Padahal kakak iparnya itu sangat sehat, ceria dan ramah sekali pada keluarga mereka. Meski mereka baru pertama berjumpa.
Pribadi hangat Zain dalam berhubungan dengan orang lain, membuat siapa saja yang mengenalnya, larut dalam rasa duka kehilangan yang begitu dalam. Apalagi Nada, wanita muda itu belum tahu kalau suaminya sudah dipanggil oleh sang Maha Pencipta.
"Mbak ... Mbak mau ke mana?" cegah Sarah.
Nada merasakan firasat buruk, apalagi dilihatnya Sarah matanya sudah basah dan sembab.
Tidak peduli meski tangan Sarah memegangi lengannya, Nada dengan kuat menepis tangan adiknya tersebut.
"Lepasin tangan Mbak!" seru Nada kemudian menuju ruangan Zain.
KLEK
Ruangan kosong, bahkan ranjangnya pun sudah rapi kembali. Bibir Nada mulai bergetar. Kakinya juga tiba-tiba terasa lemas.
'Tidak ... tidak mungkin!'
Rasa sesak yang mendadak menyeruak ia abaikan. Nada masih berpikir positive.
'Pasti Mas Zain dipindah ruangan. Pasti!'
Dengan langkah kaki yang gemetar, ia terus berjalan keluar.
Di ujung lorong ia lihat ummi, ibu mertuanya menangis menatap ke arahnya. Seketika matanya terasa perih. Apalagi ketika melihat ummi yang kemudian duduk tidak kuasa menahan tangis, Nada tidak punya lagi kekuatan untuk berdiri.
Istri Zain itu kembali pingsan, untung di dekatnya ada seorang perawat yang lewat. Nada pun dibawa lagi ke ruangannya.
***
"Jangan tinggalin Nada Mas ... Mas Zain ... jangan tinggalin Nada," Nada terus saja berbicara, tapi matanya terpejam.
Dokter yang memeriksa Nada, merasa prihatin dengan pasiennya. Ia kemudian mendekati ummi dan Sarah.
"Ini mungkin sangat berat bagi pasien. Kehilangan suami dan bersamaan dengan kabar yang harusnya menjadi kabar bahagia."
Dokter perempuan itu menghela napas dalam-dalam. Tidak tega melihat pasiennya. Beberapa hari ini ia memang melihat Nada berkali-kali di rumah sakit.
Ia tahu bahwa pengantin baru itu sedang menunggu suaminya. Tapi takdir sepertinya berkata lain. Hari ini, suami Nada harus pergi selama-lamanya.
"Bagaimana kondisi menantu saya, Dok?" tanya ummi sambil mengusap matanya. Ia juga tidak tega melihat menantunya memanggil manggil sang putra.
"Menantu Nyonya ... hamil!"
Lutut ummi langsung lemas, wanit paruh baya itu tidak kuasa menahan tangis. Ia meratapi nasib cucunya yang belum lahir tapi sudah tidak memiliki sosok ayah. Hati ummi hancur berkeping-keping. Lalu bagaimana dengan nasib keduanya? Bagaimana nasib Nada dan anak dalam kandungannya itu?
Ummi tidak kuasa menahan tangisnya lagi, hingga merasakan sesak dan sulit untuk bernapas. Kenyataan ini, sungguh mencekik leher.
"Ya Allah ... Nada ... Zain ... bagaimana ini?" tanya ummi dengan isak tangis yang tiada henti. BERSAMBUNG
Baca juga novel Sept yang lain
Dinikahi Milyader
suami Satu Malam
Dipaksa Menikah
Wanita Pilihan CEO
Dea I love you
Kanina Yang Ternoda
cinta yang terbelah
menikahi pria dewasa
Pernikahan Tanpa rasa
The Lost Mafia Boy
Menikahi pria Cacat
suamiku Pria Tulen
dokter Asha and KOMPOL Bimasena
crazy Rich
selengkapnya kalian bisa klik profile Sept
Terima kasih
Jodoh Titipan Bagian 2
Oleh Sept
Kediaman Zain Malik, rumah almarhum yang terlihat asri dengan banyak bunga angrek tergantung indah. Rumahnya tertata begitu rapi, terlihat nyaman bila ditingali. Apalagi penghuninya adalah pengantin baru, pasti rumah itu menjadi rumah paling nyaman, paling ideal untuk ditempati.
Rumah yang sebelumnya dipenuhi gelak tawa saat Zain dan Nada bercanda kala tinggal di sana, kini menjadi suram. Rumah itu sekarang dipenuhi duka. Penuh dengan aroma kesedihan. Di setiap sudut dipenuhi isak tangis, entah pelayat ataupun keluarga yang larut dalam kehilangan. Sejak jenazah tiba, suara tangis tidak kunjung hilang dari kediaman Zain tersebut.
***
'Mengapa kita dipertemukan jika Ia mengambilmu dengan begitu cepat? Mengapa aku yang harus mengalami ini? Mengapa aku?' batin Nada sambil memejamkan mata.
Bulir bening terus keluar dari matanya yang sembab. Meski ia usap dengan tangan, air matanya tidak kunjung berhenti keluar. Terus saja mengalir, seolah masih banyak kesedihan yang tersimpan di dalam sana.
'Mas Zain ... bagaimana ini?' batin Nada yang tidak tahu harus bagaimana nanti saat mendapati kenyataan, sang suami sudah pergi untuk selamanya.
Tidak tahan dengan rasa sesak di dalam ddada yang terus menyeruak dan memporak-poranda hati janda muda tersebut. Nada menutup wajahnya dengan tangan, ia kembali terseduh di samping jenazah sang suami.
Ummi terus saja mencoba menenangkan menantunya itu, meski hatinya juga sama teririsnya dengan Nada. Lebih sakit, lebih perih. Putra satu-satunya yang ia miliki, anak kesayangan, harapan ummi di masa depan, kini harus pergi selama-lamanya. Terlalu cepat, terlalu singkat.
Menyaksikan kematian anak sendiri ternyata memberikan penyiksaan yang tersendiri. Entah sudah berapa lama ummi juga menangisi kepergian Zain, yang jelas sudah cukup membuat jiwa hati ummi luluh lantah, hancur lebur. Seolah dunianya sudah runtuh. Kini, harapan ummi hanya pada benih cinta putranya itu.
Calon cucu pertamanya, dan mungkin akan menjadi satu-satunya penerus keluarga Yusuf dan jadi harapan ummi. Ya, janin yang kini dalam kandungan Nada merupakan satu-satunya harapan keluarga Zain Malik. Harapan ummi dan harapan abah Yusuf. Harapan untuk yayasan Amsojar ke depannya, karena Zain sudah pergi dan hanya meninggalkan benih dalam rahim istrinya itu.
Zain pergi begitu cepat, hingga membuat semua shock dan merasakan rasa kehilangan yang begitu mendalam. Mereka yang ditinggal belum siap, tapi umur manusia hanya Tuhan yang tahu. Tidak ada siapapun yang mengerti kapan mereka akan mati. Seperti Nada, sampai sekarang ia belum percaya, bahwa sang Pencipta telah mengambil belahan jiwanya.
Di depan jenazah suaminya, Nada masih terisak, terseduh dan larut dalam lautan kesedihan yang tidak bertepi. Rasa kehilangan membuat Nada lemah, seolah tidak memiliki kekuatan untuk bertahan.
Ummi sampai harus memeluknya berkali-kali, mengatakan kalimat penguat, meski hati ummi juga sudah hancur tidak terurai. Kehilangan Zain, putra semata wayangnya, juga sangat membuat ummi terpuruk. Tapi, melihat wajah Nada rasanya hati ummi jauh lebih hancur. Memikirkan nasib menantunya yang menjadi janda dengan kurun waktu yang sangat cepat. Apalagi Nada kini tengah hamil tanpa suami di sisinya, hati ummi langsung nyeri.
"Nada kuat, ya ... Harus kuat ... Semua ... semuanya sudah menjadi ketentuan Allah. Mungkin ... mungkin Allah sangat sayang pada Zain ... sayang sekali ... hingga Allah panggil dengan cepat ... Nada yang ikhlas ya ... Ummi ... ummi yakin ... Nada bisa lewati ini," ucap ummi dengan terpotong-potong. Meski sesak, ia mencoba memberi dukungan untuk menantunya itu. Nada hamil, ummi tidak mau Nada terlalu dihujani kesedihan, hingga nanti berdampak pada buah hati dalam kandungan Nada.
Mendengar nasehat sang mertua, Nada bukannya semakin kuat, ia malah meratapi nasibnya. Nada yang sadar sedang hamil muda tersebut, tangisnya pecah. Ia pegang perutnya, kemudian terisak semakin dalam.
Ummi menepuk, mengusap punggung Nada berkali-kali, tapi tidak pernah bisa menenangkan gelombang rasa patah hati pada diri wanita muda tersebut. Saat ini Nada hanya ingin menangis, mengeluarkan semua yang ia rasa. Karena hanya menangis, setidaknya bisa mengurangi rasa sesak di dalam ddadaa.
***
Di sebuah pemakaman yang luas dan dihadiri banyak pelayat. Langit yang semula cerah, tiba-tiba mendadak menjadi mendung seketika. Angin begitu kencang, membawa awan-awan hitam dan berhenti tepat di kawasan pemakaman.
Seolah langit pun ikut menangis bersama keluarga dan kawan-kawan yang merasakan kehilangan. Dan perlahan gerimis pun datang, membasahi bumi pemakaman yang dipenuhi oleh orang-orang berbaju hitam tersebut.
Tapi itu bukan kendala, sebab sebuah tenda besar sudah didirikan sebelumnya. Zain yang baik, sosok muda yang dermawan memiliki banyak orang yang merasa kehilangan atas kepergiannya yang mendadak itu.
Tidak hanya keluarga, yang datang adalah kebanyankan mereka yang kenal baik dan mengenal Zain selama ini. Mereka semua datang mengantar Zain ke tempat peristirahatan terakhirnya. Memberikan doa terbaik untuk pria baik yang selama ini terkenal baik budinya tersebut.
Proses pemakaman hampir selesai, Nada dan ummi masih terpaku di samping makam. Begitu juga dengan abah, pria yang dipenuhi uban tersebut sejak di rumah sakit sampai sekarang tidak banyak bicara. Hanya saja, matanya cukup mengatakan begitu jelas, bahwa kepergian Zain cukup membuat abah terpukul.
Abah Yusuf mematung, menatap gundukann tanah yang basah dengan banyak taburan bunga di atasnya. Memakamkan anak sendiri, membuat abah merasakan sakit, hatinya terasa nyeri. Abah tidak banyak menangis, tapi matanya selalu berkaca-kaca. Mungkin abah terlihat kuat dari yang lainnya, tapi aslinya tidak.
Hati abah Yusuf juga hancur, kehilangan Zain seperti kehilangan harapan. Tapi abah bersyukur, ada calon cucu yang Allah titipkan. Itu adalah salah satu sumber kekuatan abah. Ya, demi calon cucu mereka, abah tidak boleh larut dalam kesedihan. Hidup harus tetap berjalan. Karena anak adalah titipan. Allah berhak atas semuanya, karena abah hanya dititipi, semua bukan milik abah. Bukan, tidak ada satupun.
Kini, proses pemakaman sudah usai. Tapi Nada enggan diajak pulang oleh ummi.
"Langit mulai gelap, ayo pulang Nada," bujuk ummi yang melihat menantunya itu enggan meninggalkan makam Zain.
Nada menggeleng pelan, "Nada masih ingin di sini, Ummi. Ummi pulang saja ... Nada masih mau menemani Mas Zain," ucap Nada. Suaranya tidak jelas, serak dan lirih.
"Nada, ayo pulang!" ajak abah Yusuf yang jarang bicara sejak kematian Zian.
"Abah ... Nada mau menemani Mas Zain, sebentar lagi, Bah ..." Nada memohon, meskipun selama ini ia tidak pernah meminta apapun pada ayah mertuanya itu.
"Langit mulai gelap, lebih baik cepat pulang," ucap abah tegas. Sepertinya ia tidak mau menantunya itu sampai malam di pemakaman.
Benar kata abah, sebentar lagi adzan magrib. Tapi Nada masih belum mau pulang. Berat hatinya meninggalkan Zain sendirian terkubur di dalam sana.
"Nada, dengar kata Abah! Ayo pulang, Nak." Ummi mendekati Nada. Membantu Nada untuk bangun dan beranjak dari makam Zian.
Hati nada semakin sakit, melihat harus pergi dan benar-benar melepas suaminya. Apalagi saat ia melihat ke arah papan nisan yang tertulis nama suaminya. Mendadak matanya berkunang-kunang. Nada kembali ambruk di samping puasaran suaminya.
"Nada!!!" pekik ummi yang terkejut.
Abah juga langsung mendekat, abah panik. Tapi tiba-tiba hadir sosok yang sejak tadi mengamati dari belakang, ia langsung membopong tubuh Nada yang munggil tersebut. Pria itu langsung membawa Nada masuk ke dalam mobil, diikuti oleh abah dan juga ummi. BERSAMBUNG
Semoga bisa menghibur hari-hari kalian, lewat ketikan tanganku yang gabut ini. Hehehe
IG : Sept_September2020
Jodoh Titipan Bagian 3
Oleh Sept
"Abah ... ummi, kita ke rumah sakit atau langsung ke rumah?" tanya sosok pria yang semula membopong tubuh Nada. Ia menoleh sekilas menatap wajah Nada yang pucat.
Setelah meletakkan Nada di jok belakang, dan ummi menyusul duduk si samping Nada, pria itu keluar lalu membuka pintu depan. Ia duduk di depan bersama Abah.
"Ke rumah Zain!" jawab abah sambil melihat dua wanita yang duduk di belakang mereka.
Kata Zain yang tiba-tiba abah ucap, membuat abah kembali dirundung pilu. Matanya terasa perih, abah mengusap wajahnya dengan tangan kanannya, kemudian menatap kosong ke jendela. Ada sebuah penyesalan, rasa kecewa pada takdir. Meski abah tahu, bawa rasa seperti ini adalah sangat salah besar.
Tapi abah tetaplah manusia, di mana ia memiliki hati yang bisa merasakan sedih bila ditinggal orang yang ia sayang. Zain adalah harapan abah satu-satunya selama ini. Jadi, kehilangan Zain sangat berpengaruh pada perasaan abah saat ini.
'Mengapa umurmu begitu pendek, Zain ... andai bisa Abah tukar. Abah ikhlas mengantikanmu," batin abah sendu.
Sedangkan di sampingnya, sosok pria berkacamata hitam sempat melirik ke abah. Dia bisa merasakan kesedihan pada sosok pria yang sudah ia anggap sebagai orang tuanya tersebut.
Taqi Bassami, pria berusia 30 tahun. Sosok pria santun dan jarang bicara. Garis wajahnya terlihat jelas dan tegas. Seminggu lalu Taqi baru saja pulang dari Malaysia. Selama ini ia memang tinggal di luar negri. Ia memiliki sebuah usaha di negri Jiran tersebut. Kebetulan, ia sedang menikmati liburan di Jakarta minggu lalu.
Niat hati ingin mengunjungi orang tua angkatnya itu karena Taqi memang selama ini rutin pulang ke Indonesian beberapa bulan sekali.
Selang beberapa hari tiba, ia malah mendegar mendengar kabar sakitnya Zain, Taqi yang biasanya di Jakarta tidak pernah lama, ia pun memilih tinggal beberapa hari lagi lebih lama. Tidak tahunya Zain malah pergi selama-lamanya. Kabar kematian Zain yang mendadak itu, memang bagai petir di siang bolong.
Taqi cukup terkejut, meski bukan saudara kandung, mereka pernah tinggal serumah sebelumnya. Saat mereka masih remaja dulu hingga dewasa.
***
Tidak terasa mereka akhirnya tiba di kediaman Zain yang memang tidak jauh dari lokasi pemakaman. Rumah bercat biru itu terlihat masih ramai, di sana masih banyak kerabat jauh.
Begitu mobil berhenti, Taqi membuka pintu tengah. Ia kembali membopong tubuh Nada yang tidak begitu berat tersebut. Semua orang juga melihat, semua merasa kasihan. Dari awal sampai akhir prosesi pemakaman, Nada terlihat orang yang paling terpukul. Entah berapa kali Nada sudah jatuh pingsan.
"Baringkan di sini, Taqi!" pinta ummi.
"Baik, Mi!"
Dengan pelan Taqi meletakkan tubuh Nada yang sudah lemas itu. Dahinya pun sudah dipenuhi bulir bening. Keringat dingin sudah membasahi tubuh Nada.
"Panggikan dokter!" titah Abah.
"Baik, Bah!" jawab Taqi kemudian merogoh ponsel dalam saku celana.
Ia mencari kontak nomor dokter kenalan yang biasanya abah panggil saat salah satu keluarga mereka sakit.
Sesaat kemudian
"Bagaimana?" tanya abah.
"Sudah, Bah!" Taqi kemudian memasukkan ponselnya dalam saku kembali. Ia menatap Nada yang sedang di lap keringatnya oleh ummi.
"Tolong carikan ummi minya di sana!" pinta ummi sambil menunjuk nakas yang jauh dari jangkauan ummu.
Dengan sigap, Taqi menuju tempat yang dimaksud. Ia kemudian membuka laci di dalam sana. Dahinya mengkerut tak kala melihat barang-barang di dalam laci tersebut.
Taqi kemudian kembali mencari, tapi tidak ada. Dan ketika ia melihat ke arah lain. Di laci sebelahnya, barulah ada minyak yang ummi mau.
"Ini, Mi."
Ummi langsung mengambil benda itu, lalu mengoles di dekat hidung Nada agar wanita itu kembali siuaman.
"Nada," panggil ummi setelah melihat Nada tersadar. Namun, bukannya menjawab, Nada hanya mengeluarkan air mata dari sudut matanya.
"Kuat, Nada ... kamu pasti kuat, Nak ...!" Ummi mengengam tangan menantunya itu. Ia gengam erat, untuk memberikan dukungan. Bahwa Nada tidak sendiri. Bahwa masih ada keluarga yang pasti akan menemani saat-saat yang pedih seperti ini.
"Nada nggak kuat, Ummi ... Rasanya sakit sekali ... ddadaa Nada sakit sekali rasanya!" tangisnya kembali pecah. Ia kembali terisak. Nada belum bisa berdamai dengan takdir yang tiba-tiba merengut suaminya itu.
"Istrigfar, Nada ... istrigfar ...!" Ummi menepuk punggung Nada. Memeluknya erat.
"Demi anak yang kamu kandung, kamu harus kuat Nada. Ummi percaya, kamu bisa melewati semua ini. Ummi yakin," ucap ummi dengan suara serak. Meski sulit, Allah pasti tidak menguji di luar batas kemampuan hamba-Nya. Ummi sangat yakin itu, bahwasanya Nada pasti bisa melewati ujian hidup yang menguras hati ini.
"Nada harus bagaimana Ummi? Nada harus bagaimana?" tangis Nada. Keduanya lalu saling berpelukan.
Sedangkan abah dan Taqi, mereka memilih meninggalkan keduanya. Mereka ke depan, menemui tamu yang terus saja datang ke rumah Zain untuk mengucapkan bela sungkawa.
***
Tujuh hari kemudian
Kediaman abah Yusuf. Taqi sedang mengemasi koper, rencananya ia akan balik ke Malaysia nanti sore.
"Taqi," panggil abah. Pria yang dipenuhi kerutan di wajah tersebut tiba-tiba masuk kamar Taqi kemudian duduk di tepi ranjang. Mengamati Taqi yang sedang berkemas.
"Iya, Abah ..." Taqi meninggalkan tas kopernya. Ia menatap wajah tua abah lekat-lekat.
"Boleh Abah minta satu permintaan?"
Dahi Taqi seketika berkerut. Ia heran, tumben abah meminta darinya. Selama ini, saat ia menawarkan sesuatu pada abah, selalu ditolak mentah-mentah. padahal niat hati Taqi hanya ingin balas budi. Taqi merasa berterima kasih, karena sudah disekolahkan tinggi-tinggi, hingga sekarang ia punya usaha sendiri di negeri orang. Sudah menjadi orang sukses, tidak lontang lantung di jalanan.
"Abah minta apa? Insyaallah, kalau Taqi bisa, pasti Taqi penuhi."
Abah menghela napas panjang, kemudian menyentuh pundak putra angkatnya itu.
"Abah rasa, Abah sudah sangat tua, dan Zain pun sudah tidak ada lagi di sini. Harapan Abah sudah tidak ada lagi, tinggal kamu, Taqi ... Selama ini Zain yang mengurus yayasan bersama Abah. Dan Abah pikir sebaiknya kamu pikir-pikir lagi untuk kembali ke Malaysia."
"Tapi Abah ...," Taqi ingin mengatakan sesuatu tapi ragu.
***
Di tempat lain, di negara tetangga.
Malaysia
Seorang wanita duduk menatap menara Petronas twin towers, dia adalah Anisa. Gadis yang sedang menempuh S2 di negeri Jiran tersebut.
"Kenapa telponnya tidak diangkat? Apa Mas Taqi tidak jadi balik?" gumam wanita berparas ayu bermata teduh tersebut.
Sementara Taqi, pria yang sedang dinanti kabarnya itu, saat ini sedang bicara serius dengan Abah. Sedangkan ummi sendiri masih di rumah Zain menunggu dan akan menginap di sana. Menemani Nada yang yang masih terpukul.
***
Kediaman abah Yusuf.
"Maksud Abah?" Taqi beranjak, ia bangkit dari tempat duduknya. Permintaan abah yang pertama dan terakhir itu, cukup membuatnya tersentak.
Hal ini karena Taqi sudah menjatuhkan hati pada Anisa, bahkan mereka berencana menikah tahun depan setelah Anisa mendapat gelar masternya.
"Hanya itu permintaan Abah, Taqi ...!"
Taqi pun terduduk lemas. Haruskah hutang budi dibalas dengan mengorbankan hidupnya sendiri?
BERSAMBUNG
IG Sept_September2020
Follow IG Sept, yuk ... mau lebaran Kita bagi-bagi THR.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!