NovelToon NovelToon

Separuh Malaikat Jatuh

Episode 1: Terbangun

Seorang pemuda terbangun dalam sebuah mobil. Tepat di kursi belakang, ia berusaha duduk meski hampir tumbang. Sesaat setelah ia memegang kepalanya sendiri, ia pandangi seisi dalam mobil mencari apa saja yang mungkin bisa dijadikan petunjuk.

Pemuda itu tak ingat apapun, dan tak satupun dari dalam mobil ia memperoleh petunjuk, kecuali gelang karet di pergelangan tangannya, pada sisi bagian luar terlihat 'Devan Aria' tertulis di situ, yang tak sengaja terlihat selepas ia memegang kepalanya.

Pemuda itu keluar dari mobil. Ia berusaha berdiri, salah satu tangannya menahan diri bersandar pada bagian mobil. Setelah dirasa keseimbangannya telah utuh, pandangannya menyusuri sekitar, seketika raut wajahnya berubah, dahinya mengkerut.

Pemuda itu baru saja menyadari, mendapati dirinya berada di tengah-tengah kota. Namun, hanya dia sendiri yang berdiri, sedangkan semua orang, terjatuh dimana-mana. Kendaraan roda empat yang berhenti di sembarang tempat, begitupula motor tumbang dibiarkan di tengah jalan, bahkan ada yang sampai menabrak pembatas jalan.

Pemuda itu kemudian berjalan pelan, melewati berbagai kendaraan. Matanya perlahan memperhatikan satu per satu. Diketuknya kaca pintu mobil, beberapa kali, namun tak dapat tanggapan. Hanya seorang pria paruh baya yang ia lihat dari luar, tengah menyandar ke setir mobil dengan mata terpejam.

Pemuda itu kini berpindah jalan, kali ini agak tergesa menuju arah trotoar. Selagi berjalan, ia menoleh dari kiri ke kanan, memperhatikan sepanjang jalan trotoar, beberapa orang tergelatak jatuh. Ia pun pergi memeriksanya salah satunya.

"Hei bangun, kau baik-baik saja?", kata pemuda itu. Ia memegang kedua bahu orang yang tergeletak itu sambil menggoyangkan badannya.

Pemuda itu kemudian mendekatkan telapak tangannya pada hidung orang tersebut, kemudian menyentuh leher sampingnya.

"Mati?", pemuda itu berbisik kecil.

Pemuda itu kemudian bergegas menuju tempat orang tergeletak lainnya, dan memeriksannya dengan cara yang sama.

"Dia juga."

Pemuda itu pergi lagi, kali ini lebih cepat menuju orang lainnya untuk memeriksanya.

Tergambar cemas pada raut wajah pemuda itu. Ia pun kembali berpindah jalan, hampir-hampir ia berlari, kali ini ia memasuki cafe di sisi jalur trotoar itu.

Pandangannya menyusuri tiap sudut ruangan yang bisa di jangkau oleh mata. Meja-meja yang berada di area pintu depan, sama sekali kosong tak bertamu. Agak lama ia berdiri di depan pintu. Ia pun berjalan memasuki cafe lebih dalam.

Pemuda itu melangkah perlahan, seakan ia tengah bersiap diri untuk melihat hal yang tak diinginkan. Ia berbelok ke area lain, ruang yang tak terjangkau mata di tempat ia berdiri sebelumnya.

Pemuda itu kini menghentikan langkahnya. Ia terdiam berdiri .Di area itu, sebagian besar meja dan tempat duduk ramai oleh pelanggan, lengkap dengan minuman yang tersaji di meja, bahkan beberapa masih terlihat dingin belum mencair.

Namun, semua pelanggan yang ada di dalam mati. Pelanggan-pelanggan itu terpejam tersandar di kursi, ada yang tersandar di meja, ada yang jatuh ke lantai, ada pula pelayan yang mengantar pesanan jatuh tergeletak beserta gelas dan piring tumpah pecah berserakan di lantai.

.

"Ini semua terjadi belum lama.", ucap kecil pemuda itu. mata lelaki itu terbuka lebar, alisnya mengangkat.

Pemuda itu mendekati salah satu orang dan memeriksa untuk memastikan pemahamannya. Sesaat setelahnya ia duduk di salah satu kursi, kepalanya menunduk, dengan raut wajah penasaran.

("Apa yang menyebabkan semua orang seperti ini?, Apa yang sebenarnya terjadi?, dan kenapa hanya aku yang masih hidup?", pikir pemuda itu.)

Agak lama pemuda itu duduk sebelum memutuskan untuk kembali bergerak. Ia bangkit dari tempat duduknya dan bergegas bergerak keluar dari cafe tersebut.

"Barangkali di luar masih ada orang lain yang hidup selain diriku."

Pemuda itu kemudian berjalan-jalan keluar, menyusuri tiap jalan-jalan kota, melewati terminal, pasar, memasuki toko, mall, rumah sakit, hampir semua tempat di kota ia jelajahi, namun yang lihat ia hanya pemandangan yang sama berulang-ulang.

"Haloooo, apa ada yang masih hidup???", pemuda itu berteriak. Sesekali ia berteriak seperti itu pada tiap jarak tertentu.

Cukup lama lelaki itu berjalan, dan telah sejak tadi ia lelah. Kali ini ia ingin berhenti sejenak tuk beristirahat. Saat itu matahari tengah tinggi naik, cuacanya panas, membuat pemuda itu sedikit bermandi keringat.

Kebetulan pemuda itu melihat penunjuk jalan yang menunjuk ke arah taman kota. Ia memutuskan untuk berjalan ke arah taman, sekaligus mencari area yang teduh. Namun, belum juga sampai, dari kejauhan ia justru dikejutkan sekaligus dikecewakan dengan pemandangan yang tak biasa.

Mata pemuda itu agak sayu dengan alis depan mengangkat. Dan ketika ia telah memasuki taman, semuanya menjadi nampak lebih jelas.

Gundukan tanah yang di selimuti rumput hijau, mengiringi setapak jalan taman, diatasnya tumbuh berjarak pohon-pohon, barangkali seharusnya itu pohon apel. Kemudian nampak juga air mancur mini di tengah lingkar jalan setapak, di sisi-sisi jalan setapak itu terdapat pot-pot tanaman, yang diantaranya juga seharusnya tumbuh bunga. Terdapat juga kolam, dan aliran air buatan seperti parit, yang airnya jernih, terdapat pula di dalamnya ikan koi yang banyak, dan berbagai fasilitas taman lainnya.

Namun, segala rerumputan yang ada di taman itu menguning, daun pohonnya berguguran, tanaman dan bunga semua layu mengering, bahkan ikan koi yang banyak semuanya mengapung.

("Tak hanya manusianya yang mati, hewan, dan tumbuhannya juga, taman ini seperti taman yang gersang.", ucap pemuda dalam hati.)

Pemuda itu kemudian duduk di salah satu pendopo yang ada di taman itu. Postur badannya condong kedepan, lengannya bersandar dipahanya sendiri sembari kesepuluh jemarinya saling berpeluk. Kepalanya tertunduk lagi, ia mencoba menerka kembali apa yang sebenarnya terjadi.

Namun, rasa lelah yang dirasa pemuda itu mendorongnya untuk merebahkan diri. Alih-alih sibuk dalam pikirannya sendiri, justru perlahan-lahan matanya mulai meredup. Hingga setelah beberapa saat, pemuda itu pun tertidur dikalahkan rasa kantuknya sendiri.

***

Pemuda itu bangun, kemudian ia duduk. Ia mengusap-usap wajahnya. Setalah beberapa saat, ia menyadari bahwa ia tertidur.

Pemuda itu kemudian melihat langit, memastikan berapa lama ia tertidur. Matahari sudah condong ke barat, namun warna langit belum menunjukan kesenja-annya, dan hari tidak sepanas tadi.

Pemuda itu mengingat-ingat kembali segala yang ia alami hari ini. Ia pun jadi yakin, tak ada satupun hidup di kota ini, yang berarti, di kota ini, ia sendirian.

Disaat yang sama, tiba-tiba pemuda itu merasa sunyi. Hatinya mulai merasa tak nyaman. Cemas dan takut. Ia buru-buru pergi dan mencari arah keluar dari kota ini.

Ia berjalan cepat, menuju arah keluar dari kota itu. Semakin lama hatinya semakin diliputi rasa takut, apalagi sepanjang perjalanan, ia harus berkali-kali melihat orang-orang bergelimpangan di jalan-jalan.

Pemuda itu kemudian melihat sebuah motor tergeletak di tengah jalan raya. Agak berjarak ke belakang motor tersebut, ia juga melihat seseorang tergeletak dengan helm yang masih terpasang. Pemuda itu pun berfikir bahwa orang itu adalah pemilik motor ini.

Pemuda itu mengambil motor tersebut. Ia bergegas naik, dan melaju menuju arah keluar dari kota.

Beberapa lama kemudian, akhirnya ia merasa telah sampai pada tepi kota. Ia pandangi sisi kiri dan kanan jalan, hanya ada rumah-rumah dan toko-toko kecil yang jaraknya berjauhan.

Pemuda itu kemudian memutuskan untuk menghentikan kendaraannya sejenak, untuk menoleh kebelakang. Ia masih belum terlalu jauh meninggalkan kota, sehingga kota itu masih bisa terlihat dari tempat dia berdiri.

Dari tempat pemuda itu berdiri, ia masih mendengar samar keberisikan yang terjadi di kota. Dari kejauhan, ia juga melihat ada pergerakan di sekitar kota. Ia merasa kota itu tiba-tiba nampak ramai.

Pemuda itu penasaran, kota mati yang barusan ia tinggalkan, dari luar tiba-tiba terasa seakan ada tanda kehidupan. Setelah agak lama ia berfikir, pemuda itu pun memilih untuk tak memikirkannya. Kemudian melanjutkan perjalanannya dan semakin menjauhi kota.

***

Matahari telah menunjukkan cahaya senjanya, langit pun di dominasi warna kuning keemasan. Berarti tinggal sebentar lagi tiba waktu malam. Karena tak bisa menolak rasa penasarannya, pemuda itu pun tiba di kota yang sebelumnya ia tinggalkan.

Pemuda itu berkendara pelan, sembari matanya memerhatikan keadaan sekitar. Semakin lama ia semakin sadar, ada yang berubah semenjak beberapa menit ia meninggalkan kota.

Sorot mata pemuda itu berubah. Ia kebingungan, melihat posisi orang-orang yang tergeletak, semuanya berubah, jauh dari tempat sebelumnya. Beberapa kendaraan sudah tidak ada di tempatnya. Ia juga menemukan mobil yang tetap berada posisi semula, namun dengan bemper depan terbuka, padahal sebelumnya tidak.

Pemuda itu kemudian menaikkan kecepatannya, setelah beberapa saat, ia sampai pada tempat di mana ia menemukan motor yang ia kendarai. Namun, pemilik motor ini, yang sebelumnya mati tergeletak dengan helm yang masih melekat, sudah tidak ada lagi di tempatnya.

Pemuda itu semakin bertambah bingung. Tiba-tiba muncul dipikirannya bahwa kejadian ini ada hubungannya dengan dirinya. Disaat yang sama, ia baru menyadari, bahwa ia tidak tahu apa-apa tentang dirinya sendiri. Ia baru ingat, bahwa ia sendiri tidak ingat apa-apa.

Sesaat kemudian pemuda itu tiba-tiba menggeleng-gelengkan kepalanya, menyadarkan dirinya dari fikiran yang rumit. Ia kemudian kembali bergegas berkendara menuju arah keluar dari kota, dan kali ini ia benar-benar tak memikirkannya.

"Pasti, ada yang salah dengan kota ini!", sampai akhir pemuda itu tetap beranggapan seperti itu.

***

Episode 2: Kota Persinggahan

Cukup lama Pemuda itu berkendara dalam gelap. Akhirnya ia pun sampai di sebuah kota kecil, tempat persinggahan orang-orang dalam perjalanan. Hanya ada beberapa toko, cafe, stasiun bensin, kantor polisi, penginapan, dan beberapa fasilitas lain di dalamnya. Walau begitu, kota kecil itu cukup terang oleh beberapa lampu jalanan dan lampu luar tiap bangunan.

Pemuda itu menurunkan kecepatannya. Ia terpikirkan rencana bagus. Mencari toko untuk disinggahi. Ia begitu lapar sebab seharian tak makan. Kemudian bermalam di penginapan.

"Nice Idea, lalu dengan apa kita membayarnya jenius?", pemuda itu berbicara sendiri.

Belum selesai pemuda itu dengan dirinya sendiri, ia justru curiga sebab pemandangan di kota kecil itu. Sesuatu yang ia lihat, persis keadaannya dengan kota sebelumnya yang ia tinggalkan.

Beberapa kendaraan terhenti di tengah jalan aspal, diantaranya bahkan ada yang menabrak sudut bangunan toko. Pemuda itu berhenti, memarkirkan motornya di parkiran sisi toko yang telah disediakan. Kemudian turun, dan berjalan.

Di depan toko tersebut, terdapat stasiun kecil pengisian bensin. Lelaki itu mendekatinya, melihat sebuah truk yang sedang terparkir tepat di sisi mesin pengisian. Ia kemudian berjalan ke sisi truk lainnya, dan menemukan seorang lelaki separuh baya tergeletak dengan selang bensin dekat dengan telapak tangannya. Tumpahan bensin yang sempat keluar dari selang tersebut terlihat seperti baru, belum mengering sama sekali.

Pemuda itu tidak peduli lagi. Ia mengabaikan apa yang baru ia lihat. Ia berjalan cepat, dengan hati yang tidak tenang. Ia memasuki toko, mengambil beberapa makanan ringan serta minuman kemudian menaruh di saku kiri dan kanan pada jaket hitam yang ia kenakan.

Dari arah ia berjalan, nampak sedikit dari celah jalan masuk menuju meja kasir, tangan dan sebagian rambut seseorang tergeletak jatuh di lantai. Namun pandangannya tetap lurus kedepan, tidak menoleh pun tidak melirik. Ia keluar dari toko, dengan sikap seakan tidak melihat apa-apa, namun ia tidak bisa menyembunyikan kecemasan di wajahnya.

Kemudian pemuda itu pergi ke penginapan, tidak terlalu jauh dari toko tersebut, tapi harus dua kali menyebrang jalan. Ia masuk, mengambil sembarang kunci kamar yang menggantung di dinding tepat di belakang meja penerimaan tamu.

Pemuda itu berjalan di lorong diantara kamar-kamar. Ia melihat kunci yang ia bawa, tertera angka empat pada gantungan kunci tersebut. Tak lama ia menemukan pintu yang ia cari. Ia pun membuka kunci pintu tersebut, bergegas masuk, dan menutup pintu itu kembali lalu menguncinya dengan cepat.

Pemuda itu menarik nafas panjang, berjalan beberapa langkah kemudian merebahkan dirinya diatas kasur. Wajah lelaki itu yang sebelumnya menegang kini mereda.

Namun, sesaat kemudian muncul ingatan segala yang lelaki itu lihat di sepanjang jalan tadi. Sesuatu yang ia berusaha tidak ingin lihat. Ia pun tiba-tiba menggerak-gerakkan kepalanya, menyadarkan dirinya dari lamunan.

"Aaah, sepertinya karena aku sangat lelah hari ini.", Ucapnya sembari memiringkan posisi badannya. Ia kemudian tertidur. Kejadian singkat di kota kecil itu benar-benar mengalihkan fokusnya sampai-sampai ia lupa akan rasa laparnya.

***

Pagi hari. Pemuda itu bangun dari tidur. Ia menoleh ke jendela. Biru angkasa telah terlihat tapi belum benar-benar cerah. Ia kemudian menuju ke kamar mandi sebentar, dan keluar darinya dengan wajah basah. Ia pun mengusap-usap wajahnya.

Pemuda itu mengeluarkan makanan dan minuman yang ada di sakunya. Kemudian menaruhnya di meja. Ia pun duduk di kursi sembari melahap semuanya hingga rasa laparnya hilang.

Setelah menghabiskan sarapannya, pemuda itu langsung keluar dari kamarnya, meninggalkan segala bekas makanan, termasuk kunci dibiarkan menggantung di pintu. Ia lalu sampai di ruang depan, dan memperhatikan keadaan. Menyebar pandangan ke segala arah. Hanya ada satu orang tergeletak balik meja penerimaan tamu. Setelah itu, ia keluar.

Sepanjang jalan, pemuda itu memperhatikan banyak hal, dan membandingkannya dengan ingatan tadi malam. Tak ada yang berubah semenjak saat itu. Mobil yang berhenti di tengah jalan masih berada pada tempatnya, truk beserta pria paruh baya di stasiun bensin juga tak berubah posisi, bahkan lampu-lampu di kota kecil itu masih menyala semua.

Saat ini tak ramai yang bersinggah di kota kecil ini, hanya ada beberapa kendaraan di jalan yang bisa di hitung jari, di penginapan barusan banyak kunci yang tergantung di dinding belakang meja penerimaan tamu, dan hanya sedikit ia menemukan orang-orang tergeletak di trotoar.

Pemuda itu pun sampai pada tempat di mana motornya terparkir. Sebelum pergi, ia sempat mencoba melihat dari balik dinding kaca toko, seorang penjaga kasir masih tergeletak dengan pose yang serupa.

Tak ada cemas lagi pada diri pemuda itu. Ia pun mulai terbiasa, setelah melihat keadaan yang sama berkali-kali. Setelah dirasa cukup dengan lokasi tersebut, ia pun akhirnya segera pergi melaju bersama motornya, mulai meninggalkan kota kecil ini.

Pemuda itu semakin menjauh dari kota kecil itu. Sepanjang jalan, ia seringkali memandangi kaca spion. Dari spion, terlihat kota kecil di belakangnya semakin jauh, hingga beberapa bangunan kota itu terlihat kecil, kecuali papan billboard besar bertulis 'Desert Miles 47' berlampu warna-warni cerah, masih terlihat mencolok di ketinggian.

Hingga ketika pemuda itu berkendara sampai pada jarak tertentu, lampu dari tulisan yang ada di billboard tersebut tiba-tiba mati. Ia yang melihat hal itu dari kaca spion, kemudian menghentikan laju motornya dan menoleh ke belakang.

Pemuda itu menoleh cukup lama ke arah kota kecil itu. Billboard lampu bertulis nama kota kecil itu tidak menyala lagi, namun pola tulisannya masih bisa terbaca bila dilihat dengan teliti.

("Lampu itu tidak mungkin mati sendiri.", pikir lelaki itu, dalam diamnya menoleh ke kota kecil.)

Lelaki itu memejamkan mata sembari menggeleng kecil kepalanya sendiri. Menarik dirinya dari pikirannya sendiri.

Pemuda itu sebenarnya memahami, apa yang sebenarnya terjadi. Ia tidaklah sebodoh itu, untuk tidak menyadari. Bahkan kejadian-kejadian semenjak meninggalkan kota pertama, ia memahami bahwa hal aneh tersebut ada hubungannya dengan dirinya.

Hanya saja Pemuda itu terus menyangkal. Menghindari pikirannya sendiri, sebab ia sendiri tidak memiliki alasan yang benar untuk menolak pikiran tersebut. Akan lebih mudah untuk tidak memikirkannya bagi pemuda itu.

Dipagi yang buta itu, si pemuda berkendara di atas jalan aspal. Melewati tanah gersang beserta beberapa bebatuan raksasa berwarna merah kecoklatan, serta dataran tinggi menjulang tinggi seperti pilar.

Kali ini ia tak mengawasi kaca spion lagi, sembari berharap hati lampu billboard akan tetap menyala. Pandangannya benar-benar fokus lurus ke depan. Hingga kota kecil bernama 'Desert Miles 47' itu tak terlihat lagi.

***

Episode 3: Gadis Peri

"Aaaaaaaaaaaaa!!!", teriak keras pemuda itu hingga terlihat urat lehernya.

Setelahnya, pemuda itu pun merebahkan tubuhnya pada rerumputan yang menguning. Tepat di sampingnya terdapat parit kecil dangkal yang airnya jernih namun mengalir lancar hingga mengeluarkan suara desiran.

"Hadeuh, Beberapa tempat telah aku datangi, tapi hanya ada orang mati dimana-mana.", kata pemuda itu dengan nada agak lemas.

"Dimana lagi seorang yang masih hidup dapat aku temui?. Hidup sendirian di dunia yang luas ini, aku pasti menjadi gila.", lanjut pemuda itu berbicara sendiri.

Dua hari telah berlalu semenjak ia meninggalkan kota persinggahan. Pemuda itu telah sampai pada beberapa tempat, dan tak ada apapun yang ia temukan kecuali keadaan yang sama seperti sebelum-sebelumnya.

Pagi ini, pemuda itu begitu kusut. Semalaman ia berkendara. Ia sulit menerima hasil yang ia peroleh. Berhari-hari mencari seseorang yang masih hidup, namun hasilnya nihil. Hampir saja pemuda itu putus asa.

Pemuda itu pun bangun dari rebahannya. Berjalan dengan lututnya ke pinggir parit kecil. Ia mencelupkan wajahnya ke dalam air, setelah beberapa saat, ia mengangkatnya.

Pemuda itu menatap beriak air. Hanya sesaat, lalu beriak itu menyatu bersama air yang mengalir. Dalam tatapannya, ia melihat samar pantulan dirinya sendiri pada permukaan air.

"Bahkan soal diriku aku tidak tahu apapun."

Pemuda itu kemudian bangkit. Berniat untuk mengganti suasana, ia berjalan mengikuti aliran air ke arah yang berlawanan, dan meninggalkan motornya berdiri di tepi jalan setapak tanah kuning.

Arah itu membawanya perlahan mendekati tepi area yang banyak pepohonan. Area itu berada di atas gundukan tanah yang lebih tinggi. Dari tempat pemuda itu berjalan. Ia memandang pepohonan itu kering, daunnya menguning.

Gundukan itu setinggi pinggang pemuda itu. Ia kemudian melompatinya, dan menuju area tersebut. Di sana, ia tidak merasakan kelembaban apapun, kecuali sekedar dedaunan kuningnya yang banyak menghalangi sebagian sinar matahari mencapai dirinya.

Pemuda itu berjalan hingga menembus sisi lain area tersebut. Dari situ, ia melihat ruas jalan di dataran yang lebih rendah. Yaitu jalan setapak yang agak lebar dan tepiannya tumbuh rerumputan yang lebarnya lebih sedikit dari jalan setapak.

Pemuda itu tercengang melihat apa yang ada di depannya. Dari atas tempat ia berdiri, ia melihat rerumputan hijau segar menghiasi kedua sisi jalan setapak itu. Ia berjalan perlahan, matanya terbuka lebar, dan mulutnya menganga kecil.

Pemuda itu berlari, dan melompat ke bawah menuju ruas jalan itu. Ia berjalan ke tengah-tengah kumpulan rumput hijau, dan menjatuhkan salah satu lututnya, menurunkan kepalanya sembari menyentuh rerumputan itu.

"Ini benar-benar rumput yang hidup."

Pemuda itu mengangkat kepalanya dan memerhatikan semua rerumputan itu. Ia menoleh ke kiri-kanan bergiliran. Lalu ia berputar ke belakang, arah di mana ia datang. Salah satu tangannya menyentuh tanah, menumpu badannya agar tidak jatuh dari posisi jongkoknya.

Pemuda itu pun melihat rerumputan yang menguning, berada sejajar dan rapat dengan rerumputan hujau. Rerumputan yang hijau dan yang menguning itu seakan membentuk garis memanjang dari kedua sisi. Namun, garis-garis itu cekung seakan ia bagian dari garis lingkaran.

Pemuda itu pun berjalan ke sisi yang lain. Memotong jalan setapak, melewati rerumput hijau. Ia berjalan menanjaki gundukan tanah. Disitu, ia melihat hamparan tanah yang hijau, dan pepohonan yang rindang. Diantara pepohonan itu juga terdapat bunga-bunga yang tumbuh liar.

Pemuda itu menarik nafas panjang. Ia baru saja merasakan keteduhan yang dibawa oleh kelembaban udara pepohonan. Lalu ia pun beranjak semakin ke dalam, sembari menikmati suasana alam yang hidup.

Setelah beberapa saat pemuda itu berjalan, tahu-tahu ia keluar dari hutan kecil itu, dan tiba pada sisi yang lain.

"Whoaa!", pemuda itu berdecak takjub.

Terlihat hamparan hijau tanah yang lapang. Di atas hamparan hijau itu, tumbuh berjarak bunga-bunga dandelion yang tak terhitung, hampir memenuhi setiap meter area lapang tersebut. Disaat yang sama, hembusan angin sepoi-sepoi menerbangkan dandelion-dandelion itu ke udara.

Pemuda itu melangkah maju. Matanya memandangi bunga-bunga yang terbang di depannya. Terkadang pandangannya mengikuti kemana arah terbang bunga itu. Hingga suatu ketika, pandangannya terhenti pada sesuatu yang tak sengaja ia lihat.

Seorang gadis tengah duduk bersandar di bebatuan. Pemuda itu mendekat. Terlihat gadis dengan rambut panjang terurai kuning keemasan. Ia memakai pakaian serba putih berlengan panjang. Dasi pita biru muda di lehernya. Rok dengan panjang selutut. Kemudian sandal jepit bunga biru muda yang ia kenakan.

Terdapat pula lingkaran kuning bercahaya di atas kepalanya.

Gadis itu tengah asik meniup dandelion di tangan kanannya. Sembari memeluk banyak bunga-bunga dandelion di tangan lainnya.

Pemuda itu berhenti pada jarak tertentu. Cukup dekat. Tak lama untuk gadis itu menyadarinya dan menoleh ke arah lelaki itu.

Lama mereka saling menatap, gadis itu sampai memiringkan kepalanya.

"Haalo?", gadis itu mencoba menyapa.

"Hai?", pemuda itu masih ragu terhadapnya.

"Ouh, kau bisa melihatku??", kata gadis itu dengan nada tinggi. Gadis itu terkejut kemudian berdiri.

"Kauu... Hidup?", pemuda itu masih berdiri terpaku.

"Tentu saja aku hidup. Hey, kau benar-benar bisa melihatku!", gadis itu mendekat, mengelilinginya, mengamatinya atas-bawah. "Dan kau seorang manusia.", lanjutnya.

"Tentu saja aku bisa melihatmu. Apa yang aneh dengan itu?"

"Tentu aneh. Seharusnya manusia tidak bisa melihatku. Begitulah kata kakekku. Atau... apa kakekku berbohong padaku?"

"Aku tidak tahu. Tapi, kenapa manusia harus tidak bisa melihatmu?"

"Ya, itu karena aku seorang peri.", gadis itu menunjuk lingkaran cahaya di atas kepalanya.

"Hah?. Hm, oke." Pemuda itu tidak menanggapinya serius.

Bagi pemuda itu, gadis yang ada di hadapannya hanyalah gadis remaja biasa yang sedang bermain-main. Dari perawakannya ia menerka, bahwa gadis itu berumur kisaran 15-16 tahun.

"Oh iya, namamu siapa?"

Pemuda itu sesaat bingung. Ia tidak tahu mau menjawab apa. Sesaat kemudian, ia cepat teringat gelang karet yang ia kenakan.

"Devan.", pemuda itu pun menamai dirinya devan.

"Jadi Devan, apa yang kau lakukan di sini?, semua orang di desa Gardum sibuk bekerja. Kulihat, kau seperti pria usia 20 tahun-an yang seharusnya sibuk bekerja juga.", gadis itu berkata dengan ekspresi dan pandangan polos.

Devan tersenyum kaku, matanya menyipit. Ia berusaha dewasa menghadapi gadis kecil itu. Ia pun tidak menyangka gadis itu memikirkan hal yang sama dengannya, yaitu menerka umur lawan bicaranya. Hanya bedanya gadis itu blak-blakan.

"Kau tahu gadis kecil, membicarakan umur seseorang sebelum bertanya bukanlah hal yang baik. Dan juga, bukankah kau belum mengenalkan dirimu?", Devan tersenyum ke gadis itu, ia berbicara dengan sedikit membungkukkan tubuhnya kedepan, setelah itu ia kembali berdiri normal.

" Oh ya?. Hmm... tidak ada yang memberi tahuku soal itu.", kata gadis itu, sembari memikirkan perkataan Devan. "Dan hey, aku bukanlah gadis kecil. Kau tau, tahun ini aku 16 tahun." Lanjut gadis itu.

Gadis itu berfikir sejenak.

"Kau benar. Kupikir aku melakukan hal yang salah. Maafkan aku, Devan.", kata gadis itu sembari membungkukkan tubuhnya di hadapan Devan.

Devan menunjukkan tanda senang di wajahnya. Sekali lagi ia tidak menyangka, gadis di depannya ternyata cepat mengerti. Sebelumnya ia pikir gadis itu tipe yang keras kepala, sebab ia suka berbicara.

"Tidak apa-apa. Aku cukup senang kau bisa mengerti. Jadi nona, bolehkah aku tahu namamu?"

"Perkenalkan Tuan Devan. Namaku Luna. Umurku jalan 16 tahun.", ia berkata dengan sopan. "Jadi Tuan Devan, bolehkah aku mengetahui berapa umurmu, serta apa yang kau lakukan di sini?"

Devan merasa tersanjung, Luna mengikuti gaya bahasanya untuk bertanya sesuatu. Namun, disaat yang sama ia juga merasa agak tersindir, melempar balik gaya bahasanya untuk bertanya pada hal yang ia permasalahkan tadi. Devan pun merasa ia tak boleh merasa tersindir. Bagi Devan, Luna adalah gadis yang polos lagi sopan.

"Tidak perlu pakai 'tuan', panggil saja aku Devan. Aku tidak suka hal yang kaku. Sebagai gantinya, aku juga akan memanggilmu Luna, gimana?", Devan menuntaskan kalimatnya dengan senyum.

"Okke, kalau begitu aku setuju. Aku juga kesulitan bila terus bersikap seperti itu. Jadi Devan, berapa umurmu dan apa yang kau lakukan di sini?. Daritadi kau belum menjawab pertanyaan ini bukan. Te-he.", Luna kemudian tersenyum sinis, dengan sedikit tertawa mengejek kepada Devan.

("Cepat sekali gadis ini berubah.", ucap Devan dalam hati.)

Kali ini Devan merasa dipermainkan setelah sesaat lalu dibuat tersanjung. disaat yang sama, Luna yang polos dan sopan tiba-tiba lenyap dari benaknya. Bahkan berganti menjadi Luna yang agak licik. Disaat yang sama pula, Devan jadi yakin, perkataan Luna diawal tadi serta ekspresinya nan polos itu, hanya untuk mengelabui Devan agar memakluminya lalu memancing Devan bersikap sok dewasa.

Devan menarik nafas agak panjang. Ia berusaha menutupi kejengkelannya, serta mempertahankan sikap dewasanya itu.

"Umurku 20 tahun.", ucap Devan asal. Ia bahkan tidak tahu umurnya sendiri. "Aku berkelana, aku berasal dari tempat yang jauh. Hari ini aku hanya menghibur diri, jalan-jalan memasuki hutan kecil, kemudian, tak sengaja aku menemukan tempat ini."

"Menghibur diri?. Apa kau tertimpa masalah sulit?", ucap Luna ingin tahu. "Oh iya Devan, maukah kau jika kita bicara sambil jalan?, aku harus kembali sebelum siang."

Devan mengangguk, "Baikah, sekalian aku mengantarmu."

Sepanjang jalan, Luna melangkah melompat-lompat kecil, sesekali ia meniupkan dandelion dengan tangan kanannya. Walau begitu, Luna tetap mendengarkan Devan. Sesekali juga Luna menatap ke arah Devan saat bicara.

Devan juga hanya melihat Luna dengan senyum tipis. Bagi Devan, itu adalah kelakuan wajar bagi gadis seumurannya.

"Jadi Devan, kau punya masalah sulit kah?"

"Aku bahkan tidak tahu masalahnya apa, jadi aku tidak bisa mengukurnya. Aku sudah banyak melihat orang-orang tak bernyawa di setiap tempat yang aku datangi. Aku hampir tidak tahan, maka dari itu aku jalan-jalan menghibur diri.", ucap Devan sederhana, agar Luna mudah memahaminya.

"Sepertinya aku paham. Kematian itu menyedihkan dan menyeramkan. Aku juga takut dengan kematian. Kau tau, ini kali pertama aku turun ke bumi. Aku ditugaskan kakekku untuk melakukan sesuatu."

Saat itu, Sebenarnya Luna masih belum menangkap maksud sebenarnya dari perkataan Devan. Luna mengira Devan takut akan kematian sama seperti yang ia rasakan.

"Oh ya?, tugas apa yang kakek berikan kepadamu?", Devan pun memutuskan untuk mengikuti permainan Luna. Sebab pikirnya Luna terkadang agak licik, jadi ia mengalah dulu untuk memahami pola pikir Luna.

"Ia menyuruhku menjemput jiwa seseorang yang telah mati. Awalnya aku menolak. Sebab aku takut. Namun kakekku bilang, dia adalah manusia yang sangat baik. Aku akan melihat taman yang indah, dan mencium aroma jiwa yang wangi. Gara-gara itu aku jadi mau."

"Lalu, apa perkataan kakekmu benar?"

"Benar. Aku pergi ke pemakaman manusia. Aku sebenarnya takut, kau tau devan, aku benar-benar berusaha melawan rasa takutku agar aku mau masuk!", Ucap Luna antusias, ia sampai mengekspresikan usahanya dengan gestur tubuhnya.

"Oooooh.", tanggap Devan dengan memainkan intonasinya.

"Iyyaa!. Dan aku akhirnya berhasil masuk. Terus terus, aku sungguhan melihat, satu kuburan yang dia hijau sendiri. Di atas gundukan tanah itu, ada beragam bunga cantik yang aku belum pernah liat sebelumnya tauu."

Devan berpura-pura berfikir sejeak, "Hmmm, Benarkah?"

"Ya. Bagiku juga itu sulit dipercaya. Padahal manusia itu baru tadi pagi selesai dikuburkan, kenapa cepat sekali tumbuh bunganya ya?."

"Itu memang sesuatu yang sulit ku percaya.", tanggap Devan.

"Hey Devaan, kau harus percaya padaku!", tiba-tiba Luna melompat di hadapan Devan. Luna kemudian berjalan mundur melanjutkan perkataannya. "Karena manusia yang ada dalam kuburan itu, ternyata adalah manusia yang jiwanya harus aku antar ke langit."

"Aku khawatir, jangan-jangan kau salah membawa jiwa.", Devan tersenyum sinis.

"Elysia. Namanya Elysia kata kakekku, jiwa yang harus aku bawa. Mana mungkin aku salah. Aku sudah memastikannya, nama yang kakek sebutkan dengan nama di nisan kuburan itu. Disitu tertulis Elysia Ai..... Aira?. Eh benar tidak ya Aira?. Aku lupa nama belakangnya.

"Elysia.", Devan menyebut nama itu, ia merasa familiar. Hatinya merasa akrab, namun karena tidak mengerti, Devan mengabaikannya.

Luna pun kembali berjalan di sisi Devan.

"Aku baru tahu, kalau manusia baik mati, dia bisa menumbuhkan bunga-bunga yang indah. Kalau peri mati, ia hanya menjelma menjadi butir-butir cahaya, terbang, lalu menghilang di udara. Gara-gara itulah aku jadi takut mati."

Devan hanya menanggapi senyum, ia terkesan dengan perkataan Luna yang terakhir. Apa yang Luna ceritakan, bagi Devan terasa nyata, ia bahkan tak lagi peduli benar-salah pada perkataan Luna.

Sesaat kemudian, tiba-tiba langkah luna terhenti. Ia terdiam heran melihat keadaan di depannya. Sesaat kemudian Devan yang berjalan di sisinya juga berhenti.

"Luna?", panggil Devan.

"Devan. Rumputnya....semuanya kuning."

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!