NovelToon NovelToon

H.U.R.T

Prolog

New York, 2009.

Yale High School dihebohkan dengan ditemukannya mayat seorang siswi di halaman sekolah dalam keadaan miris. Diduga, sebelum melakukan aksi bunuh diri, siswi tersebut mengalami pelecehan seksual. Ditemukan luka di organ intimnya juga sisa sperrma di paha dalamnya.

Kepala siswi tersebut pecah, diperkirakan gadis itu jatuh dari lantai lima dengan posisi kepala yang pertama mendarat ke bawah yang mengakibatkan tengkorak kepalanya pecah.

Kejadian tersebut tak ayal menarik perhatian media. Yale High School merupakan sekolah international terbaik. Selain predikat tersebut, kejadian ini melibatkan banyak siswa yang merupakan putra, putri dari kalangan elite. Salah satunya adalah putra dari presiden AS dan juga putra, putri dari keluarga ternama Willson. Darren dan Lexi Willson.

Olivia Phyllida, gadis malang yang ternyata merupakan korban bulliying di sekolah. Hanya karena beasiswa yang diberikan kepadanya, ia bisa bersekolah di sana. Olivia mencoba bertahan meski sekolah bagaikan neraka. Ada saja ulah anak-anak lain untuk mengganggunya. Di siram, di kurung di dalam toilet dan bahkan dipukul. Semua hal menyedihkan tersebut ia tanggung demi tetap bisa lulus dari sekolah ternama tersebut.

Dengan predikat lulusan Yale high school, Olivia yang malang percaya jika jalan untuk mengubah masa depannya akan tercapai, masa depan keluarganya.Tapi hari ini, di senin pagi, gadis itu ditemukan tewas dengan keadaan tidak lazim.

Tubuh ringkihnya tergeletak begitu saja hanya dengan ditutupi kertas koran yang sepertinya belum sempat dibaca oleh kepala sekolah. Lalat mulai beterbangan di atas mayat kaku tersebut. Tidak ada yang peduli. Semuanya sibuk dengan rasa penasaran juga guncangan yang mereka rasakan.

Terdengar bisik-bisik antara para siswa yang saling menuduh.

Polisi dan para detektif berkumpul membuat dokumentasi. Beberapa foto diambil dari berbagai sisi. Sebagian diantara para polisi tersebut tampak berunding, mendiskusikan apa yang mereka duga. Mencatat di atas notes mereka. Kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi. Hingga akhirnya mereka sampai pada satu kesimpulan bahwa selain diperkosa, gadis itu diduga sengaja dibunuh.

Olivia terlentang kaku dengan mata yang menyalak lebar seolah menunjukkan kemarahan kepada orang-orang yang membully-nya. Lidahnya menjulur keluar, ditemukan memar disekitar leher, lengan, dan kakinya.

Ada banyak ditemukan sidik jari, untuk itulah para siswa dan siswi yang ditemukan sidik jarinya dikumpulkan dalam satu ruangan.

Wajah-wajah yang biasanya tertawa setiap melakukan aksi memalukan mereka terhadap Olivia, kini tampak pucat pasi. Hanya kecemasan yang memenuhi roman wajah mereka. Satu, dua, ada total sepuluh orang yang ada di sana. Brian, putra bungsu sang presiden sibuk menarikan jemarinya di atas ponsel mewahnya. Keringat membanjiri dahinya. Empat temannya yang lain, Fred, Dean, Neal dan Vincent juga tidak kalah panik. Sedangkan dua pria lainnya tampak tenang dalam konteks yang berbeda.

Darren sibuk menenangkan saudarinya Lexi yang sempat histeris melihat mayat Olivia. Dua teman Lexi yang sering membully Olivia, sedang menangis tersedu-sedu. Isla Ginevra dan Lily Oswald.

Steven Percy, meski tampak tenang, tapi sesungguhnya pria itu sangat terpukul. Olivia adalah gadis yang ia sukai. Menemukan tubuh Olivia yang sudah tidak bernyawa lagi membuat jiwanya ikut melayang. Perasaan pemuda itu campur aduk. Marah, muak, sedih, hancur, berbaur jadi satu. Masih jelas dalam ingatannya bahwa jumat sore kemarin ia dan Olivia pergi ke kantor polisi untuk melaporkan pelecehan yang dialami Olivia. Bukannya simpati dengan apa yang dialami Olivia, para polisi itu justru menertawakan mereka dan bahkan menuding mereka sengaja membuat laporan palsu untuk melakukan pemerasan terhadap keluarga dari nama-nama yang Olivia sebut telah memperkosanya. Dan sekarang, ia harus berhadapan dengan para oknum tersebut. Steven tidak yakin jika Olivia akan mendapat keadilan.

Diangkatnya kepalanya yang tertunduk sejak tadi. Menatap satu persatu wajah-wajah menjijikkan yang ada di sana. Ruangan itu mendadak sempit hanya karena dipenuhi oleh orang-orang munafik berbau busuk. Steven menduga-duga, apakah benar salah satu dari mereka sungguh orang yang tega membunuh Olivia. Steven akhirnya sampai pada kesimpulan jika kasus ini tidak akan menemukan titik terang. Yang menjadi tersangka adalah orang-orang yang mempunyai pengaruh sangat kuat di negara tersebut.

"Darren... Aku tidak mau di penjara. Kenapa aku bisa jadi tersangka hanya karena Olivia memakai jepit rambutku?"

"Sssttt, tenanglah. Semuanya akan baik-baik saja. Daddy dan Mommy akan segera datang. Kau akan segera pulang bersama mereka. Lupakan tentang apa yang kau lihat di lapangan tadi, oke."

"Ke-kenapa hanya aku? Bagaimana denganmu?" Lexi menatap Darren penuh tanya. Ini bagaikan mimpi buruk baginya. Bagaimana bisa ia dan Darren terlibat dalam pembunuhan, sedangkan membunuh seekor nyamuk saja Lexi tidak tega dan Lexi jelas tahu jika Darren juga tidak akan membunuh, maksudnya Darren bisa saja membunuh mengingat sifatnya yang keras, tapi Olivia bukan targetnya, atau wanita bukan makhluk yang akan Darren sakiti.

"Aku harus memberikan kesaksian, memberikan alibi." Darren mengusap jejak air mata di wajah saudarinya yang cantik.

"Lexi, Darren."

Pintu ruangan dibuka, Pax Willson dan Alena Willson, orang tua dari Willson bersaudara datang menerjang masuk.

"Mom," Lexi menghambur ke dalam pelukan ibunya. "Mom, aku takut, ini mengerikan."

"Mommy di sini, Sayang. Tenanglah. Daddy juga di sini. Semua ada di sini."

Pintu ruangan kembali terbuka, para polisi dan detektif masuk dengan wajah tegang dan murung. Ini pekerjaan sulit bagi mereka. Semua yang menjadi tersangka melibatkan oknum pemerintah, para petinggi negara. Kecuali Steven tentunya. Anak petani biasa.

"Sherif, aku perlu berbicara denganmu. Putriku sangat terguncang dengan apa yang dia lihat. Kami harus membawanya pulang dan kupastikan akan tetap kooperatif saat kalian melakukan penyelidikan terhadap putra dan putriku. Maksudku, silakan melakukannya di rumahku."

Steven menyunggingkan senyum sinis. Keluarga yang lain juga akan melakukan hal yang sama, membawa anak-anak mereka ke rumah hingga pada akhirnya nanti hanya ada negosiasi bukan penyelidikan. Pada akhirnya hanya dirinya yang akan tersisa menghadapi para tikus pengecut itu.

Dan apa yang ia pikirkan terjawab di detik berikutnya.

"Ya, Mr.Willson, kau boleh membawa putra dan putrimu." Salah satu dari detektif di sana menimpali ucapan Pax. Pria itu menarik napas berat sebelum melanjutkan kalimatnya. "Semuanya silakan pulang, kecuali.... Steven Percy. Anda ditahan karena melakukan pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Olivia Phyllida."

Seharusnya Steven tidak terkejut lagi jika dijadikan tumbal, tapi nyatanya, dirinya terkejut, sangat terkejut. Jika ia ingin menjadi seorang pembunuh, tentunya ia tidak akan keberatan untuk membunuh semua yang ada di ruangan itu.

"Itu tidak benar! Steven tidak mungkin melakukan itu. Tuduhan macam apa ini."

Steven mengabaikan pembelaan yang dilakukan oleh Lexi. Tidak akan ada yang berubah. Skenario sudah dibuat, tersangka sudah ditetapkan.

"Mom, Dad, Stev tidak mungkin melakukan hal itu. Olivia, dia mencintai Olivia. Jangan biarkan dia dibawa oleh para polisi itu."

Lexi Stevani Willson

"Menurut sejarah, istilah "Illuminati" mengacu pada Bavarian Illuminati, sebuah kelompok rahasia yang eksis hanya selama satu dekade, dari tahun 1776 hingga 1785. Organisasi tersebut didirikan oleh Adam Weishaupt, seorang profesor hukum Jerman yang sangat meyakini cita-cita Pencerahan (Enlightenment) yang mirip-mirip organisasi persaudaraan lain, Freemason. Freemasonry merupakan organisasi yang tertutup dan ketat dalam penerimaan anggota barunya. Organisasi ini bukan merupakan organisasi agama dan tidak berdasarkan pada teologi apapun."

Pelajaran sejarah, arkeologi dan semacamnya selalu membosankan meski guru yang memberikan pelajaran tersebut cukup menawan. Mr. Arthur Cony, berdiri dengan penuh percaya diri di hadapan siswa dan siswinya dengan raut raut wajah berbeda-beda. Beberapa siswanya tampak tidur secara terang-terangan, beberapanya lagi sengaja menguap lebar-lebar dan menghitung menit demi menit secara terang-terangan kapan pelajaran ini akan berakhir.

"Ini membosankan," Isla menguap untuk kesekian kalinya dan memilih untuk membenamkan wajah di atas meja, mengikuti apa yang dilakukan sahabatnya Lily Oswald yang sudah memilih tidur sejak 10 menit yang lalu.

"Aku tidak mendengar apa yang dijelaskan Mr.Cony, tapi memandangi wajah tampannya sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja. Kenapa dia begitu tampan." Lexi salah siswi yang terlihat masih semangat walau tidak menyimak apa isi dari pelajaran yang disampaikan.

Ya, Arthur Cony, pria berusia 29 tahun itu, memang cukup menawan. Maniknya yang biru selalu berkilat setiap pria itu menyampaikan materinya. Di usianya yang sudah cukup matang, Arthur masih single sehingga banyak para siswi yang berusaha mencuri perhatiannya. Meski menyukai wajah tampan Arthur Cony, Lexi tidak berminat untuk menarik perhatian pria itu. Ia sudah memiliki pria yang ia sukai.

Selain Lexi yang masih setia mengikuti pelajaran Mr. Cony, ada Olivia Phyllida. Gadis manis si penerima beasiswa. Berbeda dengan Lexi, Olivia memang menyimak pelajaran yang disampaikan, bahkan sesekali tangannya menari-nari di atas kertas putih jika ada sesuatu yang penting untuk di ingat.

Sama dengan Lexi, Steven pun demikian. Pemuda itu juga merupakan penerima beasiswa, jadi penting baginya untuk menyimak semua pelajaran meski menurutnya sejarah sangat membosankan.

"Teori konspirasi selalu populer di Amerika Serikat, tetapi selama berabad-abad, Illuminati tidak begitu ditakuti daripada Freemason. Pada 1828, partai Anti-Masonik dibentuk untuk menentang Freemason. Meski akhirnya parpol itu akhirnya mati. Karena Illuminati merekrut banyak anggota di Eropa melalui loji-loji Freemason, susah untuk membedakan dua organisasi rahasia itu. Saling campur baur. Pada tingkat tertentu, paranoia Freemason tumbuh dari pengaruhnya yang kuat di Amerika Serikat. Bagaimanapun, banyak pendiri AS adalah anggotanya. Sejumlah simbol negara AS diduga kuat berasal darin Freemason, salah satunya adalah Eye of Providence -- simbol mata di atas piramida yang ada pada uang dolar -- meski itu tidak ada hubungannya dengan Illuminati Bavaria. Paranoia Freemason bisa membantu kita memahami teori konspirasi tentang Illuminati yang ada saat ini."

"Oh God! Ini membosankan, Mr.Cony. Telingaku berdenging mendengar apa yang kau katakan." Brian menggeprak meja. Bagi pemuda itu tidak ada pelajaran yang menyenangkan. Meski kelakuannya kurang ajar, tidak akan ada satu pun guru yang berani menegurnya. Selain dirinya yang merupakan bungsu dari presiden AS, Yale High School juga merupakan milik keluarganya. "Sudahi pelajaran ini!" Bentaknya dengan wajah garang yang disusul tawa oleh teman-temannya.

Arthur tertawa sumbang meski ia sedikit tersinggung. Sadar dengan statusnya, tidak ada gunanya mencari gara-gara dengan Brian. Pria itu melihat jam tangannya, masih tersisa 10 menit lagi sebelum kelasnya habis.

"Baiklah, kelas kita berakhir sampai di sini." Arhtur masih membereskan buku-bukunya sementara para siswanya sudah berhamburan ke luar.

Lexi menoleh ke belakang melihat pemuda yang menjadi crushnya. Dengan senyum simpul, gadis itu beranjak dari kursinya mendekati sang pemuda.

"Eewww... dia mendekati si cupu lagi," ledek Isla dengan memasang tampak jijik yang ditunjukkannya secara terang-terangan. Ayolah, Lexi adalah primadona sekolah dan menyukai anak seorang petani sungguh di luar ekspektasi semuanya dan yang lebih parah, Lexi menunjukkannya secara terang-terangan, tidak merasa malu sama sekali.

"Sudah lah, abaikan saja dia. Nanti juga dia bosan sendiri." Lily sudah tidak ingin ambil pusing lagi dengan obsesi sahabatnya itu. Lexi sudah jatuh hati setengah hidup kepada Steven Percy, si cupu yang jenius.

Steven Percy sesungguhnya pemuda yang cukup tampan, hanya karena status sosial dan kaca mata tebal yang bertengger di hidungnya membuat ia dipandang sebelah mata.

"Hai," Lexi dengan tingkah malu-malu menyapa Steven yang terlihat masih menyelesaikan catatannya. Pemuda itu mendongak dan tersenyum singkat sebagai balasan atas senyum yang diberikan Lexi kepadanya. "Ibuku membuat bekal yang cukup banyak, kau ingin bergabung denganku?"

Steven menggaruk lehernya yang tidak gatal. Terkadang ia sedikit terusik dengan sikap Lexi yang selalu mencoba mendekatkan diri dengannya. Ia enggan untuk menolak yang nantinya akan berujung petaka padanya. Ia akan digunjing dikatakan tidak tahu malu karena sudah berani menolak primadona sekolah yang juga merupakan putri semata wayang keluarga ternama di New York, Pax Willson.

Melihat reaksi Steven yang kikuk, senyum di wajahnya memudar. "Tidak masalah jika kau tidak bisa. Tapi tolong terima ini." Lexi meletakkan bekalnya di atas meja di hadapan pemuda itu.

"Pasti kau ingin ke perpustakaan bersama Olivia. Kau dan Olivia bisa menikmatinya bersama." Kembali Lexi menyunggingkan senyum manisnya.

Ia sangat menyukai Steven, tetapi juga tahu jika Steven sudah melabuhkan hatinya kepada gadis manis yang duduk di seberang pria itu. Olivia Phyllida. Meski keduanya selalu bersama bagaikan kancing dan baju, tapi Lexi belum pernah mendengar bahwa keduanya menjalin kasih. Jadi menurutnya tindakannya untuk merebut perhatian pemuda itu bukan sesuatu yang salah.

"Baiklah, aku pergi. Bye, Stev... Bye, Olive."

"Bye," jawab keduanya kompak dengan nada canggung.

"Kita makan enak dan sehat lagi hari ini," seloroh Olivia dengan menatap wadah bekal berwarna merah jambu dengan motif bunga sakura. Terlihat sangat manis dan mewah. Olivia menerka-nerka, kira-kira berapa harga wadah tersebut. Ia yakin harganya setara dengan uang belanja mereka selama beberapa bulan, atau mungkin bertahun mengingat mereka hanya makan seadanya dan bahkan terkadang hanya ada roti tawar.

Steven tersenyum canggung mendengar penuturan Olivia. "Ayo kita ke perpustakaan." Steven berdiri dan memasukkan bekal pemberian Lexi ke dalam tasnya. "Aku perhatikan kau tampak serius mendengar materi yang diberikan Mr.Cony."

Olivia mengangguk, "Aku selalu penasaran dengan sekte pemuja iblis yang digadang-gadang bisa mengendalikan dunia."

____

Pletak!

Satu pukulan pelan mendarat di kepala Lexi. Gadis itu mendongak dengan wajah ditekuk kesal. Dari aromanya, ia tahu jika yang melakukannya adalah saudaranya Darren. Memangnya siapa yang berani menyentuh seorang Lexi. Bahkan Brian yang merupakan putra seorang presiden juga tidak mempunyai nyali.

"Mendonasikan makan siangmu lagi, heh?" Darren menarik kursi di sisi Lexi dan meletakkan bekal makan siangnya di hadapan Lexi. "Makanlah."

Lexi menyengir lebar, "Apa aku sudah mengatakan bahwa aku sangat mencintaimu, saudaraku." Lexi segera membuka bekal makan siang milik saudaranya dan segera melahapnya.

"Si Percy itu masih mengabaikanmu?"

Lexi mengangguk semangat, seolah diabaikan seorang pria bukan hal memalukan. "Dia bukan pria murahan. Itu membuatku semakin gencar."

"Ck! kau hanya menyia-nyiakan masa mudamu dengan menyukai pria yang tidak melirik ke arahmu."

Steven Percy

Halo semua. Apa kabar. Lexi dan Darren kembali hadir. Semoga cerita ini tidak kalah seru dari cerita para tetuanya. Dan semoga kalian suka. Dan omong-omong, beberapa bab awal akan sedikit membosankan karena membahas kisah di sekolah, tapi percayalah, konflik semuanya sudah ada di awal. Dan konflik kali ini sedikit berat, genk. Dan akan banyak plot twist. Semoga kalian suka. Komen, Like, Favorit, poin dan koin juga boleh (Hohohoho....) adalah penyemangat bagi kami author remahan. Tolong, bermurah hatilah. Mohon kerja samanya agar cerita ini tidak gantung atau pun pindah lapak😂🤣. HAPPY READING, GAES!!!

.

.

.

"Kau sudah datang?"

Bisikan di telinga Olivia membuat gadis itu berjengkit kaget sampai buku-buku yang ada di tangannya berjatuhan.

"Astaga, aku membuatmu terkejut lagi," Mr. Cony tertawa sembari berjongkok memungut buku-buku yang berserakan di lantai.

Olivia selalu mengisi waktu luangnya di perpustakaan. Selain ia memang gemar membaca, gadis itu juga bekerja di sana, merapikan dan membersihkan rak-rak buku. Ia akan digaji satu kali seminggu oleh pihak sekolah dan Arthur Cony lah yang bertanggung jawab untuk ruangan perpustakaan ini.

"Ma-maaf, Sir." Olivia pun turut membantu memungut buku-buku tersebut.

"Steven tidak ikut bersamamu?"

"Dia akan menyusul sebentar lagi. Dia sedang membeli air minum." Jelasnya. Ya, Steven sering membantunya merapikan perpustakaan. Tidak setiap hari, tapi lumayan sering.

Arthur mengangguk sembari menyodorkan sebuah buku kepada Olivia. "Seperti biasa, kau selalu tampak serius mengikuti materi yang kusampaikan. Kau dan Steven membuatku merasa dihargai. Ini beberapa rangkuman tentang materi yang kusampaikan tadi. Pelajarilah."

"Terima kasih, Sir." Olivia mengambil buku tersebut seraya membungkuk memberi hormat.

"Temui aku jika ada yang ingin kau tanyakan," tukas pria itu sebelum beranjak pergi dari hadapan Olivia yang direspon gadis itu dengan satu anggukan kecil.

Arthur memang salah satu guru yang sangat perhatian kepadanya dan juga Steven. Pria itu selalu membantu mereka jika ada pelajaran yang sulit untuk mengerti. Memberikan buku kepadanya, bukan baru kali ini dilakukan Arthur. Olivia bahkan sering meminjam buku-buku milik pria itu yang berhubungan dengan sejarah kuno.

Olivia memandangi buku yang ada di dalam genggamannya. Seperti buku tulis. Ya, memang, bukankah Arthur tadi mengatakan jika buku ini berisi rangkuman penting.

Olivia membuka lembar pertama buku tersebut. Sebuah nama tertulis di sana. Merry Cristina P. Dahinya mengernyit bingung kemudian mengidikkan bahu sembari memasukkan buku tersebut ke dalam tasnya. Ia akan membacanya nanti di rumah.

___

"Hei, lihatlah siapa yang datang?" Brian berdiri menghadang jalan masuk bagi Steven.

"Si anak petani," Neal ikut menghadang. "Kau yakin ingin membeli sesuatu di sini? Kau memiliki uang?" Cemoh pria itu dengan wajah congkak menyebalkan.

"Astaga, aku kehilangan beberapa dollar, apa kau yang mencurinya?" Dean, si pria tambun ikut menimpali dengan tuduhan tidak berdasar. "Ya, tidak salah lagi, tadi pagi kau sengaja menabrakku. Astaga, Percy! Kau tinggal mengemis kepadaku dan aku akan memberinya. Kami sangat murah hati, Kawan." Si tambun itu merangkul pundak Steven yang ditepis pemuda itu dengan segera.

"Ow, dia mulai bertingkah. Aku takut sekali," Dean memang pria yang sangat menyebalkan dan selalu membuat ulah. Dan tingkahnya semakin menjadi setelah ia bergabung dengan kelompok pembuat onar. Brian, Fred, Neal, dan Vincent.

Darren juga berteman dengan mereka, tetapi urusan membuat kekacauan pria itu selalu tidak ikut campur, baginya itu hanya membuang-buang waktu. Seperti saat sekarang, ia mengabaikan yang terjadi di depannya dengan sibuk bermain game di ponselnya. Tatapannya, boleh saja fokus ke layar, tapi telinga dan hidungnya tetap saja waspada. Ia harus memasang telinga untuk mendengar suara Lexi yang mungkin bisa saja datang tiba-tiba dan membela Steven. Hidungnya pun demikian, harus sensitif menangkap aroma Lexi yang memang wangi semerbak. Aroma saudarinya itu sudah tercium meski jaraknya masih beberapa meter.

"Ck! Itu penghinaan, Dean. Seorang putra walikota ditantang oleh seorang anak petani. Jika aku jadi dirimu, aku sudah menghajarnya." Sang provokator pun beraksi membuat Dean yang mudah terprovokasi segera berdiri di hadapan Steven, mendorong tubuh Steven dengan tubuhnya yang besar.

"Menyingkirlah dari hadapanku!" Steven berdesis sengit. Tubuhnya sudah terpojok di dinding. Kedua tangannya terkepal di masing-masing sisi. Hati dan logikanya berperang, haruskah ia memberi pelajaran kepada salah satu kelompok pembuat onar ini dengan melayangkan bogeman ke wajah Dean. Lantas, apa yang akan terjadi jika Steven menuruti emosinya? Beasiswanya terancam akan dicabut. Tentunya itu bukan hal yang ia inginkan. Orang tuanya sangat bangga kepadanya, terutama ibunya. Di ladang anggur milik keluarga Vincent, ibunya selalu membanggakan dirinya yang pintar dan bisa bersekolah secara gratis di Yale High School.

"Kalian dengar?" Dean lagi dan lagi bertingkah menyebalkan. "Dia berani membuka mulutnya dan mengusirku. Berikan ide, apa hukuman yang harus kuberikan padanya. Brian, kau tidak punya ide, pria culun ini selalu mengganggu gadismu. Menarik perhatian Lexi, lalu mengabaikannya dengan gaya menjijikkan!"

Darren mengangkat kepala untuk pertama kalinya, melihat Steven sekilas lalu menyorot Dean dengan tajam. "Lexi bukan milik siapa-siapa. Perhatikan ucapanmu, Dean." Datar, dingin, lambat, dan menghunus.

Dean terkesiap sesaat sebelum menyengir bodoh. "Santai, Men." kelakarnya yang hanya ditanggapi Darren dengan sorot mata tajam sebelum ia kembali fokus ke layar ponselnya.

"Gara-gara kau, Darren mengamuk, keparat." Dean meletakkan lengannya yang besar di leher Steven hingga wajah Steven merah padam dan kesulitan bernapas. Brian dan yang lain tertawa seakan terhibur dengan pertunjukkan yang ada di hadapan mereka. Wajah Steven semakin merah, matanya sampai membeliak.

Darren tiba-tiba berdiri dari kursinya dan menoleh ke belakang. Benar saja, Lexi terlihat berjalan ke arah mereka dan semakin mempercepat langkah setelah melihat apa yang menimpa pemuda idamannya itu.

"Astaga, badak yang tiada bercula! Apa yang kau lakukan kepada, Steven! Lepaskan dia!" Lexi menarik tangan besar Dean dengan kedua tangannya. "Aku bilang lepaskan! Steve, kau baik-baik saja?" Lexi terlihat sangat khawatir. "Hei, Badak! Kau mendengarku?!" Lexi melotot kesal ke arah Dean yang terlihat masih enggan untuk melepaskan lengan besarnya dari leher Steven.

"Apa kau tidak mendengar apa yang dikatakan adikku, sialan!" Darren menghampiri mereka. "Menyingkir dari sana, Lexi."

"Aku tidak mau sebelum dia melepaskan tangannya dari Steven. Dan aku marah padamu, Darren! Kenapa kau hanya diam saja melihat ini."

"Ini bukan urusanku," masih dengan santai menanggapi kekesalan adiknya kepadanya.

"Kau keterlaluan!"

"Menyingkirlah dari sana, Lexi." Darren kembali memberi peringatan. "Dan kau, Dean, lepaskan pemuda itu sebelum kita yang berakhir di lapangan."

"Ouch, Sial,..." Dean tiba-tiba mengumpat dan mengangkat tangannya dengan kuat. Lexi menggigit tangannya yang berujung gadis itu terjatuh ke lantai akibat dorongan yang tanpa sengaja dilakukan Dean.

"Bajingan!"

"Brengsek!"

"Keparat!"

Makian itu berasal dari tiga mulut pria yang berbeda. Darren, Steven, dan Brian.

Bugh!

Detik berikutnya, Dean tumbang di tanah akibat sundulan kepala seseorang yang membuat hidung Dean mengeluarkan darah segar. Kemudian wajah Dean dihajar secara membabi buta.

Darren yang tadinya hendak menghajar Dean karena sudah membuat Lexi terjatuh, baik itu disengaja atau tidak, dibuat terpaku di tempat melihat kemarahan Steven. Ya, Steven lah yang menyerang Dean.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!