Di kepadatan jalan raya sebuah mobil sport hitam berhenti di dekat lampu merah. Di dalam mobil itu seorang anak kecil laki laki sedang tersenyum memandang pialanya.
" Tuan muda, anda memenangkan lomba lagi ?"
Anak kecil itu menoleh ke samping menatap supirnya dengan wajah yang masih terus tersenyum manis. " Iya, bukannya tadi paman yang paling semangat bersorak menyebut namaku ?"
Supir itu tersentak kaget dan memilih berpura pura tidak mengerti. " Saya selalu di dalam mobil tuan muda."
" Benarkah ? Paman Neus, berbohong kepada anak kecil itu tidak baik. Aku akan mengadukan paman pada ayah dan ibuku nanti."
" Tuan muda Orion, anda tidak bisa mengancam saya seperti itu !"
Orion mengangkat bahunya acuh. " Jujurlah kalau begitu."
Neus menghela napas sejenak sambil kembali menyetir mobil setelah lampu merah berganti. " Iya tuan muda tadi saya melihat anda yang begitu hebat menjawab setiap pertanyaan tanpa kesulitan sedikitpun. Saya menyemangati anda karena tuan dan nyonya tidak bisa hadir melihat perlombaan anda."
Orion tertawa dan menepuk lengan Neus. " Perhatian sekali."
Neus tersenyum malu dengan telinga yang mulai memerah. Padahal niatnya tadi ingin diam diam saja tapi siapa yang tahu kalau tuan mudanya itu malah mengetahuinya. Betapa malu dirinya sekarang karena ketahuan telah berbohong kepada tuan mudanya itu.
" Menurut paman ayah dan ibu senang tidak ya melihat piala ini ?" Orion menunjukkan pialanya yang membuat Neus tersenyum melihatnya.
" Tentu tuan muda, tidak hanya tuan dan nyonya yang bangga melihat anda. Tetapi seluruh orang di Mansion juga ikut bangga melihat kemenangan anda."
" Benarkah ?"
" Iya tuan muda."
Orion semakin melebarkan senyumannya. Ia menjadi tidak sabar lagi untuk cepat cepat pulang ke rumahnya.
" Tuan muda anda..."
Tiba tiba saja Neus menghentikan mobilnya dan menatap waspada daerah di sekitarnya. Jalan yang dilaluinya kali ini adalah jalan yang termasuk banyak dilalui orang. Tetapi kenapa kali ini terlihat sepi sekali ?.
Neus menatap setiap gang yang bisa dijangkau pandangannya. Perasaan terancam yang sering dirasakannya setiap kali diserang musuh Neus merasakannya ditempat ini.
Ini pertanda bahaya !.
" Paman ada apa ?" tanya Orion.
Neus tidak menjawab, ia menggendong tuan mudanya keluar dari dalam mobil lalu berlari sejauh mungkin menjauhi tempatnya berada.
" Paman pialaku tertinggal di dalam mobil."
" Kita akan mengambilnya nanti tuan muda." Neus semakin mengencangkan larinya menuju Mansion.
Orion melihat ke belakang tempat dimana mobilnya berada. Tapi tanpa sengaja pandangannya melihat sesosok berpakaian hitam keluar dari dalam gang dengan membawa sebuah pedang berlumuran darah menuju mobil yang barusan mereka gunakan. Orion menjadi ketakutan melihatnya, ia mencengkram erat pakaian Neus dengan mata yang siap menangis kapan saja.
" Tuan muda tolong tutup mata anda sampai kita berhenti berlari." ucap Neus yang merasa khawatir karena mungkin saja tuan mudanya itu sedang melihat sesuatu di belakang mereka. Terbukti dari tubuh tuan mudanya yang tengah gemetar di dalam gendongannya.
Setelah dirasa telah cukup aman, Neus menurunkan Orion dari gendongannya. Ia menghubungi rekan rekannya untuk meminta bantuan. " Kenapa tidak bisa ?" tanyanya heran.
" Paman kapan kita pulang ?"
Neus berjongkok mensejajarkan tinggi badannya dengan Orion. " Secepatnya tuan muda."
" Kalau begitu ayo paman kita pulang. Aku ingin bertemu ayah dan ibuku." pinta Orion yang mulai menangis ketakutan.
Neus menghela napas dan mengusap air mata tuan mudanya. Terpaksa Neus kembali menggendong tuan mudanya untuk berlari menuju jalur rahasia yang berhubungan dengan ruang tengah Mansion milik tuannya. Setelah dua puluh menit terus berlari di jalur rahasia. Akhirnya Neus sampai di depan pintu rahasia ruang tengah Mansion tuannya. Ia membuka pintu itu dengan perasaan lega. Namun betapa terkejut dirinya saat melihat seluruh orang di Mansion itu telah terbaring dengan anggota tubuh yang tidak lengkap dan lantai yang berlumuran darah.
" Ayah ! Ibu !" Orion berteriak kencang dan melompat turun.
Neus terduduk lemas ke lantai memandang keadaan Mansion milik tuannya saat ini.
Orion berlari mendekati ayah dan ibunya yang terbaring di bawah sofa. " Ayah, ibu, bangun !"
" Ayah ! Ibu ! Ion pulang, ayo bangun !" Orion menangis sambil mengusap darah di wajah ayah dan ibunya.
" Ayah ! Ibu !"
.
...*****...
.
Orion termenung memandang makam ayah dan ibunya. Kejadian beberapa jam yang lalu masih terasa segar diingatannya dimana wajah ayah dan ibunya yang berlumuran darah dengan tubuh penuh sayatan. Padahal diumurnya yang masih kecil ini tidak seharusnya Orion mendapatkan kejadian seperti itu. Seharusnya ayah dan ibunya masih ada bersamanya dan merayakan kemenangannya. Tapi semua itu harus menjadi khayalannya saja akibat perbuatan orang orang itu. Orion mengepalkan tangannya merasa marah.
" Tuan muda." Neus datang dengan membawa koper hitam besar di tangannya.
" Paman pinjam belati." tangan Orion terulur tanpa mau mengalihkan pandangan dari makam ayah dan ibunya.
" Tuan muda anda..."
" Turuti perintahku ! Jangan sampai aku mengulang ucapanku paman Neus." Orion berucap tegas memotong ucapan Neus.
Neus terkejut mendengar perintah yang baru pertama kali ia dengar dari tuan mudanya. Ucapan tegas dengan kalimat yang sama seperti yang sering tuannya ucapkan. Mata Neus memerah menahan tangis, tangannya mengambil belati dari balik pakaiannya.
" Jangan sampai aku mengulang ucapanku."
" Tuan Hansen." Neus menangis mengingat itu. Ia menaruh belatinya di atas telapak tangan tuan mudanya dengan tubuh bergetar. Seharusnya yang menangis disini adalah tuan mudanya bukan dirinya. Tetapi Neus tidak bisa menahan air matanya setelah kehilangan tuan dan nyonya yang sudah ia anggap seperti orang tua kandungnya sendiri.
Orion menghiraukan tangisan Neus. Perasaannya hampa dan juga langkah yang berat membuatnya enggan menegur supir sekaligus bodyguardnya itu. Orion berdiri di dean makam ayah dan ibunya. Matanya menatap tajam belati di tangannya.
CRASH !
Orion mengiris telapak tangannya dan melihat aliran darah yang menetes jatuh ke tanah di depan makam orang tuanya.
" Dengan darahku, aku Orion Harsenal Frendick bersumpah ! Aku akan kembali dan membalaskan dendam ini. Aku akan membunuh mereka bahkan keturunannya dengan cara apapun ! Itulah sumpahku, sumpah pewaris bangsawan Frendick !"
" Tuan muda." Neus berjalan mendekat dengan panik. Segera disobeknya ujung kemeja miliknya untuk membalut luka di tangan tuan mudanya. Ditatapnya tuan mudanya itu dengan sedih.
" Tuan muda anda tidak boleh melukai diri anda sendiri seperti. Tuan dan nyonya pasti tidak akan menyukainya tuan muda."
Orion mengabaikannya, bahkan luka di tangannya tidak terasa sakit sama sekali. Hatinya jauh lebih sakit saat ini, apalagi setelah mengetahui siapa pembunuh ayah dan ibunya. Mereka sering bersama, mereka keluarga, mereka sering bermain bersama, dan mereka juga yang mengajarinya. Tapi mengapa mereka membunuh orang tuanya ?.
" Paman ayo kita pergi."
Di dalam ruangan bernuansa putih, lima orang gadis bergaun seksi sedang berpose menggoda di depan kamera.
" Tolong lebih dekat lagi !"
Lima orang gadis itu mengikuti instruksi sang fotografer. Mereka berusaha untuk terlihat senatural mungkin di hadapan kamera.
" Bagus ! Seperti itu, pertahankan !" sang fotografer segera mengambil gambar mereka sebagus mungkin.
" Yap, ganti !"
Kelima gadis itu menganti gaya mereka untuk sesi yang terakhir.
" Selesai ! Terima kasih kerja samanya gadis gadis cantik."
" Kami bahkan bisa memberikan lebih untukmu Hansen." ucap salah satu gadis itu.
Hansen terkekeh mendengar tawaran itu. " Lain kali karena hari ini aku memiliki janji."
Gadis itu mencibir kesal. " Kau selalu saja begitu."
" Maaf cantik tapi lain kali mungkin aku tidak akan menolaknya lagi." Hansen memberikan senyumannya pada kelima gadis itu. Kali ini ia benar benar memiliki janji dengan pria yang menurutnya setengah wanita. Dia pria tetapi banyak bicara dan sok berkuasa layaknya para wanita.
Drrrt !
Lihat, baru saja Hansen membicarakannya tetapi pria itu sudah langsung menelponnya.
" Aku tahu kau mengejekku Hansen."
" Wow !" itulah kata yang tepat setelah Hansen menerima panggilan.
" Kau di mana ?"
" Kau bertanya seolah kau kekasihku Gabriel."
" Aku serius Hansen, cepat katakan atau aku akan menyeretmu sekarang juga."
" Dan sekarang kau terdengar seperti kekasih yang posesif."
" Ucapkan sekali lagi maka masa depanmu yang tidak seberapa itu langsung hilang dari tempatnya."
" Kau berubah menjadi istri yang memergoki suaminya sedang berselingkuh."
" Hansen !"
" Ya ?"
Panggilan itu langsung terputus. Hansen berdecak menatap layar ponselnya seakan akan itu adalah Gabriel. " Awas kau ! Aku akan membalasmu dasar cerewet !"
" Dan aku akan menyeretmu sekarang juga."
Hansen terkejut mendengar suara Gabriel di belakang tubuhnya. Gabriel tanpa bicara lagi langsung mencengkeram kerah belakang baju Hansen lalu menariknya keluar dari ruangan itu.
" Hei, kau tidak bisa memperlakukanku seperti ini LeBanBi !"
" Aku bosmu kalau kau lupa pekerja." Gabriel menekan tombol lift menuju lantai satu.
" Dan berhentilah memanggilku LeBanBi atau gajihmu kupotong tahun ini." lanjutnya.
" Ini mulutku kalau kau juga lupa."
" Tapi yang kau sebut itu namaku pekerja."
Ting !
Mereka keluar dari lift dengan Gabriel yang masih menarik kerah Hansen. Orang orang langsung melihat mereka dengan pandangan geli. Ini bukanlah pemandangan yang asing karena Gabriel bukan sekali atau dua kali menarik Hansen di depan para pekerjanya.
" Aku malu sialan !" Hansen mencoba melepaskan cengkeraman Gabriel dari kerahnya.
" Aku lebih malu karena membawamu." Gabriel berucap malas.
" Kalau begitu jangan membawaku !" Hansen berteriak kesal.
" Aku juga malas membawamu kalau tidak ingat kau itu adalah temanku."
Para pekerja yang mendengar itu tertawa diam diam. Jika orang yang tidak tahu mungkin Gabriel dan Hansen akan disangka sepasang kekasih.
Hansen menatap Gabriel memelas. " Aku ini fotografer terkenal dan kau seenaknya menjatuhkan harga diriku begitu saja LeBanBi. Tolong lepaskan, aku ini manusia bukan kucing ataupun kelinci yang kau cengkram lehernya."
Gabriel menghela napas dan mempercepat langkah kakinya yang membuat Hansen terseret. " Dewasalah sedikit Hans."
" Kau yang kekanakan LeBanBi !" Hansen menunjuk wajah Gabriel dengan mata melotot kesal.
" Jadilah peliharaan yang baik."
" Aku bukan anjingmu !"
" Aku tidak bilang kau itu anjingku Hans."
" Nah ! Itu barusan kau bilang LeBanBi !" Hansel berteriak marah.
.
...*****...
.
Gabriel bergidik ngeri melihat Hansen yang terus tersenyum manis memandang gadis di depan mereka.
" Yang mau dijodohkan itu aku tapi kenapa kau yang tersenyum seperti orang gila ?" Gabriel berbisik kearah Hansen.
" Tadi kau bilang tidak mau. Sekarang lihatlah, dia cantik sekali." Hansen balas berbisik.
" Itu karena aku tidak tahu sebelumnya kalau dia itu cantik."
" Tapi dia termasuk tipe idealku."
Gabriel tersenyum sinis mendengarnya. " Semua wanita kau sebut tipe idealmu. Bahkan kodok betina pun kau sebut tipe idealmu juga selama itu bisa bereproduksi."
Hansel melotot menatap Gabriel. " Lemas sekali lidahmu itu."
" Tentu saja, lidah kan tidak bertulang. Kau baru tahu ? Jika iya, pantas saja kau bodoh."
" Kau..."
" Ehem ! Maaf."
Mendengar suara lembut menyapa, Hansen dan Gabriel terdiam beberapa detik sebelum berbalik menatap gadis cantik di hadapan mereka.
" Ya nona ?" tanya Gabriel selembut mungkin.
Hansen yang mendengar suara Gabriel mengerutkan keningnya merasa jijik.
" Jadi..., siapa yang akan dijodohkan denganku ?" tanya gadis itu.
" Aku." Hansen dan Gabriel berucap cepat secara bersamaan.
Gadis itu terlihat bingung. " Kalian ? Maksudnya kalian berdua begitu ?"
" Bukan." Gabriel cepat cepat menjawab.
" Lalu siapa ?"
" Aku." Hansen dan Gabriel kembali berucap secara bersamaan. Mereka saling melirik sinis satu sama lain.
" Jangan mengikutiku !"
" Kau juga !"
Gadis itu terlihat mulai kesal. " Sudahlah kita makan saja dulu karena pesanan kita sudah sampai. Oh iya, namaku Bianca."
" Aku Hansen, kau bisa memanggilku sayang kalau mau." Hansen mengedipkan sebelah matanya hingga membuat Bianca salah tingkah.
Gabriel menatapnya tajam. " Berhentilah membual."
Bianca tersenyum lalu beralih menatap Gabriel. " Kalau kau ?"
" Dia LeBanBi." Hansen membalas cepat.
" Le...BanBi ?" tanya Bianca dengan menahan tawa.
Hansen mengangguk. " Le, Ban, Bi. Lelaki Banyak Bicara."
Gabriel langsung memukul kencang kepala Hansen. Matanya menatap tajam dengan tangan terkepal menahan geram. Andai saja Gabriel tidak sedang menjaga imagenya di depan Bianca, saat ini Hansen mungkin sudah menjadi samsak tinjunya.
" Kau berbuat kekerasan kepadaku !." Hansen meringis kesakitan sambil mengusap kepalanya.
Bianca tersenyum melihat pertengkaran itu yang menurutnya lucu. " Mari makan, setelah itu kalian bisa melanjutkannya lagi."
Gabriel memilih mengalah dan mengambil steak daging di depannya. Berbeda dengan Hansen yang memilih ikan bakar dan daun selada. Bianca mengambil steak dengan daun selada. Mereka terlihat menikmati makanan yang disajikan Restoran itu. Sampai akhirnya Hansen tidak sengaja melihat Bianca menelan satu daun selada utuh dengan potongan daging yang diiris cukup besar.
Hansen meneguk ludahnya susah payah melihat itu. Tangannya menepuk paha Gabriel untuk melihatnya juga. Gabriel membelalakkan matanya menatap tak percaya melihat cara makan Bianca yang ternyata begitu mengerikan. Bukan karena dia rakus tetapi untuk ukuran mulut manusia normal. Mulut Bianca bisa dikatakan seperti ular yang sedang memakan mangsanya.
Hansen dan Gabriel saling memandang satu sama lain setelah itu mengangguk bersama.
" Hm..., aku ingin ke toilet sebentar." ucap Hansen.
" Aku ingin cuci tangan dulu. Ayo kita bersama dan Bianca kami tinggal sebentar tidak apa apa kan ?" Gabriel berusaha menjaga ekspresinya agar tetap terlihat biasa saja.
" Tidak apa apa." jawab Bianca.
Hansen berjalan duluan diikuti Gabriel setelahnya. Mereka tidak berjalan kearah toilet melainkan pintu belakang Restoran.
" Sepertinya dia bukanlah tipe idealku." ucap Hansen.
Gabriel mencibirnya. " Setelah kau melihat wujud aslinya baru kau sebut begitu. Dasar buaya tak berbuntut."
PLAK !
Kepala Gabriel tertoleh ke samping setelah mendapatkan tamparan kencang dari ayahnya. Tangannya mengusap sudut bibirnya yang berdarah.
" Sudah berapa kali aku menegaskan kepadamu untuk tidak berteman dengan gelandangan itu Gabriel. Lihatlah sekarang, kau mulai menjadi pembangkang !"
" Itu bukan salah Hansen ayah. Ini memang keputusanku untuk tidak menerima perjodohan itu."
George menunjuk wajah Gabriel dengan jari telunjuknya. " Kau berani mengabaikan permintaan ayahmu ?! Lihat sekarang, kau menjadi pembangkang Gabriel dan itu semua terjadi setelah kau berteman dengan anak gelandangan itu !"
" Sudah kubilang ini bukan salah Hansen ayah."
" Kau !"
PLAK !
George kembali menampar Gabriel. " Ayah ingin kau menjauhi gelandangan itu Gabriel !"
Gabriel diam tak menjawab dengan tangan terkepal erat. Kepalanya menunduk ke bawah menatap lantai. Sebisa mungkin Gabriel menyembunyikan rasa benci di matanya. Jangan sampai ia nanti kelepasan dan berbalik arah menjadi anak durhaka.
" Ayah akan tetap menjodohkanmu dengan putri rekan bisnis ayah. Ayah harap kau tidak mempermalukan ayah seperti kejadian Bianca tadi sore." ucap George.
" Ya."
George memejamkan matanya untuk sesaat. " Istirahatlah dan jauhi gelandangan itu."
Gabriel beranjak pergi ke kamarnya tanpa berbicara lagi. " Maaf ayah tapi Hansen sudah seperti bayanganku sendiri. Hanya didekatnya aku bisa menjadi diriku sendiri tanpa memikirkan tata krama seorang bangsawan." batinnya.
Gabriel mengunci pintu kamarnya lalu berjalan kearah ranjang. Tangannya mengambil ponsel di bawah bantal dan dicarinya kontak nama Hansen. Ia membutuhkan teman konyolnya itu kali ini.
" Halo."
" Kau dimana ?" Gabriel tersenyum saat mendengar suara decakan kesal dari penghubung ponsel.
" Ayolah teman, apa selain kata dimanamu itu tidak ada kata lain saat meneleponku ?!"
" Tidak."
" Menyebalkan sekali kau. Sudahlah jangan menggangguku, aku sedang di kamar mandi."
Gabriel mengerutkan keningnya. " Kau sedang mandi ?"
" Tidak."
" Buang air besar ?"
" Tidak."
" Buang air kecil ?"
" Itu juga tidak."
" Lalu kenapa kau berada disana ?" Gabriel bertanya bingung.
" Menurutmu apa yang dilakukan pria seperti kita saat berlama lama di kamar mandi ?"
Gabriel terdiam dengan kepala berpikir keras. Beberapa detik kemudian matanya melebar saat satu pemikiran masuk ke dalam kepalanya.
" Dasar bajingan ! Kau melakukan itu dijam seperti ini ?!" teriaknya.
Di Apartemen, Hansen tertawa kencang melihat panggilan suara yang langsung diakhiri Gabriel setelah pria itu berteriak histeris. Hansen memandang bayang wajahnya dengan dagu penuh krim cukur di cermin kamar mandinya.
" Salahkan saja dia yang berpikiran kotor di jam segini. Ternyata selain banyak bicara dia juga termasuk pria mesum."
Hansen melirik jam di dinding kamar mandinya yang sudah menunjukkan pukul tujuh lebih tiga belas menit. Ia mengambil pisau dan mulai mencukur bulu bulu disekitar dagunya.
Setelah selesai Hansen mencuci wajahnya lalu berjalan keluar dari kamar mandi. Hansen mengambil album foto di dalam laci meja kerjanya. Di dalam album foto inilah tersimpan kenangan masa kecilnya bersama orang orang yang menyayanginya. Hansen mengusap lembut setiap wajah yang ada di dalam album foto itu.
" Aku merindukan kalian semua." Hansen bergumam pelan kemudian menghela napas mencoba menghalau rasa sesak di dalam dadanya.
.
...*****...
.
Seorang pria berpakaian hitam dengan membawa belati di tangan kirinya dan pistol di tangan kanannya melompat turun dari atas pohon ke balkon kamar mewah milik salah satu petinggi negara Z. Wajahnya yang ditutupi kain hitam kecuali mata tajamnya terlihat misterius sekaligus menyeramkan disaat bersamaan.
Perlahan langkah kakinya terdengar memasuki kamar itu. Mata bermanik hitamnya menatap tajam pada pria paruh baya yang sedang tertidur lelap di atas ranjang. Kedua tangannya menggenggam erat kedua senjatanya kala rasa benci dan dendam semakin menggelora di dalam hatinya.
Samuel Alteus, nama pria paruh baya yang sedang tertidur di atas ranjangnya itu. Sungguh sial sekali, setelah berkhianat Samuel masih bisa tertidur nyenyak di atas ranjang mewah. Pria berpakaian hitam itu menatapnya penuh kebencian. Tangannya yang menggenggam pistol diarahkan ke kepala Samuel. Tetapi tiba tiba saja Samuel terbangun dari tidurnya dan membuat pria berpakaian hitam itu mengurungkan niatnya.
" Siapa kau ?!" Samuel terkejut melihat orang berpakaian hitam berada di dalam kamarnya.
Pria berpakaian hitam itu menyeringai dibalik menutup wajahnya. " Hai, Alteus."
Samuel menatap ragu pria berpakaian hitam di depannya. Suara yang familiar terdengar di telinganya dan mata tajam itu..., Samuel terkejut ketakutan.
" F...frendick ?"
Pria berpakaian hitam itu terkekeh. " Kau masih mengingatku ? Hebat sekali, memang kalau dosa itu akan terus diingat sampai mati. Benarkan Samuel Alteus ?"
Samuel menggelengkan kepalanya menolak percaya dengan apa yang dilihatnya malam ini. Jari telunjuknya menunjuk pria berpakaian hitam itu dengan tangan gemetar.
" K...kau sudah ma..mati Frendick ! K...kau pasti pembohong aku yakin itu. Aku yang melihatmu menjadi mayat Frendick tidak mungkin kau bisa hidup kembali !"
" Benarkah ?" pria berpakaian hitam itu membuka kain penutup wajahnya.
" Tidak mungkin !" Samuel berteriak kencang.
" Hai paman Sam kita bertemu lagi." pria berpakaian hitam itu menyeringai kejam.
Samuel tertegun melihat tanda tahi lalat kecil di bawah mata sebelah kiri pria berpakaian hitam itu. Ingatannya kembali kelima belas tahun lalu dimana Samuel berkenalan dengan seorang anak laki laki yang begitu mirip dengan Hansen Frendick. Anak laki laki itulah yang selalu digadang gadang menjadi pewaris utama di negara N.
" O...orion."
" Terkejut ? Aku pun juga begitu paman saat dulu kau mengkhianati ayahku." Orion berjalan perlahan mendekati Samuel.
Aku Orion Harsenal Frendick. Aku pewaris bangsawan murni Frendick. Terima kasih karena telah menjadi teman ayahku paman Sam !.
Samuel tanpa sadar meneteskan air matanya mengingat awal pertemuannya dengan Orion.
Aku akan menjadi hebat nanti dan paman akan berdiri di sampingku. Sama seperti saat paman yang selalu berdiri di samping ayahku !.
Tubuh Samuel bergetar hebat. " Maafkan paman Ion."
" Jangan panggil aku seperti itu penghianat !" Orion berteriak marah.
" Saat kau menatap mayat ayah dan ibuku saat itu juga kau musuhku Samuel Alteus." lanjutnya.
Samuel menangis sedih lalu menangkupkan kedua tangannya. " Kau bisa membunuhku tapi tolong jangan membenciku tuan muda."
Orion mendengus kesal mendengarnya. Jangan membenci katanya ? Bahkan perasaannya pada Samuel lebih dari kata benci itu sendiri.
" Tolong bunuh aku, aku siap menerima apapun tuan muda." Samuel beranjak lalu bersujud di kaki Orion. Hatinya yang iri di masa lalu membuatnya menyesal seumur hidupnya dan sekarang Samuel merasakan rasa sesal itu.
Orion berjalan meninggalkan kamar Samuel menuju balkon.
" Tuan muda !" Samuel mengejar Orion tergesa gesa.
CRASH !
" Akh !" Samuel terjatuh ke lantai dengan belati menusuk jantungnya.
" Selamat tinggal penghianat." ucap Orion sebelum melompat turun dari balkon.
" Tu..tuan mu..da." Samuel mengulurkan tangannya mencoba menggapai Orion.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!