NovelToon NovelToon

Dua Kembar Terpisah

1 | MIMPI ANEH

Reva mendapati dirinya berada di ruangan yang kosong. Sangat gelap. Begitu hampa. Tidak ada siapapun selain dirinya. Namun tiba-tiba terdapat secercah cahaya yang menerangi ruangan itu. Bersamaan dengan datangnya cahaya itu, tiba-tiba seorang gadis mengejutkannya. Ia melihat gadis itu. Wajahnya serupa dengannya. Bukan hanya itu, bahkan postur tubuhnya juga sangat mirip. Gadis itu berjalan mendekatinya.

 

 

"Siapa kau?" tanya Reva sambil memperhatikannya. Gadis itu tersenyum dengan manisnya. Bahkan senyuman itu persis dengan Reva.

"Reva, kau tidak mengenaliku? Aku adalah kembaranmu," jawab gadis itu dengan lembut. Reva mengerutkan dahinya karena heran. Ia tidak mempercayai apa yang dikatakan gadis itu.

"Itu tidak mungkin. Aku adalah anak tunggal. Aku tidak punya saudara," sahutnya. Ia kembali menatap wajah gadis itu. Terlihat kesedihan di wajah gadis itu.

"Kau benar-benar sudah melupakanku?" gadis itu kembali bertanya. Reva semakin bingung.

"Tapi aku tidak pernah mengenalmu. Siapa sebenarnya kau? Mengapa kau begitu mirip denganku?" Reva balik bertanya.

"Akan ada saatnya pertanyaanmu itu terjawab. Kita akan bertemu nanti," jawab gadis itu. Perlahan-lahan ia mulai ditelan kegelapan.

"Tunggu, jangan pergi dulu! Apa maksud perkataanmu? Tolong jelaskan padaku!" teriak Reva.

"Aku adalah kembaranmu," jawab gadis itu. Reva berusaha meraih gadis itu namun terlambat. Gadis itu benar-benar lenyap.

"Jangan pergi!" teriaknya. Kegelapan mulai mendominasi. Tiba-tiba ia terbangun. Napasnya terengah-engah. Tubuhnya dibasahi oleh keringat dingin. Dilihatnya sekeliling.

"Ternyata hanya mimpi," katanya sambil menghela napas. Ia dapat bernapas dengan lega, namun masih sangat penasaran dengan mimpi itu.

"Hanya mimpi, tapi mengapa aku merasa itu benar-benar nyata?" tanyanya pada diri sendiri. Ia melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 03.17. Kemudian ia coba untuk menenangkan diri dan mencoba untuk tidur lagi.

Di pagi hari yang cerah akhirnya ia kembali bangun. Ia segera bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Dilihatnya seorang wanita yang tak lain adalah ibunya sedang mencuci peralatan memasak.

"Selamat pagi, Bu," sapa Reva. Ia berjalan dan menduduki sebuah kursi.

"Selamat pagi. Ah, putriku sudah siap. Sarapan dulu," balas ibunya.

"Ibu, aku ingin menceritakan sesuatu mengenai mimpi. Tadi malam aku bermimpi aneh," kata Reva sambil mengingat mimpi yang baru saja ia alami.

"Mimpi apa itu?" tanya ibunya sambil berjalan mendekatinya. Ia memperhatikan wajah Reva yang terlihat kebingungan.

"Aku bermimpi bertemu dengan seorang gadis. Wajahnya, suaranya, postur tubuhnya benar-benar mirip denganku. Dia bilang dia adalah kembaranku," jelas Reva sambil menyantap hidangan yang disediakan.

"Ah, itu hanya mimpi. Tidak perlu kau pikirkan berlebihan," sahut ibunya yang masih terus memperhatikan Reva.

"Iya. Tapi entah mengapa aku merasa mimpi itu seperti kenyataan. Aku sangat bingung," balas Reva. Raut wajah ibunya seketika berubah. Ia teringat pada suatu kejadian yang tak pernah ia sampaikan pada Reva.

"Ibu, mengapa melamun?" tanya Reva. Ia segera tersadar dan tersenyum ke arah putrinya.

"Tidak apa-apa. Kalau begitu selesaikan makanmu dan pergilah ke sekolah. Bukankah hari ini ada piket kelas?" ibunya mengalihkan pembicaraan. Ia tidak ingin Reva selalu memikirkan mimpi itu.

"Ah, iya, aku sampai lupa," jawab Reva setengah berteriak. Ia bergegas menghabiskan makanannya dan segera pergi ke sekolah.

Tidak berhenti sampai di sana. Reva masih saja memikirkan mimpinya itu.

"Memangnya apa arti mimpiku semalam? Rasanya seperti kenyataan. Tapi benar juga kata ibu. Aku tidak perlu memikirkannya secara berlebihan. Itu pasti hanya bunga tidur," pikir Reva sambil berjalan menuju sekolah. Ia mencoba untuk melupakan mimpi itu.

"Reva!" teriak seseorang dari kejauhan. Reva segera mencari sumber suara itu. Ia menoleh ke kanan dan kiri namun tidak mendapati siapapun. Ia mencoba menoleh ke belakang. Dilihatnya gadis yang tak asing baginya, Bella. Gadis yang telah menjadi sahabatnya sejak kecil.

"Oh, Bella. Selamat pagi," sapanya sambil tersenyum. Bella berjalan mendekatinya dan balas tersenyum.

"Selamat pagi, Rev," balas Bella.

"Hari ini kau datang cepat juga. Ada apa?" tanya Reva sambil berjalan.

"Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin datang ke sekolah lebih cepat. Lagi pula hari ini kau piket 'kan? Aku akan membantumu," jawab Bella.

"Bella baik sekali padaku. Terima kasih. Oh iya, ada hal yang ingin kutanyakan padamu," kata Reva.

"Tanyakan saja"

"Apa kau mempercayai sebuah mimpi?" tanya Reva.

"Entahlah. Kadang aku mempercayainya, tapi kadang aku tidak mempercayainya. Semuanya tergantung dari mimpi yang dialami," jawab Bella.

"Lalu bagaimana mimpi itu bisa terjadi?" tanya Reva lagi. Ia benar-benar penasaran. Bella menatapnya.

"Kau yang pandai saja tidak bisa menjawabnya, apa lagi aku. Tapi yag kuketahui, mimpi itu bisa saja terjadi karena ada suatu hal yang selalu kau pikirkan. Dengan kata lain kau gelisah karena hal itu. Bisa juga mimpi itu terjadi karena kau memiliki permasalahan dengan orang lain dan belum kau selesaikan. Kau begitu memikirkannya, sehingga akhirnya kau memimpikannya. Tapi semua itu tidak sepenuhnya benar," jelas Bella. Reva hanya mengangguk mendengar penjelasan Bella. Terlihat dari matanya, ia sedang memikirkan sesuatu.

"Mengapa kau tiba-tiba menanyakan tentang mimpi?" Bella balik bertanya.

"Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin tahu," jawabnya. Meskipun Reva ingin berhenti memikirkan arti mimpinya semalam, tapi rasanya sangat sulit. Ia terus terpikir dengan mimpi aneh itu.

"Tapi, Bella, apa mungkin di dalam mimpi itu ada makna tersirat?" Reva kembali bertanya.

"Mungkin begitu. Tapi sebagian besar mimpi hanyalah bunga tidur yang tidak memiliki arti," jawab Bella. Reva mengangguk tanda memahami penjelasan Bella.

"Oh begitu"

***

 

2 | PAGI YANG SEPI

Reva dan Bella tiba di sekolah. Embun dingin masih menyelimuti sekolah itu. Suasananya sangat sepi. Mereka langsung menuju kelas untuk melaksanakan tugas piket.

"Wah, kita datang terlalu pagi, Rev," ujar Bella. Reva melihat sekeliling. Tidak ada siapapun selain mereka di dalam kelas itu. Kelas sangat sepi. Bahkan hembusan napas mereka dapat terdengar dengan jelas.

"Kau benar," sahut Reva sembari mengambil sapu yang terletak di belakang pintu. Sementara itu Bella berniat untuk membuang sampah.

"Aku akan membantumu membuang sampah. Tidak akan lama. Aku akan kembali lagi setelah itu," kata Bella. Kemudian ia bergegas pergi meninggalkan Reva sendirian di dalam kelas. Kini Reva semakin kesepian. Ia mulai menyapu lantai. Namun di sela-sela itu, ia kembali mengingat mimpi semalam. Perkataan gadis di dalam mimpi itu selalu terngiang di telinganya.

Tiba-tiba ia mendengar langkah kaki mendekat ke arahnya.

"Itu bukan Bella. Jika itu adalah Bella, pasti ia akan berjalan sambil berbicara," gumamnya. Suara langkah kaki itu semakin terdengar jelas. Ia mulai merasa takut. Tangannya bergetar.

"Mengapa suaranya semakin jelas? Siapa itu?" ia bertanya dalam hati. Semakin dekat, suara itu terdengar semakin jelas. Tiba-tiba ia merasa bahunya disentuh.

"Lepaskan aku! Pergi kau!" teriaknya. Ia menggunakan sapu di tangan sebagai senjatanya untuk memukul.

"Reva, ini aku. Hentikan!" ujar orang tersebut. Reva memberanikan untuk membuka mata. Alangkah terkejutnya ia mendapati seseorang yang berdiri di hadapannya.

"Edward? Ma-Maafkan aku," katanya sambil menunduk. Ia menjadi sangat malu karena telah memukul Edward menggunakan sapu.

"Tidak apa-apa. Kau kelihatan ketakutan," sahut Edward sambil menatap Reva. Tangannya masih bergetar.

"Tentu saja aku ketakutan. Kau datang dan secara tiba-tiba langsung memegang bahuku. Aku semakin terkejut," teriak Reva.

"Iya, iya, aku salah. Maafkan aku," ucap Edward. Ia berusaha menenangkan Reva.

"Sudah kumaafkan," balas Reva. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya di kelas.

"Tapi pukulanmu tadi benar-benar sakit, Va. Lebih sakit dari pukulan ibuku dulu," sambung Edward. Mendengar ucapan Edward, tiba-tiba Reva mengangkat sapunya.

"Apa katamu?" tanyanya dengan nada yang sedikit tinggi. Meskipun ia membelakangi Edward, tapi aura menyeramkan dari Reva dapat dirasakan oleh Edward.

"Ti-Tidak kok. Aku bercanda. Maafkan aku," jawab Edward.

"Gadis ini padahal dia yang salah, tapi aku yang meminta maaf. Ternyata benar kata adikku, perempuan itu selalu benar," pikir Edward.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Reva lagi yang membuat Edward terkejut. Reva seperti bisa membaca pikiran.

"Ti-Tidak ada," jawab Edward.

"Reva, aku sudah membuang sampahnya," kata Bella begitu memasuki kelas. Ia terkejut mendapati Edward tengah berdiri di dekat Reva.

"Sejak kapan kau sampai di sini?" tanya Bella.

"Baru saja. Mengapa kau meninggalkan Reva sendiri di dalam kelas?" Edward balik bertanya.

"Aku membantunya membuang sampah," jawab Bella.

"Sahabat macam apa kau ini? Seharusnya kau tidak meninggalkan Reva sendiri di dalam kelas. Kau tahu tidak tadi Reva..." belum selesai Edward berbicara, tiba-tiba tangkai sapu mengenai kepalanya.

"Sudah kubilang aku membantunya membuang sampah!" teriak Bella.

"Gawat. Dua perempuan ini sekarang menyerang. Aku bisa binasa kalau terus berada di sini," gumam Edward.

"Apa kau bilang?" tanya Reva dan Bella secara bersamaan. Auranya semakin menyeramkan. Karena takut, Edward berlari meninggalkan kelas.

"Hei kembali kau anak aneh!" teriak Bella. Namun Reva tertawa.

"Mengapa kau tertawa?" tanya Bella.

"Apa kau tahu? Edward sial sekali hari ini. Tadi dia tidak sengaja kupukul menggunakan sapu. Lalu kau melempar gagang sapu dan mengenai kepalanya. Hari ini dia benar-benar sial," jawab Reva sambil tertawa.

"Ini salahnya karena jadi target yang mudah dipukul," ketus Bella.

"Sudah jangan dimarahi lagi. Oh iya, terima kasih karena sudah membantuku, Bel. Aku berhutang budi padamu," ucap Reva.

"Kita ini sahabat. Jika kau kesulitan, beri tahu aku. Aku pasti akan membantumu sebisaku"

Tak berapa lama siswa-siswa mulai berdatangan. Bangku yang kosong tadi satu per satu terisi. Hanya ada satu bangku yang masih kosong, tepat di sebelah bangku Reva. Ia memandangi bangku kosong itu.

"Reva, apa yang sedang kau lihat?" tanya Bella. Reva segera mengalihkan pandangannya.

"Tidak ada. Sekarang pukul berapa?" Reva balik bertanya. Bella memperlihatkan jam di tangannya pada Reva.

"Sudah hampir bel masuk? Ini aneh sekali. Tidak biasanya Vian terlambat. Apa dia tidak masuk sekolah hari ini?" Reva bertanya-tanya. Terlihat raut wajahnya mengungkap kekecewaan.

"Wah, kau tiba-tiba menanyakannya. Ada apa ini? Ayo ceritakan padaku," kata Bella. Reva langsung memalingkan wajahnya.

"Tidak ada apa-apa. Aku hanya heran karena ia belum datang," sahut Reva. Reva memutuskan untuk ke luar kelas. Tatapannya kosong. Ia kembali melamun seperti tadi pagi. Meskipun ia tidak terlalu memikirkan perihal mimpi itu lagi, tapi ia terlihat tidak tenang. Ia mencoba menenangkan diri. Dipejamkannya matanya.

"Reva, apa yang kau lakukan?" suara familiar itu membangunkannya. Betapa terkejutnya Reva melihat sosok yang berdiri di hadapannya.

3 | ALVIAN, SI PRIMADONA

"Vi-Vian?" tanya Reva. Ia dikejutkan oleh sosok lelaki yang berdiri di hadapannya. Wajahnya memerah mendapati orang yang dikaguminya tengah berdiri di hadapannya. Lelaki itu tersenyum.

"Selamat pagi, Reva," ucapnya dengan suara lembutnya. Senyuman lelaki itu membuat Reva ikut tersenyum.

"Oh, selamat pagi, Vian," balas Reva. Ia memperhatikan Vian.

"Mengapa kau datang terlambat?" tanyanya. Vian bersandar di tembok, tepat di sebelah Reva.

"Tadi ada anak kecil yang sedang menangis di pinggir jalan. Aku tidak tega melihatnya. Jadi aku menghampirinya. Katanya dia tidak bisa menyeberang jalan sendiri. Dia ingin pergi ke sekolah, tapi terhambat karena tidak bisa menyeberang. Ibunya sedang sakit tidak bisa menemani dan teman-temannya sudah pergi terlebih dahulu. Dia terlihat begitu ketakutan. Tangannya bergetar. Karena masih ada waktu, aku memutuskan untuk mengantarnya ke sekolahnya," jelas Vian. Sosok Vian semakin dikagumi oleh Reva. Sebenarnya bukan hanya Reva, tetapi hampir semua orang mengagumi Vian. Dia adalah lelaki yang tampan, bertubuh tinggi, dan pintar. Sejak pertama kali masuk sekolah, ia sudah dikenal seisi sekolah. Sosoknya selalu menjadi incaran para gadis. Tak jarang Vian mendapat surat cinta dan pernyataan cinta secara langsung.

Reva juga sangat menyukai Vian. Tapi bukan karena fisiknya. Ia memiliki penilaian tersendiri terhadap Vian yang membuat ia menyukai lelaki itu. Di matanya, Vian sangatlah baik, penyayang, dan lembut. Ia sering berbagi cerita dengan Vian. Selain itu, Vian juga sering membantunya.

Reva menatap wajah Vian. Tak sengaja mata mereka bertemu. Dengan segera Reva memalingkan wajahnya yang telah memerah. Ia jadi semakin malu. Terlebih lagi karena berdiri berdekatan dengan Vian. Detak jantungnya terdengar sangat jelas olehnya.

"Apa yang sedang kalian lakukan di sini?" suara itu mengejutkan mereka. Suara itu berasal dari seorang gadis berambut lurus.

"Oh, Mira. Kami tidak melakukan apapun," jawab Vian. Mira memandangi Reva dengan tatapan yang sinis.

"Mengapa kalian berdiri di sini? Masuklah. Sebentar lagi bel berbunyi," sahut Mira. Ia segera masuk ke kelas.

"Benar. Reva, ayo masuk," ajak Vian. Reva hanya mengangguk untuk mengiyakan.

"Tadi Mira menatap dengan sinis ke arahku. Apa dia tidak suka melihatku berdekatan dengan Vian?" Reva bertanya-tanya dalam hati. Ia duduk di sebuah bangku yang terletak di sebelah Vian. Sebenarnya Reva dan Vian adalah dua orang pandai di dalam kelas. Terkadang mereka menduduki urutan teratas secara bergantian. Namun hal itulah yang membuat Reva semakin tertarik dengan Vian. Menurutnya, Vian selalu bisa menjadi panutannya untuk terus berkembang.

"Reva, mengapa kau suka melamun?" tanya Vian. Rupanya ia memperhatikan Reva sejak tadi.

"Ah, tidak. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu," jawabnya lirih.

"Apa kau sedang sakit?" tanya Vian lagi. Reva menggelengkan kepala sambil tersenyum.

"Tidak, aku baik-baik saja seperti yang kau lihat," jawabnya sambil tersenyum. Reva menyandarkan kepalanya di meja. Tiba-tiba ia merasakan kepalanya disentuh.

"Kepalamu sedikit panas," ujar Vian lagi. Wajah Reva semakin memerah karena sentuhan itu. Dengan segera ia menarik kepalanya.

"A-Aku baik-baik saja, Yan," katanya lagi.

"Kalau kau terus memperlakukanku seperti itu, aku akan sakit karena debaran jantungku semakin kencang, Vian," ujar batinnya. Ia tidak dapat mengendalikan raut wajahnya.

"Wajahmu merah, Va," kata Vian lagi.

"Tentu saja merah. Kau yang membuatnya menjadi merah. Dasar Vian," katanya dalam hati. Ia hanya tersenyum untuk menanggapi ucapan Vian.

***

Bel tanda pulang berbunyi. Perlahan-lahan kelas menjadi kosong kembali.

"Reva, hari ini kau mau langsung pulang?" tanya Bella seraya menghampiri Reva.

"Iya. Memangnya ada apa?" Reva balik bertanya.

"Ah, jangan langsung pulang, Rev. Apa kau tidak ingin pergi mencari makanan dulu?" Reva mengernyitkan alis.

"Makanan di rumah jauh lebih enak," jawabnya.

"Maksudku sesuatu yang manis, seperti kue atau es krim. Apa kau tidak ingin membeli dulu?" tanya Bella.

"Emm... Kau ingin minta ditemani untuk membeli?" Bella mengangguk. Matanya berbinar-binar agar Reva menuruti permintaannya.

"Baiklah, baiklah. Aku akan menemanimu," jawab Reva. Mendengar jawabannya, Bella spontan memeluk Reva.

"Reva baik sekali. Aku sayang Reva," ujarnya setengah berteriak.

"Bella, kau membuatku tidak bisa bernapas," kata Reva berusaha melepaskan pelukan Bella. Namun Bella memeluknya semakin erat.

"Baiklah, baiklah. Oh iya, Vian, mengapa kau belum pulang?" kali ini Bella bertanya pada Vian yang sejak tadi memperhatikan mereka.

"Oh, aku menunggu yang lain pulang terlebih dahulu," jawab Vian. Mendengar jawabannya, Reva dan Bella saling pandang.

"Menunggu yang lain?" tanya mereka secara bersamaan.

"Iya. Sekolah sudah mulai sepi dan kalian masih ada di sini. Pulanglah terlebih dahulu," jawab Vian lagi.

"Jadi maksudnya kau menunggu kami pulang lebih dulu?" Reva kembali bertanya. Vian mengangguk.

"Baiklah, kami pergi dulu, Vian. Sampai jumpa," ujar Bella. Ia segera membawa Reva pergi.

"Sampai jumpa," ucap Reva.

"Jangan lupa untuk mengantar Reva ke rumah. Jika tidak, bisa saja dia pingsan," teriak Vian. Suaranya terdengar sangat jelas.

"Iya," jawab Bella.

***

"Vian tadi bilang apa? Kau bisa saja pingsan jika tidak kuantar pulang ke rumah?" tanya Bella di tengah perjalanan. Reva tertawa kecil.

"Entahlah. Dia berpikir aku sedang sakit. Makanya dia berkata begitu," jelas Reva.

"Dia perhatian juga padamu. Rev, apa mungkin Vian punya perasaan khusus padamu?" kata Bella. Reva menghela napas.

"Itu sudah biasa," jawabnya.

"Maksudmu dia sudah biasa perhatian padamu? Wah"

"Bukan. Bukan begitu. Maksudku sudah biasa dia bersikap perhatian pada siapapun. Lagi pula tidak mungkin Vian punya perasaan khusus padaku. Aku ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan orang lain," jelas Reva. Bella kemudian mencubit pipinya.

"Kau ini selalu saja merendah begitu. Sudahlah, kita langsung pergi membeli ke toko dan aku akan mengantarmu pulang"

"Baiklah"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!