"Trima...trima...trima..." suara sorakkan mahasiswa dan mahasiswi memenuhi ruang kantin siang ini.
"Ayo Caren. Cepatlah di terima. Kalian pasangan paling serasi di kampus ini," teriak salah satu mahasiswi.
Perkenalkan. Namaku Carenina Martadinata. Menurut mereka, aku sudah di nobatkan sebagai mahasiswi paling cantik dan paling sexy di kampus ini. Saat ini wajahku sedang merona, karena dibawahku sudah berjongkok seorang pria tampan yang tengah menyatakan perasaannya padaku sembari meraih satu tanganku.
Dia adalah Delano Ahmad. Pemuda tampan yang juga di nobatkan sebagai pria tertampan di kampus kami. Jika aku menerima cintanya saat ini, maka kami akan di gadang-gadang menjadi couple ter hitz 3 tahun terakhir ini.
Oke cukup dulu perkenalannya. Saat ini aku masih tengah di landa kegugupan. Dengan aksi malu-malu, aku meraih sebuket bunga mawar merah dari tangan Delano, sembari kuanggukkan kepalaku tanda setuju diriku menjadi pacarnya.
"Yes!" kulihat Delano menarik kepal tangan beserta siku kearah perutnya.
Aku melihat rona bahagia diwajah pria yang beberapa detik yang lalu sudah resmi menjadi pacarku.
"Untuk semua yang berada di kantin ini, hari ini aku traktir kalian semua sepuasnya," seru Delano dari atas meja.
Semua mahasiswa dan mahasiswi di kantin itu bersorak gembira saat mendengar ucapan Delano. Kulihat Delano kemudian turun dari atas meja, dan mengahampiri aku sembari mengulurkan tangannya untuk kuraih.
"Cantik. Mari kita makan siang bersama, pesan apapun yang kamu mau," ucap Delano sembari mengedipkan matanya kearahku.
Delano menarik tanganku perlahan ke arah meja yang tampak sengaja di kosongkan, dan kemudian Delano menarik sebuah kursi untuk aku dudukki. Semua orang yang menyaksikan keromantisan kami, terdengar bersiul-siul hingga aku jadi salah tingkah dibuatnya.
Sejak ungkapan perasaan itu sudah dinyatakan, dan kami sudah resmi berpacaran. Nyaris tiap hari Delano mengantar jemputku saat akan pergi, maupun saat pulang kuliah. Delano pria yang sangat romantis dan penyayang, sehingga apapun yang aku minta selalu dia turuti selagi dia bisa.
Satu lagi yang membuatku terkesan pada Delano. Dari awal kami berpacaran, dan sampai kami akan lulus kuliah. Pria itu terkesan sangat menghormatiku sebagai seorang wanita. Dia tidak pernah mengajakku berkencan ditempat sepi, apalagi ingin mengambil keuntungan dariku. Yah...sampai 1 tahun masa berpacaran dengannya, bibirku masih perawan.
Oh ya. Aku ini dianggap paling beruntung oleh teman-temanku. Dari sekian ratus mahasiswi pengagum pacarku, hanya aku yang terpilih menjadi pacarnya detelah nyaris 4 tahun pria itu menjadi incaran kaum hawa di kampus kami.
Selain tampan dan gagah, Delano juga pemain basket handal. Pacarku itu sering ikut kejuaraan turnamen basket dari mulai tingkat kabupaten hingga ke tingkat nasional. Membicarakan soal Delano, dia merupakan sosok pria sempurna tanpa cela dimataku.
"Beb. Liburan semester kamu mau kemana?" Delano bertanya padaku sembari mengaduk es pokat kocok yang baru kami beli di pinggir jalan.
"Dirumah aja. Kamu mau pergi?" tanyaku setelah menyedot es pokat terlebih dahulu.
"Kami sekeluarga rencananya mau pergi liburan ke luar kota. Ikut aku aja yuk?"
"Nggak mau ah! malu. Kita ini cuma pacaran, bukan suami istri. Nanti orang tuamu mengira aku yang nggak-nggak." Jawabku.
Meski sebenarnya aku ingin ikut, tapi tentu saja aku menolak dengan tegas permintaan Delano. Bukan apa-apa. Keluargaku masih penganut petuah jaman dulu. Pemikiran yang masih kolot, dan juga selalu didahului kata pamalik setiap ada hal yang mereka tidak sukai. Kalau sampai aku ikut Delano liburan ke luar kota, bisa-bisa aku di gorok oleh mamaku yang mempunyai keahlian memainkan pisau layaknya koki handal itu.
"Orang tuaku asyik lagi beb. Mereka juga paham karena mereka pernah muda. Lagian ada adik perempuanku, jadi kamu punya teman disana nanti."
"Nggak mau ah. Kamu pergi liburan saja. Aku mau dirumah saja. Lagipula kita sudah mulai pengajuan judul skripsi, aku mau mikir keras nih . Biar IPK ku nanti cukup memuaskan. Syukur-Syukur dapat cumlaude."
"Ya udah kalau nggak mau. Nanti aku bawakan oleh-oleh saja buat kamu. Lusa kan ya liburnya?" tanya Delano.
"Iya. Kamu disana jangan nakal, jaga mata dan hati kamu." Aku menjawab dengan bibir yang sengaja kubuat sedikit maju.
"Idih. Ngapain cari pacar lagi? tandanya aku kurang bersyukur, udah punya pacar cantik tapi masih mau lirik yang lain,"
Satu lagi nilai plus yang paling aku sukai dari Delano. Dia tidak akan membiarkan aku menunggu jawaban yang paling mau aku dengar. Dia selalu pandai menyenangkan hatiku, meskipun aku sendiri tidak tahu apa perkataannya itu jujur atau dusta.
"Sudah sore. Antar aku pulang ya?" aku minta segera diantar pulang, saat kulirik jam dipegelangan tanganku sudah menunjukkan pukul 5 sore.
Selain aku takut di gorok mama, aku juga takut dijewer oleh nenekku. Dia paling tidak suka melihat anak gadis yang masih keluyuran saat menjelang magrib. Kata nenekku, itu saatnya para setan lewat. Mereka takut aku ketempelan alias kesurupan.
"Ya sudah ayo. Lagian kayaknya mau hujan juga. Hari ini aku nggak bawa mobil karena aku pikir pakai motor lebih romantis," ujar Delano sembari terkekeh.
Kucubit pelan pinggang Delano, meskipun dia tidak mengatakannya, aku tahu dia pria yang romantis ketimbang mantan pacarku sebelum dia.
Aku lilitkan tanganku meski Delano tidak memintanya. Karena aku lebih sayang nyawaku daripada gengsiku. Delano bukan tipekal pria yang membawa motor berlama-lama dijalanan. Dia sudah seperti kembarannya Valentino Rossi.
"Masih pacaran kamu sama bocah ganteng itu?" tanya mamaku yang diam-diam mengintip dari kaca jendela rumahku.
"Masih ma." Jawabku sembari melepas sepatu kets yang bersarang dikedua kakiku.
"Jangan pacaran lama-lama. Kalau sudah cocok langsung menikah saja setelah lulus," ujar mamaku sembari menenteng sebilah pisau yang rupanya dia gunakan untuk memotong daun bawang.
"Belum minat mau nikah secepat itu. masih mau niti karier dulu,"
"Niti karier apanya. Mama nggak mau ya sampai keduluan perut kamu yang terlanjur membuncit. Anak muda jaman sekarang pergaulannya sangat mengerikan."
"Ya ampun ma. Biar jaman dulu juga banyak kok ma yang bunting duluan. Itu tergantung pribadi masing-masing." Jawabku sambil berlalu dari hadapan mamaku.
"Eh...dibilangin kok ngeyel. Kalau sampai bunting duluan mama gorok leher kamu. Dengar tidak?" teriak mamaku, yang hanya kujawab dengan lambaian tanganku.
Masih bisa kudengar mamaku menggerutu. Tapi aku tidak perduli. Lagian aku juga punya prinsip. Keperawananku hanya akan kuberikan pada suamiku. Bukan pada pria yang hanya mengobral janji untuk menikahiku tapi ternyata menyelingkuhiku setelah apa yang dia mau sudah dia dapatkan.
Liburan kuliah telah usai. Aku sudah tidak sabar ingin bertemu pujaan hatiku yang sudah pergi selama satu minggu ke kota Malang. Tiap hari selama di kota itu, Delano selalu memamerkan hasil jepretan ponselnya kepadaku.
Selama seminggu disana hampir tiap tempat pariwisata dia kunjungi. Mulai dari wisata petik buah apel, buah naga, buah jambu, sampai buah strawberry. Mereka juga mampir ke wisata kebun sayur yang ditanam dengan cara hidroponik.
Delano juga menunjukkan padaku wisata paralayang. dimana seseorang yang berani akan ketinggian, akan bermain parasut yang akan dibantu oleh ahlinya. Dan yang terakhir Delano menunjukkan padaku wisata musium angkut yang menyimpan bayak kekayaan di dalamnya. Musium itu menyimpan puluhan koleksi mobil dan motor antik. Dan masih bayak peninggalan bersejarah lainnya.
"Oleh-Olehmu ntar aku bawa ke kampus ya beb?" ucap Delano diseberang telpon.
Daripada oleh-oleh. Aku lebih ingin bertemu pacar tampanku. Bukan apa-apa, disaat sedang kasmaran begini, sehari terasa tidak bertemu selama satu tahun.
"Aku nggak mau satu. Pokoknya yang banyak," bibirku sengaja kubuat muncung kedepan, agar aksi manjaku diketahui olehnya.
"Iya. Aku beli baju couple buat kita. Nanti kita pakai pas ngampus ya?"
"Iya." Jawabku dengan senyum mengembang dibibirku.
Seperti janji Delano padaku. Setiba dari kota Malang, pacarku itu langsung datang kerumahku untuk memberiku oleh-oleh. Tidak hanya aku saja, mama, papa dan nenek juga kebagian. Jadi bertambah satu pula nilai plus dimataku. Dia tidak hanya sayang aku, tapi juga sayang keluargaku.
Sesuai janji yang sudah disepakati, keesokkan harinya aku dan Delano pergi ke kampus menggunakan baju couple yang dia beli dari kota Malang. Senangnya hatiku hari ini, karena semua orang menjadikan kami pusat perhatian.
"Kata mama dan nenekku makasih oleh-olehnya. Katanya semoga kamu lulus dengan nilai bagus, punya karier bagus, dan cepat melamar aku," ucapku.
"Sungguh? senang sekali sudah dapat lampu hijau dari keluargamu. Kamu tenang saja, aku juga niat nikah muda kok. Nanti kalau sudah lulus dan dapat pekerjaan bagus, aku akan langsung melamarmu,"
Kata-Kata Delano seperti angin surga bagiku. kata-Kata itu selalu terngiang-ngiang di telingaku, sehingga aku terkadang susah tidur dibuatnya.
*****
7 bulan telah berlalu. Saat ini aku tengah mengatur gayaku di depan kamera. Yah...saat ini kami tengah memakai seragam toga, karena hari ini hari kami di wisuda. Senyum semringah terbit dari bibir kami, karena penantian panjang kami sudah berakhir. Setelah hari ini kami akan melangkah ke tahap yang lebih ekstrim lagi, dimana ijazah kami akan mulai memasuki tempat-tempat yang membuat kami bisa menjadi orang sukses.
Aku cukup bangga, meski hanya lulus dengan predikat memuaskan. Beda denganku, beda pula dengan pacarku. Aku sangat bangga memiliki dia. Selain tampan dan sempurna menurut pandanganku, dia juga berotak cerdas. Delano lulus dengan predikat cumlaude.
Untuk pertama kalinya pula aku bertemu dengan keluarga pacarku. Delano hanya mempunyai seorang adik perempuan yang masih duduk dibangku SMA.
"Cantik sekali. Siapa namamu?"
Wanita parubaya yang menanyakan nama padaku adalah ibu yang melahirkan Delano. Dia terlihat sangat cantik, dia terlihat lebih muda dari usianya. Ditanya seperti itu, tentu saja tutur bahasaku dibuat sehalus mungkin, agar calon mertuaku itu terkesan padaku.
"Carenina tante." Jawabku disertai senyum terbaikku.
"Calon mantu mama," timpal Delano yang membuaku jadi salah tingkah.
"Kamu ini. Lihat tuh, Caren jadi malu. Oh ya apa orang tuamu tidak hadir?" tante Wina kembali bertanya padaku.
"Datang. Tapi tadi duluan pulang, karena ada pekerjaan lain." Jawabku.
"Ikut kita ke Studio foto yuk? biar buat kenang-kenangan," ujar tante Wina.
Astaga. Apa ini sudah termasuk foto keluarga? tentu saja aku senang menerima tawaran itu. Sekalian aku bisa nebeng buat menggandakan foto wisudaku yang belum sempat aku lakukan.
"Baiklah tante. Caren ikut." Jawabku.
Kamipun menuju studio foto untuk mengabadikan moment langka itu. Ada beberapa sesi foto yang kami lakukan, dan terakhir adalah sesi fotoku bersama Delano.
"Sekarang kalian sudah lulus. Sudah saatnya kalian berjuang mencari kerja. Setelah dapat kerja, kalau bisa jangan lama-lama pacaran. Untuk menghindari hal-hal yang tidak di inginkan,"
Sungguh hatiku berbunga-bunga saat mendengar ucapan tante Wina yang seolah sudah memberikan lampu hijau pada kami.
"Kenapa? mama sudah tidak sabar pengen gendong cucu ya?" tanya Delano pada tante Wina.
"Tentu saja. Mama pengen cucu yang banyak. Soalnya anak mama cuma dua, ditambah lagi Carenina anak tunggal kan ya?"
"I-Iya tante." Jawabku kikuk.
"Mama tenang saja. Nanti akan Ano buatkan yang banyak, biar bisa berantakin rumah mama," ujar Delano.
Seperti itulah siang itu obrolan kami sangat hangat. Obrolan itu berlangsung hingga kami makan siang bersama di salah satu restauran padang. Aku merasa sangat nyaman dan tidak lagi canggung berada di tengah-tengah keluarga Delano.
Setelah makan siang bersama, merekapun mengantarku pulang meskipun tidak ikut masuk kedalam dan berkenalan dengan keluargaku. Tapi aku ada senangnya juga mereka tidak ikut masuk. Aku takut mama dan Nenekku banyak tanya, dan ujung-ujungnya ingin membahas soal pernikahanku dengan Delano.
*****
Satu bulan mencari kerja, Delano mendapat panggilan kerja di salah satu perusahaan bonafit. Aku merasa sangat bangga padanya. Sementara aku masih saja menunggu panggilan kerja yang tidak kunjung kudapatkan.
Rasa banggaku terhadap Delano bertambah pesat, saat tiga bulan bekerja tiba-tiba dia sudah di promosikan menjadi seorang manager. Sementara aku masih saja belum mendapat panggilan apapun meski aku sudah menyebar hampir 30 cv di tiap perusahaan terkenal.
"Baby. Sesuai janjiku, aku ingin melamarmu setelah aku mendapatkan pekerjaan bagus. Aku tidak ingin menundanya lagi, karena mama sudah pengen punya mantu,"
Delano menggenggam kedua tanganku. Lamarannya sangat manis, karena dia mengajakku dinner disalah satu kafe terkenal.
"Tapi aku belum bekerja. Sementara kariermu semakin menanjak. Apa kamu nggak malu punya istri pengangguran sukses?" tanyaku dengan wajah murung.
"Kamu itu tulang rusukku, bukan tulang punggungku. Istri memang sebaiknya di rumah, selagi suami mampun menafkahi."
Jawaban Delano sungguh membuatku terharu. Aku tidak menyangka dia benar-benar sangat mencintaiku, setidaknya itulah yang aku pikirkan.
"Baiklah aku akan bicarakan ini dengan orang tuaku," ucapku.
"Aku sudah tidak sabar ingin hidup berdua denganmu. Aku juga sudah membeli rumah untuk kita. Ya meski cuma di perumahan sederhana, tapi lumayanlah buat kita berlindung."
"Kamu sudah beli rumah?" tanyaku.
"Ya. Aku ingin setelah menikah, kita langsung pindah ke rumah baru." Jawab Delano
Tentu saja aku bertambah girang mendengar ucapan Delano. Minimal aku bisa menghindari hal-hal yang tidak di inginkan. Misalnya percekcokkan antara mertua dan menantu. Atau percekcokkan dengan adik ipar. Setelah samapi dirumah, aku tidak membuang waktu lagi. Aku beri kabar keluargaku, tentang nian baik Delano yang ingin resmi melamarku.
Air mataku mengalir laksana air terjun, saat Delano sudah Sah menjadi suamiku beberapa detik yang lalu. Suasana haru begitu terasa di kediamanku saat ini, terlebih aku adalah putri satu-satunya di keluargaku.
Keesokkan harinya kami mengadakan resepsi disebuah gedung sederhana. Keluargaku memang sengaja mengundang banyak orang, karena mereka pikir aku adalah putri satu-satunya mereka. Dan menginginkan pernikahan sekali dalam seumur hidup.
Malam harinya mama memanggilku untuk datang ke kamarnya. Dia ingin minta di bantu untuk menuliskan nominal amplop beserta nama orangnya. Meskipun ada rasa sedikit malas, tapi aku tetap membantu mamaju.
"Udah ah ma capek...ngantuk. Sisanya mama sama papa teruskan ya? kasihan Delano tadi minta dipijat kakinya," ujarku seraya berdiri dari tepi tempat tidur orang tuaku.
"Awas pelan-pelan saja. Jangan buru-buru, biar nggak sakit nantinya," aku mengerti arah tujuan omongan mama. Namun aku berpura-pura tidak mendengar, meskipun sebenarnya aku sangat gugup saat ini.
Oh ya. Tinggi badan suamiku sudah hampir 2 meter. hanya kurang 20 sentimeter saja. Bayanganku kepemilikkannya, tidak jauh beda dengan tinggi besar orangnya.
Aku tertawa sendiri saat membayangkan benda satu itu akan mengobrak abrik milikku sebentar lagi. Meski aku bukan pelaku se*s bebas, tapi aku sering juga nonton blue film bersama-sama temanku. Awalnya aku penasaran, tapi lama kelamaan ketagihan juga. Aku jadi tahu banyak hal tentang posisi-posisi saat orang dewasa bercinta. Aku juga tahu cara tehnik berciuman yang membuat seseorang bergairah. Dan yang paling penting, aku jadi tahu tiap ukuran normal orang Asia sampai Afrika. Semua yang aku tahu hanya sekedar lewat video tidak bermoral, untuk pengalaman aku hanya bernilai 0 besar.
Namun sejujurnya aku lebih penasaran dengan bentuk punya suamiku. Ah...pikiranku benar-benar kotor saat ini. Bahkan aku sempat memikirkan bagaimana caraku mendesah, agar suamiku tambah bergairah.
Krieekkkk
Kutekan handle pintu kamarku. Malam ini Delano memang tengah menginap dirumahku, 3 hari kemudian akan diadakan acara ngundu mantu di rumah mertuaku.
Kudengar Suara Delano sudah mendengkur. Antara lega dan kecewa bercampur jadi satu. Lega karena mahkotaku selamat, dan kecewa karena malam pertamaku ternyata gagal malam ini.
*****
Cup
Aku merasakan keningku sedikit dingin, karena Delano memberikan ciuman selamat pagi untukku. Ciuman pertama kami, setelah menjalin kasih setahun setengah lebih 40 hari. Aku sembunyikan wajahku didalam selimut. Meski hanya ciuman dikening, namun entah mengapa jantungku debarannya sudah seperti gempa berskala 3,5.
"Maaf semalam kamu aku tinggal tidur duluan. Capek banget Beb. Kamu nggak kenapa-kenapa kan?" tanya Delano sembari perlahan menarik selimut yang menutupi wajahku.
"Nggak apa. Aku juga lelah. Soal malam pertama kita bisa melakukannya kapan saja." Jawabku.
"Beb. Kamu ingin kita bulan madu kemana?" tanya Delano.
"Tidak perlu kemana-mana. Jangan menghambur-hamburkan uang demi hal yang dimana saja bisa melakukannya,"
"Kali aja kamu pengen sesuatu yang beda," ujar Delano.
"Mending uangnya kita tabung buat masa depan," ucapku sembari beranjak dari tempat tidur.
Tap
Delano menarik tanganku hingga aku jatuh diatas tubuhnya. Di tepikannya rambutku ke belakang telingaku. Dia kemudian membalikkan posisi kami, hingga aku berada dibawah kungkungannya.
"Mau sekarang?" tanya Delano.
"Kok tanya aku? kamunya mau nggak?" tanyaku.
Terdengar lucu saja saat kudengar pertanyaan itu keluar dari mulut suamiku. Meskipun aku ingin, tentu saja aku gengsi mengatakannya. Jadinya terpaksalah aku pura-pura tidak menginginkannya saat ini, meskipun aku sudah penasaran setengah mati.
"Kita main santai aja kali ya? kita bisa melakukannya saat pindah dirumah baru nanti," ucap Delano sembari menarik tubuhnya yang tadi mengungkungku.
Hah? selama itu? lalu bagaimana dengan nasib yang dibawah sana? yang mulai nyut-nyutan. Ughhh...sehari menikah dengannya aku jadi tahu kalau suamiku ini tipe pria yang sedikit kurang peka.
Namun apa mau dikata, demi gensiku yang setinggi langit dan selebar bumi. Aku akan mencoba berpura-pura tidak perduli, meskipun pada kenyataannya hatiku dongkol setengah mati.
Dan pada akhirnya 3 haripun berlanjut, di rumah mertuaku melaksanakan acara ngundu matu, agar para terangga semuanya tahu, kalau suamiku kini sudah memperistri diriku.
"Ma. Lusa kami mulai pindah ya?" tanya Delano, saat kami tengah makan malam bersama di rumah mertuaku.
Baru tadi sore acara ngudu mantu berakhir, tapi Delano sudah membicarakan tentang kepindahan kami ke rumah baru. Tentu saja raut wajah ibu mertuaku mendadak mendung.
Ku senggol kaki suamiku dengan ujung sendalku. Aku memberikan kode padanya dengan ujung daguku sembari mengarah pada ibu mertuaku.
"Kan pindahnya juga nggak jauh ma. Paling cuma 20 menitan dari sini," sambung Delano.
Mataku melotot kearahnya. Bukan kata itu yang ingin aku dengar dari mulut suamiku. Aku tidak keberatan jika harus tinggal barang seminggu atau sebulan dengan ibu mertuaku. Aku juga bisa memaklumi, mungkin ibu mertuaku ingin mencicipi masakkan menantunya. Meskipun aku tidak pandai memasak, tapi untuk masakkan standar masih bisa aku lakukan.
"Harus lusa ya? apa tidak bisa kalian tinggal barang sebulan di sini?" tanya mama Wina.
"Bisa kok ma? jangan dengarkan omongan Ano. Kami akan pindah bulan depan saja,"
Aku berusaha membuat mama Wina mengembalikan senyumnya yang hilang beberapa detik yang lalu.
"Kok gitu beb? tempat kerjaku jauh dari sini," tanya Delano.
"Cuma satu bulan sayang. Kasihan mama belum rela lepasin kamu, iya kan ma?" aku mengedipkan mataku kearah mama Wina.
"Biarkan saja dia pindah lusa sendirian. Sekarang anak kandungku bukan dia lagi, sudah berubah jadi Carenina. Biarin deh nggak punya anak laki," sindir Wina.
"Bukan gitu ma. Tempat kerja Ano agak jauh dari sini. Itulah sebabnya Ano cari perumahan yang lebih dekat dari kantor," ujar Delano.
"Ya sudah mama minta seminggu deh," bujuk mama Wina.
Delano menghela nafas dan kemudian mengangguk sembari tersenyum. Malam itu obrolan di meja makan terasa ringan. Satu lagi yang kutemukan di keluarga ini. Ayah mertua dan adik iparku sangat pendiam, jika dibandingkan dengan mama Wina dan Delano.
Seperti malam-malam sebelumnya. Malam-Malam kami banyak dihabiskan dengan mengobrol. Aku tidak tahu apa yang salah dengan suamiku, hingga dirinya tidak bernafsu untuk memulai malam pertama kami yang sudah sangat kudambakan.
Kadang aku hampir seperempat hari menatap diriku dicermin, hanya untuk melihat apa ada yang kurang dari tubuhku. Tapi aku cukup percaya diri, karena selain berparas cantik. Aku juga mempunyai body yang bisa di bilang cukup montok.
"Apa benar-benar harus di rumah baru, baru bisa malam pertama? Jangankan malam pertama, mengajakku berciuman saja tidak. Ini apa ada yang salah denganku?" aku selalu perang batin kalau hari sudah beranjak malam.
Dan seperti biasa, setelah mengobrol panjang, aku di tinggal tidur begitu saja tanpa mengerti perasaanku yang gundah gulana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!