NovelToon NovelToon

Lupus Akhir Sebuah Kisah

Leanora

Gadis berparas cantik itu bernama  Leanora Juniati Yusuf. Orang - orang biasa memanggilnya Lea. Tidak ada yang spesial dari hidupnya. Gadis berambut panjang sepinggang itu hanya gadis sederhana yang bersekolah di salah satu sekolah menengah atas di daerah Jakarta Barat. Lea merupakan putri bungsu dari empat bersaudara yang lahir dari hasil pernikahan pasangan Robet Yusuf dan Ana Maria.

Lea juga tidak berasal dari keluarga kaya raya yang mempunyai segudang harta, mulai dari rumah mewah dengan fasilitas minimarket dan kolam renang di dalamnya, hingga deretan mobil mewah yang terpajang di garasi. Ya, meskipun kehidupannya juga bisa dikatakan lebih dari cukup jika dibandingkan dengan tetangga - tetangga yang tinggal di komplek perumahan yang sama yaitu komplek Garuda.

Rumah yang ia dan keluarganya tempati juga tidak bisa dikategorikan sederhana walaupun terletak di komplek yang jauh dari katagori komplek elit ala pengusaha kelas atas. Rumah lantai dua itu terlihat begitu mencolok diantara rumah - rumah yang ada di sekitarnya. Selain berukuran cukup besar serta halamannya yang luas, interior rumah itu juga terlihat begitu mewah dengan desain klasik yang elegan.

Robet Yusuf, ayah Lea memang seorang owner sebuah perusahaan tetapi hanya perusahaan kecil. Ayahnya memiliki sebuah perusahaan penerbitan yang bernama Cipta Kasih Media. Perusahaan kecil yang telah berhasil menerbitkan buku - buku yang banyak dicari dan diminati oleh orang - orang yang gemar membaca. Ana Maria ibunya bukan seorang politikus atau artis papan atas dengan gaji selangit. Ana Maria hanya ibu rumah tangga biasa yang menyalurkan keahliannya dengan membuka sebuah salon yang diberi nama Leanor Salon. Sebuah nama yang diambil dari nama puteri bungsunya.

Terlahir sebagai anak bungsu dan anak perempuan satu - satunya dengan jarak usia yang begitu jauh dengan ketiga saudaranya membuat Lea dicurahkan begitu banyak kasih sayang. Bukan hanya dari ayah dan ibunya tapi juga dari ketiga saudaranya yang semuanya adalah laki - laki. Meski usianya sudah belasan tahun, gadis itu masih diperlakukan seperti seorang bocah kecil oleh kedua orangtuanya dan juga ketiga saudara laki - lakinya yang membuatnya tumbuh menjadi gadis manja. Namun, kejadian tragis yang terjadi siang itu merubah segalanya. Kehidupan indah seorang Leanora berubah seratus delapan puluh derajat.

Siang itu seperti biasa Lea menemani wanita yang telah melahirkannya ke dunia itu mengunjungi sebuah rumah singgah yang letaknya berada di sudut kota. Rumah singgah yang didirikan oleh Robet dan Ana bertahun  - tahun silam bahkan jauh sebelum Lea lahir ke dunia. Kedua orangtua gadis itu mempunyai jiwa sosial yang tinggi. Keduanya  mempunyai niat mulia untuk menampung anak - anak terlantar  untuk dididik dan diberi keterampilan sebelum mereka dilepas untuk hidup mandiri.

"Oke anak - anak Bunda, sampai ketemu minggu depan." Suara lembut Ana menutup kegiatan yang dilakukan setiap seminggu sekali. Apalagi kalau bukan mengajar anak - anak putus sekolah yang tergabung dalam rumah singgah Harapan Kita. Banyak hal yang diajarkan ibunya di rumah singgah itu. Dimulai dari belajar membaca dan menulis hingga mengajari anak perempuan yang berusia remaja ke atas keahlian yang berhubungan dengan kecantikan.

Lea begitu bangga pada sosok wanita yang telah berjuang melahirkannya ke dunia itu. Sosoknya yang lembut, bersahaja serta peduli pada orang lain membuatnya begitu mengagumi ibunya itu. Ia berharap suatu saat ia bisa seperti wanita itu. Ana selalu mengajarkan Lea untuk selalu berbagi dan peduli pada orang di sekitar."Jika kamu tak punya uang maka berbagilah dengan tenaga, waktu bahkan ilmumu." Kalimat itu selalu Ana tanamkan kepada Lea dan juga ketiga anaknya yang lain.

Dengan penuh sukacita Lea dan Ana melangkahkan kakinya keluar dari rumah sederhana itu menuju mobil yang diparkir di depan gang. Ana memang terpaksa memarkir mobil di depan gang karena lokasi rumah singgah berada di gang sempit yang tidak bisa dilalui oleh mobil.

"Mau mampir dulu atau langsung pulang ?" tanya Ana kepada Lea sesaat setelah keduanya duduk dengan posisi sempurna di dalam mobil.

"Ke toko buku bentar ya, Bun. Ada buku yang mau Adek beli." jawab Lea seraya mengenakan seat belt.

"Novel lagi kan ?"

Lea mengangguk lalu tersenyum kecil. Ana memang ibu terbaik yang begitu mengerti akan apa yang dipikirkan anaknya. Terkadang Lea merasa bahwa ibunya itu punya kemampuan membaca pikiran orang lain karena tak jarang Ana berhasil menebak apa yang ia pikirkan.

Membaca novel memang salah satu hobi Lea. Jadi jangan heran jika gadis dengan kulit sawo matang itu betah menghabiskan waktu berjam - jam untuk membaca cerita yang kebanyakan merupakan cerita fiksi. Novel - novel dengan genre romance, sience finction hingga misteri adalah jenis - jenis novel kesukaannya. Saking sukanya dengan dunia penulisan ini itu Lea bermimpi suatu saat ia tidak hanya sebagai penikmat karya tulis orang lain melainkan sebagai penulis dengan karya best seller yang banyak dicari oleh para pembaca. Dalam hal ini tentunya Lea ingin berusaha sendiri tanpa meminta bantuan ayahnya yang memang bekerja di bidang penerbitan. Ia ingin orang lain mengenalnya karena karyanya memang bagus bukan karena bantuan orangtuanya.

Hampir tiap bulan Lea menyambangi toko buku hanya untuk berburu berbagai novel terutama yang bergenre misteri. Tentunya novel yang ia beli bukan dari penerbit ayahnya karena jika hasil terbitan perusahaan ayahnya gadis itu tidak perlu membeli karena setiap ada novel baru ayahnya itu pasti menyisihkan satu untuknya. Dari sekian banyak penulis yang begitu ia kagumi, Agatha Cristie adalah penulis favoritnya. Lea punya mimpi suatu saat bisa menjadi penulis besar seperti beliau. Di tengah keterbatasannya, Agatha Cristie mampu melahirkan karya - karya luar biasa. Cara penyampaiannya juga dengan bahasa sederhana  tapi mampu menguras emosi. Ending cerita yang tak bisa ditebak membuat gadis penyuka biskuit itu  selalu suka dengan karya - karya beliau.

Tak pernah terlintas di benaknya bahwa hari itu menjadi hari terakhir kebersamaannya dengan ibunya. Ia juga tak pernah membayangkan suatu hari ia akan menyaksikan kejadian tragis yang menimbulkan trauma yang begitu mendalam. Kejadian yang menjadi awal dari semua kehancuran dalam hidupnya

Baru dua puluh menit Lea dan Ana meninggalkan rumah singgah dan kini sedang dalam perjalanan menuju toko buku yang ada di salah satu mall di kotanya.

"Ya elah lampu merah, Bun."

Tubuh gadis itu merosot lemas. Lea sedikit kecewa karena lampu lalu lintas itu dengan cepatnya berganti warna. Bukannya ia tidak mau menaati rambu lalu lintas. Hanya saja lampu lalu lintas di daerah ini agak sedikit menyebalkan. Lampu merahnya bisa sampai tiga menit sementara lampu hijaunya hanya hitungan detik. Menyebalkan bukan ?

"Memangnya kenapa sih Dek kalau lampu merah ?" Ana melirik Lea yang sedang memberenggut kesal dengan bola mata yang fokus menatap angka - angka yang tertera dalam kotak yang berada di atas rambu lalu lintas.

"Lama Bun." Lea terlihat lucu dengan bibirnya yang mengerucut.

"Oh astaga, anak Bunda udah gak sabaran toh." Wanita yang tetap cantik meski sudah memiliki empat anak itu tertawa kecil melihat ekspresi anak bungsunya itu. Satu tangannya terulur mengelus puncak kepala sang putri dengan penuh kasih sayang.

"Bun, hujan - hujan gini enaknya..."

"Ngebakso." Lea dan Ana serempak tertawa mendengar jawaban keduanya yang begitu kompak.

"Oke deh, kalo gitu kita mampir dulu di bakso kumis, habis itu baru ke mall. "

"Setuju Bun. Bunda memang yang terbaik." Lea tersenyum lebar sambil mengacungkan jari jempolnya ke atas tanda setuju dengan apa yang disarankan oleh Ana.

Lea begitu bersemangat ketika dari jauh warung bakso kumis langganan keluarganya sudah terlihat. Sepertinya hari ini si Pak Yono yang lebih dikenal dengan pak kumis karena kumisnya yang begitu tebal, kedatangan pelanggan yang begitu banyak. Parkiran penuh terisi bahkan sampai ke bahu jalan sehingga bunda harus memarkir mobil agak jauh dari area warung bakso.

"Turun duluan aja Dek ! Bunda mau nelpon si Ayu dulu."

Lea menganggukkan kepalanya cepat lalu bergegas mengambil payung yang ada di belakang kursi karena hujan masih setia membasahi bumi. Ayu adalah tangan kanan Ana di salon. Wanita itu sudah hampir sepuluh tahun bekerja dengan Ana di Leanor salon. Sosoknya yang ramah, ulet dan jujur membuat Ana begitu menyukai wanita itu sehingga mengangkat wanita itu sebagai tangan kanannya.

Setelah terdengar tanda klik tanda pintu sudah tidak dikunci lagi, Lea membuka pintu  yang ada di sebelah kirinya. Membuka payung berwarna merah di tangannya lalu turun dengan perlahan agar hujan tak membasahi tubuh mungilnya. Namun, hujan yang begitu deras disertai angin kencang membuat tubuhnya  tetap kecipratan hujan sehingga menimbulkan bercak - bercak di bagian bawah celana jeans yang ia kenakan.

Sepuluh menit berlalu, Ana juga tak kunjung keluar dari mobil. Lea yang menunggu di depan salah satu toko alat - alat tulis itu mulai tak sabaran dan sedikit resah. Perut yang sudah mulai keroncongan ditambah lagi aroma bakso yang sepertinya sudah menari - nari di otaknya membuatnya memutuskan untuk menghampiri Ana di dalam mobil. Memastikan wanita yang begitu ia hormati itu dalam keadaan baik - baik saja.

Brakkk.....

Untuk beberapa saat otaknya tak mampu mencerna apa yang telah terjadi. Otaknya sepertinya tidak  bekerja dengan baik sehingga ia tak mampu mencerna semuanya dengan cepat. Tubuhnya terasa kaku untuk beberapa saat sehingga ia tak mampu melanjutkan langkahnya.

"Bunda!!!"

Lea menjerit histeris sesaat setelah kesadarannya kembali. Kedua bola matanya hampir meloncat keluar, dadanya terasa sesak menyaksikan sebuah pohon besar yang ada di depan mobil mereka terparkir tumbang begitu saja dan kini sudah berada tepat di atas mobil. Dunia rasanya runtuh saat itu juga. Bahkan untuk berdiri tegak saja kakinya sudah tidak sanggung. Lemas dan gemetar itu yang  ia rasakan saat itu tapi ia mencoba untuk bertahan. Ada orang yang begitu berharga di hidupnya terjebak di dalam sana dan membutuhkan pertolongan. Nyawa ibunyalah yang saat ini sedang dipertaruhkan jadi sungguh egoislah ia jika harus menyerah saat itu juga.

"Tolong ! Tolong ! Bunda saya ada di dalam!"

Lea hanya bisa berteriak panik seraya berlari secepat kilat menuju mobil Ana meski kakinya rasanya berat untuk melangkah. Gadis itu berusaha berteriak sekencang mungkin dengan air mata yang berlinang dan tubuh yang basah kuyup oleh air hujan karena payung itu entah di mana sekarang rimbanya, meminta pertolongan dan belas kasihan warga yang ada di sekitarnya.

Bunyi dentuman yang begitu keras akibat gesekan pohon dan bagian atas mobil, ditambah lagi suara teriakan Lea yang begitu nyaring ternyata mengundang begitu banyak orang. Dalam waktu singkat orang mulai berkumpul. Ada yang hanya menjadi penonton yang sibuk berteriak. Ada juga yang sibuk mengabadikan momen itu melalui kamera ponselnya seakan itu adalah kejadian langka yang harus diabadikan. Namun, tak sedikit juga bergegas menolong. Beberapa pria berlari menghampiri mobil avanza yang sudah ringsek itu untuk segera menyelamatkan Ana sedangkan beberapa wanita yang kebetulan juga ada di sana berusaha menenangkan Lea.

Lea tak pernah menyangka bahwa hujan dan angin yang begitu kencang hari ini membawa malapetaka bagi ibunya. Ana yang saat itu belum sempat keluar harus terjebak di dalam mobil. Belum lagi terjadi benturan keras di bagian kepala mobil karena pohon tumbang tepat di bagian depan mobil. Betapa hancurnya gadis itu saat pertama kali pintu mobil terbuka penampakan Ana yang bergelimang darah dengan kepala tertunduk di strir mobillah yang terlihat.

"Tolong selamatkan Bunda saya Pak !"

Lea berteriak penuh permohonan pada beberapa orang pria yang sudah berhasil mengeluarkan Ana dari dalam mobil. Air matanya sudah menganak sungai membanjiri paras cantiknya terutama setelah Ana berhasil dikeluarkan dari dalam mobil dengan perjuangan yang begitu besar. Lea begitu syok melihat kondisi ibunya yang tidak sadarkan diri dan penuh dengan darah terutama bagian kepalanya.

"Tenang ya, Dek ! Kita akan bawa Bundamu ke rumah sakit. Doakan supaya Bundamu baik - baik saja !" Seorang pria paruh baya yang bekerja sebagai tukang parkir di daerah itu berusaha menenangkan Lea yang tak berhenti menangis bahkan saat Ana sudah dimasukkan ke dalam salah satu mobil warga.

"Bagaimana mungkin saya bisa tenang melihat orang yang begitu kucintai tidak dalam keadaan baik - baik saja Pak ?" Gadis itu hanya bisa menggerutu dalam hati karena tak mungkin ia bersikap tidak sopan di hadapan orang yang sudah mau berbaik hati menolongnya.

Pandangan Lea tak pernah lepas dari wajah pucat Ana sejak ia dikeluarkan dari dalam mobil hingga dipindahkan ke dalam salah satu mobil seorang warga yang dengan sukarela mau mengantarkan mereka ke rumah sakit. Entah siapa namanya ia pun tak peduli. Satu hal yang ia pedulikan saat ini adalah ibunya harus segera ditangani. Lea hanya bisa berdoa semoga Tuhan akan membalas semua kebaikan orang - orang yang telah membantunya dan Ana hari ini.

"Bunda harus bertahan !"

Tak henti - henti Lea membisikkan kalimat - kalimat penyemangat di telinga Ana seraya menggenggam erat kedua tangan wanita itu yang seakan tak mempunyai tenaga sama sekali. "

"Tuhan... Tolong jangan ambil Bundaku !"

Doa yang selalu gadis itu ucapkan di sela - sela doa yang diajarkan dalam agamanya. Ia sungguh tak tahu apa yang terjadi padanya kelak jika ibunya pergi meninggalkannya untuk selamanya. Lea tak siap dan tak akan pernah siap.

Dengan sekuat tenaga Lea mencoba menenangkan dirinya. Memberikan sugesti positif pada diri sendiri bahwa semua akan baik - baik saja. Meski ia akui ketakutannya cukup besar melihat kondisi ibunya yang jauh dari kata baik - baik saja. Kondisi ibunya semakin lama semakin terlihat lemah bahkan kesadarnya sudah hilang sejak ditemukan di dalam mobil. Hembusan yang keluar dari lubang hidung ibunya serta denyut nadi yang masih berdetak meskipun cukup lemah memberi sedikit ketenangan bagi Lea.

Waktu serasa berjalan lambat. Lea merasa mobil yang membawa mereka ke rumah sakit begitu berjalan lambat. Belum lagi kemacetan yang begitu mengular akibat hujan deras turun di ibukota. Seandainya ia bisa meminjam kantong ajaib milik Doraemon, Lea pasti akan meminjam pintu kemana saja, agar bisa segera membawa ibunya ke rumah sakit tanpa butuh waktu lama. Sayangnya ini adalah dunia nyata bukan dunia khayalan.

Lea tak tahu berapa menit yang mereka habiskan untuk menempuh perjalanan ke rumah sakit saat itu, yang jelas ia begitu lega saat mobil itu sudah tiba di depan rumah sakit. Itu artinya ibunya akan segera mendapat pertolongan. Beberapa perawat dengan cekatan menurunkan Ana dari mobil. Meletakannya di bankar lalu bergegas mendorongnya ke ruang gawat darurat untuk diberi pertolongan pertama.

"Ayah..." Lea berlari menuju pria yang sedang berjalan ke ruang gawat darurat tempatnya berdiri sekarang. Ya...di dalam perjalanan menuju rumah sakit, Lea menyempatkan diri untuk mengabari ayahnya tentang apa yang baru saja mereka alami. Sepertinya ayah empat anak itu segera berangkat dari kantor setelah mendapat kabar itu mengingat kedatangan Robet yang tak lama setelah anak dan istrinya tiba di rumah sakit.

"Ayah, Bunda pasti selamat kan ?" tanya Lea dengan suara yang terdengar begitu lirih. Bahkan tak lama kemudian terdengar suara Isak tangis dari mulutnya.

"Berdoa Dek ! Tak ada yang mustahil bagi - Nya." Robet merengkuh tubuh puteri bungsunya itu ke dalam dekapannya. Berusaha menyalurkan ketenangan meski sejujurnya ia juga merasakan kecemasan yang teramat besar. Hal itu terlihat dari beberapa kali pria itu menghembuskan nafas berat.

Semua harapan dipaksa berakhir saat satu kata terucap dari seorang dokter yang baru saja keluar dari unit gawat darurat. "Maaf." Bumi tempat Lea berpijak seakan runtuh saat itu juga. Tubuhnya yang basah kuyup dibasahi air hujan seketika semakin lemas dan matanya mulai berkunang - kunang. Jantungnya serasa ditusuk sembilu. Perih. Harapannya hancur seketika.

Lea tahu betul arti dari kata maaf dan sorot mata penuh penyesalan dari dokter yang bernama Banu itu. Pendarahan yang begitu hebat ditambah lagi serangan jantung yang sepertinya menyerang Ana sebelum peristiwa naas itu terjadi,memperburuk keadaan Ana hingga ajal itu pun akhirnya datang menjemput. Akhirnya Lea tahu ternyata alasan ibunya tak kunjung keluar dari mobil adalah karena beliau terkena serangan jantung. Penyakit yang belum pernah masuk dalam riwayat penyakit ibunya sebelumnya. Penyakit yang baru mereka ketahui menyerang Ana dari dokter yang menanganinya barusan. Andai pada saat itu ia peka akan keterlambatan ibunya keluar dari mobil mungkin ibunya masih bisa diselamatkan, tapi nasi sudah menjadi bubur. Tak ada yang bisa dirubah karena ini sudah ketentuan dari Yang Maha Kuasa

"Selamat jalan Bunda. Kembalilah kepangkuan Bapa di surga ! Tunggu Lea di sana ya ! Suatu saat kita akan berkumpul kembali di sana." Beberapa kalimat yang sempat ia ucapkan sebelum semuanya menjadi gelap.

Jangan lupa klik like dan vote ya teman - teman !

🌹🌹🌹

Hukuman.1

Seperti pagi - pagi sebelumnya selama dua tahun belakangan ini hari - hari gadis cantik bernama Lea itu selalu diwarnai dengan suasana rumah yang begitu sepi. Hanya ada dirinya seorang dan seorang asisten rumah tangga yang sudah dianggapnya seperti ibunya sendiri. Bi Tari begitu biasanya dia memanggilnya. Wanita paruh baya yang selalu setia dan selalu ada untuknya sejak dulu terutama setelah kematian ibunya. Sosoknya yang ceria dan sangat keibuan membuatnya selalu nyaman bersama wanita berdarah Jawa Sunda itu.

"Pagi Bi." Dengan senyuman manis yang menghiasi wajahnya, Lea menyapa satu - satunya orang yang bersamanya di rumah ini setidaknya untuk dua minggu belakangan ini.

Di pagi yang cerah ini dengan seragam kebanggaan para siswa setingkat menengah atas yang sudah menemaninya selama tiga tahun belakangan ini, Lea siap memulai harinya. Apalagi kalau bukan seragam berwarna putih abu - abu. Seragam yang sebentar lagi mungkin akan menjadi kenangan. Ya sebentar lagi tepatnya kurang dari satu bulan lagi Lea akan menyelesaikan studinya sebagai siswa sekolah menengah atas.

"Pagi cantik. Ayo, sini Bibi udah siapin sarapan !"

Seperti biasa wanita berusia lima puluhan ini selalu menarik satu kursi untuk satu - satunya puteri majikannya itu. Hal yang selalu ia lakukan meski sudah dilarang berulangkali.

"Lho Bi kok tumben masaknya banyak ?" Lea mengerutkan dahinya. Lea bingung karena di meja makan sudah tersedia beberapa potong roti bakar dan juga nasi goreng yang pastinya tidak akan habis untuk berdua. Tak biasanya Bi Tari memasak dalam jumlah berlebih jika tidak ada ayah ataupun saudaranya yang lain.

"Memangnya Ayah sudah pulang, Bi ? Kok Lea gak dengar suaranya ?" Lea mulai duduk di kursi yang sudah ditarik oleh Bi Tari barusan.

"Belum non. Baru beberapa menit lalu Bapak ngabarin kalau belum bisa pulang soalnya urusannya belum kelar." Jawab Bi Tari. Wanita paruh baya itu juga menarik satu kursi untuknya lalu mulai duduk di depan Lea. Meski ia hanya asisten rumah tangga di rumah ini, ia sudah terbiasa makan bersama dengan majikannya.

"Lho kok Ayah gak ngabarin ke Lea, Bi ?" Tanya Lea tanpa melihat Bi Tari. Gadis itu lalu fokus mengambil piring dan sendok yang terletak di tengah meja.

"Kata Bapak, nomor kamu gak bisa dihubungin." Jawab Bi Tari. Wanita paruh baya itu mulai menyendok nasi goreng kemudian menaruhnya di piringnya.

Lea terdiam sejenak lalu mengangguk paham. Dara cantik berdarah Jawa Manado itu tersadar belum mengaktifkan ponselnya yang sejak semalam memang sengaja dinonaktifkan. Pantas saja sedari tai ia merasa ada sesuatu yang harus segera ia lakukan tapi tak kunjung menyadarinya. Mematikan ponsel adalah salah satu kebiasaannya sebelum tidur untuk menghindari gangguan dari deringan ponsel saat matanya sudah mulai terpejam. Ia selalu mengantisipasi agar tidurnya tidak mengalami gangguan karena ia termasuk tipikal orang yang susah tertidur lagi jika sudah terlanjur terganggu. Hal ini mulai terjadi sejak kejadian buruk yang menimpanya dua tahun lalu. Kejadian yang masih menyisakan kesedihan baginya hingga kini.

"Terus, Ayah bilang gak kapan pulang, Bi ?"

"Katanya kerjaannya masih banyak non jadi belum bisa pulang cepat."

"Huff alesan aja." Gadis itu mencebikkan bibirnya.

"Bilang aja udah gak sayang sama Lea lagi."

Gadis belia yang beberapa hari lagi berusia tujuh belas tahun itu hanya bisa menggerutu seraya mulai memasukkan sepotong roti bakar ke dalam mulutnya lalu mengunyahnya perlahan untuk menikmati sensasi lelehan selai blueberry yang dipadukan dengan roti tawar kesukaannya. Melampiaskan kekecewaan dengan makan adalah salah satu caranya untuk meredam rasa kecewa akan satu - satunya orangtua yang tersisa untuknya. Beruntung Lea memiliki kelebihan di mana berat badannya tidak bertambah meskipun ia makan banyak.

Sungguh Lea mulai jenuh dengan setiap alasan yang dilontarkan oleh ayahnya setiap kali ia berlama - lama di luar kota untuk urusan kantornya. Bagaimana tidak ? Hampir setiap kali keluar kota pulangnya tidak pernah sesuai jadwal. Selalu mundur beberapa hari bahkan beberapa minggu. Entah urusan sepenting apa sehingga harus menghabiskan waktu banyak seperti itu. Ia juga sedikit merasa aneh tentang kebiasaan baru ayahnya itu karena saat ibunya masih ada tak pernah sekali pun ayahnya pergi sampai berhari - hari atau bahkan berminggu-minggu seperti sekarang ini.

"Huss gak boleh gitu !" seru Bi Tari memberi peringatan kepada puteri majikannya agar tidak berprasangka buruk kepada ayahnya.

"Mana mungkin Bapak gak sayang sama non ? Kamu itu kan puteri kesayangan Bapak." Mendengar hal itu Lea tersenyum kecut. Ia merasa semakin lama ayahnya semakin jauh. Seakan ada dinding tak kasat mata yang membatasi mereka. Kehangatan yang dulu sering ia dapatkan perlahan mulai menghilang. Dan Lea merindukan itu semua.

"Entahlah, Bi. Lea merasa sekarang Ayah semakin menjauh dan semakin gak punya waktu buat Lea." Tak terasa beberapa potong roti bakar dan segelas susu sudah masuk ke perut sebagai asupan energi untuknya sebelum jam istirahat atau bahkan jam makan siang nanti.

Huffftt....

Wanita parih baya yang notabene hanya berstatus asisten rumah tangga di rumah itu hanya bisa menghembuskan nafas kasar. Kedua bola matanya menatap sendu anak majikannya itu.

"Oh iya, tadi Bibi belum jawab pertanyaan Lea, kok tumben buat sarapannya banyakan ?"

"Hai...hai baby swetty."

Jawaban dari wanita paruh baya itu tertahan di tenggorokan karena belum sempat suara itu keluar dari mulut sudah terlebih dulu dientrupsi oleh suara lainnya. Mendengar suara yang begitu familiar itu sontak dara cantik menoleh lalu berlari menghampiri sosok yang sangat dirindukannya. Moodnya yang awalnya mulai drop akibat berita kepulangan ayahnya dari luar kota yang lagi - lagi ditunda kini bangkit lagi begitu melihat wajah tampan itu. Siapa lagi kalau bukan abang kesayangannya Jay Aliandro Yusuf.

"Bang Jay...Lea kangen." Didekapnya tubuh tegap itu dengan erat seakan - akan ini adalah pertemuan terakhir mereka dan tidak ingin sedetik pun melepaskan dekapannya pada tubuh yang begitu menghangatkan itu.

"Abang jahat sekarang udah jarang pulang. Udah lupa ya sama Adeknya ?" Pria berperawakan tinggi besar itu terkekeh geli menunjukkan gigi - gigi putihnya yang berbaris rapi kala satu - satunya adik perempuannya itu mendusel - dusel dada bidangnya yang dibalut jaket berwarna hijau lumut.

" Uluhhh... Uluhh...baby girlnya Abang masih aja gak berubah. Mana mungkin Abang lupa sama adik Abang yang manjanya gak ketulungan ini ?" Jay mengangkat kedua tangannya untuk mengelus puncak kepala adik bungsunya itu.

"Eh siapa yang manja ? Lea enggak ya ?" Lea memukul dada bidang Jay untuk melepaskan kekesalannya karena tak terima akan perkataan abangnya.

Wanita itu sungguh tidak pernah suka jika dikatakan manja. Kesannya ia seperti anak kecil yang suka meraung - raung jika apa yang diinginkannya tidak dituruti dan tidak bisa mandiri. Sory to say. Ia merasa sudah teramat jauh dari kesan itu terutama dua tahun belakangan ini.

Buktinya ia sudah terbiasa mengurus keperluannya sendiri. Ia juga sudah bisa tidur sendiri tanpa ditemani siapa pun meski awalnya sulit. Ia juga sudah terbiasa pergi kemana - mana tanpa kawalan ketiga abang - abangnya. Semua ini karena keadaan yang memaksanya. Sering ditinggal hanya berdua bersama asisten rumah tangga membuatnya berbenah diri agar tidak terlalu tergantung pada orang lain karena tidak mungkin ia mengandalkan ketiga abangnya yang sudah sibuk dengan dunianya sendiri.

Abang sulungnya yang bernama Afriando Yusuf, sudah menikah dengan gadis berdarah Malaysia sejak lima tahun yang silam, memilih tinggal dan menetap di Malaysia tempat kelahiran isterinya. Armando Yusuf anak kedua yang bekerja sebagai seorang dosen di salah satu universitas ternama sudah menetap di Bandung selama empat tahun. Sementara Jay Aliandro memilih untuk tinggal di rumah kontrakan sederhana di daerah Bekasi sejak dua tahun belakangan ini. Ia memilih mengontrak dengan alasan dekat dengan kantor tempatnya bekerja.

"Ya...ya, yang katanya gak manja. Siapa coba yang kalau mau kemana - mana harus dianterin ? Tidur juga harus ditemenin. Makan aja masih disuapin." Jay menaik turunkan alisnya menggoda satu - satunya saudara perempuannya.

"Hei itu dulu ya! Ya lagian wajarlah, Lea kan waktu itu masih kecil." Lea menggerutu menyanggah perkataan abang kesayangannya itu karena tak terima jika masa lalunya diungkit - ungkit.

Apa yang dikatakan Jay memang tak sepenuhnya salah namun rasanya Lea malu mengakuinya. Hingga Lea duduk di kelas delapan Ana masih menemaninya tidur hingga terlelap. Setelah ia terlelap Ana akan pindah ke kamarnya sendiri. Ana juga masih suka menyuapinya makan terutama saat Lea sedang dalam kondisi sedang tidak nafsu makan. Dan satu lagi kemana - mana ia selalu ditemenin bunda atau abangnya.

"Ok. Baiklah. Katanya udah gede tapi masih suka gelayutan manja sama Abangnya." goda Jay lagi dengan semangat seakan tak mau kalah berdebat dengan adiknya itu.

"Oh jadi Abang gak suka ?" Tatapan gadis itu berubah tajam. Ia memang menjadi sedikit sensitif sejak kepergian ibunya dua tahun lalu. Ia menjadi lebih perasa dan gampang menangis bahkan untuk hal - hal yang sepele sekalipun.

"Eh...bukan gitu, kamu itu adik kesayangan Abang. Mana mungkin Abang gak suka ? Abang malah suka ada yang butuh perhatian dari Abang." Laki - laki yang bekerja sebagai konsultan pajak itu buru - buru memberikan penjelasan sebelum terjadi pertumpahan air mata, Ia mengulurkan tangannya lalu mengelus puncak kepala satu - satunya saudara perempuannya.

"Tapi...jangan di depan gebetan Abang ya, Dek ! Entar Abang jadi jomblo seumur hidup," lanjut Jay sambil terkekeh. Ia masih teringat kejadian tiga tahun yang lalu saat kekasihnya menampar dan memutuskannya karena di duga telah berselingkuh.

Kejadian itu terjadi di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. Saat itu Lea dan Jay pergi menonton film di bioskop. Saat mereka baru saja selesai menonton dan berniat untuk makan di salah satu restoran di mall tersebut tiba - tiba seorang wanita menghampirinya dan tanpa bertanya langsung menampar serta memutuskannya begitu saja. Wanita yang bernama Rara itu ternyata sudah melihat keberadaan Jay dan Lea sejak memasuki mall dan menjadi penguntit keduanya untuk beberapa waktu. Rara meradang melihat kemesraan dari keduanya dan langsung menarik kesimpulan bahwa Jay berselingkuh. Meski ditampar dan diputuskan begitu saja karena diduga berselingkuh, Jay tak mau meluruskan permasalahan antara ia dan Rara. Ia memilih bungkam dan membiarkan wanita itu mengambil kesimpulan sesuka hatinya. Ia terlalu malas meladeni wanita yang sama sekali tak memiliki kepercayaan kepada pasangannya.

"Udah ah, Lea mau berangkat. Keburu telat." Lea mengambil tas serta kunci motor yang diletakkan di atas kursi untuk bergegas pergi sebelum suasana menjadi lebih tidak nyaman. Ia tahu berdebat dengan Jay tidak akan ada ujungnya. Bisa - bisa ia jadi dihukum karena terlambat datang ke sekolah.

"Eh, mau Abang antar gak, Dek?''

"Gak.Thanks. Bye bajai. Baik - baik di rumah ya !" Lea menjulurkan lidahnya sebelum berlari kecil menuju garasi.

"Heiii dasar Adek durhaka!!!"

Lea terkikik geli melihat wajahnya yang sudah merah padam karena amarah. Ekspresi yang selalu sama setiap kali adik bungsunya itu mengganti namanya dengan salah satu kendaraan roda tiga yang cukup legendaris di ibukota.

"Bi...titip si bajai ya! Kalau ini anak nakal, cemplungin aja ke empang engkong Roni." Entah apa yang dipikirkan gadis itu sehingga sempat - sempatnya masuk kembali ke dalam rumah hanya untuk menggoda abang ketiganya itu.

"Siap komandan." Bi Tari tersenyum tertahan seraya membuat pose hormat seperti sikap siap menerima perintah yang membuat Jay semakin kebakaran jenggot hingga aura siap menerkam terlihat dari wajahnya.

"Leanora Juniati Yusuf sini kamu !"

Bi Tari yang sudah terbiasa dengan kelakuan dua kakak adik itu hanya bisa menggeleng - gelengkan kepala. Wanita paruh baya itu begitu senang akhirnya setelah sekian lama suasana rumah tempatnya bekerja selama bertahun - tahun itu akhirnya kembali hidup.

Waktu sudah menunjukkan pukul 06.50 WIB saat Lea tiba di sekolah. Itu artinya dua puluh menit lagi pelajaran hari ini akan dimulai. Tak sedikit siswa SMA Bunga Bangsa yang sudah memasuki kelas masing - masing meski masih ada juga yang baru tiba di sekolah atau sibuk bersenda gurau di depan kelas.

"Woi norak tumben Lo lama ?"

Siapa lagi yang berani memanggilnya seperti itu kalau tidak si gadis berkacamata tebal mirip tokoh kutu buku dalam sinetron - sinetron yang bernama Melani Zafra. Wanita yang sudah menjadi sahabatnya sejak duduk di bangku sekolah dasar. Meski penampilannya sedikit terlihat seperti gadis "culun" dengan kaca mata tebalnya itu gadis itu mempunyai selera fashion yang oke.

"Apa sih Mel ? Pagi - pagi udah berisik aja. Bentar lagi udah bel. Ayo masuk keburu diamuk serigala !" Lea memutar bola matanya jengah melihat kelakuan sahabatnya ini yang terkadang suka heboh sendiri.

Serigala adalah julukan yang dibuat untuk seorang wanita paruh baya yang mengampu pelajaran sosiologi itu. Suaranya yang menggelegar bak serigala ditambah wajahnya yang menyeramkan kala marah membuat siswa sekolah memberikannya julukan seperti itu. Entah siapa yang memulai memberikan julukan seperti itu tidak ada yang tahu pasti. Yang jelas julukan itu sudah ada jauh sebelum Lea dan Melani tergabung dalam siswa sekolah Bunga Bangsa itu dan masih bertahan hingga kini.

"Hus jangan kenceng - kenceng entar kedengeran doi !" Melani coba memperingatkan namun sia - sia orang yang disebutkan sudah mendengar dan menyaksikan dengan jelas bagaimana kedua siswanya itu mengatainya dengan sebutan hewan buas itu. Wanita paruh baya itu paham betul siapa yang dimaksud oleh kedua siswa itu karena itu sudah rahasia umum.

Hmmm....

"Eh kunti serigala." ujar keduanya reflek saat mendengar deheman yang begitu familiar.

"Melani, Lea, jangan kabur kalian!" Lengkingan suara bak auman serigala itu menjadi iringan langkah seribu yang diambil kedua sahabat itu untuk menyelamatkan diri dari segala bentuk amukan wanita itu. Ya...walaupun hanya sementara karena setelah ini tidak ada yang tahu hukuman apa yang diberikan oleh wanita paruh baya itu.

.

.

.

.

Hai...

Jangan lupa tinggalkan jejak ya teman - teman dengan cara klik like, vote atau pun komentar. Kritik dan saran dari pembaca semua sangat diharapkan untuk penulisan yang lebih baik.

🌹🌹🌹

Hukuman. 2

Sang surya semakin menunjukkan eksistensinya. Hawa yang semula sejuk perlahan mulai memanas bahkan panasnya mulai menusuk kulit. Siulan demi siulan para lelaki penikmat wajah - wajah cantik mengiringi kegiatan dua sahabat yang tengah menjalani hukuman yang mereka terima akibat mulut yang tak terkontrol. Suasana semakin panas dengan adanya mulut - mulut nyinyir para siswi yang tak sengaja melihat aksi kedua orang itu.

Lea dan Melani. Keduanya adalah orang yang menjadi bahan tontonan murid - murid SMA Bunga Bangsa. Kedua wanita yang sudah menjalin hubungan persahabatan bukan hanya dalam hitungan hari itu, tengah menjalani hukuman dari Bu Farah si guru sosiologi yang mereka juluki serigala akibat dari mulut yang terkontrol pagi tadi. Guru yang selain terkenal tegas juga unik dalam memberikan hukuman. Hukuman yang ia berikan selalu beda dari yang lain.

Hukuman yang ia berikan kepada murid - muridnya memang sederhana dan tidak berat tetapi sedikit nyeleneh. Seperti saat ini kedua wanita yang bersahabat sejak kecil itu harus menjalani hukuman menghitung berapa jumlah semut yang melintasi sebuah pohon ceri yang ada di taman sekolah sambil berjoget dangdut setiap kali seekor semut melintas di depan mereka. Susah sih tidak tapi malunya luar biasa. Apalagi hukuman itu harus dijalankan bertepatan dengan pelajaran berakhir yang artinya pasti banyak siswa yang akan melihat aksi mereka.

"Gara - gara kamu sih Mel!" Seru Lea dengan suara mirip cicitan. Ia begitu takut suaranya terdengar sampai ke telinga Bu Farah yang sedari tadi menatap keduanya nyalang.

"Eh kok lo nyalahin gue sih ? Lo tuh yang mulai duluan. Kan lo yang ngatain doi duluan." Sahut Melani tak santai sama sekali. Bahkan ia tak menyadari bahwa suaranya sampai meninggi. Ia tak terima sahabatnya itu menyalahkan dirinya karena menurutnya Lea lah yang tak dapat mengontrol mulutnya.

Ehem...

Suara deheman wanita yang sama sedari tadi menunjukkan taringnya itu mengintrupsi keduanya. Kedua sahabat itu langsung diam dan berpura - pura melanjutkan tugas yang sudah diperintahkan. Namun, itu hanya bertahan hanya beberapa menit saja karena setelah Bu Farah sudah mengalihkan pandangannya ke arah lain, dua gadis itu kembali berseteru.

"Kamu juga sih yang mancing - mancing, kan aku jadi keceplosan.'' ucap Lea memulai perdebatan.

"Eh, si norak udah tau salah gak mau ngaku lagi. Gara - gara lo nih gue jadi panas - panasan gini ! Lihat gara - gara mulut lo yang gak terkontrol itu kulit putih mulus gue jadi sasaran ! Habis ini lo harus tanggung jawab biayain perawatan kulit gue!"

Lea melirik sahabatnya itu dari ekor matanya lalu tersenyum sinis lalu berkata, "Itu sih maunya kamu. Lagian coba aja kamu gak ngajakin kabur kan kita gak bakal dihukum kayak gini ?"

"Siapa suruh lo mau?" balas Melani lagi.

"Lah kan kamu narik tanganku, ya aku ikut aja."

Apa yang dikatakan Lea memang benar adanya. Sesungguhnya ia tadinya sudah pasrah dengan nasibnya saat itu tapi melihat sahabatnya itu panik lalu menarik tangannya untuk berlari ia juga ikutan panik dan otomatis ikut berlari.

Tak ada yang mengalah diantara keduanya hingga seorang wanita paruh baya yang bernama Farah yang sedari tadi setia mengamati perdebatan kedua siswanya itu merasa geram dengan tingkah keduanya. Meski keduanya berdebat dengan volume yang sengaja dikecilkan tapi pendengaran Farah masih bisa menangkap isi perdebatan itu walau tidak sepenuhnya. Indra pendengarnya memang masih tajam meski usianya sudah tidak muda lagi.

" Stop!"

"Kalian itu ya, bukannya jalanin hukuman dengan benar malah berantem."

Bu Farah yang sudah merasa kesal akhirnya mulai mengeluarkan taringnya. Matanya yang bulat besar menyorot keduanya dengan tajam.Tatapan bak elang itu membuat nyali Lea dan Melani menjadi menciut sehingga keduanya tak berani menatap mata guru yang sudah memberikan mereka ilmu selama  hampir tiga tahun ini.

"Hitung lagi ! Sekali lagi ibu lihat kalian berantem, ibu akan tambahin hukuman kalian!" Ancam Farah dengan raut wajah yang dibuat segalak mungkin membuat kedua gadis itu menciut.

"Maaf Bu." ujar keduanya serempak tanpa berani menatap Farah.

"Tolong jangan tambahin hukuman kita Bu ! Ini aja kita udah gak kuat bu." ujar Melani dengan wajah yang dibuat semelas mungkin berharap gurunya itu berbelas kasihan kepada mereka. "Gak kuat malunya," tambah Lea dalam hati sambil tersenyum kecut.

Yo wes ben ndue bojo sing galak

Lea dan Melani menyanyikan lirik lagu yang berjudul "Bojo Galak" yang dipopulerkan oleh Via Valen sambil menggoyang - goyangkan pinggulnya ke kanan dan ke kiri. Tak lupa ke dua jari jempol yang diangkat ke atas lalu digoyang - goyangkan. Kedua sahabat itu menyanyikan lirik itu dengan ogah - ogahan tapi sengaja memberi penekanan pada kata terakhir yaitu "galak" seraya melirik guru perempuan yang dikenal killer itu dengan harap - harap cemas. Takut kalau - kalau wanita paruh baya itu menyadari aksi mereka. Apa yang keduanya lakukan memang cenderung menantang maut dan benar saja wanita paruh baya itu ternyata menyadari aksi keduanya.

"Eh....eh kalian berdua ngatain Ibu galak?" tanya Farah ketika tak sengaja kedua bola matanya menangkap lirikan kedua muridnya itu. Wanita itu merasa tersinggung dan mulai berang.

"Hukuman kalian Ibu tambah."

Satu kalimat yang meluncur dari mulut wanita itu membuat kedua murid SMA Bunga Bangsa itu mendadak lemas. Hari yang sudah siang membuat perut keduanya sudah mulai membutuhkan asupan sesegera mungkin. Jika tidak bisa dipastikan sebentar lagi suara - suara aneh dari dalam perutnya itu pasti akan terdengar.

"Please deh Bu, jangan tambahin hukuman kita ! Ibu kan cantik, pintar baik hati lagi." Lea mencoba peruntungannya dengan meluncurkan rayuan mautnya yang meski hati kecilnya sedikit tidak ikhlas dengan kalimat yang diucapkannya.

"Udah gak usah modus kamu ! Gak bakal mempan. Habis ini kalian sapu tuh kantor guru sampai bersih ! Kalau belum selesai jangan harap kalian bisa pulang."

Hanya pasrah yang bisa dilakukan keduanya sekarang. Bu Farah memang patut diacungi jempol soal pendirian. Wanita itu tidak akan dengan mudah mengubah keputusan yang sudah diambilnya. Sekali A tetap A dan tak akan berubah menjadi B meski dengan rayuan maut sekali pun.

Hari sudah sore saat Lea tiba di rumah. Lelah dan letih serta badan yang terasa lengket membuatnya ingin buru - buru masuk ke dalam rumah.

"Baru pulang, Dek ?"

Suasana rumah yang selalu sepi membuatnya lupa kalau hari ini salah satu abangnya ada di rumah. Lea menoleh ke arah Jay yang sedang duduk di ruang tamu lalu berdehem. Gadis itu bahkan sudah terlalu malas untuk sekedar membuka mulutnya. Badannya rasanya hampir remuk karena hampir seumur hidupnya ia tidak pernah bekerja berat seperti itu. Sudah berjemur, menyapu kantor guru, di suruh ngepel lagi.

"Ya udah langsung mandi sana takut corona nempel di badan kamu !"

"Apa sih Bang gak jelas ? Corona tuh masih betah jalan - jalan di Wuhan belum niat berkunjung ke Indonesia kali." Lea memutar bola matanya malas.

"Ye ini anak dibilangin gak percaya. Makanya nonton berita sana ! Di Indonesia tuh udah ada beberapa yang kena."

"Ya...Ya terserahlah. Lea capek mau langsung mandi." Lea melangkahkan kakinya dengan gontai menuju kamarnya.

"Habis itu langsung makan Dek ! Abang gak mau kamu masuk rumah sakit."

Rasa lelah, lapar dan kantuk yang sudah menyerang gadis belia itu membuatnya tak berniat menjawab ocehan Jay dan memilih langsung melangkahkan kaki telanjangnya ke lantai dua tempat kamarnya berada.

***

Rasanya baru beberapa saat Lea berhasil memejamkan mata dan hampir saja terlelap, getaran dari benda berbentuk kotak yang terletak di samping bantal mengusiknya.

"Halo..." Dengan mata terpejam Lea menekan tombol berwarna hijau untuk menyambungkan panggilan lalu meletakkan benda kecil itu di atas telinganya. Ia sudah hapal letak tombol - tombol itu karena ponsel ini sudah menemaninya sejak lima tahun terakhir.

"Princes!" Kedua bola mata gadis cantik itu terbuka sempurna mendengar suara yang dari seseorang yang sangat dirindukannya. Kesadarannya langsung penuh begitu suara itu menyapa gendang telinganya. Ia bahkan sampai langsung duduk tegak saking terlalu antusias.

"Ayah!!!"

Tanpa ia sadari Lea berteriak kegirangan. Senyum terbit di wajah cantiknya membuat wajahnya terlihat cerah.

"Ayah kok gak pulang - pulang sih ? Lea kangen tau." Gadis itu memberondong ayahnya begitu saja. Tetap dengan nada manja khas dirinya.

"Maaf ya princes. Ayah kemarin masih ada kerjaan tapi tenang aja ini Ayah sudah mau pulang, princesnya Ayah mau dibawain oleh - oleh apa?" Pria itu bertanya dengan lembut. Tanpa Lea ketahui ayahnya itu sudah tersenyum lebar mendengar nada bicara puterinya yang selalu manja. Membuat pria itu semakin merindukan puterinya itu dan ingin segera tiba di rumah.

"Lea gak butuh oleh - oleh Ayah. Lea cuman minta Ayah cepat pulang," ucap gadis itu lirih yang otomatis membuat Robet begitu sedih mendengarnya. Ia sebenarnya tak ingin seperti ini tapi kondisi memaksanya.

"Ya udah kalau gitu sampai ketemu di rumah princesnya Ayah. Jangan tidur lagi ini sudah hampir maghrib!" Meski mereka tidak bertatap muka secara langsung pria itu mengetahui bahwa anak gadisnya itu tadinya pasti sedang tertidur saat ia telepon. Hal itu terdengar dari suaranya yang sedikit serak cenderung berat khas orang baru bangun tidur.

"Ia, Yah." Tak sadar Lea menganggukkan kepalanya.

"Bye Ayah, sampai ketemu di rumah. Hati - hati di jalan ya!"

Setelah mengakhiri panggilan, dengan semangat empat lima Lea turun dari ranjang dan melangkahkan kakinya ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya agat terlihat lebih segar. Dara kelahiran Jakarta 16 tahun yang silam selalu bersemangat jika mendengar ayahnya akan pulang ke rumah. Itu artinya ia tidak lagi kesepian dan yang terpenting ia bisa bermanja ria dengan ayahnya itu.

Sejak kecil ia memang sangat dekat dengan ayahnya. Lea juga suka menghabiskan waktu berdua dengan ayahnya entah itu hanya sekedar bermain bulu tangkis, nonton bioskop atau makan di warung bebek favorit mereka berdua. Kesibukan ayahnya belakangan ini membuatnya merindukan saat - saat berdua dengan ayahnya.

"Girang amat, Dek ?" Jay menatap adik perempuannya itu dengan tatapan menyelidik. Ia sungguh penasaran apa yang membuat mood adiknya tiba - tiba bagus padahal pada saat pulang sekolah tadi roman mukanya begitu tidak bersahabat.

"Pasti habis telpon - telponan sama gebetan kan ?" Jay menaik turunkan kedua alisnya seraya tersenyum menggoda. Apalagi yang bisa membuat seorang gadis tersenyum ceria seperti itu kalau bukan mendapatkan telepon dari kekasih atau gebetan.

"Apa sih?" Lea memutar bola matanya malas. Ia mendaratkan tubuhnya di sofa untuk turut menyaksikan siaran televisi yang menayangkan talk show yang dipandu komedian berdarah Sunda yang telah lebih dahulu ditonton oleh Jay.

"Kalau gak, pasti habis ditembak." Jay masih tidak mau menyerah. Ia sampai memutar kepalanya agar bisa melihat raut wajah adiknya itu.

"Mati dong." jawab Lea santai sambil mencomot kacang kulit yang ada di dalam toples.

"Jiaah si norak bisa ae. Garing!" Jay mendengus melirik Lea dengan kesal

"Ayah bentar lagi pulang lho, Bang." Lea begitu bersemangat membagi informasi yang baru saja ia peroleh dengan harapan sang kakak juga menunjukkan reaksi yang sama. Senang dan antusias. Namun,

"Oh..."

Hanya kata itu yang terlontar dari mulut Jay dengan tampang datarnya. Melihat hal itu Lea melongo. Menatap Jay.

"Iihhh si bambang oh doang." Lea mencebikkan bibirnya.

"Trus Abang harus bilang wow gitu ? Kayak mau ketemu artis idola aja." Jay mendelik melihat raut wajah Lea yang tak bersahabat.

"Issh nyebelin." Lea melemparkan kulit kacang yang berhasil mengenai kepala Jay.

"Norak... Awas lo ya !" Jay balas melempar setumpuk kulit kacang yang ada di atas meja.

Begitulah dua kakak beradik itu jika sudah bertemu tak akan pernah lepas dari adu mulut dan juga adu kejahilan tapi meski pun begitu keduanya saling menyayangi satu sama lain.

Jangan lupa klik like, vote dan komen ya teman - teman !

🌹🌹🌹

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!