Di suatu siang yang terik, karena cahaya mentari kemarau. Dalam sebuah rumah mewah yang awalnya bagai Surga bagi seorang anak usia belasan. Namun, kini rumah itu seperti neraka baginya.
Tak ada lagi keutuhan keluarga dalam rumah itu. Panas mentari siang ini melengkapi suasana hatinya yang sedang merasa terbakar. Kesal, marah adalah pelampiasan dari rasa kecewa.
Kenyataan pahit akan perceraian orang tuanya, menjadi sebab kemarahan gadis berusia lima belas tahun tersebut.
"Nana benci, dengan Papa dan Mama!" teriak seorang gadis dari dalam sebuah kamar.
Praang, brugh, dugh. Terdengar suara kebisingan dari dalam sebuah kamar seperti barang-barang yang sedang di lempar.
Itu adalah Hasna. 'HASNA AULIA ZAHRANI' tepatnya. Seorang Anak berusia lima belas tahun dan kini duduk di bangku kelas tiga SMP.
Saat ini perasaan gadis itu sedang terluka. Sedih, sakit, hancur, kalut menjadi satu. Tidak percaya akan apa yang sedang ia hadapi. Permasalahan cukup pelik, yaitu perceraian kedua orangtuanya.
Kemarahan Hasna kini bukan tanpa alasan. Saat ini ia sedang merasa di khianati oleh kedua orangtuanya yang awalnya harmonis, tiba-tiba harus bercerai Karena orang ke tiga. yaitu istri baru sang Ayah saat ini, dan Ibunya Hasna memilih bercerai ketimbang di madu.
"Sayang, sudah dong! Mama dan Papa akan tetap menyayangi kamu, apalagi kamu adalah anak Mama satu-satunya," suara seorang wanita di balik pintu. Dua orang berbeda jenis kelamin, dari luar kamar sedang merayu Hasna secara bergantian, mereka adalah orang tua Hasna yang telah resmi bercerai secara hukum pada hari itu.
"Pergi! Nana tidak butuh kalian!" teriak Histeris Hasna "Huwaaa, huuu, hikss, hikkss." Terdengar suara tangis dari dalam kamar.
“Sayang, ini Papa. Mari kita bicara!” rayu Ayah Hasna.
“Tidak Pah, untuk apa?” tukas Hasna, “jika ingin bicara, seharusnya dari kemarin- kemarin, bukan saat ini. Nana benci kaliaan. Kalian jahat!” kembali terdengar, jerit histeris suara Hasna dari dalam kamar.
Dugh!
Praaang!
erdengar kembali suara barang yang Hasna lemparkan dan mengenai pintu, lalu terdengar pecahan kaca, serta masih terdengar isak tangis Hasna saat itu.
Namun, beberapa saat kemudian, suara gaduh dan tangis Hasna di dalam kamar tak terdengar lagi. Ditelinga orang tua Hasna kini tiba-tiba senyap.
"Mas, tolong cari kunci cadangan. Aku takut terjadi apa-apa dengan Nana," pinta Nirmala Ayunnih. Ia adalah Ibu kandung dari Hasna.
"Oh ia, sebentar," sahut Afdhal Abdillah selaku Ayah kandung Hasna.
Setelah kunci cadangan di dapat, mereka pun segera membuka pintu kamar Putri mereka. Nampak keadaan yang sudah kacau, di dalam kamar tersebut.
Barang-barang berserakan. Lampu meja, buku-buku, seprei, serta serpihan kaca yaitu beling dari sebuah cermin terlihat berserakan di lantai, barang-barang lainnya-pun susah tidak pada posisinya semula.
"Sayang! Sayang! dimana kamu Nak?" Kedua orang tua itu mengedarkan mata mereka, mencari keberadaan Putrinya ke setiap sudut kamar, sambil memanggil-manggil Putri mereka.
“Sayang ...!”
"Pak, Bu ... Non Hasna di sini," terdengar suara teriakan seseorang dari arah kamar mandi. Itu suara Mbak Nurin, ia adalah Art (Asisten rumah tangga) sekaligus pengasuh Hasna dari kecil.
Tadi, setelah orang tua Hasna masuk kedalam kamar Hasna, maka Mbak Nurin pun ikut masuk Karena merasa khawatir.
"Mas, mari lihat!" ajak Nirmala
"Ma-mari!" seru Afdhal
Mereka pun tergesa menuju kamar mandi. Nampak Hasna sudah tergeletak di lantai kamar mandi, dengan kening bersimbah darah.
"Sayang, kamu kenapa?" pekik Nirmala.
"Non Nana, pingsan Bu!" sambung Mbak Nurin.
"Mas, panggil ambulance," pinta Nirmala dengan kepada mantan suaminya, atau Ayah Hasna. Sembari menangis.
"Panggil ambulance membutuhkan waktu! ayo ke rumah sakit bawa Mobil saja," ucap Afdhal sambil mengangkat tubuh Hasna.
"Pak, Bu! saya ikut, hiks ... hiks." Terdengar suara isak tangis khawatir dari Mbak Nurin. Kini mereka sudah ada di garasi.
"Mbak, di rumah saja. Nanti kita kabari kalau Nana sudah sadar. Mbak tolong bantu do'a agar Nana baik-baik saja," ucap Nirmala.
"Tolong rapikan kamar Nana ya Mbak," sambung Afdal sambil meletakan Hasna di bangku belakang, dan di susul Nirmala duduk di sebelah Hasna.
“Baik Pak, Bu!” ucap Mbak Nurin, setelah mobil keluar ia menatap pilu berlalunya mobil milik Afdhal.
***
Di rumah sakit.
"Dok, tolong Anak saya!" teriak Afdhal sembari berlari menggendong Hasna, di ikuti oleh Nirmala.
"Mari ikut saya dan tolong salah satu isi form pendaftaran," sambut seorang suster serta mengarahkan Afdhal ke ruang IGD.
Afdhal meletakan Hasna di sebuah ranjang pasien di ruangan IGD. Terlihat darah di kening Hasna mulai mengering dan suster dengan sigap segera membersikan darah serta meletakan perban untuk membungkus luka pada kening Hasna.
Tidak berapa lama Nirmala muncul sehabis dari tempat pendaftaran sebelumnya."Bagaimana dengan keadaan Anak saya, dok?" tanya Nirmala kepada dokter yang sedang memeriksa Hasna.
"Oh tidak apa-apa, mungkin Putri Bapak dan Ibu terjatuh serta kepalanya membentur sesuatu. Ini tidak serius, tenang saja,” tutur dokter.
"Oh syukur Alhamdulillah," ucap Nirmala dan Afdal secara bersamaan.
"Namun ...." sambung dokter. Kata-kata dokter yang kini berhenti, sontak membuat Afdal serta Nirmala menatap tajam penuh tanda tanya, meminta penjelasan lebih terhadap perkataan dokter baru saja.
Dokter mengerti arti dari tatapan kedua orang tua Hasna. "Bapak dan Ibu, mari ikut saya ke ruangan saya," ajak dokter kepada orang tua Hasna.
"Oh, baiklah dok!" orang tua Hasna menjawab serempak, seraya mengikuti dokter masuk kedalam ruangannya.
Di ruangan dokter.
"Bapak dan Ibu silakan duduk dulu," ucap dokter ramah.
"Iya dok. Terimakasih," timpal mama Hasna, seraya duduk dan di ikuti papa Hasna duduk di sebelahnya.
"Bapak, Ibu. Putrinya tidak mengalami cedera serius atau luka fatal," ucap dokter. "Hanya saja ...." dokter berucap kembali dan kata-katanya terhenti. Orang tua Hasna menanti dokter melanjutkan perkataannya.. dengan tidak sabar.
"Hanya saja, apa dok?" tanya Afdhal penasaran, Karena dokter tak kunjung meneruskan potongan kata-katanya.
"Iya dok, kenapa dengan Putri saya?" sambung Nirmala, mulai cemas.
“Hanya saja, dugaan saya, Putri Bapak dan Ibu ini, sedang mengalami gangguan psikis, mendekati depresi, itu dari hasil pemeriksaan yang saya tangkap. Debar jantung dan napas yang tidak beraturan menandakan sebuah tekanan dan keresahan walaupun ia dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Sepertinya, Putri kalian baru saja mendapat sebuah kesedihan mendalam di dalam batinnya. Lalu, ketidak siappan mental, kesedihan tersebut menjadi tekanan batin yang berujung pada rasa kecewa yang berlebihan,” tutur dokter
"Tidak mungkin dok! Astagfirullah, hiks,hiks," Nirmala tidak percaya apa yang terjadi dengan putrinya. Ia menggelengkan kepalanya, mulai menangis.
"Maaf! itu baru dugaan saya saja," ucap dokter kembali.
“Tapi, masih bisa normal kembali 'kan dok?" tanya Afdhal.
"Bisa saja Pak. Namun, harus ada yang mendampingi secara intens, untuk memulihkan suasana hatinya. Bisa saja dari teman-temannya atau lebih bagus dari kalangan keluarga Bapak, dan Ibu," sambung dokter kembali.
"Ini gara-gara kamu Mas! kamu yang sudah menghancurkan perasaan anak kita," tuding Nirmala kepada Afdhal.
"Ia aku minta maaf, aku salah! jangan lupa, kamu juga ikut andil dalam keputusan perpisahan kita," ucap Afdhal penuh penyesalan. Akan tetapi Afdal tidak terima begitu saja di salahkan oleh Nirmala.
"Maaf! Bapak, Ibu. Sepertinya dugaan saya betul tentang kondisi Putri kalian. Anda berdua sedang mengalami konflik keluarga! dan maaf sekali lagi, tolong selesaikan permasalahan kalian nanti, setelah keluar dari ruangan Saya!" dokter yang melihat kelakuan mantan suami istri itu merasa tidak nyaman, harus menyaksikan pertengkaran mereka.
"Baiklah, maaf dok. Saya sudah emosi dan membuat keributan di sini,” ucap kembali Nirmala.
"Baiklah, ini saya beri resep yang harus di minum dengan rutin ya Bu. kita berdoa sama- sama dan lihat perkembangan satu minggu ini. Jika putri Ibu dan Bapak kuat dalam menekan kekecewaannya, maka Bapak dan Ibu boleh lega, mungkin putri Bapak dan Ibu hanya akan berubah dari segi perilaku dan sikap saja," tutur dokter kembali
"Insya Allah dok. Semoga saja!" ucap Afdal.
Di ruang IGD rumah sakit.
"Awsshh, aku di mana nih?" ucap Hasna, yang kini baru saja sadar dan membuka kedua matanya, “hesst, kepalaku sakit!" Hasna yang baru saja sadar dari pingsan, ia tak tahu dirinya sedang berada di rumah sakit.
"Syukurlah, kamu sudah sadar Dik," ucap suster yang menghampiri Hasna.
"Suster, Kok saya bisa berada di rumah sakit? apa yang terjadi?" tanya Hasana pada suster, ia tahu itu seorang suster Karena melihat dari seragam yang dikenakannya.
“Ia, Kamu sedang berada di ruang IGD rumah sakit Dik. Tadi kamu pingsan! sepertinya kepala kamu terbentur sesuatu dan berdarah. Orang tua Adik yang membawa kamu ke sini.” suster menjelaskan kepada Hasna kenapa Hasna ada di rumah sakit.
“Aduh! oh begitu ya Sus,” ucap Hasna, lalu ia mengingat kejadian saat tadi di kamarnya.
Dari mulai ia berteriak histeris, menghancurkan barang-barang, hingga ia jatuh di kamar mandi Karena saat ia berjalan hendak mengguyur dirinya di kamar mandi, kepalanya merasa pusing lalu ia terjatuh dan keningnya terantuk ujung bathtub.
“Begitulah Dik,” jawab suster.
"Lalu, orang tuaku dimana sus?" tanya Hasna kembali.
"Orang tua kamu sedang keruangan dokter Dik, sebentar lagi mungkin akan kembali," jawab suster.
Tak berapa lama, setelah suster mengecek keadaan Hasna, mama Hasna datang ke ruang IGD.
"Sayang, kamu sudah sadar?" tanya Nirmala. Sambil mendekati Putrinya seraya berusaha mengelus rambut Hasna, namun Hasna menepis tangan Ibunya itu dan memalingkan wajah.
"Nana, mau pulang!" ujar Hasna singkat. Nirmala hanya mengesah lemah, dia ingat perkataan dokter yang harus sabar menghadapi anaknya.
"Sus, apakah Putri Kami harus rawat inap? atau sudah dapat kami bawa pulang?" tanya Afdhal kepada suster.
"Oh sesuai perintah dokter, Karena anak Bapak tidak ada keluhan apapun lagi, maka silakan Pak, sudah boleh di bawa pulang Kok," jawab suster.
“Syukurlah. Baiklah, kalau begitu mari kita pulang Nak," ajak Afdhal pada Hasna. Namun, Hasna hanya diam tak menjawab apapun.
Dengan keheningan di dalam mobil, kini mantan suami Istri dan Putri tunggal mereka, sedang di dalam perjalanan pulang. Dengan pergolakan batin masing-masing. Suasana di dalam mobilpun nampak canggung, karena sudah tak sehangat dulu.
Dua minggu kemudian.
Setelah kejadian dari beberapa waktu lalu. Hasna mengalami perubahan, ia menjadi anak yang pendiam. Ia sering mengurung diri didalam kamar. Hasna hanya akan keluar jika pergi ke sekolah. Lalu sepulang sekolah mengurung diri kembali didalam kamar. Bahkan utuk makan-pun, Mbak Nurin yang mengantarkannya ke dalam kamar.
Tok, tok, tok, suara ketukan di pintu kamar Hasna. Itu adalah Nirmala sang Ibu.
"Nak! Nana Sayang. Boleh Mama masuk?” setelah mengetuk pintu kamar Hasna, Nirmala meminta izin masuk kamar anaknya, ia harus berhati-hati dalam bicara. Takut Hasna akan tersinggung dan kembali mengamuk seperti tempo hari.
"Ya!" sahut Hasna singkat dari dalam kamar.
"Sayang, Mama ingin bicara," ucap Nirmala setelah berada didalam kamar. Hasna yang saat itu, sedang duduk memeluk lutut di depan jendela yang menghadap ke arah taman. Ia hanya menganggukkan kepalanya tanpa menoleh.
"Mama ada tawaran pekerjaan di Singapore, Nana ikut Mama ya, Sayang! melanjutkan sekolah SLTA di sana," Nirmala berbicara sembari mengelus kepala Hasna.
"Tidak Ma. Mama bisa pergi! Nana akan baik-baik saja di sini, Nana bisa tinggal di temani Mbak Nurin," jawab Hasna cepat dengan suara yang datar.
"Tapi Sayang, Mama khawatir! atau Nana tinggal bersama Papa ya Sayang," ucap Nirmala, berusaha membujuk Hasna.
"Cukup Mah! Nana bilang tidak, ya tidak," suara Hasna mulai meninggi.
"Tapi, Sa~," suara Nirmala terputus, saat Hasna tiba-tiba memotong tanpa memedulikan bujukan Mamanya.
"Tidak ada tapi-tapian! atau Nana pergi dari rumah ini!" lalu Hasna bangkit dan meninggalkan mamanya yang sudah mulai menangis.
"Nana Sayang, kemana dirimu yang dulu, cantiknya Mama, yang baik, penurut, ceria. Tapi saat ini seperti bukan diri kamu Sayang," batin Nirmala meratap sakit. sembari menangis.
Di teras belakang rumah Hasna.
Hasna duduk termenung. Sesekali tersenyum teringat ketika orang tuanya yang dulu harmonis, tingkah manja dirinya pada sang Ayah dan Ibu. Namun, amarah di matanya muncul ketika ia ingat kenyataan saat ini, semua bagai mimpi.
Sebetulnya Hasna ingin mencoba menerima kenyataan ini. Namun, rasa kecewa karena merasa di bohongi dan dibodohi kedua orang tuanya, yang sudah bercerai secara Agama sejak setengah tahun yang lalu, akan tetapi di hadapan Hasna seolah-olah tak terjadi apapun.
Puncaknya dua minggu yang lalu, surat perceraian dari pengadilan Agama yang ia terima langsung di tangannya dari kurir pos. Hal itu yang membuat Hasna marah karena tak percaya. Ditambah lagi perceraian orang tuanya karena orang ketiga, yang saat ini sedang mengandung karena kesalahan satu malam bersama ayahnya.
Orang ketiga itu adalah sekretaris ayahnya di kantor. Hasna mengenal betul secara baik orang tersebut, sudah seperti tantenya, maka dari itu tambah hancur saja perasaan Hasna.
"Mbak Nur! tolong ambilkan kunci Mobil," Pinta Hasna
"Tapi Non, Non Nana hendak kemana?" tanya Nurin pada Hasna
"Ke kantor Papa," Ucap Hasna dingin.
"Non, jangan nekad, Non belum memiliki SIM," bujuk Nurin.
Hasna sudah mahir mengemudi, dari sejak kelas dua SMP. Hasna belajar mengemudi Mobil dan motor, namun karena belum memiliki SIM, Hasna tidak di izinkan mengemudi jarak jauh sendiri, dan jika kemana-mana harus membawa sopir.
Kini Hasna sudah berada di balik kemudi, setelah merebut paksa kunci Mobil dari tangan Nurin.
Cessess ... groommm ... grooomm ....
Suara mesin mobil Hasana, type sedan namun sudah di modifikasi seperti mobil balap, yang memang kemauan Hasna.
Afdhal akan selalu mengabulkan permintaan Hasna tanpa harus melalui tawar-menawar atau berdebat dahulu. Padangan Hasna, Papanya itu orang yang simple dam bersahabat, hangat dan santai. Itu dulu.
Nurin Segera berlari menuju lantai atas untuk memberitahu kepada Nirmala, bahwa Hasna ingin membawa mobil dan pergi mengemudi sendiri
"B-Bu ...." napas Nurin terengah-engah begitu sampai dihadapan Nirmala. maka dari itu ia kesulitan bicara.
"Ada apa, Mbak?" Tanya Nirmala.
"Anu bu, Itu ... Non Hasna. Memaksa bawa mobil sendiri! katanya akan pergi ke kantor bapak," tutur Nurin
"Ya ampun Nana. 'kan belum memiliki SIM. Ayo cepat Mbak, kita cegah," ajak Nirmala pada Nurin. Namun, mereka terlambat, Karena Hasna sudah berlalu mengendarai Mobilnya menuju kantor Afdhal.
Di kantor Afdal.
"Di mana Papa?" bentak Hasna pada sekretaris ayahnya, yang saat ini menjadi Istri baru sang Ayah. Teriakan Hasna terdengar oleh staf yang lain, namun mereka hanya diam.
"Sedang meeting dengan client," jawab Vinny lembut seraya tersenyum. Nama sekretaris sekaligus istri baru ayahnya adalah vinny.
Sebetulnya disini posisi vinny juga korban, ia seorang sekretaris yang baik, usianya dua puluh tujuh tahun, dan memilih serius berkarier ketimbang menikah, terlebih Afdhal adalah atasan yang baik terhadap setiap karyawannya. Maka mereka tidak mungkin melakukan perselingkuhan bila secara sadar.
Pada suatu waktu, mereka di haruskan pergi bersama Karena sebuah pekerjaan di luar Negri. Karena client mengajaknya makan malam serta berlanjut ke arena pesta kecil-kecilan dan minum-minum, maka merekapun mengikuti kemauan si client.
Di situlah awal petaka-pun terjadi. Sungguh kebodohan dan kecerobohan untuk mereka, hingga keesokan paginya, Afdal dan vinny sama-sama tersandar dalam keadaan tak berpakaian dalam satu ranjang. Diperkirakan mereka telah berhubungan intim dalam keadaan tidak sadar atau mabuk. Bukti kuatnya adalah noktah merah di seprei, bahwa Afdhal telah merenggut kesucian Vinny.
Vinny tidak menuntut apapun, walaupun Afdhal telah memberikan uang sebagai ganti rugi. Namun, Vinny menolak. Setelah kejadian itu, Afdhal dan Vinny pun jujur, menceritakan kejadian itu kepada Nirmala.
Awalnya Nirmala tidak terima. Namun, karena semua sudah terjadi mau bagaimana lagi. Vinny sempat berhenti menjadi sekretaris Afdhal. Namun, beberapa bulan kemudian ternyata Vinny hamil karena Afdhal.
Nirmala pun membuat Afdhal bertanggung jawab untuk menikahi Vinny dan ia rela di madu pada awalnya. Namun, berjalan dua bulan ia di madu, akhirnya Nirmala menyerah dan tak sanggup, lalu ia meminta cerai secara Agama. Selama lima bulan mereka menyembunyikan perceraiannya dari Hasna.
Mereka berlagak sekolah-olah rumah tangga orang tuanya baik baik saja, sampai pada puncaknya surat dari pengadilan-lah yang Hasna terima di tangannya langsung, dan membuat semuanya di ketahui oleh Hasna, bahwa mereka sudah bercerai dari sejak setengah tahun yang lalu. Maka dari itu Hasna merasa di bohongi dan dibodohi oleh kedua orang tuanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!