NovelToon NovelToon

Takdir Gadis Si Buruk Rupa

Part 1. Ada Apa Dengan Wajahku?

Sebuah kecelakaan tidak bisa terhindarkan ketika sebuah mobil melaju kencang membelah jalanan, di tengah kemacetan arus lalu lintas.

Kecelakaan beruntun pun tidak bisa terelakkan, ada banyak korban berjatuhan salah satunya adalah Rindu. Dia yang ingin ikut meninjau toko bangunan orang tuanya yang habis kebakaran ikut terjebak dalam situasi yang mencekam. Tidak hanya kehilangan kedua orang tua, tetapi ia pun menjadi korban dari keganasan kecelakaan tersebut. Kondisi tubuhnya berada dalam keadaan yang kritis dan mengalami koma yang panjang.

Dua bulan berlalu Rindu terbangun dari tidur panjangnya setelah berhari-hari bibi dan paman meratapi keadaannya yang tidak kunjung sadar. Pagi itu tiba-tiba jari-jemari tangannya mulai bergerak.

"Bang tangan Rindu bergerak. Dia sadar Bang, dia sadar." Sang bibi begitu bahagia melihat keponakan perempuan satu-satunya terbangun kembali.

"Saya panggil dokter ya Yan."

"Iya Bang, iya."

Suami dari perempuan itu keluar dan menghubungi dokter. Beberapa saat ia kembali dengan seorang dokter dan seorang perawat.

Setelah dokter tersebut memeriksa Rindu dokter mengatakan bahwa keadaan rindu sudah mulai stabil.

"Apa kita bermimpi Bang?" Sang bibi begitu tidak percaya melihat keponakannya kini sudah sadar dan bisa duduk sendiri di atas brankar rumah sakit. Rasanya baru kemarin dokter mengatakan bahwa keponakannya itu tidak akan bertahan hidup lama. Dia hidup hanya mengandalkan alat-alat medis saja, begitu ujar sang dokter waktu itu.

Namun, Tuhan berkata lain dia masih sayang pada Rindu sehingga gadis itu masih diberikan umur panjang. Tidak sia-sia sang bibi memaksa dokter untuk terus menangani Rindu dan melarang mereka mencabut selang dan peralatan medis lainnya yang menempel di tubuh gadis tersebut meski harus mengeluarkan biaya yang cukup fantastis bagi orang sekelas dirinya yang miskin.

Untung saja ada uang jasa Raharja yang didapatkan dari kematian kedua orang tua Rindu dan juga biaya perawatan untuk korban kecelakaan. Paman dan bibi Rindu memanfaatkan uang itu untuk membayar biaya rumah sakit Rindu. Sedangkan sebagian uang digunakan untuk membayar hutang modal kedua orang tua Rindu dan juga biaya pemakaman.

Perlahan Rindu mengucek kedua matanya. Netranya kini menelisik ke seluruh ruangan mencari keberadaan orang tuanya. Namun nihil yang dicari tidak ada.

"Bik, ibu sama ayah mana?" Akhirnya Rindu yang tidak tahan dengan rasa penasaran kenapa orang tuanya tidak tampak segera bertanya.

"Itu ... anu ... ibu ... dan ayah kamu...." Bibi tampak ragu untuk memberitahukan kenyataannya.

"Kemana Bik?" Rindu yang sudah tidak tahan karena teramat rindu dengan orang tuanya tampak ngebet.

"Maaf dengan terpaksa kami mengabarkan bahwa kedua orang tuamu sudah meninggal di tempat saat kecelakaan." Akhirnya sang paman yang angkat bicara karena melihat istrinya tidak sanggup berkata-kata lagi. Ada tetes air mata yang mengalir di pipi istrinya.

"Apa?! Tidak mungkin, itu tidak mungkin kan Bik?" Rindu mengguncang-guncang tubuh sang bibi yang kini hanya diam membisu dan tidak mau menjawab pertanyaan darinya. Sang bibi hanya terlihat semakin kencang menangis.

"Bik katakan itu tidak benar. Katakan bahwa perkataan paman itu hanyalah kebohongan belaka." Bibi itu menggeleng membuat tetes air mata Rindu mulai berjatuhan.

"Katakan Bik!" teriak Rindu.

"Benar Rin kedua orang tuamu sudah tiada. Mereka meninggal dalam kecelakaan itu." Sang bibi yang tidak tahan akhirnya bersuara.

Mendengar perkataan sang bibi Rindu langsung terisak.

"Ayah, ibu kenapa kalian tinggalkan Rindu sendiri, hiks ... hiks ... hiks. Rindu tidak sanggup hidup tanpa kalian berdua. Rindu tidak mau hidup sebatang kara. Hiks ... hiks ... hiks."

"Rindu yang sabar ya Nak. Rindu tidak akan hidup sendirian. Ada paman sama bibi yang akan menggantikan Reta dan Hilman untuk merawatmu." Paman Dahlan menepuk-nepuk pundak Rindu untuk menyalurkan ketenangan.

"Pamanmu benar, kami berdua akan menjaga dan merawatmu seperti anak sendiri. Apalagi kami sampai sekarang juga belum dikaruniai anak," ujar sang bibi sambil mengusap air mata di pipi Rindu.

"Bik ...." Tanpa melanjutkan perkataannya Rindu langsung memeluk sang bibi dengan erat.

"Terima kasih ya Bik," ucap Rindu masih dengan mata yang merah karena habis menangis.

"Kata dokter kamu sudah boleh pulang. Jadi lebih baik kamu ikut kami dan tinggal bersama kami."

"Tapi rumah ayah siapa yang akan menempati Paman, jika aku ikut kalian?"

Dahlan menarik nafas panjang lalu menghembuskan secara kasar. Dia tidak tahu harus menjelaskan darimana agar keponakan istrinya itu tidak menjadi syok kalau tahu kenyataannya.

"Kenapa paman diam saja?"

"Yan ...." Dahlan meminta pendapat istrinya.

"Iya Bang lebih baik kita jujur saja tentang semuanya agar tidak ada masalah di kemudian hari." Yani sang bibi berusaha untuk bersikap tegar kembali.

"Begini Rin, sebenarnya Reta dan Hilman telah menjadikan rumah mereka sebagai jaminan untuk mendapatkan hutang modal yang lebih banyak setelah mereka meminjam dari pak Slamet yang dirasa belum cukup. Sekarang rumah itu telah disita."

"Apa tidak bisa ditangguhkan ya Paman?" tanya Rindu. "Kata pak guru kalau pinjam di Bank bisa dinegosiasikan sebelum disita."

"Haah." Dahlan mendesah. "Sayangnya orang tuamu tidak berhutang di Bank. Mereka malah memilih meminjam pada rentenir di kampung kita dan memberikan sertifikat tanah dan rumah sebagai jaminannya."

"Apa? Kenapa ayah sama ibu sampai teledor seperti itu sih," Protes Rindu. "Padahal mereka kan bisa pinjam ke Bank."

"Mereka tidak ingin ribet dan yakin dalam waktu dekat modalnya akan segera kembali karena letak tokonya yang strategis dan juga laris. Sayangnya sebelum mereka mampu mengembalikan modal itu tokonya sudah terlebih dahulu ludes dilahap si jago merah. Uang yang ada di dalam sana pun tidak sempat diamankan," jelas Dahlan panjang lebar. Rindu hanya mengangguk pelan.

"Sudahlah tidak perlu dipikirkan, semua sudah terjadi. Anggap saja ini semua sudah takdir dari Yang Maha Kuasa. Lagipula walaupun dijaminkan ke Bank, rasanya paman dan bibi tidak bisa membantu menyicil angsurannya."

"Iya paman Rindu mengerti. Paman dan bibi sudah mau merawat Rindu di sini pun, Rindu sudah sangat senang dan berterima kasih." Rindu menunduk karena merasa tidak enak pada sang paman. Dia tahu bagaimana kehidupan paman dan bibinya yang serba kekurangan.

"Kata dokter kalau keadaanmu tambah membaik lusa kamu sudah diperbolehkan pulang," ujar Dahlan lagi.

"Iya paman Rindu akan ikut kalian," kata Rindu sambil mengusap sisa air mata yang masih menempel di pipinya.

"Tunggu ini apa?"

Rindu menghentikan gerakan tangannya saat jari-jarinya menyentuh sesuatu yang kasar di pipinya.

Dahlan dan Yani saling berpandangan. Mereka berharap Rindu tidak akan menanyakan lebih lanjut tentang wajahnya yang berubah.

"Bik pipiku kenapa?"

"Paman wajahku kenapa?"

Kedua orang yang ditanyai tidak ada yang mau menjawab pertanyaan darinya.

"Sus boleh pinjamkan aku cermin!" pinta Rindu pada perawat yang masih belum keluar dari ruang rawatnya.

"Sebentar Dik saya ambilkan dulu."

Beberapa saat kemudian perawat itu kembali dan mengulurkan sebuah cermin ke arah Rindu.

"Ini Dik cerminnya."

"Rindu menerima cermin tersebut dan mengucapkan terima kasih.

Rindu yang tidak sabar ingin tahu apa yang menempel di pipinya langsung memandang wajahnya lewat cermin.

Dia terlonjak kaget melihat wajahnya sendiri. Ada codet bekas terbakar di wajahnya bagian bawah yang terlihat menyeramkan.

"Ada apa dengan wajahku?"

Semua orang dalam ruangan tidak ada yang menjawab. Mereka hanya melihat ke arah Rindu dengan tatapan sendu.

"Suster bisa menjelaskan?" tanya Rindu pada suster itu dengan tatapan penuh harap agar perawat tersebut mau menjelaskan.

"Wajah Adik melepuh saat kecelakaan karena terkena percikan api. Sekarang sudah sembuh, tetapi menyisakan bekas yang seperti itu."

"Tidak!" teriak Rindu histeris dan langsung memukul tubuhnya sendiri. Dia juga mencakar-cakar wajahnya karena merasa jijik. Ia lalu menangis meraung-raung.

"Kenapa aku tidak mati saja kalau begini, hiks ... hiks ... hiks. Ayah ibu bawa saja Rindu bersama kalian." Seharian itu Rindu menghabiskan waktu menangis dan meratapi nasib.

Bersambung....

Jangan lupa tinggalkan jejak!🙏

Part 2. Ikut Bekerja

"Kenapa aku tidak mati saja kalau begini, hiks ... hiks ... hiks. Ayah ibu bawa saja Rindu bersama kalian." Seharian itu Rindu menghabiskan waktu menangis dan meratapi nasib.

"Rindu sabar ya Nak, paman dan bibi akan berusaha mencari dan mengumpulkan uang agar bisa membiayai operasi plastik wajahmu. Ini untuk sementara saja, suatu saat nanti wajah cantikmu pasti akan kembali lagi." Dahlan mencoba membujuk Rindu agar berhenti menangis walaupun sebenarnya dalam hati terbersit rasa tidak yakin dengan apa yang diucapkannya.

"Memang tidak ada cara lain untuk mengembalikan wajahku ini, dengan obat atau salep mungkin?" tanya Rindu, gadis itu ternyata masih polos.

Yani, sang bibi menggeleng. "Tidak bisa Nak luka di wajahmu sudah parah. Sebenarnya dokter menyarankan agar segera melakukan operasi plastik tapi sayangnya paman dan bibi masih belum punya biaya. Maafkan kami ya Nak."

Rindu mengangguk lalu menunduk. Dia sebenarnya kecewa karena sepertinya harapan untuk mengembalikan wajah cantiknya tidak akan pernah tercapai. Rindu tahu akan sangat susah bagi paman dan bibi untuk mengumpulkan uang biaya operasi plastik yang terbilang cukup mahal. Sedangkan untuk biaya makan saja Dahlan dan Yani keteteran untuk memenuhi kebutuhannya itu.

Dahlan hanya pekerja serabutan yang akan bekerja saat ada yang membutuhkan jasanya, sedangkan sang bibi hanyalah buruh cuci di rumah-rumah tetangga. Karena pekerjaannya ini tidak mampu memenuhi semua kebutuhan hidup, mereka kini mulai merintis usaha kecil-kecilan. Mereka membuka toko sembako di depan rumah mereka. Namun tetap saja penghasilan dari tokonya masih tidak bisa diandalkan.

Suatu hari kakak Dahlan -Suseno- datang. Mereka mengajak keluarga Yani dan Dahlan untuk bergabung dengan keluarga mereka.

"Dek, saat ini saya sudah memiliki beberapa ratus ribu ayam potong dan itik yang tersebar dalam beberapa kandang. Rencananya selain menjual dalam keadaan hidup saya ingin juga menjualnya dalam keadaan yang sudah dipotong menjadi daging. Apa Dek Dahlan bisa bergabung dengan kami?"

"Wah sangat bisa kak. Apa yang bisa saya lakukan?" Dahlan bertanya sambil tersenyum sumringah pada istrinya.

"Kamu bisa membantu dalam pemasaran."

"Baiklah kak mulai kapan saya bisa bekerja?"

"Besok juga boleh."

"Bagaimana Yan?" Dahlan meminta pendapat istrinya.

"Abang kerja saja sama kak Dahlan biar saya yang urus toko."

Dahlan mengangguk mantap.

"Baiklah kalau begitu besok pagi saya ke rumah kak Suseno."

"Baik kalau begitu aku tunggu di rumah."

...----------------...

Keesokan hari ketika Dahlan hendak berangkat ke rumah Suseno, Rindu memanggilnya.

"Paman mau kemana?"

"Mau ke rumah paman Suseno."

"Boleh Rindu ikut?"

"Memang kamu tidak sekolah hari ini?"

"Libur Paman, kan hari Minggu."

"Oh iya ya paman lupa," ucap sang paman sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Ya sudah ayo kalau mau ikut, jangan lupa pamit sama bibimu!"

"Baik Paman." Rindu berlari masuk ke dalam rumah dan memanggil sang bibi.

"Bik! Bik!" panggilnya dengan nafas yang tersengal-sengal.

"Apa sih Rin kok kayak dikejar maling gitu," protes Yani.

"Rindu mau ikut paman."

"Baiklah ikut saja, tapi hati-hati ya."

"Pasti Bik." Rindu berjalan keluar rumah dengan langkah yang besar.

"Bagaimana?"

"Boleh kata bibik."

"Ya sudah kalau begitu yuk berangkat."

Mereka pun berangkat ke kediaman Suseno dengan berjalan kaki. Sampai di sana ternyata sudah ada beberapa orang yang membersihkan bulu ayam yang sudah disembelih.

Dahlan tampak ditarik ke dalam rumah oleh Suseno sedang Rindu tampak berbaur dengan yang lainnya, membantu mencabut bulu ayam. Kebetulan Suseno memilih untuk tidak menggunakan mesin pencabut bulu unggas karena melihat tetangga banyak yang pengangguran apalagi usahanya bisa dibilang masih awal.

"Dia keponakan kamu itu?" tanya Suseno pada Dahlan yang kini sedang berbincang-bincang dalam sebuah ruangan. Meskipun mereka tinggal dalam satu kampung tetapi mereka jarang bertemu karena kesibukan masing-masing.

"Iya Kak kasihan dia masih kecil sudah ditinggal kedua orang tuanya. Jadi kami mengajak dia untuk tinggal bersama kami. Siapa tahu dengan merawat dia Yani bisa hamil."

"Kamu benar, ada beberapa warga di sini yang tidak memiliki anak. Mereka mengadopsi anak sebagai pancingan, eh akhirnya istri-istri mereka beneran hamil."

"Semoga nasib baik mereka menular pada kami," ucap Dahlan penuh harap.

"Amin. Eh ngomong-ngomong siapa nama ponakan kamu itu?"

"Rindu kak."

"Oh Rindu ya, sepertinya anak itu rajin." Suseno berucap sambil memandang Rindu dari balik kaca.

"Kakak benar dia memang suka bantu-bantu Yani di rumah."

"Bagaimana kalau dia kerja di sini?"

"Kalau itu mah, Kakak tanya saja sama anaknya soalnya dia masih sekolah."

"Tidak apa-apa, dia bisa bekerja sesudah pulang sekolah. Lumayan kan dapat penghasilan sendiri. Biar uang jajan tidak minta sama kamu."

"Kalau untuk uang jajan saya mah tidak keberatan ngasih dia. Cuma ya begitu aja, pas-pasan."

"Makanya dari itu, siapa tahu dia pengen beli sesuatu yang tidak bisa terpenuhi dari uang jajan yang kamu berikan."

"Kalau saya sih terserah dia Kak."

"Baiklah kalau begitu saya akan bicara langsung dengan dia." Suseno keluar dan memanggil Rindu.

"Yang namanya Rindu ke sini!"

Rindu membersihkan tangannya kemudian berjalan mendekat. "Ada apa Paman?" tanya Rindu dengan perasaan takut. Dia pikir Suseno tidak suka karena dia main bergabung saja dengan para pekerja tanpa pamit terlebih dulu.

"Bagaimana rasanya kamu tadi bekerja?"

"Hmm, sepertinya asyik Paman," jawab Rindu jujur.

"Apa kamu mau bekerja di sini?"

"Bekerja Paman? Apa boleh?"

"Boleh kalau kamu mau."

"Tapi ... tapi...," ucap Rindu ragu.

"Tapi kenapa?"

"Aku harus kerja apa?"

"Ya seperti tadi, mencabut bulu ayam dan itik."

"Cuma itu paman?"

"Iya."

"Asyik, saya mau paman." Rindu berjingkrak kegirangan membuat semua orang menoleh padanya sambil menggelengkan kepala.

"Baik kalau begitu mulai besok, saat kamu pulang sekolah bisa langsung ke sini untuk bekerja."

"Baik Paman tapi izinkan saya meminta izin kepada paman dan bibi terlebih dahulu. Kalau mereka setuju besok setelah mengganti seragam saya akan langsung ke sini."

"Tidak masalah, bicarakan saja dulu pada mereka."

...----------------...

Hari sudah sore, langit merah di barat sana sudah akan berganti gelap. Rindu dan Dahlan pulang ke rumah. Setelah membersihkan diri mereka sholat berjamaah kemudian makan malam bersama. Di saat itulah Rindu menyampaikan keinginannya kepada Dahlan dan Rindu.

"Kalau bibi sih tidak keberatan asalkan sekolah kamu tidak terganggu."

"Paman juga, asalkan kamu tidak terpaksa melakukan hal itu. Kalau sekiranya terpaksa lebih baik jangan kau lakukan karena paman dan bibi masih sanggup memberikan makan dan masih mampu untuk membiayai sekolahmu."

"Tidak Paman saya tidak terpaksa, saya malah senang bekerja di tempat itu."

"Baiklah kalau begitu paman dan bibi setuju."

"Terima kasih ya Paman, Bibi." Rindu mendekap keduanya membuat mata Dahlan dan Yani tampak berkaca-kaca. Mereka seolah merasa memiliki anak kandung dengan kehadiran Rindu di rumahnya.

Syukurlah paman dan bibi menyetujui. Dengan begini saya bisa mengumpulkan uang untuk biaya operasi wajah walaupun sedikit demi sedikit. Bukankah pepatah bilang 'Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit.'

Dari balik punggung keduanya, Rindu tampak tersenyum seorang diri karena merasa seolah ada harapan untuk wajahnya yang buruk rupa kembali seperti semula.

Bersambung....

Jangan lupa tinggalkan jejak!🙏

Part 3. Dibully

Empat tahun kemudian.

Dua gadis remaja tampak mengobrol di bawah pohon Cemara di halaman sekolah. Satu orang memakai masker dan yang satu lagi hanya mengalungkan di leher.

Setelah setahun lebih mereka harus belajar online akibat covid yang melanda, akhirnya mereka diperbolehkan melakukan tatap muka di sekolah. Sesekali terdengar tawa dari mulut keduanya disela-sela obrolan mereka.

"Ya ampun Rin, aku lupa kemarin kan ada pr matematika. Kamu udah, belum?"

"Sudah dari kemarin. Pas pulang sekolah langsung aku kerjakan. Kalau tidak aku takut keteteran, nggak ada waktu soalnya abis pulang kerja aku suka kecapekan dan akhirnya tertidur."

"Aku boleh nyalin nggak Rin?" tanya Luna sahabat Rindu sejak di bangku SMP.

"Kamu kebiasaan ya padahal kamu nyampe rumah nyantai nggak kayak aku yang harus memeras keringat, tetapi kenapa selalu tidak mengerjakan pr?" Rindu tahu bahwa Luna mengatakan lupa tadi hanya alasan semata. Kenyataan yang sebenarnya Luna pemalas dan selalu menganggap enteng setiap tugas sekolahnya karena mengandalkan Rindu.

"Pelit amat sih Rin jadi sahabat," protes Luna.

"Bukan begitu Lun aku kan pengen sahabat aku jadi pintar. Kalau kamu nyontek terus kapan pintarnya? Untuk sekarang boleh kamu nyalin punyaku tapi lain kali kerjakan sendiri. Kalau tidak tahu kamu tanya saja, aku pasti bantu kok."

"Alah bilang aja kamu pelit," ucap Luna ketus sambil bangkit dari duduknya kemudian melenggang pergi, meninggalkan Rindu sendiri.

"Lun, tunggu Lun!" Rindu pun ikut bangkit dan mengejar Luna. "Bukan begitu maksudku Lun, aku hanya ...."

Prok prok prok.

Suara tepuk tangan menghentikan ucapan Rindu. Begitupun dengan Luna, dia menghentikan langkahnya dan menoleh.

"Wah-wah-wah, ternyata murid yang kita anggap disiplin ternyata hanya menggunakan masker sebagai topeng agar kita tidak mengetahui apa yang ada dibalik masker itu."

Semua murid menatap Rindu dengan aneh. Mereka merasa penasaran dan mencoba menebak-nebak akan perkataan Kika. Ketua geng Gaul yang terkenal di SMA 1 di kota itu.

"Apa maksudmu?"

"Jangan pura-pura bingung, kamu pikir aku tidak tahu. Mukamu jelek kayak hantu kan?"

"Itu tidak benar, aku hanya ...."

"Hanya apa? Jangan-jangan kamu bersekutu dengan setan. Ha ha ha...." Kika tertawa keras diikuti teman-temannya di belakang.

Rindu menggeleng. "Itu semua tidak benar. Jangan fitnah kamu!"

"Kika jangan suka menuduh tanpa bukti," ujar salah satu murid.

"Tidak benar katamu?" ketus Kika.

"Hei teman-teman saya akan membuktikan siapa diantara kita berdua yang benar. Aku atau dia?" tunjuk Kika pada dadanya sendiri kemudian dada Rindu. Lalu dengan secepat kilat tangannya menyentak masker yang menutupi bagian bawah wajah Rindu.

Rindu menahan tangan Kika agar tidak berhasil membuka masker di wajahnya. Namun sayang tiba-tiba tangan Rindu dikekang oleh teman-teman Kika.

"Lepaskan!" Rindu memberontak dalam dekapan teman-teman Kika, sedangkan Kika terus berusaha membuka masker. Rindu bergerak-gerak untuk mempersulit gerakan Kika. Namun karena tenaganya tidak bisa menandingi kekuatan mereka akhirnya Kika bisa melepas masker tersebut.

"Lepaskan dia!" Teman-teman Kika pun melepaskan Rindu setelah melihat bos mereka sudah berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya.

"Berikan itu, berikan!" Rindu tetap berusaha meraih masker ditangan Kika sedangkan satu tangannya mencoba menutup wajahnya. Dia tidak ingin teman-temannya mengetahui keadaan wajahnya karena akan merasa jijik. Dia saja tidak berani bercermin semenjak sadar dari koma beberapa tahun yang lalu.

"Cuih." Kika meludahi masker tersebut kemudian membuangnya sembarangan dan menginjaknya.

"Teman-teman, bagaimana? Aku benar kan? Tidak salah lagi dia pasti pemuja setan. Kalau tidak bagaimana mungkin dia selalu bisa menjawab pertanyaan guru di kelas sedangkan dia kerjaannya hanya molor di saat pelajaran dimulai."

Murid-murid memandang kaget mengetahui wajah bagian bawah Rindu seperti melepuh. Ada codet bekas terbakar.

"Ih jijik ya, kalau begitu aku tidak mau dekat-dekat dengan dia lagi."

"Ih mengerikan. Apakah dia sebenarnya terkena kutukan?"

"Pantas saja aku selalu melihat dia termenung, jangan-jangan dia sedang bicara sama piaraannya itu."

"Piaraan?" tanya yang lain.

"Jin maksudnya."

"Ih menakutkan."

Terdengar berbagai asumsi dari murid-murid yang hadir di tempat tersebut.

"Astaghfirullah hal adzim," ucap Rindu dalam hati.

"Pergi yuk." Mereka saling menarik tangan satu sama lain sambil memandang jijik ke arah Rindu. Beberapa murid terlihat pergi, tetapi masih ada yang bertahan. Sebagian dari mereka memilih menyaksikan perdebatan di hadapan mereka layaknya menonton teater.

"Masih mau mengelak?" seru Kika pada Rindu.

"Lun bantuin aku dong!" pinta Rindu yang melihat Luna tidak jadi pergi dan hanya menonton kelakuan Kika pada dirinya tanpa mau membela sahabatnya sendiri. "Katakan padanya bahwa mukaku begini hanya karena kecelakaan mobil bukan karena aku bersekutu dengan setan," pinta Rindu dengan penuh harap.

Luna mengangkat bahu."Sorry itu bukan urusanku. Lagipula kenyatannya memang demikian. Wajahmu buruk rupa kan? Mulai saat ini jangan dekat-dekat sama aku lagi. Aku malu berteman denganmu karena anak-anak sudah pada tahu akan wajahmu yang codet itu." Luna langsung pergi.

Rindu meneteskan air mata melihat sikap Luna terhadapnya.

"Hei itik buruk rupa, sekarang kau tidak punya teman lagi. Bertemanlah dengan itik-itik dan ayam-ayam yang ada di sekitarmu itu, karena kami semua di sekolahan ini tidak sudi menjadikan gadis hina seperti dirimu sebagai teman kami."

"Apa maumu sebenarnya? Mengapa kau melakukan ini padaku?" tanya Rindu dengan suara keras karena menahan amarah.

"Kamu mau tahu banyak atau mau tahu banget?" ledek Kika.

Rindu hanya menggeleng. "Kejam kalian."

"Apa, kejam? Kami memang kejam dengan orang yang pantas diperlakukan kejam seperti dirimu."

"Lora!" panggil Kika pada salah satu anggota gengnya.

Byiur.

Terdengarlah suara air yang ditumpahkan dari atas kepala Rindu oleh Lora.

"Apa ini?" Rindu mengusap kepalanya yang basah bahkan bukan cuma kepalanya saja yang basah tapi seragamnya juga ikutan basah.

"Bau apa ini? Huek." Semua murid yang masih menyaksikan aksi Kika and the genk mual. Mereka langsung bergegas meninggalkan tempat.

Rindu mencium tangannya yang menyentuh cairan itu. "Ini bau kotoran ayam."

"Rasakan itu akibatnya kalau kau berani mendekati Rangga."

"Rangga? Jadi itu alasannya?"

"Tidak usah pura-pura tidak tahu. Hmm, tapi aku ingin tahu apa yang akan dilakukan Rangga jika tahu wajah gadis yang dia puja ternyata jauh dari harapannya."

"Pasti ditendang lah," ujar Eliza.

"Dan dia akan kembali mendekatimu seperti waktu kita di SMP," sambung Lora.

"Itu pasti," imbuh Kika.

"Aku tidak menyangka demi seorang pria kau melakukan ini terhadapku."

"Bahkan aku bisa berbuat lebih dari ini jika kau masih berani mendekati Rangga," ujar Kika sambil mendorong tubuh Rindu dengan keras ke belakang hingga kepala gadis itu terbentur lantai.

"Aduh." Rindu mengaduh kesakitan sambil memegang kepalanya.

"Ada apa ini?" Tiba-tiba guru kimia datang dan menghampiri mereka.

"Rindu kepleset Pak gara-gara tadi ingin mengerjai kami dengan air yang bercampur kotoran ayam," lapor Kika.

"Iya Pak tapi sayang senjata makan tuan," sambung Elisa.

"Itu tidak benar Pak, saya ...."

"Sudahlah Rindu, apalagi yang ingin kamu tunjukkan? Kalau tidak karena pandai kami sudah mengeluarkan kamu dari sekolah ini. Suka malas-malasan, tidur di kelas dan sekarang mau mengerjai temanmu."

"Tapi Pak itu tidak be ...."

"Hukum saja Pak, murid seperti itu harus dikasih pelajaran," ujar Elisa sambil mengedip-ngedipkan mata pada Rindu seolah mengatakan bahwa mereka menang dan Rindu yang kalah. Sedangkan Kika tampak melotot ke arah Rindu.

Rindu balik menatap tajam ke arah mata mereka secara bergantian.

Awas ya, aku akan balas semua yang kalian lakukan padaku hari ini.

Bersambung....

Jangan lupa tinggalkan jejak!🙏

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!