Episode 01
"Yakin ya, A'a Bumi mau ngelamar Neng Bianca Mariana?" tanya Ambu, ada cemas tersembunyi di balik netranya.
"Iya, Neng Bianca Mariana yang meminta." Aku menjawab dengan suara datar.
"Ya, silahkan, A'a Bumi ngomong ke Abah," timpal Ambu padaku.
Tampak Abah sedang menikmati secangkir kopi di teras rumah, aku mendekatinya kemudian mengambil posisi duduk tepat di sampingnya. Ia tak merespon kedatanganku, sesekali tampak ia menghela napas panjang lalu membuangnya.
'Ah ... ada apa dengannya.'gumamku dalam hati, rasanya lidah seketika kelu untuk memberitahu beliau. Aku kemudian bangkit, beranjak mengurungkan niat. mengurungkan niat.
"Eh'em! Mau ngomong sesuatu, sama Abah?" Suaranya menghentikan langkah kaki ini, kemudian aku kembali duduk di sampingnya.
"A'a Bumi mau ngomong apa?" Abah kembali bertanya.
"I-i-iya, Abah. Neng Bianca Mariana minta di lamar secepatnya." Aku menjawab terbata.
Lama tak terdengar suaranya, ia tampak menerawang jauh, tersirat dalam mata cekung itu kecemasan luar biasa.
"Ya, jika itu permintaan dari Neng Bianca. Abah sebagai orang tua menurut, saja," ucapnya sembari sesekali menghisap dalam rokok di antara celah jemarinya.
Aku bangkit dan beranjak pergi, Ambu( ibu) kini duduk di samping Abah (bapak), sesat aku mengamati mereka berdua dari kejauhan tampaknya sedang membahas sesuatu. Mungkin tentang hari untuk melamar Neng Bianca Mariana kekasihku, ia anak Haji Romli juragan tanah di desa kami, orangnya terkenal berwatak keras hingga warga desa sangat segan padanya.
*****
"A'a, Neng mau ngomong sesuatu," ucapnya lirih terdengar suara Bianca Mariana.
"Ada apa? Emang, Neng?" tanyaku sembari meraih pucuk jemari tangannya yang lentik.
Bianca Mariana tampak tertegun sejenak, kemudian ia menghela napas panjang dan membuangnya perlahan. Tampak beban berat bergelayut dalam benaknya.
"Neng, ingin A'a segera melamar Neng," tuturnya lirih sembari meremas jemari tanganku.
Aku merengkuh tubuh langsingnya larut dalam dekapan.
"Memang, Neng yakin Pak Haji mau menerima lamaran, A'a?" tanyaku penuh keraguan.
"Yakinlah, A'a Bumi jangan ragu," sahutnya ada rona rasa sedih di raut wajah cantiknya.
"Nanti kalau sudah sampai rumah, Neng sampaikan ke Abah jika A'a Bumi sudah siap meminang," jelasnya.
"Iya, A'a juga bilang ke Abah dan Ambu juga dulu, Neng," jelasku.
Malam sudah pun semakin larut, kami memutuskan mengakhiri pertemuan malam itu. Neng Bianca Mariana pulang, begitu juga denganku.
Beberapa hari setelah itu Abah mulai menghubungi semua keluarga lalu mengutus salah satu dari mereka untuk menyampaikan perihal niat kami yang akan datang meminang.
Haji Romli pun merespon dengan baik dan siap menunggu kedatangan kami, di hari dan jam yang sudah mereka sepakati.
_____
Waktu berjalan begitu cepat, hingga hari yang akan menjadi kenangan bersejarah buatku tiba.
Keluarga Abah dan Ambu sudah berkumpul, terutama sesepuh mereka berkumpul di ruang tamu. Terlihat mereka sedang menikmati hidangan kudapan sederhana dan di temani kopi panas, sesekali gelak tawa bahagia sesepuh itu terdengar.
Sementara aku mempersiapkan diri karena akan turut serta.
Dengan mengenakan baju Koko warna putih lengkap dengan ikat (udeng/blangkon) juga sarung.
Lumayan membuatku terlihat tampan, pastinya akan membuat Bianca semakin terpesona oleh kharisma diriku.
"Bumi, cepat keluar dong, jangan di dalam saja." Terdengar Ambu memanggil dari luar kamar.
Aku pun segera bergegas keluar sembari menyibak tirai pintu kamar.
"Iya, Ambu ...." jawabku.
Kemudian aku berbaur dengan mereka, sebelumnya satu persatu sesepuh yang datang, kucium dengan takzim punggung tangannya sebagai penghormatan terhadap orang yang lebih tua.
"Alhamdulillah sudah mau nikah saja ponakan Mamang," goda Mamang saat aku mencium punggung tangannya.
"Hehehe .... Mamang," sahutku tersipu.
Setelah jam yang sudah di sepakati tiba, kami berangkat ke rumah Haji Romli, dengan berjalan kaki karena jarak tak begitu jauh.
Semua rombongan laki-laki mengenakan ikat kepala dan sarung ciri khas desa kami.
Terik mentari siang menyengat, menjilat kulit tetua yang hitam, langkah kaki kami terasa begitu cepat dan akhirnya sudah sampai di kediaman Haji Romli.
Tampaknya mereka sudah siap menyambut kedatangan kami di depan teras rumah.
"Assalamualaikum warahmatullahi wa," ucap Pepuhu Lembur ( tetua adat) sembari menjabat tangan satu- persatu tamu yang hadir di sana.
"Waalaikum salam warahmatullahi wa," jawab Pepuhu Lembur ( tetua adat) yang menjadi utusan dari Haji Romli.
Aku pun menjabat tangan beliau dan akhirnya ikut duduk bersila bersama yang lainnya.
Setelah berbasa-basi lumayan lama, hingga tidak ada lagi aroma ketegangan juga rasa canggung di antara mereka.
Pada akhirnya Pepuhu Lembur dari keluarga kami membuka percakapan perihal maksud juga tujuan dari kedatangan keluarga besar kami.
Terlihat Haji Romli berbisik di cuping telinga Pepuhu Lembur dari pihak Keluarganya.
Entah apa yang ia sampaikan tampak Pepuhu Lembur itu mengangguk-angguk, kemudian ia mendehem mencoba untuk membuka kembali percakapan.
"Eh'em!"
"Begini. Keluarga Haji Romli sudah menerima lamaran ...." sambung Pepuhu Lembur.
Namun, tampaknya ia akan kembali berbicara akantetapi terhenti oleh suara ucap sukur yang keluar seketika dari mulut Mamang dengan lantang.
"Alhamdulillah ...!"
"Aamin ...!'
Serentak yang hadirin yang lain pun mengaminkan dengan suara keras.
"Be-be-begini, tapi ada sarat yang harus dipenuhi oleh calon suami, dari Neng Bianca Mariana!" tukas Pepuhu Lembur dengan nada tegas.
Seketika kami dan para hadirin kedua belah pihak yang hadir tertegun sejenak, mendengar ucapan Pepuhu Lembur itu.
"Maksud dari sarat itu bagaimana? Semoga anak kami Bumi Respati bisa memenuhi," timpal Pepuhu Lembur dari pihak Keluarga kami meminta detail sarat dari Haji Romli.
Wajah Pepuhu Lembur itu terlihat memerah dan aroma ketegangan kini jelas terasa mendominasi pertemuan antar dua keluarga.
Kembali Haji Romli berbisik di cuping telinga Pepuhu Lembur, kemudian ia kembali membuka percakapan dengan nada tak lagi ada rasa kekeluargaan.
"Eh'em. Begini ... Neng Bianca Mariana, sebenarnya sudah di jodohkan dengan lelaki lain, tapi karena ini permintaan, Neng. Jadi kami selaku orang tua memberikan sedikit kesempatan pada Nak Bumi Respati untuk menyeimbangkan status sosial ekonomi agar setara dengan Haji Romli," tutur Pepuhu Lembur dengan tegas.
"Pikasebeleun( kurang ajar)!" umpat Mamang seketika sembari meraih asbak rokok yang terbuat dari kayu dan melayangkan ke arah Haji Romli.
Braaakkk!
Nyaris saja mengenai, untung saja ia gesit bergeser, hingga tak sampai mengenai dirinya, asbak itu mendarat telak di diding tembok setelah melewati celah antara dirinya dan Pepuhu Lembur.
Suasana kini gaduh, terdengar suara tangisan Neng Bianca Mariana di dalam kamar.
Semua hadirin terdiam melihat kejadian itu, Mamang pun sangat emosi karena merasa di permalukan oleh Haji Romli, akhirnya kami mengikuti langkah Mamang kelur tanpa permisi lagi.
Rona kekecewaan, malu, terlihat jelas di wajah Abah, di sepanjang perjalanan pulang ia hanya diam.
Begitu juga dengan aku, benar-benar di luar ekspektasi tak menyangka akan terjadi insiden seperti itu. Karena menurut penuturan Neng Bianca, Haji Romli tidak akan mempersulit prosesi lamaran, dengan mahar juga lainnya.
Sesampainya di rumah, tangis Ambu tak lagi terbendung setelah mendengar penuturan adiknya. Mamang sangat emosi dan tidak terima atas perlakuan tadi emosinya meledak-ledak.
"Bumi Respati, semua sudah jelas, Haji Romli tidak merestui hubungan kalian!"
"Makanya ia memberikan sarat yang tak berperikemanusiaan," imbuh Mamang lagi.
Berbagai macam bergelayut di dalam rongga dada ini, tak tega melihat Abah dan Ambu, mereka sudah malu atas permintaanku.
Mamang dan keluarga lainnya akhirnya sudah berpamitan untuk pulang ke rumah masing-masing, sebelumnya mereka saling mengungkapkan rasa kesal atas kejadian tadi.
Malam makin larut, tapi mataku engan terpejam. Rasa malu, jengkel, bahkan dendam, sangat menyesakkan dada. Masih terngiang tangis meraung Neng Bianca saat suasana mulai gaduh terdengar olehnya. Akhirnya nyaris mengakibatkan terjadi adu pukul antara Mamang dan Haji Romli. Akan tetapi urung karena yang lain sigap melerai, semua berakhir tanpa keputusan bahkan menyisakan dendam sangat mendalam di keluarga Abah, Ambu yang ikut serta siang hari itu.
Menemui_Anak_Juragan_Tanah
Bab: 02
Setelah kejadian itu, Abah dan Ambu lebih banyak diam, begitu juga dengan aku, rasanya segan untuk memulai pembicaraan. Sementara Bianca Mariana berkali-kali mengutus seseorang menyampaikan pesan, agar aku mau menemuinya di tempat kami biasa bertemu saat berpacaran, sejak sekolah menengah pertama hingga kini yah, ia wanita pertama yang mampu membuat aku jatuh cinta.
"A'a Bumi Respati!" Terdengar suara Neng Surtiyah yang terhitung masih kolega Bianca Mariana, ia sering berbelanja di warung kelontong tempat aku biasa mangkal bersama teman-teman sekedar membeli secangkir kopi.
Tampak ia tergopoh-gopoh sembari menggandeng adiknya, ia memanggil saat melihat aku di warung kelontong membeli rokok dan hendak kembali pulang. Seketika langkah kakiku terhenti.
"Ada apa atuh, Neng. Ngagetin pisan, euh!"
"Neng Bianca Mariana tadi kembali titip pesan, ke A'a Bumi. Agar sudi menemuinya. Kasihan padanya, atuh." Neng Surtiyah memohon padaku dengan gimik memohon.
Aku hanya diam dan sesekali menghisap dalam rokok agar sedikit menetralisir rasa yang bergejolak di dalam dadaku. Rasanya sudah enggan untuk menyebut dan membahas tentang Bianca Mariana apalagi untuk kembali bertemu.
Namun, ini entah sudah kali keberapa ia menungguku di tempat biasanya, tapi aku tak kunjung datang. Kejadian itu membuat hati ini perlahan mulai membencinya.
"Ayolah, A'a Bumi Respati. Kasihan padanya atuh." Suara Neng Surtiyah membuyarkan lamunanku.
"I-i-iya, semoga sore nanti aku bisa menemuinya tapi gak janji juga A'a, mah," jawabku terbata dengan mimik wajah penuh keterpaksaan.
"Alhamdulillah ... pasti Neng Bianca Mariana senang," balasnya kemudian ia pun beranjak pergi setelah membayar belanjaannya.
Di sepanjang jalan pulang, aku tak habis pikir kenapa tadi mengiyakan ajakan Bianca Mariana. Sesampainya di rumah seperti biasa Ambu hanya diam saat melihat kedatanganku dengan mengucap salam, beliau hanya menjawab salam dengan lirih.
Senja si ufuk barat sudah tenggelam, malam pun perlahan datang, saatnya aku menepati janjiku. Tampak Ambu dan Abah sedang makan malam di dapur, aku pun berpamitan.
"Ambu, Abah. A'a mau kelur dulu."
"Mau, kemana atuh, A'a?" tanya Ambu singkat, tampak Abah hanya menatap ke arahku dengan tatapan yang tak bisa aku artikan.
"Sudah gelap, mana gerimis ...." imbuhnya.
"Su-su-sudah terlanjur berjanji A'a, atuh. Ambu," jawabku terbata.
"Janji? Sama siapa?"Ambu bertanya padaku.
"Ne-ne-neng Bianca Mariana,"Aku menjawab terbata. Seketika Abah menatap tajam ke arahku.
"Emang, mau apalagi Neng Bianca Mariana minta ketemuan?"Ambu kembali bertanya. Ada rona tak suka tergambar di raut wajah senja itu mendengar penuturan dariku.
"Entahlah 'kan belum ketemu atuh, Ambu," jelasku sembari meraih tangannya kemudian mencium punggung tangannya dengan takzim. Aku tak berani menatap Abah apalagi meraih tangannya.
"Hati-hati, A'a!" Terdengar suara Ambu sesaat sebelum aku keluar dari pintu dan pergi.
Di bawah gerimis malam itu aku menyusuri jalanan desa menuju tempat biasanya kami bertemu. Mungkin Neng Bianca Mariana sudah sedari tadi menunggu. Aku pun mempercepat langkah kaki karena cuaca malam itu sangat tidak bersahabat, mungkin sebentar lagi hujan akan turun deras .
Sesampainya di rumah Neng Surtiyah, Neng Bianca Mariana sudah tampak duduk di teras rumahnya. Ia pun seketika menyambut kedatanganku dan mencium ujung jemariku. Aku mengusap lembut mahkota hitamnya yang ia biarkan tergerai panjang sampai bokong.
Selang beberapa menit kemudian Neng Surtiyah pamit masuk ke dalam rumah, mungkin ia memberikan ruang pada kami berdua untuk leluasa berbicara.
"Neng, A'a Bumi, aku masuk dulu, mau nemenin adik belajar."
"I-i-iya silahkeun ... Neng."
Sejenak kami hanya membisu diam seribu bahasa, serasa kelu lidahku untuk memulai pembicaraan. Netra Bianca Mariana tampak berkaca-kaca ia perlahan membuang napas yang begitu sesak menyumbat rongga dadanya, jelas tersirat di raut wajah ayunya. Kemudian ia mencoba untuk membuka percakapan dengan nada sedikit canggung.
"Ma-ma-maafkeun Abah ...."ucapnya terbata.
Aku tidak menjawab, rasanya begitu sakit kembali mengingatkan kejadian itu. Bianca Mariana terlihat grogi ia meremas jemari tangannya, mungkin karena melihat respon dariku yang dingin.
"Te-te-terima kasih, sudah berkenan datang," imbuhnya terbata.
Tidak tega juga rasanya mendiamkan dirinya. Kesalahan bukan terletak padanya, perlahan hati ini mulai luluh kembali.
"Iya, A'a dari kemarin mau datang, tapi masih enggan untuk ketemuan sama Neng, jawabku dingin dengan mimik wajah kecut.
"A'a ... masih marah sama Abahku?"
"Ya, siapa yang tidak marah, cobak! Tolong Neng Bianca Mariana pikir, gitu." Aku sedikit emosi dan berdiri untuk melangkah pergi. Tapi Bianca Mariana menarik tanganku dan seketika langkah kaki ini terhenti kemudian menengok ke arahnya.
Sekilas terlihat olehku bening mutiara perlahan menggelinding di pipinya. "A'a ... A'a!" panggilnya.
Aku kembali dan kini beradu pandang sembari memegang dua belah pundaknya.
"Neng, mau ngomong apa ke A'a? A'a, harus apa lagi! Hah!"
Ia seketika menangis tersedu merebahkan kepalanya di dadaku. Perlahan rasa iba mendominasi ruang hati ini, melihat pujaan hati meringis menahan rasa sakit di dadanya. Ia akan di nikahkan segera, jika aku tak bisa menyetarakan status sosial ekonomi kami, jelasnya panjang lebar.
"Sudahlah, Neng terima saja. Mungkin ini sudah takdir Tuhan, A'a coba ikhlas untuk kebahagiaan, Neng."
"A'a, tidak akan melupakan Neng. Neng Bianca Mariana tetap ada di hati A'a untuk selamanya, walau kita tidak bisa bersatu dalam ikatan suci pernikahan."
Mendengar penuturan dariku ia justru semakin tersedu. "A'a ... tega!" pekiknya sembari memukul keras dadaku berkali-kali.
Segera kuraih jemari tangannya dan mendekap erat tubuhnya, larut dalam pelukku malam itu. Hingga tangisnya pun reda, hujan kini turun semakin deras membasahi bumi seakan ikut larut dalam kisah cinta kami yang terhalang status sosial. Begitulah di desa kami, yang kaya layaknya raja dan penguasa, menang sendiri, bahkan mencekik kami para fakir dengan dalih pinjaman uang, kemudian menjerat dengan bunga berlipat ganda, itulah yang di lakukan Haji Romli hingga menjadi orang terkaya turun temurun di desa, membuatnya semakin congkak saja.
"Bukan begitu, maksud A'a. Hanya saja rasanya mustahil Neng bertahan menunggu kedatangan A'a dari rantau, karena belum tentu sukses bisa direngkuh secepatnya, karena A'a bukan lulusan Sarjana seperti calon suami Neng, pilihan Abah Haji Romli," jelasku panjang lebar.
Tampak Neng Bianca Mariana mulai memahami maksud penuturan dariku, ia mencoba sedikit tersenyum walau tampak getir di sudut bibirnya yang tipis.
"Aku akan coba terus bertahan, sampai A'a Bumi Respati datang, tolong jangan lupa selalu kirim surat untuk Neng."
"Ingat, Neng selalu menunggu kabar A'a Bumi Respati, apapun itu," imbuhnya panjang lebar.
Kembali aku memeluk erat tubuh gadis pujaan hatiku dan menghirup dalam aroma tubuhnya. Ia pun memelukku erat, serasa engan untuk melepaskan kepergian malam itu.
"Neng, hujan sudah reda pulang, gih.Takut jika nanti Abah Haji Romli mencari dan menemukan kita di sini," pintaku sembari menatap dalam bola mata indah itu untuk terakhir kalinya.
"Iya, A'a. Neng pamit .... tolong titip jagain cinta Neng, rindu Neng, sayang Neng yang tulus ini di hati A'a Bumi Respati, jangan tergoda dengan cewek kota, ya." Ia kemudian kembali merebahkan tubuhnya dalam pelukku malam itu hingga jelas terasa detak jantung kami yang saling beradu napas kami pun memburu meredam getaran cinta yang akan terpisah jarak entah sampai kapan.
"Percayalah ... sekeras apapun ombak, badai menerpa, untuk memisahkan kita, jika memang takdir untuk bersatu, pasti akan tetap kokoh berdiri, cinta kita berdua kelak akan bersanding dalam ikatan suci pernikahan," ucapku melepas pucuk jemari tangannya.
Ia kemudian melangkah pulang, menyibak pekatnya malam desa kami. Begitu juga denganku setelah berpamitan pada Neng Surtiyah aku bergegas pulang, di bawah gemericik rintik hujan yang mulai reda.
Sesampainya di rumah, aku berkemas malam itu, karena akan pergi ke Jakarta, menyusul sahabatku yang menjanjikan pekerjaan dengan gaji lumayan, menggiurkan untuk seorang yang hanya mengenyam pendidikan menengah atas. Namun, menurutnya penampilan dan fisikku mendukung untuk pekerjaan yang akan ia berikan.
Abah dan Ambu sangat mendukung atas keputusanku kala itu, mungkin mereka senang jika aku bisa jauh dari anak juragan tanah itu. Bahkan Abah meminta agar aku segera pergi dari desa secepatnya.
Bab 03 Mencari Kerja Di Kota
Saat itu Adie Permana datang dari Jakarta setelah sekitar nyaris dua tahunan ia pergi tak pernah sekalipun sambang ke desa, tapi ia selalu rutin mengirim pundi-pundi rupiah pada kedua orang tuanya, hingga akhirnya mereka menjadi orang yang lumayan mampu secara ekonomi kini di desa sekarang.
Adie kini berubah menjadi sosok lelaki yang tampan dengan fashion yang kekinian khas cowok Kota Metropolitan, cara bicaranya pun sudah berubah tak lagi sepertiku masih polos dengan cengkok khas desa.
"Hoy .... Apa kabar? Brooooo!"
Saat bertemu denganku di kios tempat biasa para bujang desa berkumpul untuk sekedar nongkrong bareng dengan memesan secangkir kopi, ia lalu mengulurkan tangan menyapa kami satu persatu tanda persahabatan.
"Baik, atuh. Gimana dengan kamu? Makin ganteng pisan, euh,"ucapku seraya menjabat tangan dan menepuk bahunya.
Tampak ia hanya tersenyum simpul dan segera duduk membaur bersama kami, ia kemudian bercerita panjang lebar tentang pekerjaannya di Jakarta, dan niatnya pulang kampung untuk mengajak serta teman-teman sebaya yang ingin merubah nasib agar bisa sepertinya.
Ada beberapa temanku yang ikut serta saat ia kembali ke Jakarta waktu itu, dan benar saja semua temanku mampu menopang kehidupan bahkan mengangkat keluarganya dari belenggu jerat kemiskinan.
Itulah sebabnya, aku masih terngiang oleh tawarannya karena menurut pengamatan dirinya sosok seperti aku akan dengan mudah mengais pundi-pundi rupiah.
"Yakin? Gak mau. Dan gak tertarik dengan tawaranku?" tanyanya memastikan saat akan berangkat menggunakan mobil pribadi hasil kerja kerasnya.
Sejenak aku berpikir waktu itu ingin rasanya ingin ikut serta, akan tetapi saat aku mengutarakan perihal niatku pada Neng Bianca beberapa hari sebelumnya ia tidak mengijinkan untuk pergi .
"A'a ... tolong jangan tinggalkan, Neng." ungkapnya memelas.
Itulah sebabnya aku menolak ajakan Adie Permana sekitar satu tahun yang lalu.
Tidak terasa sang fajar sudah menampakan batang hidungnya. Suasana pagi itu cukup cerah, secerah tatapan masa depanku yang sudah di depan mata, akan segera kuraih dengan tekat yang kuat demi cinta sejati yang akan setia menanti sukses, dan kembali untuk membawanya dalam mahligai suci.
"Nak, ... sudah mau berangkat?" Ambu bertanya, saat aku keluar dari kamar dengan ransel berisikan beberapa potong pakaian di dalamnya.
"Iya ...." Aku menjawab singkat.
"Gih, minum kopinya dulu."
"I-i-iya ... Ambu," jawabku terbata.
Aku segera melangkah dan duduk di samping Abah yang sedang menikmati secangkir kopi.
Abah pun memberikan restunya dan memberi banyak petuah untuk bekal hidup di kota besar Metropolitan.
Maklum saja ini kali pertama aku meninggalkan mereka dan pergi untuk waktu yang mungkin cukup lama. Sementara Ambu kembali sibuk di dapur menyiapkan hidangan sarapan pagi.
"Udah dulu ngobrolnya." Terdengar suara Ambu di dapur.
"Ayuk, sarapan bareng dulu." Abah mengajak aku untuk sarapan pagi bersamanya.
Akhirnya kami pun sarapan bersama, tampak ada gejolak batin yang coba mereka sembunyikan dariku, tampak jelas tersirat dari sudut netranya, mereka berat melepaskan kepergian ini, maklum saja aku adalah anak satu-satunya yang mereka miliki.
Selang beberapa waktu setelah selesai sarapan, akhirnya beberapa saat kemudian aku pun berpamitan pada Ambu dan Abah.
"Aku berangkat dulu, mohon restu dari Ambu," pamitku.
Sembari meraih jemari tangannya kemudian mencium punggung tangan itu dengan takzim.
Ambu seketika memelukku erat ia tak lagi mampu menahan bulir bening yang menggantung sedari tadi di sudut netranya. Abah mengelus bahu Ambu memberikan sedikit kekuatan pada wanita pendamping hidupnya itu.
Aku pun memeluk erat tubuh Ambu wanita yang telah melahirkan dan merawat, hingga dewasa. Batinku seketika serasa rapuh saat kembali mengingat betapa diri ini telah melukai hatinya karena hinaan Haji Romli.
"Restu Ambu untuk Nak Bumi Respati, semoga sukses bisa di gapai Nak Bumi, anak Ambu. Jangan lupa jika pulang bawakan juga Ambu calon menantu dari kota, Ambu ingin Bumi menikah dengan orang lain, bukan sama Neng Bianca Mariana anak orang sombong itu!"
"Aamin ...." sambungku.
Aku mengamini ucapan pemilik surgaku itu, walau serasa pahit atas permintaannya, melupakan wanita yang aku cintai.
Aku mendekapnya erat, ia pun luruh dalam pelukku, sesaat kemudian aku pun berangkat setelah sebelumnya sudah berpamitan pada Abah.
Hari itu aku meninggalkan desa yang terletak di pinggiran Kota Bandung menuju Jakarta menggunakan jasa transportasi bus, perjalanan menuju Jakarta memakan jarak tempuh sekitar empat jam.
Rasanya begitu lama perjalanan, saat bus itu mulai melintasi jalanan yang sangat asing buatku, deretan gedung dan bangunan mewah kokoh berdiri di sepanjang jalan.
Akhirnya sampai juga kini di Terminal bus Kampung Rambutan.
Dengan menenteng tas ransel, hanya mengenakan kaos oblong warna hitam dan celana jeans warna biru dongker sementara kaki hanya beralaskan sandal jepit, langkah kaki ini gontai turun dari bus.
Mataku pun mencari-cari keberadaan Adie Permana, ia sudah membalas surat dariku dan akan menjemput itu janjinya.
Tiba-tiba saja aku di kejutkan oleh suara seseorang dari arah belakang.
"Bro! Akhirnya sampai juga lo, di Jakarta!"
Adie meledekku dengan logat khas Jakarta, rupanya ia sudah sedari tadi menunggu kedatanganku.
"Ah, gue pikir lo hilang ... haa ... ha ... a!" candanya lagi.
"Enak, aja. Huf ...!" balasku dengan nada sedikit kesal.
"Bisa jadi dong, kalo gue kagak jemput lo gimana? Hah. Yakin lo bisa nemuin gue!?"
"Ah, bisa juga mah, atuh. Aku tersesat ...."
"Haaha ... haa ... ha ... aa."
Seketika kami pun tertawa bersama sembari berjalan ke arah tempat dimana mobilnya terparkir.
Akhirnya kami pun sampai di tempat parkiran. Mataku sontak terbelalak lebar dan terkejut saat melihat mobil milik Adie sudah ganti dengan tipe yang lebih mewah.
"Waaaoooww ... kamu mah, keren pisan, euh," ucapku sembari mengusap-usap bemper mobil Mercedes Benz warna hitam.
"Haaa ... haa ... ha ... a!" Adie berkelakar.
"Halah .... Dasar! Kampungan. Lo!" imbuhnya kembali berkelakar, sembari masuk ke dalam mobil.
"Ntar lo bisa juga beli apa yang lo mau. Mungkin melebihi aku, Ferarri, Lamborghini mungkin? Haa ... ha."
"Ah, aku mah belinya yang standar aja, buat nganterin jalan-jalan Neng Bianca, entar di desa," celetukku polos.
"Halah ... masih aja lo sebut nama gadis desa itu! Ini Metropolitan. Broo!" Adie menepuk keras punggungku.
"Ahkh! Sakit tauk."
"Ntar lo balik kampung beli tuh nyawa Haji Romli sekalian. Haa ... haa."
"Dah. Ayok ....!"
Aku pun masuk ke dalam mobil mewah miliknya wah, rasanya seperti di surga saja saat mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi melintasi jalanan kota Metropolitan. Dentuman musik keras serasa nyaris memecah gendang telingaku.
"Kecilkan dikit atuh, volumenya!" perintahku pada Adie, tapi tak juga ia indahkan sesekali ia mengangguk-anggukan kepalanya mengikuti dentuman keras lagu Its my life.
Ia pun tersenyum menoleh padaku.
"Ntar lo juga terbiasa dengan dentuman musik keras. Brooooo!" timpalnya.
Akhirnya mobil pun berhenti di area pusat perbelanjaan.
"Mau ngapain, ke sini, Die?"
"Ikutin aja gue, haa ... ha ... a!" kelakarnya sembari menepuk keras punggungku.
"Pikasebeleun(sialan)!" umpat ini, seraya mengikuti langkah kakinya masuk ke dalam pusat perbelanjaan.
"Lo ingin tahu, mau ngapain gue ngajak lo, kemari? Hah! Gue mau dandani sahabat cupu gue agar keren sebelum masuk apartemen gue. Haa ... haa!" ungkapnya.
"Si Adie, mah. Dasar cicit Nek Romlah. Huff!" gerutu ini kesal.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!