NovelToon NovelToon

Duda Vs Anak Perawan

#Berita Mengejutkan dan Duka

Suara dering handphone yang memekakkan telinga di pagi buta, membangunkan sosok laki-laki yang sedang tertidur di ranjangnya yang empuk. Tangannya terulur mencoba meraih benda pipih yang berada di atas nakas yang ada di samping ranjangnya.

"Assalammualaikum, Bu." Suaranya yang serak khas orang bangun tidur memberikan salam kepada si penelepon.

[Wa'alaikumsalam. Yusuf, kamu harus pulang sekarang, Nak! Istrimu mengalami kecelakaan.]

Mendengar kabar yang diberitahu oleh Ibunya, Yusuf langsung bangun dari posisinya yang semula berbaring. "Astaghfirullahal'adzim. Bagaimana itu bisa terjadi, Bu?"

[Semalam Ayah mertuamu masuk rumah sakit. Dan istrimu menjenguknya karena tidak ada yang menemani. Katanya dia mau pulang dulu untuk membawa surat atau apa gitu karena Ayah mertuamu harus menjalani operasi usus buntu. Aisha pulang dengan mengendarai motor. Dia mengalami kecelakaan beruntun.]

Yusuf mendengar Ibunya berbicara sambil menangis tergugu. Dia juga meneteskan air matanya.

"Baik, Bu. Yusuf akan pulang sekarang!"

[Saat ini, Ibu tidak bisa meninggalkan ayahmu yang sedang stroke dan anakmu Asiah juga lagi tidur]

"Ibu di rumah saja dulu. Jaga Bapak dan Asiah." Yusuf pun bergegas menyiapkan diri untuk pulang ke kampung halamannya.

***

Yusuf langsung berangkat dengan menggunakan motor matic. Dia mengendarai selama hampir 2 jam karena dia mampir ke masjid dulu saat waktu subuh.

Rumah sakit dalam keadaan genting karena banyak korban dan keluarga korban yang berseliweran di daerah ruang unit gawat darurat. Yusuf mencari informasi tentang korban kecelakaan beruntun. Untungnya Aisha sudah diurus oleh Pak RT di daerahnya tempat tinggal, begitu dia mendapat informasi ada warganya yang mengalami kecelakaan.

Yusuf masuk ke ruang rawat ICU karena Aisha masih berada di sana. Suara perawat tadi masih terngiang memberitahukan kondisi istrinya. Sebentar lagi dia akan menjalani operasi meski hasilnya hanya sekitar 1% kemungkinan berhasil. Luka yang dialami oleh Aisha adalah luka patah tulang paha dan tangan, retak tulang tengkorak, dan ada gumpalan darah di otaknya. Serta tusukan pecahan kaca di perutnya bagian hati dan empedu.

 Aisha, istrinya yang selalu tersenyum cantik dan bertutur kata lembut, kini berbaring dalam keadaan pucat pasi. Tidak ada rona di pipinya yang mulus.

"Aisha ... Sayang. Bangun, Abang pulang!" bisik Yusuf dengan suaranya yang bergetar menahan isakan tangis.

Yusuf mencium kening, pipi dan bibir istrinya. Sebagaimana biasanya ketika mereka bertemu. Namun, kini dia tidak mendapat balasan dari istrinya sebagaimana biasanya. Tidak ada pelukan hangat saat dia pulang ke rumahnya seminggu atau dua minggu sekali.

"Nak Yusuf, tadi dokter sudah memeriksa keadaan Aisha. Katanya akan dilakukan operasi sebentar lagi, meski kemungkinan berhasilnya sangat kecil," kata Pak RT yang baru masuk.

"Lakukan saja Pak! Meski peluang itu kecil. Aku ingin istriku bisa diselamatkan," balas Yusuf.

"Iya, tadi Ibumu juga sudah bilang begitu lewat telepon. Dia ingin agar menantu kesayangannya bisa diselamatkan." Pak RT menepuk kedua bahu Yusuf.

"Bang …." Aisha memanggil Yusuf dengan lirih.

"Alhamdulillah, Sayang. Kamu akhirnya sadar." Yusuf mencium tangan dan kening Aisha dengan penuh perasaan haru.

" Assalammu'alaikum, Abang. Abang ... kenapa pulang?" tanya Aisha saat membuka matanya dan napas yang berat juga suaranya yang lemah. Senyuman cantik tersungging di bibirnya yang pucat.

"Wa'alaikumsalam, Sayang. Tentu saja, Abang akan pulang dan berada di dekatmu saat saat kamu sakit. Apalagi kini kamu kecelakaan seperti ini." Yusuf mengelus pipi Aisha. Hal yang paling disukai oleh istrinya saat mereka bersama.

"Terima kasih, Bang. Abang selama ini selalu memperhatikan aku. Juga mencintai, menjaga, dan menyayangi aku," kata Aisha dengan air mata yang mulai meleleh. Satu kecupan diberikan oleh Yusuf pada bibir istrinya.

"Tentu saja karena kamu itu istri tercinta, Abang." Yusuf tersenyum agar Aisha juga ikut tersenyum. Terbukti kini istrinya itu juga tersenyum meski sedikit karena terlihat dia menahan rasa sakit.

"Sayang, mana saja yang sakit? Nanti, Abang beritahu dokter agar mengobatinya," tanya Yusuf dengan panik karena Aisha meringis menahan rasa sakit yang sedang dirasakannya.

"Ada yang lebih penting yang ingin aku bicarakan dengan Abang," bisik Aisyah disela-sela ringisan menahan sakit dan tangannya meremas kuat lengan Yusuf.

"Apa itu, Sayang?" tanya Yusuf dengan hati tidak menentu.

"Besarkan-lah Asiah dengan penuh kasih sayang. Jangan biarkan putri kita merasa kesepian! Didiklah dia agar menjadi anak yang sholeha, beradab, dan berilmu. Carilah ibu sambung yang sayang dan mencintainya dan tulus dalam membesarkan Asiah ...." Perkataan Aisha terpotong karena Yusuf menyela.

"Tidak, Sayang! Jangan bicara yang tidak-tidak! Kamu akan sembuh. Hanya kamu yang bisa menjadikan Asiah anak seperti itu." Yusuf membelai wajah Aisha yang berlinang air mata.

"Tidak, Bang. Aku rasa ini sudah batas akhir ... Abang, masih muda. Carilah pengganti diriku yang bisa mendampingimu dan mau menerima Asiah, putri kita." Aisha semakin meremas kuat seprai dan sebelah tangan Yusuf karena menahan rasa sakit yang amat sangat dari luka-lukanya. Yusuf membawa tubuh Aisha dalam pelukannya.

"Aku hanya mencintaimu, Aisha. Tidak mau dengan yang lainnya," ujar Yusuf sambil berderai air mata menyaksikan wajah kesakitan istrinya.

"Aku juga mencintaimu, Bang. Semoga kita dipersatukan lagi di akhirat kelak," kata Aisha semakin melemah.

"Carilah kebahagiaan Abang di masa depan. Jangan terpaku sama masa lalu kita. Biarkan ini menjadi kenangan indah yang hanya milik kita berdua," lanjut Aisha. Kemudian, mencium bibir suaminya.

Aisha mengucapkan tahlil yang mentahbiskan kebenaran Allah, Tuhannya. Dengan sisa-sisa kekuatan dan kesadarannya di bimbing oleh Yusuf. Sebelum napas terakhir dihembuskan dalam pelukan suaminya.

Tangisan Yusuf pecah dan meraung memanggil nama istrinya yang selalu setia meski jarak memisahkan mereka. Wanita yang selalu menjadi teman berbagi dikala suka maupun duka selama lima tahun membina rumah tangga. Seorang istri yang tidak pernah mengeluh atau marah padanya karena harus mengurus kedua mertuanya yang sudah uzur. Seorang istri yang cerdas dan cekatan dalam membesarkan putri semata wayang mereka yang sangat aktif.

"Aisha ... Abang janji akan membesarkan Asiah dengan baik. Agar kelak saat kita bertemu nanti, kamu bangga kepada Abang." Yusuf bicara disela isak tangisnya.

"Bagaimana nanti bilang sama Asiah? Dia akan menanyakan 'Bunda, kemana?'. Aku harus bilang apa padanya?" Yusuf meracau. Dia juga sedih saat memikirkan putrinya yang belum genap 4 tahun menunggu 2 bulan lagi.

Dalam ruang itu hanya terdengar suara tangis pilu dari seorang laki-laki yang baru saja ditinggal wanita yang dicintainya. Tidak ada canda tawa seperti bisa saat mereka bersama. Yusuf merasa jiwanya juga ikut pergi bersama dengan kepergian Aisha.

***

Mohon dukungannya dengan kasih like, komen, bunga dan juga vote- nya.

Terima kasih.

#Asiah Juga Ikut Sama Bunda

     Kabar meninggalnya Aisha membuat orang tua Yusuf dan Ayah mertuanya terpukul. Mereka merasa sangat kehilangan. Bukan hanya pihak keluarga saja yang bersedih. Para tetangga dan teman-teman pengajian Aisha, semuanya ikut berbelasungkawa dan banyak dari mereka yang menangis. Kebanyakan orang-orang yang mengenal Aisha, tidak percaya akan berita meninggalnya dia. Sebab, kemarin mereka masih bertemu dan bertegur sapa.

     Sosok Aisha yang ramah dan cerdas juga baik hati, membuatnya di sayangi dan disegani oleh banyak orang. Apalagi orang-orang jompo yang tidak memiliki sanak saudara. Aisha selalu mengirim mereka masakan setiap hari dan memberi sedikit uang. 

"Aisha, kamu itu masih muda, Nak. Kenapa kamu duluan yang meninggal. Kenapa bukan nenek yang sudah bau tanah ini saja yang meninggal," kata salah satu tetangga Yusuf yang usianya sudah sangat tua.

"Iya, Aisha. Kamu masih punya anak kecil. Nenek rela kalau harus menukar nyawa agar kamu hidup," ucap wanita lanjut usia lainnya yang sering meminta tolong kepada Aisha untuk mengambilkan air dari sumur.

"Mbok, Nenek. Kalian jangan begitu! Kasihan Aisha. Kita harus merelakan Aisha. Lebih baik kita doakan agar Aisha diterima iman dan islamnya. Diampuni dosa-dosanya, diterima segala amal ibadahnya, dilapangkan dan diterangkan di alam kuburnya. Semoga kita di akhirat bisa bertetangga dengan Aisha di surga," balas Hajar—ibunya Yusuf. 

"Aamiin," jawab para pelayat.

     Asiah duduk di pangkuan Yusuf dia menghapus air mata Ayahnya yang masih saja terus keluar. Bocah kecil yang biasanya aktif bergerak dan berbicara, kini agak pendiam.

"Ayah. Apa Bunda akan sehat setelah pergi ke surga nanti?" tanya Asiah sambil memandang wajah Yusuf.

"Iya. Tentu saja, Sayang. Bunda tidak akan merasa sakit saat di sana," jawab Yusuf.

"Alhamdulillah, kalau begitu. Karena Asiah lihat tadi di perut Bunda ada darahnya banyak sekali. Pasti itu sakit sekali, ya?" Asiah masih berceloteh.

"Hmm." Yusuf menganggukkan kepala.

"Bunda, hebat ya, Yah. Dia tidak nangis. Kalau Asiah berdarah suka menangis, 'hu ... hu ... Bunda, sakit' gitu," ujar Asiah sambil mempraktekkan bagaimana dia menangis saat merasa kesakitan.

     Yusuf memeluk tubuh putrinya. Hanya Asiah yang bisa memberikan kekuatan padanya saat ini.

"Nak Yusuf, lubang kuburannya sudah selesai digali. Kita sudah bisa membawa jenazah untuk di kebumikan," kata Pak RT.

"Baik, Pak RT," balas Yusuf.

"Ayah, mereka akan membawa Bunda kemana?" tanya Asiah saat keranda diusung oleh beberapa orang.

"Bunda, akan di kebumikan, Sayang. Biar Bunda cepat ketemu sama orang-orang baik lainnya," jawab Yusuf menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh anaknya.

"Ah, Bunda mau bertemu sama Allah! Asiah juga ikut sama Bunda," tukas Asiah langsung berlari mendekati orang-orang yang sedang menanggung keranda mayat.

"Mang, Asiah juga mau ikut sama Bunda! Asiah juga mau ketemu sama Allah. Kata Bunda, Allah itu Maha Baik. Jadi, Asiah nggak akan dimarahi 'kan kalau ikut?" tanya Asiah kepada Mang Sabar yang bertetangga di samping rumahnya. Dia melihat bocah berumur 3 tahun lebih itu dengan tatapan nanar. Hatinya terasa tersayat mendengar celotehan anak dari wanita calon penghuni kubur.

"Asiah, jangan ikut Bunda. Nanti Ayah sedih. Tuh, lihat! Ayah menangis." Mang Sabar menunjuk pakai dagu ke arah Yusuf yang berdiri tidak jauh darinya.

"Kan Ayah juga bisa ikut aku sama Bunda," balas Asiah.

     Semua orang yang bersiap mengantarkan jenazah ke komplek pemakaman umum, menangis mendengar ucapan Asiah. Mereka bingung harus bilang apa pada anak kecil yang cerewet.

"Asiah, Bunda kamu meninggal. Maka, harus dikubur. Seperti Kakek Haji Sholeh dulu, dikubur di pemakaman sana. Kamu tidak boleh ikut sama Bunda. Karena kamu masih hidup," kata Fathur anak laki-laki Mang Soleh yang usianya 9 tahun dan duduk di kelas 4 sekolah dasar.

"Kak Fathur, nakal! Kenapa Asiah nggak boleh ikut sama Bunda. Asiah juga mau ketemu sama Allah," Asiah berteriak sambil menangis.

"Karena kamu masih hidup sedangkan Bunda sudah meninggal. Kamu yang bodoh, mana ada orang hidup ingin dikubur." Fathur membalas karena nggak mau mengalah sama bocah yang sering dia jahilin.

"Ayah, Kak Fathur nakal!" Asiah berlari dan memeluk kaki Yusuf.

     Hajar langsung memangku cucunya dan menyuruh Yusuf agar cepat-cepat pergi dengan para pelayat lain. Asiah berteriak-teriak memanggil nama 'Bunda dan Ayah' saat keranda mayat dan para pelayat pergi menjauh menuju pemakaman umum.

***

     Yusuf duduk di samping kuburan Aisha. Dia mendokan agar istrinya ditempatkan yang terbaik di sisi Tuhan pemilik nyawa semua makhluknya. Sudah hampir 2 jam, Yusuf berjongkok di sana sampai terdengar suara adzan Dhuhur berkumandang.

     Saat pulang ke rumah, dilihatnya Asiah sudah tertidur dengan pipi yang basah oleh air mata. Yusuf membelai sayang, kepala putrinya dengan pelan.

"Yusuf, sudah sholat Dhuhur?" tanya Hajar.

"Sudah, Bu. Tadi berjamaah di masjid, sekalian pulang dari makam," jawab Yusuf.

"Berapa lama kamu cuti dari kantor?" tanya ibunya lagi.

"Besok, Yusuf harus masuk kerja karena akan ada rapat bulanan. Yusuf harus berangkat lagi nanti sore atau malam," balas Yusuf dengan penuh penyesalan tidak bisa lama-lama tinggal di desa.

"Mertua kamu katanya lusa akan dioperasi. Biar Sabar yang mengurusnya nanti," kata Hajar memberi tahu.

"Biar Yusuf yang mengurus semua administrasi dan segala keperluan Ayah. Ibu jaga Bapak saja. Biar Mang Sabar yang menunggui Ayah di rumah sakit," tukas Yusuf.

"Kamu harus sabar, ya. Istri kamu baru saja meninggal dan lusa ayah mertua kamu mau menjalani operasi." Hajar mengelus punggung putranya.

"Lalu ... Asiah?" Hajar menatap cucu perempuan yang sering membuatnya kewalahan.

"Biar Yusuf yang mengurus Asiah, Bu. Ini amanat dari mendiang Aisha," jawab Yusuf.

"Kamu yakin bisa membesarkan Asiah sendirian? Kamu 'kan harus kerja," tanya Hajar sangsi.

"Di kota banyak tempat penitipan anak yang merangkap sekolah dini. Asiah akan Yusuf daftar di sana. Yusuf tidak mau kalau Asiah sampai kehilangan kasih sayang orang tuanya." Yusuf membalas dengan penuh keyakinan.

***

   Yusuf membawa Asiah ke kota bersamanya. Dia harus menjelaskan kepada anaknya, kenapa mereka harus tinggal di kota dan meninggalkan nenek dan kakeknya serta Abahnya. Asiah awalnya tidak mau ikut dengan Yusuf karena ingin menjaga kuburan Bunda. Asiah bilang dia bersama Bundanya di kampung dan akan menunggu Ayahnya pulang setiap minggunya. Saat bilang Asiah bisa main di Timezone, baru dia mau ikut Yusuf.

"Ayah, mau apa kita masuk ke dalam lemari besi ini? Apa kita sedang main petak umpet?" tanya Asiah saat mereka masuk ke dalam lift.

"Ini namanya lift, Sayang. Kita bisa naik ke atas tanpa naik tangga," jawab Yusuf sambil tersenyum geli karena Asiah mengerutkan keningnya tanda dia tidak mengerti.

"Tunggu! Jangan di tutup dulu," teriak seorang gadis berseragam putih abu-abu.

"Ayah, apa kakak itu kucingnya? Ayo cepat tutup pintunya! Kita sembunyi." Asiah yang melihat ada gadis yang berlari ke arahnya.

"Hai, Om ganteng. Akhirnya aku bisa melihat wajah kamu hari ini." Gadis itu tersenyum kepada Yusuf. Kemudian dia menatap Asiah.

"Siapa dia, Om?" tanyanya pada Yusuf.

***

Jangan lupa untuk selalu klik like, favorit hadiah dan Vote-nya juga ya. Dukung aku terus. Terima kasih.

#Asiah Nurul Basilah

"Zulaikha. Kamu dari mana malam-malam begini baru pulang sekolah?" tanya Yusuf begitu adu pandang dengan gadis berseragam putih abu-abu.

"Ada jadwal les, Om. Tenang saja, aku tidak suka keluyuran tidak jelas ke sana ke mari tidak ada manfaatnya," jawab Zulaikha sambil memasang wajah centil dan menggoda. 

"Baguslah kalau begitu! Kamu sudah tidak keluar malam-malam lagi 'kan bersama teman-teman kamu itu?" tanya Yusuf dengan tatapan penuh selidik.

"Tidak dong, Om. Kan katanya anak perawan tidak boleh keluyuran malam-malam. Apalagi ke tempat-tempat yang banyak maksiatnya," jawab Zulaikha karena ingat dengan wejangan yang sering diucapkan Yusuf padanya. Yusuf pun mengangguk dan mengacungkan jempol pada tetangganya itu.

"Ini anak siapa?" tanya Zulaikha sambil menatap Asiah dengan mata penuh binar.

"Kenalkan ini anak aku, Asiah. Sayang, sapa kakak Zulaikha!" titah Yusuf kepada putrinya.

"Assalammualaikum, Kak. Kenalkan mana saya, Asiah Nurul Basilah. Putri dari Ayah, Yusuf Maulana Basilah dan Bunda, Aisha Nurul Huda. Umur tiga tahu sepuluh bulan, punya hobi makan coklat dan es krim. Tapi, hanya boleh makan satu minggu sekali." Asiah memperkenal dirinya dengan penuh percaya diri.

     Zulaikha menatap kagum pada Asiah, tetapi senyumnya kemudian hilang. Dia menatap Yusuf dengan tatapan tidak percaya.

"Jadi, Om beneran sudah punya anak dan istri?" tanya Zulaikha dengan tatapan mata terluka dan mulai berembun.

     Belum juga Yusuf menjawab, pintu lift terbuka. Yusuf hanya menjawab singkat dari pertanyaan Zulaikha barusan. Sebab, dia dan Asiah harus cepat-cepat masuk ke apartemen untuk melaksanakan sholat Magrib yang sebentar lagi mau habis waktunya.

     Air mata lolos dari mata belo milik Zulaikha. Laki-laki yang jadi incarannya sejak satu tahun belakangan ini, ternyata sudah menjadi milik orang lain. Dulu, dia tidak percaya saat Yusuf bilang sudah punya anak dan istri. Bahkan sampai memperlihatkan fotonya juga. Namun, dirinya masih tidak percaya. Wajah tampan Yusuf yang seperti pemuda, sering dikira seorang mahasiswa.

***

     Selepas Sholat Magrib dan dilanjutkan dengan Sholat Isya. Yusuf membuat makanan untuk makan malam bersama Asiah. Biasanya dia hanya membuat mie rebus plus telur mata sapi, untuk makan malam di kala darurat. 

"Sayang, makan malamnya mau sama apa?" tanya Yusuf pada putrinya.

"Telur hati dan nasi kelinci," jawab Asiah dengan riang sambil mengayunkan kedua kakinya di kursi meja makan.

     Yusuf harus memutar otaknya agar bisa memahami maksud dari ucapan anaknya. Namun, dia belum memahami arti telur hati dan nasi kelinci. Sebab, yang dia tahu 'sego kucing' dan 'telur mata sapi atau telur dadar.'

"Sayang, telur hati itu yang seperti apa? Ayah belum pernah mencobanya," tanya Yusuf menyerah tidak memahami arti kata putrinya.

     Asiah mengerutkan bibirnya dan berbicara, "Ayah tidak tahu apa itu telur hati? Padahal Bunda sering membuatkannya untuk aku."

     Mata Asiah mulai berkaca-kaca dan bibirnya bergetar. Menatap kepada Yusuf dengan kecewa.

     Ditatap seperti itu oleh Asiah, hati Yusuf terasa teriris sembilu. Biasanya netra jernih itu terlihat jenaka khas usil anak-anak. Dia menjadi bingung harus bagaimana?

"Asiah mau memberi tahu Ayah, cara membuat telur hati seperti yang dibuat oleh Bunda," kata Yusuf mencoba membujuk anaknya agar tidak menangis.

     Asiah pun menganggukkan kepalanya. Lalu berkata, "Bunda ambil cetakan telur berbentuk hati lalu di simpan di atas teflon yang sudah panas. Lalu masukan telur ke dalam cetakannya. Tara! Telurnya kalau sudah terbentuk tinggal dibalikkan biar masaknya merata. Begitu kata Bunda, jika sedang membuat telur hati."

     Yusuf mendengarkan dengan seksama perkataan Asiah. 'Jadi, telur ceploknya dicetak pakai cetakannya?' batin Yusuf.

'Jangan-jangan, nasi kelinci juga adalah nasi yang dibentuk dengan cetakan nasi,' kata Yusuf dalam hati.

"Sayang, karena Ayah tidak punya cetakan  telur dan cetakan nasi. Sekarang akan membuat telur mata sapi dan nasi bukit." Yusuf mencoba merayu Asiah.

     Namun, putrinya masih saja memberengut wajahnya. Yusuf pun memutar otaknya agar Asiah nggak sedih lagi.

"Bagaimana kalau besok kita pergi berbelanja, kita beli cetakan telur dan cetakkan nasinya," rayu Yusuf kepada putrinya.

     Asiah pun menjawab dengan anggukkan dan tersenyum senang.

"Jadi, kita makan malam pakai nasi dan telur mata sapi ya hari ini," ucap Yusuf dan diangguki oleh Asiah.

"Setelah makan malam selesai, nanti Ayah bacakan kisah atau dongeng untuk aku, ya!" pinta Asiah dengan tatapan memohon yang sulit untuk Yusuf tolak.

***

"Ayo, sini bobo, Sayang!" ajak Yusuf kepada Asiah.

     Asiah mengerutkan kening sampai alisnya hampir menyatu. Tidak lupa bibir mungil berwarna merahnya mengerucut.

"Ayah, kita belum gosok gigi. Kata Bunda setelah makan malam dan sebelum tidur harus gosok gigi. Agar kumannya pada kabur!" ujar Asiah dan itu membuat Yusuf melongo karena lupa dan tak menyangka putrinya akan bicara seperti itu. Malah dia yang di ingatkan oleh anaknya. Biasanya anak yang lain selalu diperintahkan terlebih dahulu oleh orang tuanya.

"Maaf, Sayang. Ayah lupa. Ayo, kita sikat gigi dahulu agar tidak sakit gigi!" Yusuf menuntun Asiah ke kamar mandi.

     Lagi-lagi saat di kamar mandi Yusuf kena ucapan telak yang menohok hatinya dari Asiah. Setelah sikat gigi, dia hendak menuntun putrinya agar tidak jatuh terpeleset.

"Ayah, kita belum wudhu." Asiah menarik tangan yang dipengang oleh Yusuf.

     Deg!

     Jantung Yusuf terasa tercubit oleh perkataan putri kecilnya.     

"Bunda bilang kita harus berwudhu kalau mau tidur, agar di jaga sama malaikat!" Asiah menolak saat Yusuf mengajaknya ke luar kamar mandi.

"Ayo, wudhu dulu! Nanti bantu aku wudhu," pinta Asiah.

     Yusuf pun berwudhu kemudian membantu Asiah berwudhu. Dalam hatinya, Yusuf senang dengan perkembangan Asiah yang mudah memahami dan mempelajari sesuatu.

'Aisha kamu benar-benar hebat bisa mendidik putri kita sampai seperti ini. Apa aku juga kelak bisa mendidiknya?' batin Yusuf.

***

     Yusuf pun bingung mau cerita apa? Karena tidak ada buku dongeng di sana. Asiah memandang wajah Ayahnya dengan mata belo yang jernih, membuat siapapun yang melihatnya akan terpesona.

"Kenapa, Yah?" tanya Asiah masih melihat ke arah Yusuf.

"Ayah bingung mau bercerita apa?" balas Yusuf dengan senyum meringis malu.

"Cerita saja yang Ayah tahu saja," lanjut Asiah.

     Akhirnya Yusuf pun bercerita tentang burung merak yang sombong karena memiliki bulu yang indah. Untungnya Asiah tidak protes atau menyela mungkin karena kelelahan.

"Ayah, aku sudah ngantuk," kata Asiah sambil memeluk guling.

"Berdoa dulu, Sayang. Agar tidurnya tidak mimpi buruk!" ucap Yusuf.

"Dan agar tidurnya tidak diganggu sama setan, iya 'kan, Yah!" lanjut Asiah dan dia pun membaca doa sebelum tidur.

     Yusuf membelai rambut putri kecilnya. Dia tidak menyangka kalau 5 hari yang lalu adalah hari terakhir dia tidur bertiga bersama istrinya. Bahkan mereka juga sudah merencanakan anak ke-2 karena dua bulan lagi usia Asiah genap 4 tahun.

"Aisha, akan kah aku sanggup membesarkan Asiah, seperti kamu dalam membesarkan putri kita ini," gumam Yusuf dengan berlinang air mata. Baru satu hari di tinggal istrinya dia sudah merasa rindu akan sosok wanita sholeha itu.

***

Jangan lupa untuk selalu klik like, favorit, hadiah dan Vote-nya juga ya. Dukung aku terus. Terima kasih.

     

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!