NovelToon NovelToon

Takdir Kenan

Berhentinya Sang Waktu

Seorang pemuda berdiri di atap sebuah gedung sekolah. Malam itu, langit menurunkan hujannya. Guntur saling bersahutan bersamaan dengan kilatan cahaya petir yang menyambar. Dia berdiri di bawah guyuran hujan, menengadah menantang langit malam yang pekat.

Kedua tangannya terkepal erat, menggenggam bara dendam yang memanas dan tak surut padam meski hujan mengguyurnya.

"Kenapa Kau ciptakan aku kalau hanya untuk menjadi sampah?!" teriaknya menggema di dalam hujan. Air mata berjatuhan bercampur dengan air dari langit yang menerpa wajah. Ia tidak peduli, gejolak amarah membutakan seluruh rasa dalam tubuhnya.

"Jika aku memang tidak layak menapak bumi, kenapa tidak Kau bawa saja aku ke langit. Bertemu Ibuku!" Suaranya kembali mengiang bersambut dengan gelegar dari langit.

"Cabut nyawaku atau aku sendiri yang akan menanggalkannya?!" Dia mengancam, menunjuk lurus pada langit yang tak henti menurunkan kegaduhan pada jagat raya malam itu.

"Haha ... haha ...." Dia tertawa terbahak-bahak, membusungkan dadanya menghadap angkasa yang tak tergapai.

"Kau bahkan menertawakan aku, semua orang menertawakan aku. Sampah tidak berguna ... sampah tidak berguna ... hah ...!" Dia meraung, menjambak rambut yang basah. Tubuhnya jatuh berdebam, lututnya menghantam lantai atap itu dengan kuat.

Ia menjatuhkan kepala di atas lantai dengan tangis pilu kesedihan sebagai ungkapan dari rasa sakit ketika ia tak dianggap, ketika ia dikucilkan, ketika ia hanya dianggap sampah.

Tak ada yang menginginkannya bahkan gadis yang dia cintai pun, tak pernah menghargai pengorbanannya.

Lisa, nama gadis itu. Gadis populer di sekolah, ketua cheers yang terkenal cantik dan cerdas. Kaya dan berpendidikan. Pemuda itu tergila-gila padanya. Apa pun dia lakukan untuk membuatnya tertarik. Namun, apa yang didapat? Dia hanya dimanfaatkan saja oleh gadis itu.

"Bu-bukankah k-kau menginginkan i-ini? Ini a-aku bawakan, khu-khusus untukmu." Lintasan cerita siang tadi di mana ia memberikan hadiah sebuah ponsel kepada Lisa. Keluaran terbaru, dengan harga yang sangat fantastis.

Lisa berbinar, mulutnya terbuka lebar dengan mata terbelalak riang.

"Kau serius, bukankah ini baru dua hari, tapi kau sudah mendapatkannya. Kau hebat! Padahal, masih tersisa lima hari untukmu menyelesaikan tantangan ini," katanya memuji.

Pemuda itu pun teramat senang mendengarnya. Ia antusias memberikan benda mahal itu kepada gadis yang ia cintai.

"Ja-jadi, apa aku diterima? Ki-kita jadian ha-hari ini? A-aku sudah memenuhi syarat darimu," tanya pemuda itu tak sabar. Jantungnya ikut berpacu kuat menunggu jawaban.

Lisa menimang benda yang masih tersegel di tangannya itu, ia menggigit bibir seolah menimbang keputusan yang akan dia ambil untuk menjawab pertanyaan pemuda di depannya.

"Mmm ... akan aku pikirkan. Sekarang, aku pergi dulu! Tunggulah dua hari lagi. Bye, Kenan!" katanya sembari melambaikan tangan pada pemuda yang termangu dengan jawabannya.

Kenan, nama pemuda itu. Ia tersenyum getir mendapat jawaban yang menggantung dari Lisa. Tangannya melambai menatap punggung gadis yang ia inginkan itu.

Dahi Kenan membentuk kerutan, kala pemuda lain datang mendekatinya. Ia merangkul pinggang ramping Lisa dan mencium bibir gadis itu. Kenan marah, kedua tangannya terkepal erat hingga setiap buku jarinya memutih.

Kenan melangkah penuh amarah. Ia membenarkan kacamata tebalnya dengan langkah yang dipercepat.

Tanpa kata, Kenan memisahkan dua orang yang sedang berpagutan mesra itu dengan kasar.

"Aw!" Lisa memekik.

"Sial!" Pemuda itu mengusap bibirnya kesal. Ia menatap nyalang Kenan yang berdiri di depan Lisa sebagai tameng.

"Dasar sampah! Sialan!"

Bugh!

Satu hantaman tinju mendarat epik di wajahnya. Ia terjerembab dengan sudut bibir yang robek dan meneteskan darah.

"K-kau ...! Kenapa memukul wajahku?" pekik Kenan tak percaya. Ia mengusap sudut bibirnya yang berdarah dengan tubuh yang gemetar.

"Kenapa? Seharusnya aku yang bertanya padamu, kenapa sampah seperti dirimu ini berani menggangguku?!" hardik pemuda itu menuding Kenan dengan geram.

Ia menendang paha Kenan berulang-ulang membuatnya meringis kesakitan sembari memegangi paha tersebut dengan kedua tangan untuk melindunginya.

Kenan menutup wajah dengan tangan, khawatir laki-laki itu akan kembali memukul wajahnya. Napasnya tersengal-sengal tak beraturan. Tubuhnya yang kurus tak mampu melawan.

Sesak, dadanya terasa sesak saat ia melirik ke arah Lisa, ia berjalan mendekati pemuda tadi dan merangkul bahu laki-laki itu. Ia tersenyum mencibir Kenan yang masih berada di tanah.

Hati Kenan semakin memanas kala Lisa memberikan ponsel yang diberikannya tadi pada pemuda itu.

Laki-laki itu memandangi benda di tangannya dengan senyum aneh. Ia melempar pandangan pada Kenan sembari menunjukkan benda itu padanya.

"Kau terlalu tinggi menilai dirimu sendiri. Ingat, kau hanya sampah yang tidak berguna. Tidak pantas berharap menjadi kekasih Lisa bahkan di dalam mimpi pun, kau sangat tidak pantas!" ketusnya. Ia kembali menendang kaki Kenan sebelum berbalik merangkul pinggang ramping Lisa.

Mereka bahkan saling memagut bibir memanasi Kenan yang masih terpuruk di atas tanah. Tangannya mengepal hingga rumput-rumput yang ada di sana tercabut.

"Hah ....!"

Kenan berteriak kuat. Tubuhnya menghadap langit dengan kedua tangan yang dikepalkan. Dengan napas memburu, Kenan beranjak berdiri. Dadanya kembang-kempis bersamaan dengan dendam yang kian bergolak dalam hati.

Hujan masih turun dengan sangat deras. Menjatuhi bumi yang gersang. Di saat orang lain merasakan kedinginan dari hembusan angin yang kuat, tapi Kenan meskipun hujan mengguyur tubuhnya tetap saja itu tidak dapat mendinginkan hatinya yang memanas.

Kenan melangkah, dan berhenti di ujung atap gedung berlantai lima itu. Pandangannya terjatuh pada jalanan beraspal yang jauh dari jangkauan. Ada beberapa mobil dan motor yang terparkir, juga ada seseorang yang sedang berjalan di tengah hujan.

"Tiada guna lagi aku hidup! Manusia sampah yang tak diinginkan oleh siapa pun. Sudah selayaknya aku begini, sampah tetaplah sampah dan akan berakhir menjadi sampah. Kiran, maafkan Kakak ...." Ia menangis saat bayangan adik satu-satunya melintas di pikiran.

Gadis kecil berusia tujuh tahun yang masih sangat membutuhkan sosoknya sebagai Ibu sekaligus Ayah. Dia tidak berpikir, akan jadi apa adiknya jika tanpa dia. Dendam yang terus menusuk-nusuk jantung membuatnya tak dapat berpikir jernih.

Kenan menjatuhkan diri dari atap gedung, melayang bebas di udara. Bayangan Ibu yang tersenyum padanya datang, ia mengangkat tangan dan menggenggamnya. Kenan meletakkan genggaman tangan di dada. Ia terpejam bersiap jatuh menghantam daratan.

"Di saat kau putus asa, di saat kau terpuruk, di saat orang lain memperlakukanmu dengan buruk, sementara kau sendiri begitu lemah untuk melawan ... ingatlah, Ibu akan datang menggantikan kelemahanmu itu, Anakku! Hanya panggil saja Ibu, maka Ibu akan datang!"

Suara Ibu mengiang di telinga.

"Ibu!" Kenan bergumam, air matanya ikut melayang-layang membeku di udara. Waktu seolah-olah berhenti, tubuh Kenan membeku. Tak kunjung mendarat. Semua pergerakan seolah mati, terhenti oleh waktu yang tak bergerak.

Bugh!

Tubuh Kenan menghantam jalanan beraspal. Seluruh tulang dalam tubuhnya remuk. Darah menggenang, mengalir dari bagian kepalanya yang hancur. Sudah dapat dipastikan dia mati.

"Argh!" Gadis yang sedang berjalan itu terkejut, ia termundur hingga jatuh terjerembab sembari memegangi dada. Mulutnya menganga, tak mengira akan ada manusia yang jatuh dari langit.

Keadaan hujan tak banyak orang datang untuk menolong. Hanya ada beberapa orang yang sedang asik berbincang ikut terkejut saat mendengar suara itu.

Mereka berkerumun. Kenan melenguh, buru-buru warga yang ada menggotongnya masuk ke dalam mobil si wanita.

"Eh ... kenapa dimasukkan ke dalam mobilku, Pak?" pekiknya tak senang.

"Cepat bawa dia! Dia masih hidup." Warga tersebut mendorong gadis itu untuk secepatnya membawa Kenan ke rumah sakit.

"I-iya!" Ia gugup, tapi tetap meninggalkan tempat itu menuju rumah sakit. Berkali-kali ia menjatuhkan lirikan pada Kenan yang terbaring tak sadarkan diri.

Menagih

Di ruang serba putih itu, semerbak bau khas obat-obatan menyeruak menjejali indera pembau seorang pemuda yang terbaring di atas ranjang pesakitan dengan mata terpejam. Kondisi tubuhnya cukup mengenaskan. Selang oksigen terpasang, leher yang disangga, kaki yang digantung dengan penyangga pula, tangan pun tak kalah mengenaskan.

Semua tim medis memuji pemuda tersebut karena nyawanya masih berada satu dengan jasad. Sudah dipastikan bahwa hidup pemuda itu tak akan normal seperti sebelumnya.

Dahi pemuda itu mengernyit kala suara-suara ikut merangsek memenuhi indera rungu miliknya. Hidungnya mengendus tiada henti, tapi sesuatu mengganjal lubangnya.

'Berisik sekali!' Batinnya mengumpat. Bibirnya berkedut, tapi tak ada kata yang terlontar dari mulut. Terkunci rapat, dan tak bisa terbuka meski peluh membanjiri seluruh tubuh, tetap saja matanya enggan untuk terbuka.

'Ada apa denganku? Kenapa aku tidak bisa membuka mata dan mulutku?' Bertanya pada diri sendiri lewat hatinya.

"Kemungkinan keponakan Anda akan mengalami kelumpuhan secara permanen. Berdoa saja semoga ada keajaiban untuknya." Suara dokter mengusik ketenangan batin pemuda yang sedang berjuang untuk bangun itu.

Terdengar tangisan seorang wanita, itu Bibi Kenan. "Bagaimana dengan masa depannya, Dokter? Dia tidak akan bisa mengejar impiannya kalau lumpuh begini." Suara Bibi terdengar pilu dibarengi dengan isak tangisnya yang terus melaju.

'Ah ... apa aku lumpuh? Tuhan, kenapa aku tidak mati saja! Kenapa aku harus selamat kalau hanya menjadi semakin tidak berguna.' umpatnya tidak terima dengan nasib baik yang menimpanya.

Dia frustasi sendiri, masih mencoba untuk menggerakkan bibir dan kelopak mata agar terbangun. Namun, semua terasa sia-sia. Tak ada yang bergerak darinya walau hanya satu jari saja.

'Sial! Kenapa aku tidak bisa menggerakkan tubuhku?' Ia mengumpat pada dirinya sendiri. Entah di mana dia berada, sebuah ruang tanpa batas yang tak tahu di mana ujungnya. Meski sudah berkeliling tak setitik pun cahaya yang tertangkap netranya.

"Ingat pesanku ini, Anak Muda!" Sebuah suara menggema memekakkan telinga. Kenan berjongkok sembari menutup telinganya yang berdenging.

"Kalau kau menyalahgunakan apa yang kau miliki saat ini, kau sendiri yang akan menanggung akibatnya! Maka berhati-hatilah!" Kenan mengernyit, suara itu sungguh membuat telinganya hampir terpecah belah.

"Siapa kau? Dan ... dan di mana aku?!" teriaknya kuat-kuat. Percuma saja mengedarkan pandangan, yang ada hanya kegelapan tanpa batas.

Kenan tak tahu harus apa, ia frustasi. Mencengkeram kepalanya kuat-kuat dan berteriak kencang.

Secara tiba-tiba setitik cahaya muncul, yang kian lama kian membesar dan menyilaukan matanya. Kenan menutup mata dengan tangan menghalau cahaya yang menyerang korneanya.

Cahaya itu membesar dan membentur tubuhnya. Memberikan gelenyar rasa sakit yang luar biasa.

"ARGH!" Kenan berteriak kesakitan. Tangannya membentang, jemarinya terkepal, mulutnya terbuka lebar, sedangkan matanya terpejam rapat.

Cahaya itu menarik tubuh Kenan ke belakang hingga menghantam jasadnya sendiri. Mata pemuda yang terbaring itu seketika membelalak, ia tersentak dengan tarikan napas panjang yang tak berujung.

"Uhuk ... uhuk!" Ia terbatuk saat duduk dan memuntahkan darah merah kehitaman yang kental.

Mendengar suara dari dalam ruangan Kenan, dokter yang sedang berbincang dengan Bibi Kenan pun gegas melihat ke dalam.

Kenan membuang selang oksigen yang menghalangi lubang hidungnya. Mencabut selang infus dengan kasar. Ia bahkan membuang penyangga yang membungkus tangan dan kakinya. Juga penghalang di leher, dengan napasnya yang memburu Kenan tak berhenti sampai di situ.

Ia turun dari ranjang, membuat dokter dan Bibi ternganga tak percaya. Padahal, baru saja dokter memvonis dia lumpuh permanen. Namun, nyatanya pemuda itu berdiri dengan kedua kakinya sendiri.

"Ke-kenan?" Suara Bibi terbata dan lirih. Kenan tidak menanggapi, ia berjalan sembari membanting perban di tangannya. Mengusap darah yang tersisa di bibir dengan ujung lengan pakaian.

Pandangannya dingin menusuk, seperti orang yang tak memiliki ekspresi di wajah. Ia berjalan bagai robot yang tak berperasaan.

"Kenan!" Suara Bibi kembali memanggilnya, tapi Kenan tak mengindahkan. Ia terus saja berjalan keluar dari ruangan.

Di pintu ia berpapasan dengan keponakannya yang juga membelalak saat melihatnya berjalan keluar. Kenan tak peduli, ia melanjutkan langkah terus keluar dari rumah sakit.

"I-ibu ... di-dia, Kenan?" Tangannya menunjuk Kenan yang menjauh dan hilang di belokan.

"Dokter, katanya Kenan divonis lumpuh permanen, tapi ... tadi apa? Di-dia berdiri bahkan berjalan keluar? Apa tim medis bisa salah mendiagnosa?" tuntut Bibi meminta penjelasan pada dokter yang menyatakan vonis Kenan.

Dokter itu sendiri kebingungan, tidak mungkin vonis mereka salah. Jelas-jelas semua pemeriksaan yang dilakukan tadi menjelaskan bahwa Kenan memang lumpuh secara permanen.

"Maafkan kami, Nyonya. Kami akan memeriksa kembali laporan dari laboratorium tentang keponakan Anda itu," tutur dokter sembari membungkuk sopan di depan Bibi.

"Kami butuh penjelasan dari rumah sakit!" Bibi yang kesal berbalik keluar dari ruangan. Ia mengajak anaknya pergi menyusul Kenan.

Pemuda itu tidak pulang ke rumah, ia pergi entah ke mana mengikuti kakinya yang melangkah tanpa arah. Kerikil itu melayang saat ujung kaki Kenan menendangnya.

Ia berhenti di jembatan, kedua tangannya mencengkram penghalang jembatan. Ia menengadah menatap langit cerah. Tak lama matanya menutup merasakan hembusan angin yang menyapa kulitnya.

'Ibu! Padahal, aku ingin pergi menyusulmu. Aku tidak berhasil menemukan Ayah, Ibu. Namun ....' Kenan membuka mata diikuti hembusan napas kuat yang ia keluarkan.

Pandangannya menunduk, menatap riak air yang mengalir dengan tenang. Bebatuan tampak kokoh di tempatnya meski aliran deras air menghantamnya tiada henti.

"Batu yang keras pun akan berlubang ketika air tak henti menjatuhinya. Setetes demi setetes tanpa putus asa." Suara nasihat Ibu mengiang di telinganya.

Ia kembali menarik napas dalam-dalam, dan membuangnya perlahan. Cengkeraman tangannya menguat, seiring tekad yang semakin membulat. Mungkin Tuhan ingin aku menemukan Ayah. Begitu gumamnya dalam hati.

"Hei!" Sebuah kerikil menghantam pelipis Kenan, tapi anehnya pemuda itu tidak merasakan sakit sama sekali.

Ia menoleh dan mendapati tiga orang gadis berdiri sambil melipat kedua tangan di perut.

"Yuki!" gumam Kenan menyebutkan nama gadis itu. Dahinya berkerut ketika gadis bernama Yuki mendekatinya.

"Kau Kenan, bukan? Orang-orang menyebutmu sampah dan tidak berguna. Memang tidak berguna, kalau kau berguna ... kau tak akan berbuat bodoh dengan melompat dari atap gedung sekolah. Bodoh! Bodoh!" tuding gadis itu sembari menunjuk-nunjuk dada Kenan dengan jari telunjuknya.

Pemuda itu bergeming, masih dengan lipatan di dahi. Bingung dengan situasi yang ada.

"Apa kau tahu, Bodoh ... karena kebodohanmu itu aku dijadikan jaminan pihak rumah sakit sampai Bibi cerewetmu itu datang. Kau harus mengganti uangku, aku ingin uangku dikembalikan!" katanya dengan tangan yang menadah dan dimainkan.

Kenan terperanjat, ia menatap linglung tangan dan wajah si gadis belum mengerti dengan situasi yang ada. Ah ... kenapa dia jadi Lola begini.

"A-aku tidak pu-punya uang. Ba-bagaimana aku ha-harus membayarnya?" katanya terbata gugup dan bingung.

"Hmm ...." Gadis itu menaruh jari telunjuk di dagu. Mengetuk-ngetuknya dengan pelan berpikir. Pandangannya terarah pada langit yang cerah.

"Ah ... kalau kau tidak punya uang untuk membayarnya, kau bisa menggantinya dengan hal lain. Bagaimana?" tawarnya dengan senyum mencurigakan dan alis yang dimainkan. Wajah cantik itu terlihat menggemaskan di mata Kenan.

'Ah ... sial!' umpatnya dalam hati.

"Ba-baik, a-apa?" Masih dengan terbata, gugupnya melanda jika sedang berhadapan dengan gadis cantik.

Telunjuk lentik itu bergerak meminta Kenan mendekat. Ia menurut, mencondongkan tubuh ke dekat gadis itu. Matanya sedikit melebar, tapi ia mengangguk juga kala gadis itu membisikkan sesuatu padanya.

Melawan

"Jangan mati sebelum kau melunasi hutangmu!"

Kecaman Yuki terngiang-ngiang di telinga Kenan hingga larut malam ia tak dapat memejamkan mata jua. Kalimat pendek mengandung ancaman itu diucapkan Yuki sebelum ia dan dua temannya pergi meninggalkan Kenan di jembatan.

Senyumnya, tatapannya, bahkan sentuhan jari telunjuknya di dada Kenan masih dapat ia rasakan sampai detik itu. Entahlah, ada sesuatu yang berdesir di hatinya, tapi bukan angin. Sebuah rasa asing yang menghantarkan gelenyar aneh hingga ke otaknya.

"Ah ... Sial! Bagaimana nanti aku melakukannya? Aku selalu gugup saat berhadapan dengan wanita." Mengumpati diri sendiri. Kenan berguling ke kanan dan kiri menepis rasa malu juga gugup untuk esok bertemu dengan Yuki.

Ia berhenti dengan napas yang tersengal-sengal. Memandang langit-langit kamar yang berwarna suram. Di sanalah ia tinggal, di ruangan sempit yang hanya ada kasur dan lemari plastik kecil saja.

"Kakak!" Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Pintu yang hanya terbuat dari triplek tipis itu hampir roboh karena sudah seharusnya diganti.

"Kiran?" Kenan membeku, ia beranjak duduk ketika melihat sang adik yang berdiri dengan tangisannya di ambang pintu.

"Kemarilah, sayang! Tidak apa-apa," katanya seraya membentangkan tangan menyambut tubuh kecil adiknya.

Kiran berlari dan menjatuhkan diri dalam pelukan Kakaknya. Menangis semakin menjadi sambil mengeratkan pelukan. Kenan mengusap rambut panjang sang adik dan mencium puncak kepalanya.

"Sudah, jangan menangis!" katanya memenangkan.

"Mereka bilang Kakak mati, mereka bilang Kakak meninggalkan aku sendiri. Mereka bilang Kakak tidak akan pernah kembali lagi. Mereka bohong, bukan? Mereka berbohong ... aku tahu Kakak belum mati, aku yakin Kakak akan kembali. Aku tidak percaya pada mereka, Kak." Tersedu sedan gadis itu menumpahkan isi hatinya.

Kenan memejamkan mata, hatinya sakit mendengar itu. Mereka teringin sekali Kenan mati. Rengkuhan di tubuh rapuh itu menguat. Rambut yang berbau shampo itu diciuminya berulang-ulang.

Kenan melepas pelukan, diusapnya pipi sang adik menyingkirkan air yang menggenanginya. Dahi sempit itu ia kecup, ia benamkan wajah sang adik dalam dadanya. Dialah satu-satunya harta yang ia miliki. Orang yang sangat ingin ia lindungi dan bahagiakan sepanjang hidupnya.

"Mereka berbohong, sayang. Mereka memang selalu berbohong, jangan pernah mempercayai ucapan mereka. Kakak di sini bersamamu dan akan selalu menemanimu, jangan menangis lagi." Sakit hati Kenan mendengar tangisan sang adik yang begitu pilu.

"Kakak tidak apa-apa, tidak ada yang bisa menyakiti Kakak. Mau tidur di sini?" Kenan melepas rengkuhan, disapunya kembali air itu. Ia sedikit menunduk, melihat dengan jelas wajah sang adik.

Anggukan kepalanya menjawab ajakan Kenan. Di atas kasur yang sempit itu, mereka berbagi tempat tidur. Kiran memeluk tubuh Kakak yang ia tangisi hampir seharian ini karena mendengar kabar bohong dari sepupunya.

"Kau sudah makan? Kalau lapar Kakak punya roti, kau bisa memakannya terlebih dahulu sebelum tidur." Kenan merapikan anak rambut adiknya yang menghalangi wajah lugu itu ketika ia mendengar suara perutnya berbunyi.

Kiran mengangguk sembari menelusupkan wajah di ketiak sang Kakak. Kenan membawanya beranjak duduk. Beruntung ia selalu punya simpanan roti di lemari pakaiannya.

Kenan mengambil roti tersebut dan memberikannya pada Kiran berikut air mineral. Mulut kecil itu mulai melahap. Seperti halnya orang yang tidak menemukan makanan apa pun, Kiran begitu lahap memakannya.

"Apa kau tidak makan apa pun seharian ini? Kau terlihat lapar sekali," tanya Kenan ketika melihat cara makan adiknya itu.

Ia menjeda makannya, roti itu masih menempel di bibir. Kedua pipinya menggembung, perlahan kembali mengunyah setelah menganggukkan kepala.

Helaan napas Kenan terdengar berat. Ia mengusap kepala sang adik yang kembali melahap roti di tangannya. Keduanya memang selalu seperti itu, terkadang Bibi tidak memberinya makanan apa pun jika Kenan tidak memberinya uang.

"Mmm ... apa Kakak tidak mau rotinya? Kita bisa membaginya, ini besar," lirih sang adik mendekatkan roti ke mulut Kenan. Kepala remaja itu menggeleng, bibirnya membentuk senyuman. Senyum ketabahan dan ketegaran dalam hidup mereka yang sulit.

"Kakak sudah memakannya, itu ... bekasnya masih di sana." Ia menunjuk pojokan kamar dengan dagunya. Di sana, teronggok sebuah bungkus plastik yang sama persis seperti di tangan adiknya.

Kiran mengangguk dan melanjutkan makannya. Suara ribut terdengar di luar kamar Kenan. Pertengkaran antara Paman dan Bibi selalu terjadi. Mereka selalu meributkan hal yang sama setiap harinya. Uang dan uang, dan yang menjadi korban adalah Kenan dan Kiran.

"Tidak usah dipedulikan. Makan saja!" katanya memberikan sapuan pada rambut adiknya yang menghentikan makan. Ia mengangguk dan kembali memakan roti yang kali ini ia habiskan. Kenan memberinya botol minum, mencoba untuk tidak peduli pada keributan Paman dan Bibi.

"Tidurlah! Sudah malam, besok kita harus sekolah." Kenan membantu adiknya merebahkan diri, ia pun berbaring di sampingnya. Saling berpelukan, saling memberi rasa nyaman pada hati masing-masing. Pada siapa lagi Kiran akan berlindung, selain pada dirinya.

"Kiran masih sangat kecil, Mona. Dia masih duduk di bangku sekolah dasar, tidak seharusnya kau menyuruhnya untuk mencari uang. Bukankah Kenan selalu memberimu uang dari hasil bekerjanya, kenapa kau masih mau Kiran bekerja?" Suara paman membela. Maklum saja, Kenan dan Kiran adalah anak dari Kakak laki-lakinya.

Paman merasa bertanggungjawab atas hidup kedua keponakannya itu.

"Terus saja kau bela keponakanmu yang tak berguna itu. Dia hanya sampah yang bisanya membuat susah, hidup kita ini sudah susah. Dengan adanya mereka di rumah ini, semakin bertambah pengeluaran yang ada. Aku muak dengan mereka." Suara tinggi Bibi menggema.

Kenan yang belum tertidur merasa geram sendiri. Mereka lupa bahwa rumah yang mereka tempati saat ini adalah peninggalan Ibu Kenan. Toko yang mereka kelola pun adalah milik Ibu Kenan.

"Ayah ... seperti apa wajah Ayah? Kenapa Ibu tidak memiliki foto Ayah satu lembar pun?" gumamnya pelan. Ia melirik Kiran yang telah pulas tertidur.

Kenan beranjak, keluar kamar untuk menengahi keributan yang terjadi.

"Paman, Bibi, ini sudah larut. Malu pada tetangga yang mendengar. Untuk masalah uang, aku akan lebih giat lagi mencarinya. Tolong, biarkan Kiran sekolah. Cukup aku saja yang mencari uang," pinta Kenan dengan suara yang pelan.

"Kenan, kau tidak per-"

"Bagus kalau begitu, cari uang yang banyak kalau kau tidak ingin adikmu aku suruh mencari uang." Tangannya menuding hidung Kenan sengit.

Ia beralih pada suaminya, melayangkan tatapan tajam yang menghujam jantung laki-laki tersebut sebelum pergi dari sana.

Paman mendekat pada Kenan, tak ada yang ia katakan. Hanya tepukan dua kali di bahu sebelum ia meninggalkan Kenan sendiri. Paman memang selalu begitu.

Hup!

Tangan Kenan menangkap tepat benda yang melayang ke arahnya. Sebuah asbak keramik yang dilempar sepupunya sendiri. Mata pemuda itu terbelalak saat Kenan berhasil menangkap asbak yang ia lemparkan. Tidak seperti itu! Seharusnya asbak itu mengenai kepalanya dan jatuh, lalu hancur. Seperti biasa itu selalu berhasil memprovokasi Ibunya untuk memarahi Kenan.

Ia tertegun melihat lirikan Kenan yang tajam dan mengancam. Diremasnya asbak tersebut hingga hancur lebur menjadi abu. Kilatan sinar dari matanya menusuk biji manik Roni, sepupunya.

Memberikannya rasa sakit bagai tertusuk jarum yang beracun. Kenan berbalik dan meninggalkan sepupunya yang merintih kesakitan. Abu bekas asbak yang diremasnya berceceran di lantai, ia tak peduli. Itu peringatan kecil darinya untuk Roni yang selalu mengganggu.

"Kurang ajar! Kenapa mataku tiba-tiba sakit begini? Apa yang dilakukan sampah itu padaku?" gerutunya sambil mengusap-usap mata yang masih terasa perih.

Ia meraba tembok mencari wastafel berniat mencuci matanya. Berkali-kali ia basuh, sampai rasa pedih itu berangsur-angsur hilang.

"Sial! Apa yang dia berikan pada mataku? Kenapa sampai merah begini?" Ia mengumpat. Padahal, Kenan sama sekali tidak mendekat padanya. Bagaimana mungkin ia menabur sesuatu pada matanya itu.

Sedikit membengkak di kelopak ditambah warna putih yang berubah merah. Menjadikannya seperti para pemangsa di malam hari.

"Argh!" Ia menghantamkan tinjunya pada cermin, "aw!" Merintih sendiri saat merasakan sakit yang menjalar di sendi tangannya. Geram sendiri pada cermin tersebut, ia berbalik dan masuk ke kamarnya.

Sama seperti Kenan, yang merebahkan diri di lantai karena kasur miliknya dikuasai sang adik. Maklum saja kasur itu hanya cukup untuk satu orang saja.

"Kakak tidak akan membiarkan mereka menyusahkanmu. Kakak hanya ingin kau terus belajar dan menjadi orang sukses di kemudian hari." Ia mencium dahi sang adik sebelum benar-benar terbaring dan memejamkan mata.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!