NovelToon NovelToon

Menikah Karena Berbohong

001 - Undangan

Tumpukan dokumen menjulang di sepanjang meja kerja. Dering telepon meraung-raung di sudut meja kerja itu. Si pemilik meja masih sibuk menerima panggilan dari ponsel, seakan sedang bernegosiasi dengan orang yang meneleponnya. Pintu ruangan diketuk, seorang petugas kantor masuk sambil menyodorkan segelas teh panas dan piring kecil berisi kue berukuran mini untuk sarapan pagi.

"Terima kasih, Bu," ucap wanita itu kepada ibu petugas kantor.

"Sama-sama, Bu," balas ibu paruh baya yang biasa membersihkan dan menyediakan keperluan kantor itu.

"Tidak, aku masih begitu sibuk," kata wanita itu. "Jadwalku benar-benar bentrok," lanjutnya sambil membuka buku agenda yang dipenuhi kertas kecil berwarna kuning dan lengket.

"Ayolah, ini reuni 15 tahun. Kau hanya perlu datang saat acara makan malam," sahut suara peneleponnya.

Hening, tak ada jawaban.

"Baiklah, akan kukabari kembali. Aku harus menjawab telepon di meja kerjaku terlebih dulu," kata wanita itu memutus pembicaraan di ponselnya.

"Pagi, Vaya," jawab wanita itu riang.

"Bu Vaya, bisa ke ruangan saya sebentar?" tanya penelepon di seberang sana.

"Baik, Bu," jawab Vaya singkat sambil menutup telepon.

Vaya mengerucutkan bibirnya, ia mendelik gusar sambil mematut diri di depan cermin lalu memoleskan lipstik merah cerah ke bibirnya.

Direktur Keuangan memanggilnya sepagi ini, biasanya merupakan pertanda buruk. Ia segera menepis pikiran tersebut sambil menyapukan kuas bedak tabur ke wajahnya. Direktur Keuangan tidak suka melihat karyawannya berpenampilan kusut saat di kantor. Usai merapikan penampilan, Vaya keluar dari ruangannya.

Semua mata tertuju padanya, wanita dengan tinggi semampai namun selalu memakai sepatu dengan hak menjulang demi terlihat tinggi, serta rambut yang selalu dicepol bak pramugari.

"Pagi-pagi dia sudah dipanggil Madame, ada apa ya?" begitulah pertanyaan yang terlontar dari setiap mulut karyawan.

Madame adalah sebutan untuk Direktur Keuangan di perusahaan tempat Vaya bekerja. Madame adalah wanita berusia empat puluh tahun lebih yang masih terlihat cantik meski sudah melahirkan setengah lusin anak.

Madame bermata tajam, selalu mengintimidasi. Selain menjabat sebagai Direktur Keuangan, Madame memegang kontrol penuh operasional perusahaan. Menemui Madame di pagi hari sama saja menghancurkan kinerja seharian. Madame tipikal atasan tiran yang tak bisa menerima kata tidak dari pegawainya.

Supervisor bagian penagihan berpapasan dengan Vaya saat ia keluar dari ruangan Madame. Vaya mengetuk pintu ruangan tersebut dengan ragu, lalu masuk.

Madame terlihat sedang sibuk menerima panggilan telepon. Beberapa saat kemudian Madame beralih pada Vaya. Madame menyodorkan dokumen dalam amplop cokelat bertali ke arah Vaya.

"Vaya," kata Madame dengan suara rendah.

"Kau sudah bergabung dengan perusahaan ini sejak beberapa tahun yang lalu," lanjut Madame.

Vaya mengangguk, seingat Vaya tahun ini adalah tahun kesepuluh ia bekerja di perusahaan ini. Apakah Madame akan memutuskan hubungan kerja mereka?

Jantung Vaya berdentam-dentam keras memikirkan kemungkinan itu. Vaya sudah susah payah merangkak meniti karirnya, dimulai sebagai staff administrasi umum hingga pada akhirnya ia menjadi senior staff keuangan. Kerja lembur tanpa dibayar sudah dijalaninya tanpa mengeluh. Presentase daftar kehadiran juga selalu mengagumkan lantaran ia hampir-hampir tak pernah ambil cuti ataupun izin kecuali ia terkapar di rumah sakit. Bukankah pengabdiannya pada perusahaan sudah tak perlu diragukan lagi? 

"Saya hendak memberimu promosi untuk posisi baru yang lebih tinggi," kata Madame membuyarkan lamunan Vaya.

Vaya merasa lega bahwa kontrak kerjanya tidak diputus. Ia kaget bahwa Madame memberinya promosi posisi. Namun, kursi siapa yang akan direbutnya? Mengingat bahwa tingkat persaingan kerja di perusahaan ini cukup tinggi. Atasan bisa menggusur bawahan begitupun sebaliknya. Jangankan dari hasil kerja keras, dari hasil menjilat atasan saja sudah cukup berhasil untuk mengamankan posisi.

"Setiap posisi pasti ada tantangannya, oleh karena itu saya berharap kau bisa menyelesaikan masalah tunggakan pelanggan kita. Ini adalah daftar pelanggan beserta jumlah tunggakan utang yang harus dibayarkan," lanjut Madame.

Vaya mengerutkan keningnya, bukankah penagihan utang dilakukan oleh petugas penagihan?

"Jika kau berhasil, saya tidak hanya mempromosikanmu sebagai Supervisor, saya menawarkan posisi Manager untukmu," kata Madame, seakan bisa membaca pertanyaan yang tidak terlontar dari mulut Vaya.

Mendengar posisi Manager membuat emosi Vaya langsung campur aduk. Ia begitu senang jika mendapat promosi sebagai Manager dengan segala fasilitas mewah yang diberikan kantor, namun tentu saja beban dan tanggung jawab yang diberikan juga sesuai. Vaya tentu saja tertantang, ini adalah sebuah kesempatan emas untuknya yang sudah sekian lama mengabdi pada perusahaan.

"Berapa lama waktu yang diberikan, Bu?" tanya Vaya dengan gairah menggelora.

Madame tersenyum, ia tak salah menilai orang. "Saya harap sebelum akhir tahun sudah selesai, sehingga di tahun baru kau sudah bisa memulai jabatan baru," jawab Madame.

Vaya mengambil amplop itu dengan penuh keraguan.

"Saya harap kau merahasiakan ini dari karyawan lain," kata Madame dengan tatapan mengintimidasi.

"Itu saja pesan saya, silakan kembali bekerja," lanjut Madame sembari menjawab ponselnya yang tak berhenti berdering.

Vaya bergegas keluar dari ruangan kerja Madame. Ia merasa seakan memikul tanggung jawab sebesar gajah.

...*****...

Begitu tiba di ruangan kerjanya, Vaya segera membuka amplop tersebut, dengan penuh hati-hati ia mempelajarinya. 

"Mbak Vay," suara rekan seruangan Vaya membuat Vaya kaget bukan main.

"Evi! Kau benar-benar mengagetkanku," rutuk Vaya.

"Mbak Vay sibuk sekali, dari tadi dipanggil tidak menyahut," kata Evi.

"Tadi Mbak Vay dipanggil ke ruangan Madame? Apa Madame marah?" tanya Evi

"Tidak," sahut Vaya.

"Segera siapkan laporan pengeluaran dana minggu lalu, aku harus melaporkannya siang ini," lanjut Vaya beralih ke layar monitornya.

Apakah karyawan lain juga mendapat tugas khusus seperti Vaya?

Kenapa Madame harus merahasiakan hal ini dari karyawan lain?

Vaya hanya bisa membatin sembari mengamati data tersebut. 

Pantas saja Madame sampai harus repot-repot menggelar sayembara perebutan kursi Manager, batin Vaya bergetar saat melihat daftar utang pelanggan yang membuat kepalanya pusing seketika. Lima puluh miliar bukan jumlah yang sedikit. Di tengah perekonomian yang tidak stabil seperti saat ini, utang tetaplah utang yang harus dibayar tanpa pandang besar kecilnya nominal.

Apakah ini memang kesempatan besar untuk Vaya agar bisa memperbaiki karirnya?

Apa yang akan Vaya lakukan selanjutnya?

Apa ada kemungkinan gagal yang akhirnya malah akan membuat karir Vaya terancam?

Vaya masih terlalu awal untuk menyusun rencana, namun setiap detik sungguh begitu berharga.

...*****...

Sama seperti tadi pagi, teman masa SMA-nya memaksa Vaya untuk ikut reuni SMA. Vaya bukannya tidak mau ikut, ia masih begitu sibuk dengan pekerjaan yang tidak bisa ditinggal. Belum lagi ia masih memiliki trauma masa lalu yang begitu membekas dan memakan waktu yang cukup lama agar bisa sembuh. Lima belas tahun bukan waktu yang singkat untuk mengobati rasa sakit hati dan menghapus hal-hal memalukan yang pernah terjadi di masa sekolahnya. 

Ponsel Vaya bergetar singkat, ia melihat sebuah pesan masuk. 

...Yoran akan datang....

Informasi tersebut muncul di layar ponselnya.

Vaya terbelalak, ia tak menyangka apa yang dilihatnya. Lima belas tahun tak pernah terdengar kabar dari seorang Yoran. Si pujaan nomor 999 yang status sebenarnya masih menggantung, entah Yoran dulu menolaknya atau tidak, lantaran saat akan mengutarakan perasaannya seseorang datang menginterupsi.

Yoran si pemuda dengan rambut bak bintang iklan sampo. Dengan penampilan khas siswa baik-baik dari keluarga terpandang dan terpelajar.

Menyisakan yang terbaik untuk yang terakhir merupakan tindakan yang pantas dilakukan oleh Vaya. Namun karena kelancangan seseorang yang enggan diingat oleh Vaya, Vaya akhirnya harus rela menggagalkan Yoran.

Vaya mengetik dengan cepat namun ia segera menghapusnya. Lebih baik ia tak usah bertanya daripada ia mengingat kembali.

Layar ponselnya kembali menampilkan pesan.

...Vier skip, masih di Amerika....

Begitulah informasi yang kembali muncul di layar ponselnya.

Vaya langsung memantapkan hati. Ia akan pergi untuk bisa menemui Yoran.

...*****...

Visual

Untuk mendukung kehaluan author, akan author tampilkan beberapa visual tokoh berdasarkan kehaluan author.

Vaya

Vier

Yoran

002 - Awal Kebohongan

Selamat membaca..

Vaya mematut dirinya di depan cermin, ia berputar-putar sambil mencoba memilih pakaian yang pantas untuk dikenakan di acara reuni. Tidak ada tema busana yang spesifik membuat Vaya kesulitan. Ia merasa tidak memiliki pakaian yang pantas, meski sudah membongkar seluruh isi lemari pakaiannya.

Vaya memiliki kulit sawo matang yang tidak kusam sehingga ia tidak terlihat dekil ataupun gelap yang terlalu eksotis. Seringnya ia mengenakan kaos berkerah saat ke acara santai, atau memakai kemeja biasa. Ia tak terbiasa mengenakan gaun dan sejenisnya.

Ponsel Vaya tak henti-hentinya berdering menampilkan nama pemanggilnya. Mima dan Feybe alias Ibe. Dua nama itu saling bergantian memanggil Vaya.

"Ya, ya, aku segera ke sana," sahut Vaya sambil menutup telepon.

Ia merasa jantungnya berdegup lebih kencang hanya dengan memikirkan bahwa akan bertemu Yoran. Usia memang tidak bisa menjadi tolak ukur kedewasaan seseorang. Vaya menyadari bahwa ia terlalu tua untuk berlagak seperti anak baru kemarin sore yang tengah jatuh cinta. Ia sudah mengubur semua masa-masa kelamnya begitu memasuki dunia kuliah, saat itu ia lebih memilih untuk fokus belajar, tidak lagi menjadi pemburu lelaki. Ia bahkan bisa menyelesaikan pendidikan S2 dengan cepat lantaran begitu fokus.

Lima belas tahun berlalu tanpa ada lelaki yang dikejarnya. Bukan berarti orientasi seksualnya beralih, ia masih menyukai lelaki. Namun ia menolak untuk memuja cinta. Bertahun-tahun ia dirundung dengan pertanyaan klise saat hadir ke acara pernikahan teman-temannya.

Kapan menikah? 

Sudah punya pacar?

Vaya memilih menghindar dengan jawaban masih belum menemukan yang pas atau masih ingin berkarir lebih lama lagi. Orang tuanya memilih menyerah saat Vaya menolak semua perjodohan bahkan saat ada pria yang datang untuk melamarnya.

Apakah karena Yoran?

Vaya kembali merasakan debaran meski nama Yoran hanya terlintas dalam benak Vaya.

Apakah ia akan pingsan saat bertemu dengan Yoran? 

...*****...

Salah satu hotel berbintang lima di pusat kota menjadi tempat reuni SMA. Hotel tersebut juga berada di kawasan pusat perbelanjaan. Tak heran begitu banyak pengunjung yang datang terlebih di akhir pekan.

Vaya dengan terburu-buru memasuki lobi, ia segera berdiri di depan lift. Kebetulan ia berdiri di samping seorang wanita cantik berparas blasteran, rambutnya berwarna cokelat terang, kontras dengan kulitnya yang begitu cerah, memakai gaun merah jambu pucat dengan model kemben selutut, dilengkapi sepatu dan tas dengan warna magenta yang menyala. Ia terlihat seperti model di pagelaran busana yang tersasar, begitulah pikir Vaya.

Pintu lift terbuka, Vaya segera memasuki lift yang membawanya ke tempat acara. Wanita itu melangkah masuk dengan ponsel yang masih menempel di telinga. Ia terdengar merengek karena rupanya sang kekasih pergi lebih dulu sehingga ia harus menyusul.

Vaya berusaha mengabaikan wanita itu, namun dalam lift berdinding cermin tentu saja bayangan mereka terpantul. Vaya berusaha untuk percaya diri, meski kulitnya tidak secerah wanita itu tapi ia merasa masih lebih cantik dari wanita itu. Hanya karena memakai barang kenamaan dan riasan tebal makanya wanita itu terlihat lebih mewah dari Vaya.

Vaya bergegas menuju ke ruang pertemuan yang pintunya tertutup karena rupanya acara sudah dimulai. Ia mencoba mendorong pintu tersebut, terasa berat saat didorong, Vaya nyaris oleng, ia segera berdiri tegak dan melangkah masuk, mengabaikan seseorang yang melewatinya begitu saja.

Vaya segera mencari sosok Mima dan Ibe yang langsung melambaikan tangan begitu melihat Vaya. Semua mata tertuju pada Vaya karena ia datang terlambat, namun Vaya menyadari bahwa pandangan itu tidak sepenuhnya tertuju padanya. Namun pada sosok yang sedang berjalan tak jauh di belakangnya.

Vaya berusaha untuk tidak menoleh namun terdorong rasa ingin tahu ia menoleh, melihat wanita blasteran yang saat ini sedang merangkul seorang pria yang rupanya tadi menjemputnya di pintu masuk.

Vaya mempercepat langkahnya, ia segera menuju ke meja tempat Mima dan Ibe. 

Mima adalah seorang ibu dengan dua orang anak. Ia selalu stres karena tidak bisa mengembalikan bentuk tubuhnya. Mima dulu cantik sekali dengan rambut panjang ikal bergelombang, begitu banyak pemuda yang memujanya. Namun Mima menolak karena lebih menyukai pria yang jauh lebih tua. Begitu lulus sekolah Mima memutuskan untuk menikah karena dilamar oleh pria yang berusia sebelas tahun lebih tua. Saat ini anaknya Joey berusia sepuluh tahun sedangkan Ruby berusia lima tahun. Mima tidak membawa anak-anaknya, ia menitipkan mereka di pusat permainan anak di pusat perbelanjaan.

Feybe yang biasa dipanggil Ibe adalah seorang janda tanpa anak. Ibe dulunya gadis pemalu dan pendiam berwajah cantik, ia juga seorang pemuja cinta. Ia bahkan rela kawin lari bersama dengan pria yang katanya sangat mencintainya, namun di tahun ketiga pernikahan, Ibe memutuskan untuk berpisah dengan cinta sejatinya itu. Ia akhirnya memutuskan menjadi seorang petualang cinta yang tak terikat.

"Lama sekali!" protes Mima.

"Kenapa terlambat?" tanya Ibe begitu Vaya duduk di kursinya.

"Maaf," ucap Vaya sambil meringis.

"Siapa mereka?" tanya Vaya sambil mengarahkan pandangan ke pasangan yang kedatangannya begitu menyita perhatian publik.

"Vay, itu Vier dan pasangannya!" jawab Ibe mantap.

"Be, bukankah infonya Vier di Amerika?" Vaya tersentak kaget.

Ibe mengedikkan bahunya.

"Infonya juga seperti itu," sahut Ibe.

"Sepertinya infomu tidak valid, Be," cibir Vaya.

"Di sosial media infonya seperti itu," jawab Ibe membela diri.

"Kalian berdua lihat di sana," tunjuk Mima menengahi kedua temannya.

Mima menunjuk ke meja yang letaknya cukup jauh dari meja mereka.

Yoran sedang duduk bersama teman-teman sekelasnya dulu. Yoran merupakan akronim dari Yoseph Randvale, ia lebih memilih dipanggil Yoran daripada Ocep bahkan Asep. Dulunya Yoran adalah ketua OSIS, sangat dipuja, selain berwajah tampan, ia juga pintar, dan menjadi kesayangan para guru. Banyak yang sangat menyayangkan karena Yoran memilih untuk tidak memiliki akun sosial media sehingga ia terkesan menutup diri. 

Tiba-tiba mata Vaya menangkap sosok si wanita Barbie dan pasangannya, Vier. Seluruh sel-sel tubuh Vaya masih mengingat dengan jelas bagaimana rasanya dipermalukan di muka umum. Vaya biasa menerima penolakan tetapi hanya antara ia dan targetnya. Hari itu rasanya Vaya ingin mengubur dirinya hidup-hidup saat pernyataan cinta yang harusnya untuk Yoran justru diinterupsi kehadiran Vier.

Vier nampak menatapnya sekilas namun ia beralih pada pasangannya yang benar-benar mencuri perhatian.

Vier memperkenalkan pasangannya sebagai tunangan yang bernama Selena. Vier bukanlah pemuda yang lima belas tahun lalu selalu berambut ala sikat toilet, nampaknya ia memakai banyak gel rambut agar rambutnya berdiri tajam seperti orang kesetrum. Vier selalu menjadi target operasi potong rambut gratis dari guru penertiban siswa berambut gondrong.

Terlintas sebuah ide untuk membuat Vier merasakan apa yang dirasakan Vaya. Selama lima belas tahun ia harus hidup dalam mimpi buruk yang membuatnya sangat tertekan.

"Mima, Be, coba dengarkan rencanaku," Vaya segera membisiki Mima dan Ibe.

Ibe terkekeh geli disusul Mima. Mereka segera meninggalkan ruang acara yang dirasa mulai membosankan.

Terlihat Vier dan Selena dikerumuni massa. Seperti selebriti sedang diburu wartawan yang menunggu konferensi pers.

Vier terlihat masih tampan meski usianya sudah kepala tiga. Ia mengenakan setelan jas berbahan beludru berwarna biru gelap. Terlihat Yoran bersalaman dengan Vier seperti orang yang sudah lama tidak pernah berjumpa. Yoran dulu memang terlihat akrab dengan Vier semasa sekolah. Mereka sering terlihat kumpul bersama. 

"Oh wow, siapa ini?" kata Vier tiba-tiba menegur Vaya yang kebetulan melintas di sekitar mereka.

"Benarkah kau si pemburu lelaki?" sindir Vier.

Vaya hanya diam saat matanya bertemu dengan Yoran. 

"Hei, jangan bilang kau masih sendiri!" ejek Vier.

Terdengar tawa mengejek dari para penonton. Vaya merutuk dalam hati, kenapa Vier tak berubah juga?

Lima belas tahun sepertinya belum cukup untuk mengubahnya menjadi manusia seutuhnya.

"Lihatlah, sekarang aku sudah sukses, aku juga punya tunangan yang sempurna, dan kami akan menikah dalam waktu dekat ini," kata Vier sambil berkoar-koar seperti ayam jago yang mengepak-ngepakkan sayap sebelum berkokok. 

Mima langsung menarik tangan Vaya dan juga Ibe agar mereka tak terprovokasi ejekan Vier.

Kita tunggu saja siapa yang akan tertawa di belakang, batin Vaya sambil meninggalkan kerumunan Vier.

Begitu melihat Selena menuju ke toilet, Vaya, Ibe dan Mima langsung mengikuti wanita itu. Mima memastikan bahwa tidak ada yang memasuki toilet kecuali mereka. 

"Are you Selena, Vier's fiancee? (Apa kau Selena, tunangan Vier?)" tanya Vaya, menyapa Selena.

Selena hanya diam menatap Vaya dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"I was one of Vier's ex-girlfriends. (Aku adalah salah satu mantan pacar Vier)" Vaya memperkenalkan dirinya.

"That's right!" Ibe dan Mima ikut menyahut.

"Did you Vier's ex-girlfriend? (Kau mantan pacar Vier?)" tanya Selena.

Vaya mengulas senyum penuh keprihatinan, ia masih berbincang dengan menggunakan bahasa Inggris yang kefasihannya masih di level seadanya.

"Begitulah, kami terlibat cinta terlarang selama di sekolah. Aku pernah mengandung anak Vier namun Vier menyuruhku untuk aborsi," kata Vaya dengan penuh sandiwara.

Ibe dan Mima terlihat mencoba menahan tawa.

"Itu tidak mungkin!" sergah Selena.

"Kalau kau tak percaya kau bisa menanyakan kebenarannya pada Vier!" tantang Vaya dengan penuh keyakinan. 

"Bukankah kau dengar sendiri bagaimana Vier mengejekku?" tanya Vaya lagi.

Selena memicingkan matanya, ia mendorong Vaya hingga Vaya nyaris terjatuh, dengan sigap Ibe menopang Vaya.

"Aku tidak percaya!" pekik Selena sambil meninggalkan toilet.

"Aku pun tak percaya, bahwa kau benar-benar jago bersandiwara, Vay!" Ibe kemudian tertawa terbahak-bahak.

"Sungguh mengagumkan! Wanita itu terlihat seperti waria yang dikejar Satpol PP!" tambah Mima.

"Dari mana kau belajar bersandiwara seperti itu?" tanya Ibe setengah mengejek.

"Mungkin aku cocok untuk ikut audisi bintang sinetron religi," kata Vaya seraya terkekeh geli.

"Apa tidak apa-apa kita mengerjai tunangannya Vier?" tanya Mima mulai ragu.

"Selera humor wanitanya Vier benar-benar buruk kalau sampai ia memercayainya," sahut Vaya enteng.

...*****...

003 - Kolam Renang

Selamat Membaca...

Vaya masih asyik bercerita dengan Ibe di pinggir kolam renang. Mima pamit sebentar untuk menjemput Joey dan Ruby dari pusat permainan.

Vaya dan Ibe memutuskan untuk duduk di pinggir kolam renang lantaran mereka terlalu jenuh untuk menghabiskan waktu di ruang acara.

Kolam renang menghadap langsung ke tempat pusat kebugaran, sehingga bisa terlihat para pengunjungnya. Otot-otot menyembul di balik baju olahraga yang dikenakan oleh para pengunjung pria berkulit bersih dan terlihat penuh pesona dengan keringat bercucuran.

"Tidakkah menurutmu mereka seksi, Vay?" tanya Ibe yang mencuri pandang kepada mereka.

"Yoran jauh lebih seksi," jawab Vaya.

"Vay, kau masih mengagumi Yoran hingga detik ini?" tanya Ibe terkejut.

"Menurutmu, apa coba alasanku untuk datang ke acara reuni ini kalau bukan karena Yoran?" tanya Vaya diplomatis.

"Ayolah, Vay, sepertinya kau harus bisa membuang obsesimu pada Yoran! Kau tidak akan pernah berkencan dengan orang lain jika kau masih terobsesi padanya," tandas Ibe.

"Be, kau tahu sendiri bahwa aku sudah lama bertobat untuk tidak memburu lelaki. Tapi begitu melihat Yoran seakan membangkitkan naluriku," keluh Vaya.

"Kau benar-benar sudah gila," Ibe mendorong bahu Vaya.

"Apa perlu aku berteriak memanggil Yoran ke sini? Yoran!" teriak Vaya sambil tertawa.

"Ada yang memanggilku?" sebuah suara menyahut panggilan Vaya.

Vaya merasa jantungnya berhenti berdetak. Ia merasa darahnya berhenti mengalir. Ia menoleh ke belakang, namun tak ada sosok yang memanggilnya. Begitu ia menoleh ke kiri, ia terperanjat, tubuhnya oleng dan limbung hingga akhirnya ia tercebur ke dalam kolam.

"Hahaha!"

Tawa kembali meledak memenuhi area kolam renang. Semua orang tertawa sambil menunjuk ke arah kolam.

Vaya merasa begitu malu, ingin rasanya ia menenggelamkan dirinya ke dasar kolam.

Yoran nampak kaget melihatnya. Vaya berusaha melangkah pelan-pelan menyusuri pinggir kolam renang. Ia bisa melihat Vier dan orang-orang itu menertawakannya.

Ibe mengulurkan tangannya lalu menarik tangan Vaya, Vaya tergugup saat tahu bahwa kemeja putih yang dipakainya nampak berubah transparan.

Yoran kemudian membuka jasnya dan menyampirkan di tubuh Vaya yang basah kuyup. Semua orang bersorak heboh.

"Aku minta maaf, aku tak bermaksud mengagetkanmu," kata Yoran.

Vaya hanya terdiam, namun dalam hatinya tentu saja ia sangat senang. Vier dan teman-temannya menghampiri Yoran sambil berciee-ciee heboh.

"Yoran, kau tak takut ya nanti diburu oleh si pemburu lelaki?" seruan Vier terdengar penuh dengan nada mengejek.

"Ayo, Yoran, pesta masih panjang!" ajak yang lain.

Yoran terlihat berat untuk meninggalkan Vaya, namun karena desakan teman-temannya, Yoran akhirnya pergi bersama mereka.

Vaya benar-benar berusaha untuk menahan emosinya, kepalanya bahkan sudah menyerupai cerobong asap kereta api saking geramnya terhadap Vier.

"Rasanya ingin kutenggelamkan saja si Vier itu! Mulutnya begitu jahat!" decak Ibe.

"Kalau mulutnya tidak jahat, dia bukan Vier!" sungut Vaya.

"Ayo kita cari tempat untuk mengeringkan dirimu, Vay," ajak Ibe.

"Ada apa ini?" tanya Mima tergopoh-gopoh sambil menggandeng dua anaknya menghampiri Vaya dan Ibe.

"Yoran," jawab Ibe.

"Bukan Vier?" tanya Mima keheranan.

Menurut Mima, orang yang akan begitu tega untuk mengerjai Vaya adalah Vier. Dalam benak Mima bahkan sudah muncul gambaran bahwa Vier mendorong Vaya hingga Vaya tercebur ke dalam kolam.

"Bagaimana mungkin seorang Yoran bisa begitu usil?" Mima masih tak percaya.

"Yoran tidak usil, Vaya saja yang begitu genit  panggil-panggil Yoran," celetuk Ibe.

"Maaf ya, aku tidak genit. Yoran saja yang mengagetkanku karena muncul seperti hantu," Vaya membela diri.

"Sudah, yuk, kita keringkan dulu tubuhmu, nanti kau bisa kena flu loh," ajak Ibe.

Vaya, Ibe, Mima dan kedua anaknya bergegas meninggalkan kolam renang. Vaya begitu basah kuyup menerobos ke arah pusat kebugaran.

Dengan bujuk rayu dan pesona Ibe, ia berhasil meminjam handuk dari salah satu pengunjung di pusat kebugaran itu. Mereka juga meminjam kamar mandi yang memiliki fasilitas sauna dan mandi uap.

Mima kembali menemui Vaya dan Ibe setelah membeli pakaian ganti di salah satu butik yang berada di pusat perbelanjaan.

Vaya memakai sebuah gaun berwarna hitam selutut berpotongan sederhana. Ibe memulaskan lipstik berwarna jingga kemerahan yang memberi rona segar pada wajah Vaya. Mima membantu Vaya mengeringkan rambutnya, sesekali mengawasi kedua anaknya yang tampak duduk tenang dengan gawai di tangan mereka.

"Siap kembali ke acara, Vay?" tanya Ibe.

"Sepertinya aku harus pamit, anak-anak sudah mulai lelah," kata Mima sambil menggendong Ruby.

"Baiklah, ini akan menjadi kencanku dengan Ibe," sahut Vaya.

"Oke, sampai jumpa, Mima," Vaya merangkul Mima.

"Sampai jumpa, Mim," Ibe gantian merangkul Mima.

"Sampai ketemu lagi, anak-anak," Vaya mengusap lembut rambut kedua anak Mima.

"Sampai nanti, Joe, Ruby," Ibe mencubit gemas pipi Ruby dan Joe.

Joe hanya mengangguk pelan sambil mengusap pipinya.

Usai berpamitan Vaya dan Ibe kembali ke ruang pertemuan. Semua mata memandang ke arah Vaya usai tersebar kabar bahwa ada seseorang yang tercebur di kolam renang.

Mungkin bisa dimaklumi jika yang tercebur adalah anak-anak, beda halnya jika kejadian ini dialami oleh orang dewasa. Berita-berita miring langsung merebak secepat api yang menyambar bahan bakar kendaraan bermotor.

Vaya menjadi pusat perhatian, ia merasa kikuk saat duduk kembali ke kursinya. Sekilas ia menatap sorot mata dingin milik Vier yang mengarah padanya.

Vaya merasa bahwa Selena pasti sudah mengadu pada Vier dan Vier akan mengamuk padanya.

Benar saja Vier tiba-tiba berjalan ke arahnya. 

Huh, benar kan, dia mau mengamuk! Pikir Vaya.

"Lima belas tahun berlalu dan kau masih tampak menyedihkan," celetuk Vier dengan tangan terlipat di depan dada.

Vaya dan Ibe berpura-pura tidak mendengar celetukan Vier. Vaya benar-benar tidak ingin berurusan dengan pria itu. 

"Aku heran mengapa kau masih berani memperlihatkan dirimu lagi," lanjut Vier dengan nada penuh ejekan.

Vaya merasa gusar dengan sikap dan perkataan Vier yang begitu mengintimidasi.

Vaya mencari-cari sosok Selena yang tak tampak bak ditelan bumi. Harusnya dengan penampilannya yang menyolok, wanita itu begitu mudah mencuri perhatian.

Vaya berdiri, ia menatap Vier yang terlihat meremehkannya.

"Uruslah urusanmu sendiri," kata Vaya sambil melotot tajam.

"Ayo kita pergi," ajak Vaya pada Ibe.

Keduanya bergegas meninggalkan Vier yang nampak salah tingkah seperti orang tengah dicampakkan kekasih.

"'Kau pikir siapa dirimu?" gumam Vier.

"Oh ya, kalian ada yang melihat tunanganku?" tanya Vier ke arah orang-orang yang mengamati di sekelilingnya.

Vier sudah menghubungi ponsel Selena, namun tidak dijawab. Ia juga sudah mencari namun keberadaan Selena bagai kapur barus yang menguap.

...*****...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!