NovelToon NovelToon

My Beautiful Blue Rain

Penglihatan

Hari masih pagi ketika Rainy menginjakkan kaki di pelataran parkir di sebuah RSJ tempat ia melaksanakan tugas prakteknya sebagai Residen Profesi Psikologi. Langit yang mencurahkan hujan deras sejak dini hari membuat udara terasa dingin. Rainy yang baru saja berlari menembus hujan, sedang sibuk mengibas-ngibaskan rambutnya yang basah sambil berjalan di koridor yang agak temaram, menuju ruangan supervisornya. Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat pemandangan yang mengganggu di hadapannya.

Tepat di depan ruangan yang ditujunya, seorang wanita muda sedang duduk tanpa suara. wanita itu duduk dengan punggung tegak dan kepala yang sedikit menunduk. Ia memakai sebuah gaun panjang berwarna kuning kecoklatan, atau mungkin putih namun telah sangat tua dan kotor sehingga berubah warna. Di atas kepalanya bertengger sebuah topi yang cukup lebar sehingga menutupi sebagian wajahnya. Rambut ikalnya terikat dalam sanggul mungil di tengkuknya dengan anak-anak rambut yang terjuntai di kedua sisi wajahnya dan sepasang sarung tangan tampak tergenggam di salah satu tangannya. Penampilan keseluruhannya mirip wanita dari jaman belanda sehingga membuat kening Rainy berkerut curiga. Melihatnya membuat bulu kuduk Rainy meremang.

Namun yang lebih aneh lagi adalah; tak jauh dari wanita itu, di sudut koridor yang sempit, seorang pria berpakaian pasien sedang meringkuk di lantai membelakangi wanita tersebut, layaknya seseorang yang sedang ketakutan. Rainy mengenalinya sebagai Musa, salah satu pasien yang sedang menjadi objek pelatihannya.

Rainy segera berlari ke arah pria tersebut dan berusaha untuk membantunya agar bangkit dari posisi meringkuknya di lantai. Namun Musa malah meringkuk makin dalam. Ia berusaha keras menyembunyikan kepalanya, layaknya burung unta sedang menggali tanah untuk memasukkan kepalanya.

"Musa, ada apa? Mengapa kau begini? Bangunlah." pinta Rainy. Tapi Musa hanya menggeleng kuat-kuat. Kepalanya menempel semakin kuat ke lantai yang dingin dan kotor.

"Tidak! Tidak! Pergi! Jangan ganggu aku!" Racau Musa.

"Musa, tidak apa-apa. Semuanya baik-baik saja. bangunlah! Tidak akan ada yang menyakitimu!" Kali ini ketika Rainy menariknya, Musa mengangkat kepalanya dari lantai dan menoleh ke belakangnya, ke arah si wanita yang masih duduk tak bergerak di tempatnya semula. Begitu pandangannya menyapu ke arah wanita tersebut, Musa langsung menjerit dengan tubuh bergetar hebat. Dengan segera ia kembali menyurukkan kepalanya ke lantai.

"Bohong! Bohong! Kamu pembohong! Dia ada disana! Dia masih disana!" cecar Musa dengan panik.

"Siapa Musa? Siapa yang menakutimu?" Tanya Rainy yang mencoba memahami apa yang sedang terjadi dengan Musa. Musa adalah penderita Skizofrenia dan halusinasi adalah hal yang biasa dialaminya. Rainy menduga Musa sedang berada dalam salah satu episode skizofrenianya.

Tiba-tiba sebelah tangan musa menarik kerah baju Rainy dan memaksanya mendekat. Rainy harus menahan pekikan yang nyaris keluar dari mulutnya karena terkejut, terutama saat wajah kotor pria itu berada begitu dekat dengan wajahnya. Bau mulutnya yang tidak menyenangkan menguar setiap kali ia membuka mulutnya, membuat Rainy memaksa diri untuk menghentikan kerja indra penciumannya. Rainy berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Musa, namun pria itu terlalu kuat.

"Wanita itu! Dia sedang duduk disana!" Desis Musa. Teror yang mengganggunya terdengar jelas dalam suaranya.

"Dia? Wanita itu? Maksudmu wanita yang memakai topi itu?" Tanya Rainy. Musa terdiam sesaat, seolah terkejut pada pertanyaan ini.

"Kau juga melihatnya?" Tanya Musa, setengah berbisik.

"Tentu saja." Rainy mengangguk.

Jawaban itu tampak membuat Musa terpaku. Tubuhnya yang sedari tadi bergetar hebat pelan-pelan menjadi lebih tenang.

"Tapi itu tidak mungkin..."

Belum sempat Musa menyelesaikan kalimatnya, sebuah suara nyaring terdengar memanggil namanya.

"Musa! Kau tidak apa-apa?" Seorang pria berseragam perawat bergegas mendekat. Di belakangnya, supervisor Rainy berjalan mengikuti. Ketika si Perawat langsung memeriksa keadaan Musa, sang Supervisor bertanya pada Rainy.

"Ada apa?"

"Saya menemukannya sudah dalam keadaan meringkuk di lantai." Sambil berbicara, Rainy memandang ke arah si wanita yang anehnya masih duduk tegak tak bergeming di tempatnya.

"Ia sepertinya ketakutan karena melihat wanita..." kalimat Rainy terputus ketika ia melihat wanita itu tiba-tiba mengangkat kepalanya dan menoleh padanya.  Wajah wanita itu pucat pasi dan bibirnya membiru. Di wajah yang tadinya tersembunyi oleh topinya, tampak sebuah luka besar menganga sehingga memperlihatkan tulang yang ada di dalamnya, dan tempat dimana seharusnya mata wanita itu berada yang terlihat hanya 2 lubang hitam yang kosong. Nafas Rainy tercekat di tenggorokan ketika bibir si wanita mengembang perlahan menyunggingkan senyum yang sangat menyeramkan.

"Rainy? Ada apa?" Tanya supervisornya yang terheran-heran pada ekspresi terkejut di wajah Rainy. Mengendalikan dirinya, Rainy mengalihkan tatapannya pada Supervisornya.

"Musa terkejut karena melihat seorang wanita mengenakan topi dan pakaian dari jaman belanda sedang duduk di kursi itu." Rainy menunjuk kearah kursi tempat wanita tersebut berada, namun matanya difokuskan untuk memperhatikan ekspresi supervisornya. Sayangnya sang supervisor hanya mengangguk dan tampak antusias untuk mendengarkan cerita Rainy; sama sekali tidak menaruh perhatian pada wanita tersebut atau menoleh ke arah tempat wanita tersebut duduk, seolah-olah ia tidak melihatnya.

"Dia menceritakan sebanyak itu? Itu pertama kalinya dia mau menceritakan tentang halusinasinya sedetail itu." Komentar sang supervisor.

Namun tiba-tiba, Musa yang sudah tidak lagi gemetar atau meringkuk di lantai, berjalan mendekati Rainy dengan ekspresi tertarik. Ia mencengkeram lengan-lengan Rainy kuat-kuat, membuat gadis itu meringis kesakitan.

"Aku tidak pernah memberitahumu sebanyak itu. Darimana kau tahu?" Bisiknya pada Rainy. Mata pria itu berkilau dengan ketertarikan, membuat Rainy harus berusaha keras untuk mengendalikan kakinya yang terasa goyah. Untungnya Rainy tak harus menjawabnya karena si perawat segera menarik dan menyeret Musa untuk kembali ke ruangannya.

Rainy menggosok  lengannya yang sakit sementara ia memandang sosok Musa yang menjauh. Sepanjang perjalanan menyusuri koridor menuju pintu keluar, Musa terus membalikkan separuh tubuhnya untuk menoleh dan memandangi Rainy. Sementara itu di kursi tak jauh darinya, wanita tersebut masih duduk di sana, juga memandang Rainy melalui rongga matanya yang kosong, dengan senyum menyeramkan di wajahnya.

Rainy menyadari bahwa apabila ia dapat melihat halusinasi yang sama dengan yang dapat dilihat Musa, maka apa yang mereka lihat bersama itu sama sekali bukanlah sebuah halusinasi. Namun bagaimana bisa?

Keeesokan harinya setelah melaksanakan tugas prakteknya, Rainy bergegas menuju ruangan tempat Musa dirawat. Ketika Rainy membuka pintu kamar Musa, setelah terlebih dahulu mengetuknya, ia menemukan pria itu sudah duduk di depan meja yang biasanya mereka gunakan untuk berbicara setiap kali Rainy mengunjunginya.

"Aku sudah menunggumu." Sapa Musa. Tenggorokan Rainy terasa tercekat. Meneguhkan hati, ia melangkah masuk. Rainy menatap Musa dengan heran karena ia tampak berbeda dari biasanya.

Musa yang biasanya selalu tampak sedikit kotor, dengan baju yang kusut, rambut yang gondrong dan wajah yang selalu menunduk, seolah-olah takut untuk melihat dunia di sekitarnya. Ia selalu menarik diri dan enggan berbicara. Biasanya diperlukan waktu yang lama bagi Rainy untuk bisa memancing percakapan darinya. Namun Musa yang menyapanya hari itu adalah Musa yang sama sekali berbeda.

Seragam rumah sakit yang dikenakannya tampak bersih dan rapi. Ia juga tampak baru habis mandi dan rambutnya telah dipangkas habis, tak menyisakan sehelai rambutpun. Wajahnya tampak segar dan bola matanya berkilat hidup. Musa yang saat itu duduk dihadapannya bukan lagi Musa yang penderita gangguan mental. Pria itu tampak berpikiran jernih dan antusias.

Rainy menarik kursi di depannya dan duduk dengan meletakkan kedua tangannya di atas pangkuannya. Dengan terang-terangan ia mengamati Musa, mencoba melihat sedikit saja petunjuk bahwa pria di hadapannya itu adalah pria yang sama dengan pria yang ditemukannya meringkuk di lantai kemarin pagi. Tampak menyadari makna tatapan Rainy, Musa tersenyum lebar. Senyum yang membuat Rainy tersadar betapa tampannya pria di hadapannya itu ketika gangguan mental tidak sedang menutupi pikirannya.

"Apa yang ingin kau tanyakan padaku?" Tanya Rainy tenang. Musa mencodongkan tubuhnya ke arah Rainy dan menatapnya dengan ekspresi ketertarikan yang kuat. Bukan pada Rainy sebagai seorang wanita, tapi kepada apa yang 'bisa' dilihat Rainy.

"Aku tidak pernah mengungkapkan apa yang kulihat kemarin sebanyak kau ceritakan. Bagaimana kau bisa tahu?" Rainy tak bergeming. Ekspresi wajahnya dingin dan tampak tak terpengaruh. Bukannya menjawab, Rainy malah berkata,

"Katakan padaku apa yang kau lihat kemarin."

Musa menyandarkan kembali tubuhnya ke kursi. Bibirnya berkerut sesaat sebelum kemudian Musa menjawab dengan suara yang pelan, namun penuh keyakinan.

"Aku melihat seorang wanita mengenakan pakaian dari jaman belanda. Sebuah gaun panjang yang warnanya kuning kecoklatan karena kotor. Ia mengenakan sebuah topi di kepalanya yang apabila ia menunduk, menutupi sebagian wajahnya. Namun bila mengangkat kepala, kau bisa melihat luka besar mengotori sebelah pipinya dan rongga matanya kosong tanpa bola mata."

Rainy mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, berusaha menghentikan getaran yang dimulai dari tulang punggungnya dan menjalar hingga ke ujung jarinya. Tubuhnya bagai disiram oleh air dingin dan wajahnya mulai memucat.

"Apakah kau melihat apa yang aku lihat?" Tanya Musa. Rainy tidak menjawabnya, namun pias wajahnya sudah merupakan jawaban yang dibutuhkan oleh Musa. Senyum di bibir pria itu kembali mengembang ketika ia kembali mencondongkan tubuhnya ke arah Rainy.

"Kau takut? Jangan khawatir, seperti yang selalu kau katakan padaku, mereka hanya tampak menakutkan, namun tidak sungguh-sungguh mampu melukai kita." Ucap Musa.

Tapi bukannya menjawab, Rainy malah kembali bertanya,

"Dan sekarang... apa yang kau lihat di ruangan ini?"

Musa terdiam sesaat sebelum menjawab,

"Aku melihat dirimu."

"Apalagi?"

Musa kembali tersenyum dengan senyum yang tampak mengerikan di mata Rainy. Ia berdecak pelan sebelum kemudian bertanya,

"Yang mana yang kau ingin aku deskripsikan?"

Musa menoleh perlahan ke sebelah kirinya sebelum berkata,

"Apakah... laki-laki tua berbau busuk yang duduk di ujung kursi ini..."

Musa lalu menoleh kembali ke arah Rainy, namun matanya menatap lurus ke balik punggung Rainy,

"Atau... laki-laki yang berdiri begitu dekat dengan punggungmu itu..." ucapnya perlahan.

"Menarik. Dia melihatku sebagai seorang laki-laki..." Sebuah suara tawa menggoda berdenting di telinga Rainy. Namun Rainy terlalu terbius dengan apa yang sedang diungkapkan Musa padanya sehingga mengabaikan suara tersebut.

"Atau wanita yang tergantung di langit-langit ini..." Musa menoleh keatas mereka,

"yang sejak tadi berusaha menyerang kita dengan rambutnya."

Rainy mendongak dan bertatapan dengan sepasang mata merah yang menyala pada sosok hitam yang tampak menyerupai seorang wanita dalam posisi menggantung terbalik di langit-langit. Itu adalah kali pertama Rainy terpaksa mengakui pada dirinya sendiri bahwa ia memang sungguh-sungguh bisa melihat apa yang yang tak mampu dilihat oleh orang lain.

Copyright @FreyaCesare

Pulangnya Sang Putri Mahkota

Malam itu pukul 20.30 wita. Hujan sedang tercurah dari langit. Tidak deras, tapi cukup untuk menurunkan suhu malam sehingga hampir semua orang memilih untuk berlindung dalam rumah masing-masing yang hangat ketimbang berada di luar rumah yang dingin. Di sebuah jalan alternatif yang lenggang dari kendaraan bermotor, seorang gadis berjalan tenang sambil memegang sebuah payung hitam yang cukup besar untuk menaungi 2 orang. Jalanan yang basah meredam suara sepatunya dan malam yang gelap membuat ia tampak bagai hantu yang bergerak pelan tanpa suara, terutama karena wajahnya yang pucat dan tumbuh rampingnya yang dibalut gaun midi berwarna gelap. Gadis itu terus berjalan selama 10 menit, sebelum akhirnya berbelok memasuki sebuah jalan pribadi menuju ke sebuah rumah mewah berwarna putih yang terang benderang. Halaman luas rumah tersebut sudah dipenuhi oleh mobil yang berjajar rapi dan seorang wanita tampak berdiri bersandar di depan pintu masuk rumah.

Wanita itu luar biasa cantik. Tubuhnya tinggi langsing dengan dada dan pinggul yang berisi dan warna kulit yang terang. Sepanjang hidupnya gadis itu belum pernah berjumpa dengan wanita yang lebih cantik dari wanita di hadapannya ini. Saat melihat gadis itu, senyum langsung merekah di wajah si wanita, membuatnya semakin bertambah jelita. Namun si gadis bersikap seolah ia tidak melihatnya, membuat si wanita memutuskan untuk berdiri tepat di hadapannya, menghalangi si gadis untuk terus berjalan.

"Akhirnya kau pulang. Selamat datang kembali ke rumah, Rainy." Sambutnya. Suaranya bagai suara bel angin, begitu halus dan hangat. Namun kehangatannya tidak mampu menyentuh hati Rainy yang dingin. Ia mengangkat wajahnya dan menatap si wanita dengan tanpa ekspresi.

"Minggir!" Perintahnya. Bukannya menurut, si wanita malah menggelengkan kepala dan menyandarkan tubuhnya ke pintu di belakangnya.

"Biarkan aku melihatmu terlebih dahulu." Ucapnya. "Terakhir kali aku melihatmu dengan jelas, kau masih mengenakan pakaian putih abu-abu dan selalu penuh senyum. Mengapa sekarang kau terlihat dingin sekali? Apakah selama jauh dariku kau sudah lupa caranya tersenyum?" Komentarnya.

"Bukan urusanmu. Dan bukankah kau baru bertemu denganku kemarin?" Jawab Rainy lagi dengan ketus.

"Itu berbeda." Wanita itu perlahan berjalan mendekat. "Mengirimkan bagian dari diriku untuk menggodamu sangat berbeda dengan berdiri tepat di hadapanmu  hingga aku dapat..." Wanita itu telah berdiri sangat dekat dengan Rainy. Ia memiringkan wajahnya ke arah Rainy, lalu menghirup dalam-dalam.  "...merasakan hembusan nafas hangatmu, dan aromamu..." Rainy mundur selangkah dan selangkah lagi.

"Ah, ayolah! Aku tidak akan menggigitmu!" seloroh si wanita.

"Mengapa kau tidak pergi saja ke Neraka?!" Kutuk Rainy.

"Pemarah. Mirip sekali dengan kakekmu. Cute!" Wanita itu mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum menggoda.  "Tapi sayang, pergi ke Neraka? Aku sudah pernah kesana dan disana tidak menyenangkan... karena kau tak ada disana bersamaku."

"Menyingkir dari pintu, Iblis! Aku tidak punya waktu untukmu!" Rainy menggeram marah. Si wanita mengangkat kedua tangannya dan menepi untuk mempersilakan Rainy memasuki rumah. Senyum masih menghiasi bibirnya dengan indah.

Rainy menarik pintu terbuka, namun ketika ia hendak melewatinya untuk memasuki rumah, suara wanita itu yang berubah 80 derajat lebih dingin dari suaranya sebelumnya menghentikan langkahnya.

"Ingatlah; dia juga sudah tidak punya waktu lagi. Memilihlah dengan benar." Walau sempat tertegun sesaat, Rainy kembali melangkah dan membanting pintu di belakangnya, meninggalkan si wanita berdiri seorang diri di luar. Si wanita bersidekap dan kembali menyandarkan diri ke pintu. Matanya memandang hujan yang masih turun diluar, namun tak sungguh-sungguh melihatnya. Malam ini mungkin akan jadi malam terpanjang bagi mereka semua di rumah ini.

***

Rainy berjalan masuk semakin dalam ke dalam rumah. Di setiap ruangan yang ia lewati, ia bertemu dengan anggota keluarganya satu demi satu. Paman-pamannya, bibi-bibinya, anak-anak mereka, tampaknya semuanya telah berkumpul di rumah itu, dan semuanya memasang wajah gelisah dan tidak puas. Rainy sangat tahu apa yang sedang berkecamuk di benak mereka. Oh, ayolah! Semua orang di tempat itu sangat memahami apa yang sedang bergejolak dalam pikiran satu sama lainnya karena masalah ini telah menjadi perdebatan selama bertahun-tahun di antara mereka. Namun malam ini mungkin adalah malam penentuan. Setelah malam ini berakhir, mungkin tidak ada satupun yang bisa merubah keputusan yang diambil karena keputusan itu bagaikan aksara yang terukir di atas batu, tidak akan dapat dihapuskan. Dan pada detik-detik terakhir ini, hanya Rainy yang bisa membuat perubahan pada hasil keputusan itu. Hanya Rainy! Tentu saja hal ini membuat mereka semua tidak puas. Ketidak puasan itu tergambar jelas di wajah mereka dan dalam tatapan mereka yang sengit.

Tanpa memperdulikan semuanya, Rainy terus berjalan masuk semakin jauh ke dalam rumah. Langkahnya membawanya ke sebuah ruang keluarga mungil dimana ia menemukan ibu dan ayahnya yang sedang duduk di sofa dengan raut wajah cemas. Begitu melihat Rainy, mereka langsung berdiri untuk menyambutnya. Ibunya meraih tangannya dan mengusap rambutnya yang basah.

"Kau dari mana  saja? Kenapa hujan-hujanan begini? Bagaimana kalau kau sakit?" Tanya Ibunya dengan khawatir.

"Aku tidak apa-apa, ibu. Jangan khawatir." Sahut Rainy. Ia menoleh pada ayahnya dan bertanya,

"Apakah dia masih bangun?" Ayahnya mengangguk.

"Dia telah menunggumu sejak tadi. Pergilah dan temui dia." Suruh ayahnya. Rainy mengangguk, melepaskan tangan ibunya sambil tersenyum dan berjalan menuju ke sebuah pintu besar berwarna putih.

Ketika pintu terbuka, Rainy disuguhi pemandangan sebuah kamar yang luas dengan perabotan mewah bernuansa modern. Suhu kamar di ruangan itu sangat hangat dan berbau obat-obatan. Tepat di tengah-tengah kamar terdapat sebuah king size bed yang tampak empuk dan mengundang. Di samping tempat tidur itu seorang pria muda duduk di sebuah kursi dan di atas tempat tidur, seorang wanita tua berbaring berselimutkan selimut tebal.

Melihatnya, si pria muda bangkit berdiri dan bergeser menjauh dari kursi. Ia menganggukkan kepala dengan hormat kepada Rainy. Raka Ranggabumi, salah satu asisten pribadi neneknya. Pria itu mengenakan setelan kerja formal dan sarung tangan tipis sewarna kulit membungkus tangannya.

"Rainy, selamat datang kembali." Sapa Raka dengan hormat. Melihat perilaku pria muda itu, Rainy menarik nafas panjang sesaat, sebelum terus berjalan memasuki kamar. Ia melangkah menuju sisi tempat tidur dimana Raka berada. Awalnya matanya masih menatap lurus ke arah Raka, namun karena yang ia tatap terus saja menundukan kepala, Rainy mengalihkan perhatiannya pada sosok yang sedang berbaring di atas tempat tidur.

Di sana berbaring seorang wanita tua renta yang tampak sangat lemah. Wajahnya yang dipenuhi garis-garis keriput menyisakan kecantikan yang masih terukir nyata. Rambutnya yang seluruhnya telah memutih dan dipotong pendek sampai di atas bahunya, tersebar di atas bantal disekitar kepala mungilnya. Tubuh itu sangat kurus dan pucat. Waktunya tidak lama lagi, Rainy bisa melihatnya dengan jelas.

"Rainy." Sapa wanita tua itu lirih sambil mengangkat sebelah tangannya, tampak ingin menyentuh Rainy.

Rainy langsung menyambut tangan tersebut dan duduk di atas kursi yang tadi ditempati Raka. Bibir Rainy menyunggingkan senyum dan hatinya dipenuhi oleh rasa sayang yang sangat besar bagi wanita tua tersebut.

"Nini, aku pulang." Sapanya. Ia menunduk dan mencium lembut pipi si wanita sementara wanita yang dipanggilnya nenek itu memejamkan matanya, menikmati kasih sayang tulus dari cucu kesayangannya. Ia baru membuka matanya ketika Rainy menegakkan kembali tubuhnya.

"Syukurlah kau sudah pulang. Aku sangat merindukanmu." Bisik wanita itu.

"Maaf, Nini. Seharusnya aku pulang lebih cepat. Maafkan aku." Mata Rainy menjadi berkaca-kaca melihat betapa lemah dan lelahnya neneknya. Neneknya yang merupakan wanita pengusaha dengan reputasi tangan besi dan hati baja, biasanya selalu tampak enerjik dan penuh gairah hidup. Namun malam ini, semua semangat hidupnya tampak telah merembes keluar dari dalam tubuhnya; membuat ia terlihat menjadi semakin kecil dan kurus.

"Tidak apa-apa… tidak apa-apa. Yang penting sekarang kau sudah ada disini." ucap neneknya sambil menepuk pipi Rainy dengan lembut.

"Bagaimana keadaanmu?" Tanya Rainy pelan, tak urung berharap bisa mendengar jawaban yang berbeda dari tampilan yang terlihat di depan matanya saat ini. Namun neneknya tampak tidak punya niat untuk menenangkan hati cucunya karena ia berkata;

"Buruk. Kau tahu kan bahwa sudah sekian tahun ini kondisiku tidak pernah membaik. Namun malam ini adalah yang paling buruk." Jawab neneknya dengan tenang. Air mata yang tadi masih ditahan Rainy, mulai mengalir pelan menuruni bukit pipinya. Ia menangis tanpa suara.

"Ah, cucu kecilku yang malang. Ninimu ini tak pernah berniat untuk meninggalkanmu sendirian sebelum kau benar-benar siap… tapi  maafkan aku… sepertinya tubuh tua ini sudah tidak sanggup lagi." Ucap sang nenek dengan lirih.

"Kalau kau tidak ada, bagaimana aku bisa menghadapi semuanya?" Tanya Rainy, menyuarakan rasa takutnya.

"Kau bisa! Kau pasti bisa! Karena dalam keluarga ini hanya engkaulah yang mewarisi kemampuan kakekmu… Dalam keluarga ini hanya engkaulah yang berhak mewarisi semua yang ditinggalkan oleh kakekmu…. Tugasku hanyalah menggantikannya sementara saja sampai kau siap. Tapi aku sudah sangat lelah. Jadi... Rainy... Ijinkan aku beristirahat. ya? Aku ingin bertemu lagi dengan suamiku… Aku sangat merindukannya…" Pinta neneknya menghiba, membuat air mata Rainy mengalir makin deras.

"Tapi aku takut…" Bibir Rainy bergetar menahan sedu sedannya.

"Jangan takut… Jangan takut... kau tidak sendiri… aku meninggalkan semua tangan kanan… dan kiriku… untuk membantumu… Mereka akan menjadi pemandumu… lalu… ada dia… dia yang sejak awal… hanya memilihmu… dia pasti akan menopangmu… dan mengajarimu… semua yang engkau perlukan… untuk menempati tempat yang merupakan… merupakan hakmu…" Suara wanita tua itu makin terbata seiring dengan semakin lemahnya tubuh rentanya.

"Cucuku yang malang… aku ingin bisa… tinggal lebih lama… dan mengajarimu semuanya… tapi… kau sudah membuatku… menunggu terlalu lama…" begitu sang nenek menyelesaikan kalimatnya, matanya tertutup.

"Nini!" Rainy memanggilnya panik, tapi sepasang tangan menarik tubuhnya perlahan dan menuntunnya untuk bangkit dari kursi dan menjauhi sisi ranjang. Tempatnya langsung digantikan oleh seorang dokter setengah baya yang langsung bertindak untuk memeriksa wanita tua itu. Rainy membiarkan tubuhnya ditarik masuk dalam pelukan Raka yang sejak tadi terus berdiri di belakangnya, namun matanya tidak pernah beralih dari wajah neneknya.

Nafas Rainy tercekat di tenggorokan dan ia tidak berani mengeluarkan suara. Tangan-tangannya tanpa sadar mencengkeram tangan-tangan yang memeluknya dari belakang dengan erat, seolah mencari kekuatan dari pemilik tangan tersebut. Otaknya tak mampu berpikir dan hanya diam menunggu. Ketika kemudian dokter tersebut selesai memeriksa neneknya dan berdiri dari kursi untuk berbalik dan berbicara kepadanya, Rainy makin menguatkan cengkeramannya.

"Nenek anda jatuh tertidur. Ia hanya kelelahan karena banyak bicara dan terlalu emosi." Jelas sang Dokter. Rainy melepaskan nafasnya kencang, merasa begitu lega karena yang ditakutkannya belum terjadi.

"Apakah ia akan baik-baik saja?" Tanya Rainy lagi. Dokter tersebut terdiam sesaat sebelum

menjawabnya dengan tenang,

"Saya rasa anda juga menyadari bahwa kondisi nenek anda sudah sangat lemah. Saat ini kondisinya masih stabil. Namun saya harap anda sekeluarga bisa mempersiapkan hati untuk menghadapi yang terburuk malam ini." Mendengarnya, Rainy nyaris terjungkal andai saja ia tidak sedang berada dalam pelukan Raka. Tubuhnya terasa lemah dan kehilangan tenaga. Ia hanya bisa bersandar lemas sebelum tubuhnya diputar dan ditarik masuk lebih dalam ke dalam pelukan Raka.

"Tidak apa-apa." Didengarnya suara maskulin mengalir dari mulut Raka. Suara yang sangat dikenalnya, suara yang selama beberapa tahun terus mengisi hari-harinya.

"Menangislah kalau kau ingin menangis, Rainy. Tidak apa-apa. Aku ada disini. Aku akan menemanimu." Bujuk Raka lembut. Mendengar rayuan ini, air mata Rainy yang sedari tadi sudah membasahi wajahnya, turun semakin deras.

Copyright @FreyaCesare

Siapa Yang Lebih Merugikan?

Waktu yang berlalu terasa begitu lambat. Rainy terus berjaga sepanjang malam di sisi ranjang neneknya dengan Raka terus berada di sekitarnya, menemaninya dalam diam.

Sesekali anggota keluarganya masuk bergantian, namun tak seorangpun yang tinggal lama. Yang mereka harapkan bukanlah perpanjangan waktu, tapi akhir yang segera datang. Selama wanita tua itu masih hidup, maka tidak ada seorangpun yang bisa menyentuh wasiat yang telah dibuat sejak kakek Rainy masih hidup. Namun begitu wanita tua itu meninggal, maka mereka akan bisa mengerahkan segala daya upaya untuk mengubah hasil akhir dari perebutan warisan keluarga ini. Bagi mereka, nyawa orangtua tidak lagi penting, tapi harta dan kekuasaanlah yang lebih berharga.

Rainy sangat memahami semua ini. Ia telah menerima berbagai tekanan dari keluarganya sejak surat wasiat kakeknya dibacakan sehari setelah kakeknya meninggalkan dunia ini,  10 tahun yang lalu. Waktu itu Rainy masih berusia 12 tahun, terlalu belia untuk memegang tampuk pimpinan dalam keluarga. Karena itulah kedudukannya diwakilkan kepada neneknya.

Sudah sejak Rainy lulus SMA, neneknya menyuruhnya untuk memulai pelatihannya untuk menjadi pemimpin keluarga. Namun Rainy menolaknya. Ia memilih mengejar pendidikannya dan menjalani hidup yang bebas dari tekanan keluarganya. Namun saat ini Rainy tahu bahwa ia sudah tidak punya lagi alasan untuk menolak warisannya, bahkan ketika ia berharap ada cara lain baginya untuk hidup.

Sejak saat ia menerima kenyataan mengenai siapa dirinya yang sesungguhnya, sejak itu sudah tidak ada lagi jalan baginya untuk kembali. Begitu neneknya menutup mata untuk terakhir kalinya, maka seluruh kekuasaan neneknya akan langsung jatuh ke tangannya. Dengan seluruh kekuasaan atas perusahaan, koneksi, properti dan investasi sepenuhnya berada di tangannya, Rainy tidak akan terkejut jika suatu saat ia menemukan racun dalam makanannya, atau ular di atas tempat tidurnya, karena hal itu pernah terjadi sebelumnya.

Rainy sangat benci ular dan seluruh anggota keluarga tahu itu. Salah satu sepupunya memelihara beberapa ekor ular. Saat masih kanak-kanak, sepupunya itu seringkali menakut-nakutinya sampai Rainy menangis dan menjerit-jerit. Lalu kemudian pada akhirnya ia mengalami fobia pada ular. Setelah Rainy ditetapkan sebagai pewaris, Rainy pernah 3 kali menemukan ular di ranjangnya yang menyebabkan Rainy jatuh pingsan karena ketakutan. Sejak itu Neneknya mengusir semua ular keluar dari rumah itu, beserta pemiliknya.

Rainy berdiri di depan jendela, mengamati mentari pagi yang terbit dari ufuk timur. Ia merasa sangat lelah. Neneknya sempat 3 kali terbangun semalam, namun dengan cepat tertidur lagi. Sepertinya waktu akhir sudah sangat dekat karena saat ini Rainy melihat wanita yang menyambutnya di teras semalam sudah berjaga di sisi neneknya. Rainy menatapnya sengit, namun wanita itu hanya tersenyum menggoda seperti biasanya dan tampak tak berminat berbicara pada Rainy.

Tepat jam 8 pagi, Adnan, putra tertua neneknya memasuki kamar untuk memanggilnya.

"Rainy, kemari! Ada yang harus kita bicarakan." Rainy berpandangan dengan Raka sesaat sebelum ia mematuhi panggilan dari pamannya dan beranjak keluar kamar dengan Raka mengikuti di belakangnya.

Mereka mengikuti Adnan sampai ke perpustakaan, namun ketika hendak memasuki perpustakaan, Adnan menghalangi Raka untuk masuk.

"Ini pertemuan keluarga. Kau tak boleh masuk." tegas Adnan dengan ekspresi menyeramkan. Namun Raka tidak bergeming. Bertahun-tahun bekerja sebagai Asisten nenek Rainy membuat Raka imun pada berbagai sikap buruk anggota keluarga tersebut.

"He is my legal advisor. Dia boleh berada dimanapun aku menginginkan dia berada." Sanggah Rainy. Kalimatnya ini kontan membuat Raka terkejut. Selama beberapa tahun ini Rainy sama sekali tidak mau bicara atau bahkan melihatnya, namun tiba-tiba ia menunjuk Raka sebagai legal advisornya?

"Ah, belum-belum sudah berlagak kamu ya? Mengapa perlu membawa Legal Advisor ke pertemuan keluarga?" cela pamannya. Sebelah bibir Rainy naik membentuk senyum sinis.

"Apakah Ulak lebih suka kalau aku membawa bodyguard? Siapa tahu ada yang diam-diam menaruh ular di kursiku lagi seperti waktu itu." sahut Rainy yang mengakibatkan ekspresi Adnan berubah semakin mengerikan karena marah.

"Kau...!!!" belum sampat Adnan meneruskan kalimatnya, Rainy sudah berjalan melewatinya untuk membuka pintu perpustakaan, sepenuhnya mengabaikannya. Di dalam perpustakaan ia melihat hampir seluruh anggota keluarganya sudah berkumpul menunggu mereka, termasuk orangtuanya yang duduk dengan wajah khawatir. Rainy berjalan menghampiri orangtuanya dengan Raka mengikuti di belakangnya.

Rainy duduk di sebelah ayahnya, sedangkan Raka mengambil tempat di sebelahnya. Tatapan Rainy menyapu ke penjuru ruangan, menyadari bahwa untuk pertama kalinya semenjak kakeknya meninggal, seluruh anggota keluarga berada dalam 1 ruangan yang sama.

Neneknya punya 4 orang anak, 3 anak laki-laki dan 1 anak perempuan. Ayah Rainy adalah si bungsu dalam keluarga dan kecuali ayahnya, semua saudaranya memegang jabatan penting di perusahaan sebagai anggota dewan direksi. Sementara Ayah Rainy memilih meninggalkan usaha keluarga dan bekerja sebagai seorang dosen di sebuah universitas swasta. Ketiga saudara ayahnya diakui sebagai orang yang memiliki kemampuan dan telah berhasil meningkatkan kejayaan perusahaan menjadi berlipat ganda. Namun Tak seorangpun diberi hak oleh kakek maupun neneknya untuk menjadi Direktur utama perusahaan. Sementara itu sebagian kursi dewan direksi diserahkan kepada profesional dibawah pengawasan langsung dari neneknya selaku Direktur Utama. Tak satupun dari sepupu-sepupu Rainy diberi kesempatan untuk melibatkan diri dalam pengelolaan perusahaan induk dan disebar untuk memimpin anak-anak perusahaan. Dan sekarang, saat neneknya sedang di ambang maut, keempat saudara ayahnya dengan khusus memanggil Rainy dalam pertemuan keluarga. Tak perlu menebak-nebak, Rainy telah tahu alasannya.

"Rainy, bagaimana dengan kuliahmu? Kudengar kau baru saja drop out? Sungguh memalukan sekali!" Tanya Adnan dengan wajah sinis. Mulut Rainy langsung terbuka mengeluarkan suara tertawa kecil karena takjub.

"Ah! Luar biasa! Aku baru saja mengajukannya kemarin dan bahkan belum sempat memberitahukan Papa dan Mama, tapi Ulak sudah tahu? Mata-mata Ulak sungguh luar biasa! Apalagi yang dia informasikan tentang aku? Jangan-jangan Ulak juga tahu berapa jumlah pembalut yang kusimpan di dalam lemariku." Seloroh Rainy sambil tertawa mengejek membuat wajah Adnan memerah karena malu. Dengan marah ia berteriak,

"Kurang ajar! Begini caramu bicara pada orang yang lebih tua? Ardi, coba lihat putrimu itu! Beraninya dia..." Namun belum sempat Adnan menyelesaikan kalimatnya, Ardi, ayah Rainy membantahnya tegas.

"Dia melakukan hal yang benar! Dia anakku! Apa hakmu mencela dan memata-matainya?! Apa hakmu menghinanya?" Ucap Ardi geram. Ardi adalah pribadi yang pendiam dan cinta damai. Selama ini lebih suka mengalah pada saudara-saudaranya. Itu sebabnya perilakunya kali ini membuat hati Rainy terasa hangat. Ayahnya membelanya! Tentu saja! Dia adalah anak Ayahnya satu-satunya!

"Tapi dia adalah anggota keluarga ini dan menjaga nama baik keluarga ini merupakan tanggung semua anggota keluarga. Belum lagi ia kuliah dengan biaya yang datang dari hasil perusahaan keluarga ini, jadi bukankah sudah seharusnya ia mempertanggung jawabkan penggunaan uang tersebut?" Sanggah Adnan dengan keras kepala.

Mendengar kata-katanya, Rainy kembali tertawa geli.

Rainy menyapukan pandangan ke penjuru ruangan sebelum tatapannya jatuh pada Putra sulung Adnan, Hendrik. Hendrik adalah sepupu tertuanya. Ia diserahi tanggung jawab untuk menjalankan sebuah anak perusahaan yang bergerak di bidang teknologi. Melihatnya duduk di kursinya dengan wajah jumawa karena merasa ayahnya telah berhasil menyudutkan Rainy membuat Rainy tersenyum. Sambil menatap lurus pada sepupunya, Rainy berkata,

"Raka, sepanjang tahun ini, sudah berapa keuntungan yang dihasilkan oleh Hendrik?"

Mendengar pertanyaan ini, wajah Hendrik langsung memucat.

"Hei! Kau mau apa?" Tanya Hendrik khawatir. Dengan bantuan Tab di tangannya, Raka memeriksa file Hendrik.

"Untuk tahun ini : zero." Sahut Raka beberapa saat kemudian.

"Kwartal pertama belum habis! Masih terlalu dini untuk mengukur keberhasilan kinerjaku pada saat ini! Proyek yang menghasilkan baru akan menunjukan hasil di kwartal kedua!" Sanggah Hendrik mencoba membela diri.

"Ah. Baiklah." Rainy mengangguk setuju. "Kalau begitu, Raka, berapa keuntungan yang diperoleh Hendrik tahun lalu?" Tanya Rainy kembali.

"Total keuntungan yang diperoleh tahun lalu adalah 10 Milyar rupiah." Sahut Raka dengan suara datar. Wajah Hendrik langsung terangkat tinggi dengan pongahnya.

"Wow! Good job, cousin!" Puji Rainy sambil bertepuk tangan dan tersenyum manis. "Raka, berapa jumlah kerugian yang diperoleh Hendrik tahun ini?" Ucap Rainy kembali.

"17 M." Sahut Raka tanpa emosi. Wajah Hendrik langsung memucat sedangkan wajah Adnan mulai menggelap kembali.

"Dan tahun lalu?" Tanya Rainy kembali.

"25 M." Sahut Raka.

"Siapa yang menutup kerugian tersebut?"

"Ibu Direktur utama yang menutupnya dari rekening pribadinya."

"Bravo!" Rainy tersenyum manis pada Adnan yang tampaknya siap melontarkan sumpah serapahnya. Namun Rainy belum selesai. Oh, belum!!! Matanya kembali menyapu ruangan dan lalu pandangannya jatuh pada putri bungsu Adnan, Anna yang begitu menyadari tatapan Rainy padanya, langsung berusaha membuat dirinya tidak terlihat dengan menunduk dalam-dalam di kursinya.

"Raka, Berapa jumlah uang yang dihabiskan Anna di meja judi bulan lalu?" Tanya Rainy.

"700  juta dan sebuah Jaguar." Sahut Raka.

"Siapa yang membantu melunasinya?"

"Ibu Dirut."

Adnan tampak tak tahan lagi dipermalukan seperti itu. Ia menunjukkan jari telunjuknya pada Rainy dengan wajah murka, namun tak mampu mengeluarkan suara.

"Raka, berapa uang yang telah dikirimkan Nini padaku selama masa pendidikanku?"

"Ibu Dirut mengirimkan 50 juta setiap bulannya ke dalam rekening yang memang disiapkan untuk pendidikan Rainy, sehingga selama 5,5 tahun ini total telah dikirimkan sejumlah 3,3 M."

"Berapa jumlah yang ada dalam rekening tersebut sekarang?"

"3 milyar 420 juta 500 ribu rupiah."

"Apa kau tak salah hitung? mengapa malah bertambah?"

"Kelebihannya adalah perolehan bunga dari bank." Jelas Raka. "Selama 5,5 tahun tidak sekalipun dana dalam rekening ini pernah digunakan." Raka menambahkan dengan murah hati.

"Lalu darimana biaya sekolahku berasal?"

"Rekening pribadi anda sendiri dan uang kiriman ayah anda." Sahut Raka patuh. Disebelah Rainy, Ayahnya mengangguk-anggukan kepala dengan bangga. Anakku tidak pernah meminta bantuan keuangan pada siapapun sehingga tidak seorangpun berhak mengkritiknya kecuali orangtuanya!

"Terimakasih, Raka." Rainy menatap lurus pada Adnan dan dengan dingin, ia berkata;

"Ulak, tahukah engkau? Bahwa ketika kau menunjukkan 1 jarimu pada orang lain, maka 4 jarimu yang lain akan menunjuk pada dirimu sendiri?" Tanya Rainy pelan.

"Kau... kau sungguh kurang ajar!!! Beraninya kau mempermalukanku begini!" Murka Adnan dijawab Dengan senyum manis di wajah Rainy.

"Aku hanya mencoba memberikan pada Ulak apa yang Ulak coba berikan padaku agar sepadan. Apakah Ulak tidak suka?"

Copyright @FreyaCesare

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!