NovelToon NovelToon

I Feel Happy Or Sad

1-1 : Aku yang baru mengenalnya

Apakah kamu percaya akan datangnya ... keajaiban?

Ya! Kalau saat ini aku percaya akan keajaiban.

Namun, tunggu! Apakah benar ini keajaiban? Aku nyatakan lagi— apa ini benar-benar Keajaiban atau Kesialan ...?

Apa kamu akan percaya ada dunia selain saat ini kamu injak dan kamu hidup?

Kalau aku dulu tidak percaya, tetapi aku masih memimpikan itu, karena apa?

Yap! Aku sangat menyukai cerita klise ke dunia lain. Walaupun cerita ke dunia lain itu mirip dan ada banyak versi, tapi tetap saja aku menyukainya. Terutama cerita yang berlatar kerajaan yang bercerita antara seorang putri Duke dan Pangeran. Aku selalu mendambakan ingin menemui pujaan hati seperti itu.

Tidak! Aku selalu berdoa setiap aku ingin tidur setelah membaca cerita klise itu. Namun, apakah kalian tahu kenyataan yang aku rasakan?

Aku benar-benar ke dunia yang aku dambakan saat itu. Dunia yang masih menerapkan sistem kasta dan kerajaan, teknologi yang belum terlalu maju dan lain-lain yang tidak ada di dunia modern di mana aku tahu dan tinggal. Seharusnya aku senang karena impian yang aku dambakan itu jadi kenyataan ... tapi!

Kenyataan ini menakutkan.

Mengapa ini menjadi menakutkan?

Bayangkan saja kalian berada di dunia asing yang masih memetingkan keturunan, kasta. Tentu itu membuat bulu kuduk kalian berdiri, kan? Aku yang sudah terbiasa menggunakan kegunaannya teknologi, di sini aku tidak dapat menikmatinya lagi.

Aah ...! game yang kumainkan sekarang pasti sedang ada event emas ... dan bagaimana dengan keadaan adik dan ibuku di dunia modern ..? Aku mencemaskan mereka berdua ...

Ah ..! aku lupa menceritakan awal mula aku ke dunia ini.

Mungkin ini terdengar menyedihkan ...

Aku siswi SMA tahun ketiga, yang kuingat terakhir kali tentang kehidupan sebelumnya adalah tubuhku yang kurus lemas, berambut hitam sedang terbaring lemah di pinggir jalan dan merasakan darahku mengalir deras dari kepalaku. Aku telah menduga itu adalah tabrak lari, orang yang menabrak saat sedang berjalan ingin pulang sekolah di pinggir jalan dengan mobilnya yang mewah berwarna putih.

Orang itu keluar dari mobil dengan sempoyongan, ya ... orang itu mengemudi saat sedang mabuk! dan terlebih lagi dia masuk lagi setalah memastikan dia sudah menabrak orang dan kabur! Saat itu ingin aku melepas sepatu dan menamparnya, celakanya kesadaranku mulai menghilang dalam gelap, sekilas aku kira sudah berada di alam kematian. Akan tetapi, ternyata tiba-tiba bangun di tubuh putri bangsawan bergelar Duke.

Harusnya aku bahagia dengan keadaan ini karena aku hidup kembali di tubuh putri Duke yang kaya raya, dan wajah cantik imut ini. Proposi tubuh yang ideal, rambut hijau tua yang hampir berwarna hitam panjang mengulai lembut ke pinggul, mata yang berwarna merah marun terlihat seperti batu ruby yang bersinar, bibir mungil kecil yang bersinar. Benar! Ini adalah kecantikan yang sempurna.

Namun, yang menyebabkan aku merasa kurang beruntung adalah aku tidak tahu soal dunia ini!

Seharusnya aku tahu bagaimana jalan ceritanya, tapi dunia keduaku ini sepertinya bukan dunia dalam novel yang biasa aku baca.

Eh ...? atau apa yang aku belum pernah aku baca? Entahlah, aku sama sekali tidak ingat.

Terlebih lagi ...

Pertama kali aku buka mata, tubuh ini masih berusia empat tahun!

Kembali ke saat aku berumur empat tahun ...

...***...

Aku bangun dari kecelakaan itu dan melihat keadaan kamarku yang tidak normal.

Aku langsung berteriak kencang, sehingga pelayan perempuan tiba-tiba masuk disusul tiga orang yang membawa pedang di pinggang mereka. Benar-benar pada saat ini aku tidak bisa mengontrol emosi yang bercampur aduk ketika membuka mata.

“Ada masalah apa, Nona?!”

Mereka semua panik dan tiga orang yang memegang pedang di pinggang mereka langsung mengecek kamarku yang bernuansa pink cerah ceria ini. Tampilan itu seperti ciri-ciri seorang kesatria.

Ada yang mengecek ke jendela, di lemari dan sepertinya keseluruhan kamar ini, pelayan perempuan itu mendekatiku dan memberi tatapan cemas berkaca-kaca.

“Nona, apa ada masalah apa sampai anda terlihat ketakutan? yang kami periksa disini tidak ada apapun yang aneh maupun penyusup.” Kesatria yang terlihat seperti pemimpin dari kedua kesatria terlihat bingung dan menunggu jawabanku.

Pada saat itu aku masih bingung dan merasa ini masih mimpi, dan pada saat itu aku pun menikmati mimpi ini lalu melanjutkan peran ini dengan sungguh-sungguh.

“Tidak, aku hanya melihat mimpi buruk saja,” jawab kusingkat dan berusaha menjadi bangsawan yang terhormat, tapi yang tidak sangka mereka membuka mulut karena kaget dan tidak percaya.

Mengapa mereka menjadi seperti melihat hal yang tahayul menjadi kenyataan? Apa karena bahasaku tadi tidak seperti bahasa bangsawan?

“Nona, maafkan kalau saya lancang, apa yang tadi Anda mimpikan?” Pelayan itu menggenggam tanganku yang mungil ini dengan lembut. Aku harus menjawab apa? Apa harus jujur dan mengatakan, “ini kan hanya mimpi, dan namaku Bunga. Salam kenal!”

Masa aku harus bilang seperti itu ...?

Kugelengkan kepala dengan cepat sampai pelayan itu semakin cemas dan membuatku segera menghentikannya. Aku batuk sedikit dengan anggun.

“Aku hanya memimpikan hal yang membuatku sedikit berubah,”

Ini kenyataan dan aku tidak berbohong. “Namun, sayangnya aku tidak bisa mengingat mimpi tersebut. Maafkan aku ...” Kubuat wajah semelas mungkin.

Reaksiku tepat sekali! Ini membuat pelayan dan tiga orang membawa pedang itu merasa bersalah, ada yang menurunkan alis, dan ada pula yang berwajah panik memucat melihatku.

“Apa aku boleh menanyakan sesuatu kepada kalian?” Aku masih memasang raut wajah tadi.

“Iya ada apa, Nona?” jawab mereka serentak, setelah itu mereka saling pandang satu sama lain.

Aku kagum dengan kekompakan mereka dan hampir saja membuka mulut karena terlalu kagum, tapi kutahan dengan sekuat tenaga.

“Sepertinya aku sudah melupakan nama kalian, bisakah kalian memperkenalkan diri kalian lagi?”

Ini adalah pertanyaan yang membuatku berdebar kencang, karena bisa jadi mereka baru bertugas. Kemungkinan tersebut bisa saja terjadi, tetapi kalau melihat kekompakan mereka sepertinya mereka sudah bekerja lumayan lama.

Eh? Tapi debaran ini sangat terasa nyata sekali. Kusentuh dadaku yang berdebar dan mencoba menunduk menyembunyikan ekspresiku yang bahagia kepada mereka. Mimpi ini memang luar biasa!

Mereka saling pandang lagi, berbicara lewat mata. Sepertinya tindakanku tadi mengira bahwa aku ingin lebih akrab dengan mereka atau mereka bingung dengan diriku yang berubah secara mendadak ...

Berarti aku dapat mengambil kesimpulan bahwa tubuh anak ini adalah anak yang pemalu dan penyendiri, teoriku ini bisa diambil dari : Aku merasakan tubuhku sedikit demam dan lemah. Dari bukti ini mengatakan bahwa anak ini lemah, kalau lemah otomatis akan banyak istirahat dan tidak banyak berinteraksi dengan banyak orang, lalu kamar yang penuh akan boneka dan cerah ini bisa membuktikan hipotesis ini.

Mereka mulai berdiskusi hanya dengan tatapan siapa yang akan duluan memperkenalkan diri. Dan hasil tersebut pelayan wanita itu duluan.

“Sekali lagi saya akan memperkenalkan diri saya, Nona.” Dia berdiri dari posisi awalnya jongkok dan memegang tanganku, sekarang dia berdiri dengan sopan dan sedikit membukuk ala bangsawan yaitu sedikit mengangkat samping roknya. Ini dia adegan yang paling kusuka di dalam novel. Aku masih menyembunyikan perasaan ini.

“Silakan,” jawab kusingkat lagi.

“Saya Gabrielle Perkaliest, Nona bisa memanggil saya Riel. “ Riel melepaskan posisinya dan kembali berdiri normal dengan tangan yang ditumpuk di atas perut.

Aku terpana dengan kecantikan Riel, bagaimana ada pelayan secantik ini? Dia bisa saja jadi putri! Dengan rambut lurus sepinggang kuning gelap yang diikat bawahnya lalu dan pancaran matanya yang seperti biru langit yang menenangkan.

Ah ... Cantik sekali!

Aku segera menghentikan pikiran yang mengaguminya dan membalas, “Salam kenal Riel.. Mohon kedepannya bantu aku yang tidak bisa apa-apa ini, ya.”

Entah mengapa raut wajah riel terlihat sendu dan kembali jongkok mendekat. Ksentuh kedua tangannya yang dan menggenggam dengan lembut diiringi senyuman termanisku.

Riel terlihat membeku sesaat dan matanya semakin berkaca-kaca, “Baik, Nona!” jawab Riel dengan penuh semangat dan membalas genggaman tanganku.

Salah satu orang membawa pedang sedikit berdeham, itu membuatku melepaskan tangan Riel.

“Sekarang giliran saya memperkenalkan diri, Nona.” Dia meletakan tangannya di bahu, sedikit membungkuk dan memejamkan mata.

Ini juga adegan yang aku suka! Bahagianya aku bisa melihatnya secara langsung, walaupun hanya di dunia mimpi.

Aku hanya mengangguk, tubuh ini benar-benar lemah, padahal aku hanya berbicara beberapa kata saja sudah lelah seperti ini ...

“Saya yang akan bertugas sebagai pengawal Nona, nama saya Daniel Perkaliest. Nona bisa memanggil saya Dani atau sesuka Nona.” Ia kembali berdiri normal dengan tegap, ini keren!

Dilanjutkan laki-laki yang disebelah kanan Dani. Dia juga melakukan awal seperti Dani, bangsawan itu benar-benar merepotkan, tapi keren.

“Huhu, Nona~! Perkenalkan saya Abian Perkaliest. Nona bisa memanggil aku Bian. Aku adalah kesatria Nona yang paling setia~” suaranya terdengar riang namun sikapnya yang sopan menutupi keriangannya. Tetap saja di mata bangsawan hal tersebut bisa terbilang tidak sopan.

Orang disebelah kanan atau paling ujung itu langsung memukul kepala Bian dan membuatnya menunduk 90 derajat bersamaan dengan dirinya yang menunduk.

“Maafkan kelancangan dia, Nona.” Dia mempertahankan kepala Bian yang ingin secepatnya bangun, tentu tindakan Bian langsung dihentikan gumanan laki-laki itu dengan pelan, tetapi tegas, “Diam kamu!”

Aku masih mendengarnya dari sini, apa mereka tidak menyadarinya?

“Tidak apa-apa, bagiku itu telihat menyenangkan dan natural.” Hanya ini jawaban paling aman dan aku juga bukanlah orang bangsawan asli.

Laki-laki yang menekan kepala Bian segera melepaskannya dan kembali berdiri tegap bersama.

“Kalau begitu namamu siapa?” Aku bertanya karena dia masih diam, kencanggungan tadi membuatku tidak betah.

Panik baru menyadari dia lupa memperkenalkan diri, ia langsung melakukan awal seperti Dani dan Bian.

“Saya akan menjadi pengawal nona seterusnya mulai dari sekarang. Nama saya Kakiel Perkaliest, nona bisa memanggil saya dengan nama apapun.” Dia kembali ke posisinya, kenapa ia sangat kaku? Kan aku jadi bingung bagaimana menanggapinya.

Panggilan yang pantas untuknya itu ...

Aku berpikir lumayan keras, antara memilihnya memanggil Kaki atau Kiel. Dan akhirnya kupilih Kiel. Jika kaki tidak masuk akal juga ...

“Kalau begitu aku akan memanggilmu ‘Kiel’ ya ...!” Tentu aku melanjutkan dengan mengembangkan senyuman di bibirku ini.

“Sesuai keinginan, Nona!” jawabnya cepat.

Aku hanya membalasnya mengangguk, ya karena masalah lemahnya tubuh ini. Kupikir-pikir mereka berempat ini mirip. Matanya mereka mirip seperti milik Riel, hidung, mulut pun mirip. Kecuali rambut mereka, Riel dan Bian memiliki rambut yang sama.

Sedangkan, Dani dan Kiel memiliki warna yang sama yaitu hitam, yang membedakan Dani dan Kiel itu selain tinggi badan, potongan rambut mereka berbeda. Dani potongannya poni dekat telinga yang sepanjang sampai dagunya. Kalau kiel, dia menyisir poninya kebelakang dengan rapi. Dan Bian kurasa rambutnya pendek seperti laki-laki pada umumnya yang sedikit berantakan.

Terlebih lagi, mereka bertiga tidak kalah mengagumkan dari Riel. Wajah mereka yang tampan! Dunia mimpiku ini benar-benar luar biasa sekali lagi kukatakan.

“Kami akan setia melayani dan menjaga nona Kisella Forest.” Mereka melakukan hormat seperti tadi. Satu fakta yang kudapatkan adalah namaku yang aneh.

Aku mencoba tetap tenang dan mengangguk anggun. Tentu aku tidak lupa menanyakan satu lagi hal yang penting, “Apa kalian berempat bersaudara?” Dengan memiringkan kepala kecilku dan meletakan jari di pipi membuat ku semakin polos.

“Benar, Nona. Kami adalah empat bersaudara dari keluarga Baron Perkaliest, kami semua hanya berseling satu tahun. Anak pertama Kiel, lalu Dani, saya sendiri Riel dan anak terakhir Bian,” jawab Riel mendahului saudara lain yang ingin menjawab dan terlebih lagi Riel menunjukan wajah kemenangan secara tidak langsung. Aku bingung apa yang sedang mereka ributkan.

Aku mulai merasakan pusing dan menyuruh mereka meninggalkan kamarku, mereka secara sopan keluar satu persatu dan menutup pintu kamarku yang dua pintu yang besar itu. Setelah memastikan mereka benar-benar keluar, aku langsung merebahkan diriku ke kasur besar dan empuk ini.

“Padahal ini hanya mimpi, tapi kenapa aku merasakan pusing ya? Apa jangan-jangan aku sedang koma dan lagi dijahit bagian kepalaku? Ya mungkin, soalnya aku merasakan sebelum pingsan kepala bocor dan bisa jadi salah satu anggota tubuhku yang bermasalah.”

Aku tidak mau menyebutkan apa yang bermasalah, karena tidak mau memikirkannya dan menyerahkan masalah luka sepenuhnya ke Dokter.

Aku menatap ke atas, ranjang ini menutup pandangan ke langit-langit ruangan karena tempat tidur ini memiliki tirai yang bisa ditutup, keren!

Aku menutup mata dengan lengan dan mencoba merilekskan diri, tapi dadaku yang berdebar ini tidak mau berhenti sedari tadi. Ini membuatku tidak tenang dan terus mengambil nafas dalam-dalam agar sedikit tenang. Merasa metode itu tidak berhasil aku mencoba tengkurap dengan tubuh kecil ini, dan hasilnya tetap nihil. Dadaku yang berdebar masih belum mereda, aku mengambil inisiatif keluar dari ranjang besar ini dan berusaha berjalan.

Seperti dugaanku, kaki ini gemetar dibuat berjalan. Benar-benar lemah!

Menghela napas, karena ini adalah tubuhku. Aku berjalan ke arah jendela yang membuat ruangan ini terang dan membukanya. Aku bersyukur karena jendela ini rendah dan lebar, tapi sedikit rawan juga. Aku membuka keluar jendela dengan dua pintu ini, pastinya aku hanya bisa membuka satu pintu saja itu pun butuh lumayan besar energi di tubuh ini.

Aku menongolkan kepalaku karena hanya bisa kepala saja untuk sampai ke jendela, itu pun aku harus menjinjit.

Kulihat keluar jendela, terdapat pohon besar dan kokoh berdiri di tengah-tengah halaman rumah yang luas. Aku sudah menduga halaman rumah ini luas tapi ini melebihi dugaanku. Yang paling membuatku terpana adalah pohon itu, pohon itu sangat indah apalagi saat angin menerpanya ...

Dada yang berdebar ini pun berhenti ...

Hanya dengan melihat angin meniup pohon?

Itu tepat sekali ...!

Dulu sejak kecil, entah mengapa aku sangat menyukai pohon apalagi ketika hembusan angin membuatnya mengeluarkan suara seperti mereka sedang komunikasi dengan satu sama lain.

Itu sangat sangatlah menyejukkan hati ...

Aku terdiam cukup lama di depan jendela dan terkadang angin meniup, aku memejamkan mata dan fokus merasakan suara pohon, hembusan angin yang membuat rambutku ikut sedikit tertiup. Ini luar biasa! Tapi, moment menyenangkan dan menenangkan itu dihancurkan oleh seseorang yang mendadak mengangkatku.

“Sella!!! Anakku sekarang sudah bisa berjalan sampai ke jendela!! Papa sangat senang Sella ..!”

Ini adalah hal terpenting yang aku lupakan, anak ini kan masih kecil dan pastinya memiliki orangtua yang peduli dengannya sampai-sampai memerintah empat orang sekaligus untuk menjaga dan melayani apa saja keperluanku. Hal yang aku perhatikan lainnya adalah rambut hijaunya, seperti punya miliku. Dan matanya ... Aku tidak tahu apakah mirip sepertiku atau tidak karena aku belum melihat cermin. Mumpung berpikir tentang cermin aku langsung mencarinya dan setelah menengok sedikit ke samping aku menemukan cerminnya begitu saja. Seratus persen kami mirip yang membedakan hanyalah gender dan mataku yang lebih lentik sedangkan ayahku ini lebih ke mata laki-laki tampan.

Jujur saja setelah aku bercermin sekilas tadi aku menyadari bahwa aku ini sangatlah imut, mungkin saat aku dewasa akan berubah menjadi cantik jelita. Aku berpikir pasti ibu dari tubuh anak ini cantik jelita.

Aku setelah menatap cermin di jendela berganti arah ke wajah ayahku ke depan karena aku sedang digendong di hadapan wajahnya, “Papa?”

Aku melanjutkan akting anak kecil ini, walaupun aku tidak terlalu yakin dengan tindakan yang aku lakukan tadi. Seperti biasa dipikiranku masih mengagumi orangtua ini, apakah benar-benar sudah menikah dan umurnya sudah melewati 30 tahun?

Tidak bisa dipercaya! Dia masih saja tampan. Kenapa dunia mimpiku ini orang-orangnya memiliki wajah indah semua, maklumlah... ini adalah dunia mimpiku dan tentu memimpikan yang berbeda, kan?

Setelah aku mengatakan kata Papa?. Mata Ayahku ini terlihat mulai berkaca-kaca dan sontak aku langsung kaget dan menyentuh pipinya, “Ayah mau menangis kenapa?” Aku sengaja membuat tata letak kalimatnya menjadi aneh karena rata-rata anak kecil itu suka berantakan saat berbicara, tapi mata berkaca-kaca nya beralih cepat dengan memerahnya dan mengeluarkan air mata seketika.

“Sella ..!!! Tadi padahal kamu sudah memanggilku dengan sebutan Papa tapi kenapa berubah ke Ayah lagi??” Ia melanjutkan tangisnya.

Eh? Kenapa dia, kenapa dia yang jadi seperti anak kecilnya. Cuma karena aku keceplosan memanggilnya Ayah.

Baiklah, karena kamu sudah memiliki niat dan perasaan yang dalam terhadap anak ini. Aku akan memberimu hadiah.

“Apa Sella harus memanggil Ayah dengan Papa?”

Tak lama setelah kutanya dia langsung mengangguk mantap dan yakin sekali dengan jawabannya.

“Baiklah, Papa!” Aku memberikan senyum ceria yang diiringi tawa lucu, mungkin ini akan membahagiakan hatinya.

Ekspresi tidak terduga pun terpancar dari papaku ini, senyumnya merekah alami dan air mata ada disudut matanya mengalir dengan lancar.

Aku tidak menyangka akan seefektif ini, padahal ini mimpi tapi banyak kejadian yang selalu membuatku kaget.

Aku membantu menyeka air mata papaku dengan tangan kecil dan mungil ini.

“Papa jangan menangis lagi ya. Aku akan selalu di samping papa ...!”

Pancaran sinar matahari masuk melalui jendela membuat suasana aku mengatakan kata tersebut lebih berkesan dan wajah tersenyum papa berganti menjadi wajah memandang lurus hanya ke diriku sampai aku dapat bercermin di mata ayah, perlahan air mata keluar dari pelupuknya membuatku semakin bingung. Papa pun memelukku dengan sangat lembut dan hangat.

“Papa akan memegang janji itu ya, Sella.”

Aku merasa pelukannya semakin erat namun tidak menyesakkan, dan kata-katanya itu penuh akan arti.

“Umm ...!”

Aku mengangguk kecil dan memejamkan mata karena ini sangat menenangkan, setelah tak lama aku pun tertidur di bahu papa yang lebar. Akan tetapi sebelum aku pulas papa mengumankan sesuatu, “Selli ... Anak kita sudah semakin mirip denganmu..!”

Papa menangis sampai terisak-isak. Ada apa dan kenapa? Sayangnya aku tak bisa lagi menahan kantuk ini dan akhirnya tertidur lelap ...

Mimpiku terasa mempunyai banyak kisah ...

1-2 : Menemukan Misi Baru

Aku berpikir akan bangun di kamar rumah sakit, tetapi ternyata masih di kamar itu dengan kondisi meringkuk.

Aku melihat Riel, tangannya menggulung tirai, mengikatnya dengan rapi dan cahaya mentari pagi sedikit menerangkan kamar ini. Riel yang sudah selesai, berbalik dan menghampiriku yang sedang pura-pura tidur.

“Nona, ayo bangun dulu dan sarapan!”

Aku sengaja memainkan peran seperti orang yang baru saja bangun tidur, walaupun benar baru bangun tidur sih ... tetapi itu sudah beberapa detik yang lalu, anggap saja baru bangun tidur.

Aku membalasnya sambil mengucek-ngucek mataku dan benar masih terasa lelah.

“Riel, katakan kepada Papa aku tidak sarapan dulu ...” Aku menaikan selimutku lagi sampai ke leher bersiap untuk tidur kembali, tapi persiapan itu digagalkan Riel dan memarahiku.

Sikapnya yang sekarang sudah memaklumi aku yang berubah sepenuhnya ini.

“Nona, kan semalam demam parah jadinya, setelah Nona minum obat, Anda sama sekali belum memakan apapun. Artinya kemarin Nona sama sekali belum makan, itu tidak baik untuk tubuh Nona yang sedang dalam tahap pertumbuhan ...!!”

Riel berhasil menarik selimutku dan melipatnya dengan rapi, menaruhnya di lemari lalu menarikku turun dari kasur ke kamar mandi.

Air di mimpi ini sangat nyata, buktinya air nya terasa seperti es. Untung saja air itu hanya untuk mencuci tangan, air untuk mandi adalah air hangat yang wangi bunga lily. Pantas saja tubuh anak ini tidak bau walaupun sudah mengeluarkan keringat banyak disaat demam semalam. Tubuh orang cantik memang berbeda ya, ckckck ...

Ingatanku tentang tadi malam hanya ada suara redup seseorang yang mungkin itu seorang Dokter, dia membuat tubuhku itu dari tidur ke posisi duduk dan meminumkan obat yang terasa sangat pahit, karena tadi malam tubuhku benar-benar terasa sesak dan nyeri di sekujur tubuh, aku terpaksa menelannya dan langsung terlelap dalam tidur.

Sekarang tubuhku sedang dibersihkan oleh Riel di bak mandi, dia menyiram kepala dengan air hangat wangi bunga Lily, aromanya benar-benar harum. Dilanjutkan mengeramasi rambutku yang pendek sebahu ini, pijatan Riel di kepala dan membuat pikiran semakin rileks, aku menyukai mandi ini!

Setelah mengguyur dengan air untuk membersihkan sisa sabun, Riel membantu mengeluarkan tubuh ini dari bak mandi, aku frustasi dengan lemahnya tubuh ini. Namun, kulit putih kenyal ini bukan main-main cantiknya.

Keluar dari kamar mandi, Riel langsung pergi sibuk mencari di ruangan gaun menentukan pakaian apa yang akan aku pakai.

Aku menghampiri Riel yang sedang bingung memilih dua gaun yang ada di tangan kanan dan kirinya. Riel berbalik dan memandangku yang sekarang hanya memakai pakaian dalam. Namanya memang pakaian dalam, tapi kalo menurut orang modern saat ini, pakaian dalam ini dinamakan gaun tanpa lengan atau biasa disebut one piece putih.

Dengan wajah bimbangnya Riel bertanya padaku dan menunjukan dua gaun di kedua tangannya yang membedakan keduanya hanya warna biru dan hijau muda lalu letak perhiasannya dan lipatan rok, sisanya kedua gaun itu lebar mengembang di bagian pinggul dan roknya menggelembung besar, aksesoris di bagian dada banyak beragam pita dan perhiasan yang berkilau-kilau begitu pun perhiasan di bagian roknya, berkilauan dan keliatannya sangat mahal dan... norak bagiku orang modern yang tidak mengerti tentang fashion.

Di dunia nyata aku hanya memakai celana dan baju panjang, kecuali saat sekolah memakai rok karena itu memang peraturan dalam berseragam.

“Tidak!” jawab tegasku cepat, singkat, padat, jelas dan menggelengkan kepala.

“Ada apa, Nona? Biasanya Nona lebih menyukai model seperti ini dan terlebih lagi Anda ingin memakai baju seperti apa hari ini ...?” Riel sontak kaget mendengar jawabanku lalu dia mengembalikan kedua gaun itu ke dalam lemari. Akhirnya aku mencari sendiri baju yang ingin pakai di lemari, bisa saja membayangkan itu seperti toko gaun karena di sini banyak sekali gaun.

Yang menjadi permasalahan utama adalah ... selera tubuh anak ini sangat aneh dan aku tidak mengerti apa kesukaannya sehingga masih banyak baju ‘norak’ itu di ruangan ini, ingin kubuang baju-baju ini, tetapi mana mungkin dibuang sekaligus sebanyak ini, kan?

Aku mengeluh kesal dan menghela napas pasrah. Aku melanjutkan penjelajahan di ruangan gaun ini, mana mungkin aku tidak memakai baju untuk makan bersama papa, kan? Itu bisa merusak nama baik keluarga ini.

Aku mengintip di balik gaun-gaun yang menggantung, dan menemukan sebuah kotak hadiah yang diatasnya ada pita besar, aku mengambilnya dan menunjukan ke Riel.

“Ini pasti hadiah dari seseorang untuk ulang tahun Nona kemarin.” Riel memintaku membuka hadiah itu, dengan rasa penasaran aku membukanya perlahan dan didalam kotak tersebut ada sebuah gaun terlipat rapi dengan selembar surat kecil bertuliskan “Sehat selalu, Nona Kisella Forest,-“

Surat singkat tanpa ada nama pemberi gaun ini, kukeluarkan gaun ini dari dalam kotak. Tak disangka ini adalah gaun dengan tipeku!

Gaun yang atasannya seperti kemeja polos perempuan dan aksesoris yang hanya di dada dekat leher, itu pun hanya satu tetap berkelas. Dan bawahannya yang tidak terlalu mengelembung. Benar! Inilah gaun yang ingin kupakai.

“Kalau seperti ini bukan selera No-“

Aku sela ucapan Riel dan menyatakan bahwa aku akan memakai gaun ini. Tindakanku itu dibalas Riel dengan membuka mulutnya dan matanya terbuka lebar, ya ... itu adalah ciri-ciri orang yang terkejut. Tak lama dia sadar dan langsung membantuku memakaikan gaun ini dan merapikan rambutku hanya dengan menggunakan bando pita yang ditengahnya permata pink.

...*** ...

Aku segera berjalan perlahan ke luar kamar, dan tujuanku adalah ruang makan yang ada di lantai satu. Pengawal berganti dari Riel menjadi Kiel, dia menyapa seperti biasa dan mengikutiku berjalan dari belakang.

Baru saja setengah perjalan untuk menuju ke tangga saja aku sudah merasa energiku terkuras banyak, kamarku berada dilantai dua, tentu saja aku harus menuruni anak tangga ini. Aku mengambil napas dengan teratur dan perlahan menuruni tangga diikuti Kiel berada dibelakangku, Kiel sudah beberapa kali menawarkan tawaran.

“Apa Anda ingin saya gendong, Nona?”

Aku menolaknya halus, “Mulai sekarang aku akan berusaha untuk bisa ke ruang makan dengan tenagaku sendiri.”

Aku harus bisa membuat kekuatan fisik anak ini meningkat sebelum aku bangun ke dunia nyata, walaupun hanya dunia di dalam mimpi, aku ingin para orang di dunia mimpi ini senang.

Napasku masih memburu kuat saat sudah memasuki ruang makan, akhirnya aku berhasil!

Beginikah rasanya sukses dengan usaha sendiri, begitu menyenangkan dan ada sensasi tersendiri.

Di dunia nyata bisa dibilang aku anak berbakat atau juga bisa dibilang anak yang cepat tanggap, jadi saat ujian atau sebagainya aku hanya belajar menggunakan mengebut semalam, karena hal itu bisa mendapat nilai sembilan atau pun delapan. Namun ... aku tetap tidak bisa menjadi sempurna di bidang manapun. Memikirkan itu membuatku merasa murung.

Walau aku dibilang anak cepat tanggap tetap saja aku sama sekali tidak memiliki usaha apapun sehingga sampai saat ini aku masih tidak memiliki cita-cita apapun, kalau kalian tahu anak sepertiku ini dipanggil anak tak punya ambisi dan terbiasa diam. Bagiku saat itu adalah belajar bukan hal yang penting, tujuan utamaku saat itu hanyalah membahagiakan adik dan ibuku.

Sepertinya tubuh anak ini kelak akan menjadi anak yang murung karena selalu terjebak di dalam kamarnya selama berhari-hari, oleh karena itu aku akan membuat fisik anak ini lebih kuat! Mungkin saat ini yang dinamakan meraih tujuan, rasanya mendebarkan.

Aku mulai duduk di seberang meja makan Papa, kami berhadap-hadapan diantara panjangnya meja makan ini, suasana canggung langsung memenuhi ruang makan dan iringi dentingan dari pisau dan garpu yang aku pakai.

Makan harus mempunyai etika, kalau peraturan ini juga ada di dunia modern, jadi aku bisa sedikit menguasainya. Keheningan ini masih berlanjut sampai sekarang, kesabaran yang daritadi kutahan akhirnya lepas.

“Papa ...,” panggilku dengan suara redup dan menghentikan kegiatan makan. Aku tahu disini tidak boleh berbicara sampai setelah selasai sesi makan tapi .... Keheningan itu membuatku sesak.

Di dunia modern ada peraturan kita harus menghabiskan makanan di dalam mulut baru boleh berbicara, karena itu aku selalu dimarahi ibu ketika makan sambil bercerita.

“Apa Papa tidak menyadari bahwa meja ini terlalu berlebihan untuk kita yang hanya makan berdua, dan juga aku ingin lebih dekat dengan Papa ...”

Tanpa kusadari aku mengucapkan kata-kata itu, Pria yang sudah memiliki garis usia di keningnya pun tersentak diam dan mata Ruby yang lurus menatapku yang dari tadi menunduk.

Aku mungkin kesepian ... dengan kebenaran apa aku akan selamat atau tidaknya, apa akan bangun dari mimpi ini, kenyataan apa mimpi. Aku terus memutar otak untuk itu.

Papa menghela napas dan senyuman lembut terbentuk dibibirnya, dia menyuruh para pelayan dan koki untuk membiarkan kami berbicara hanya empat mata.

Papa bangun dari tempat duduknya dan menghampiriku, tangannya dengan lembut mengelus pipi tembam dan menggendongku, dia berjalan kembali ke tempat duduknya sambil masih mengendongku, apa yang tidak kupercayai terjadi, Papa memangku dan mengarahkan potongan daging kecil yang sudah dipotong sebelumnya olehnya kepadaku. Aku membuka mulut dan mengunyah daging tersebut sambil mengerutkan kening bertanya-tanya, mengapa sifatnya berubah begini?

Dia memang orang tua penyayang, selalu menjeguk anaknya yang sakit disela-sela kesibukan mengurus pekerjaannya. Pada malam tadi aku juga mendengar sayup-sayup suara papa yang memanggil namaku berulang-kali.

“... Sella maafkan Papa, ya. Papa tidak peka kalau yang seperti ini ..., Kalau itu yang kamu inginkan, nanti Papa akan membelikan meja khusus kita berdua.”

Dia masih mempertahankan senyuman itu dan membuatku sedikit tenang.

“Terima kasih Papa ...!” Aku langsung memeluknya, biarpun hanya bisa memeluk perutnya saja karena tangan yang pendek ini. Tidak menyita lama aku memeluk Papa karena pintu ruang makan yang tadi ditutup tiba-tiba terdengar ketukan pintu.

“Tuan Duke, ada tamu yang mengunjungi anda.”

“Siapa yang datang?” sahut papaku yang masih tidak boleh mengizinkannya masuk. Di saat seperti ini suara lembut Papa berubah menjadi lebih berwibawa kalau berbicara dengan orang lain.

“Count dari wilayah timur, beliau juga membawa anaknya.”

Papa diam dan menatapku, matanya seolah-olah cemas akan sesuatu.

“Papa, ada apa?” Memiringkan kepala, telapak tangan kanan di pipi. Aku sedikit meniru gerakan lady yang biasa ada di dalam novel.

“Sella dengarkan Papa.” Ia memegang bahuku, “Kamu jangan sampai jatuh cinta dengan anak laki-laki dari tuan Count ya!”

Hah?!

Jadi itu yang dipikirkan Papa saat menatap cemas kepadaku, mana mungkin aku jatuh cinta dengan anak kecil!

Kalau kalian tidak mengerti apa Count itu, dia semacam Gubernur atau pemimpin suatu daerah kalau di zaman modern. Lalu setelah aku bertanya macam-macampada Riel, ternyata papaku seorang Duke yang tentu berperingkat lebih tinggi, namun sepertinya papa membutuhkan sekutu dengannya sampai tidak bisa mengusir atau menolaknya.

“Yang paling kucintai saat ini adalah Papa ...!” Aku memberikan senyuman polosku kepadanya, "Di masa depan aku akan menikah dengan Papa saja!"

Sesuai dugaanku, Papa terlihat berbinar-binar.

Akhirnya Papa menjawab akan datang, pelayan tadi langsung membuka pintu ruang makan. Papa mengendongku menuju ruang tamu.

Tidak membutuhkan waktu lama akhirnya kami sampai diruang tamu. Count dan anaknya yang tadi duduk sekarang berdiri dan memberikan menunduk hormat memberi salam.

“Terima kasih Tuan Duke telah meluangkan waktu untuk bertemu kami.”

Sekilas matanya melirik ke arahku, aku melirik Papa, sepertinya Papa tidak menyadari lirikan Count tadi kepadaku ya ... begitu pun dengan anak di sebelahnya, di antara menunduk, mata anak itu hanya melirik ke arahku di dalam tudung yang dipakainya.

Dia melepaskan tudungnya dan tersenyum ke arahku. Senyuman itu aku tahu ... Senyuman ala bisnis.

Ini memberikanku firasat yang tidak enak ...

1-3 : Perubahan Dirinya

Aku dan Papa duduk di sofa dan diikuti Count beserta anaknya.

“Tidak apa-apa, Tuan Kardel. Saya hanya baru selesai makan bersama putriku.” Papa membalas sapaan Tuan Count Kardel Chrysos sambil mendelik ke arahku Papa melanjutkan ucapannya.

“Ada masalah apa sampai Count datang ke sini tanpa kabar? Sampai-sampai aku tidak menyambut kalian,” kata lanjut Papaku, sepertinya Papa dengan tuan Kardel berteman akrab.

“Keramahanmu masih saja sama ya, Tuan Marlis.” Ia ikut tersenyum ramah.

Sementara diriku masih bingung dengan perasaan tidak enak barusan. Disaat aku masih berkelut soal firasat itu, pembicaraan kedua pria karib ini memasuki obrolan serius tentang wilayah masing-masing. Yang aku tahu dari pembicaraan ini mereka menjalani relasi pertukaran sumber daya alam. Wilayah Count Kardel Chrysos, Sophia mempunyai pertambangan yang melimpah ruah. Akan tetapi tanah diwilayah Sophia kurang subur sehingga mereka sering kali mengalami gagal panen. Sedangkan wilayah Papaku yaitu Duke Marlis Forest, Foredest mempunyai tanah yang subur sehingga dapat banyak memproduksi bahan pangan. Dalam relasi ini kedua wilayah setuju akan saling membantu, Sophia yang membutuhkan makanan dan Foredest membantu wilayah disekitar nya dengan imbalan hasil pertambangan.

Aku mulai merasa bosan di pangkuan Papa sambil mendengar obrolan serius mereka, mendengus kesal tanpa kusadari dan kedua pria yang sedang serius-seriusnya sekarang memandangiku bingung.

“Sella, apakah kamu bosan?” Papaku menunduk untuk melihat aku yang sedang berada di pangkuannya. Aku menggeleng kepala menandakan aku tidak bosan. Ya padahal benar aku bosan, karena hanya diam dan tak tahu harus menimbrung bagaimana? Kalau aku langsung membalas bahasan mereka, posisiku pasti akan 100% merepotkan dan sekarang aku hanya ingin pergi dari ruang tamu ini tercegah karena Papa memangku diriku.

Ya, pasti aku merasa bosan sekali. Untungnya Tuan Kardel langsung menanggapi kebosananku ini.

“Kalau Nona berkenan, anak saya Alex bisa menemani Anda bermain. Walau umur kalian terpaut tiga tahun, saya yakin Anda bisa akrab dengan putra saya.”

Sudah kuduga dia akan bicara seperti itu, aku bisa akrab dengan putramu, tapi masalahnya apa putramu itu bisa akrab dengan diriku yang sudah lebih tua darinya?

Papa menatap Alex dengan tatapan mengancam 'jangan dekat-dekat dengan putriku', aku yang tidak ditatap saja merasa bulu kuduk berdiri, apalagi orang yang sedang ditatap langsung.

Aku seperti harus memilih pilihan, keluar bersamanya atau tetap disini. Itu pilihan sulit, tapi aku memikirkan untuk ke masa depan nanti dan keputusanku adalah tetap berada di ruangan ini.

“Itu tidak perlu, Tuan Kardel. Saya akan tetap disini bersama Ayah.”

Aku mengganti panggilan Papa dihadapan orang lain agar tidak terlalu anak manja, tapi raut wajah Papa ku mengatakan hal yang lain. Yaitu sedih karena aku tiba-tiba mengganti nama panggilannya. Ya, mau bagaimana lagi, aku tidak mau di anggap terlalu manja oleh orang lain, tolong mengertilah ...!

Kenyataan berkata lain, sepertinya Papaku menganggap bahwa aku sedang marah dan malah membujukku untuk bermain di taman bersama anak Tuan Kardel. Apa Papaku bermaksud supaya tidak marah padanya lagi dan meminta maaf dengan cara mengizinkanku bermain?

Padahal tadi dia menasehatiku untuk tidak dekat dengan anak Count ...

“Saya bisa menamani anda bermain, Nona Kisella,” ujar Alex, ternyata bisa berbicara juga. Kukira dia anak yang pemalu, karena dari tadi aku sama sekali tidak mendengarnya berbicara.

Aku mendelik melihat mata Papa sedang menatapku, kalau di umpakan bak mata kucing yang memelas. Aku tidak tega melihat ini, pasrah dan mengangguk setuju.

...***...

Akhirnya setelah sekian lama di dunia mimpi ini aku bisa ke taman ini, yang selama ini aku hanya memandangi dari balik jendela. Aku bisa menyembutnya lama karena kalau ini benar dunia mimpi berarti di dunia nyata sudah jalan beberapa hari, kan? Yah, itupun kalau benar dunia mimpi ... misalnya bukan dunia mimpi aku merasa lama karena rasa sakit di tubuh ini waktu seakan berjalan lambat sekali, menyesakkan. Aku merasa kasihan terhadap anak ini karena selama empat tahun terus merasakan sakit ini.

Jemariku menyentuh lembut bunga-bunga yang tertanam rapi dan terpelihara dengan baik. Aku merasakan angin menghembus dan menyentuh wajahku membuat rambut sebahu ini ikut bergoyang begitu pun dengan rok dari gaun yang kupakai, ini adalah kenyamanan yang tiada tertanding oleh apapun, kubalik badan dan melihat seorang anak laki di bawah langit biru yang sedang memancarkan sinarnya membuat rambut perak dan jubah putihnya tampak memikat. Akan tetapi, karena dirinya sedang tersenyum masam keindahan tersebut berkurang.

Kupandang dia dalam cukup lama, dia termenung dalam pikirannya sambil menatap kakinya yang sedang menginjak rumput. Aku mencoba memahaminya, memandang kakiku, aku tidak merasa ada apa-apa. Bodohnya aku baru menyadari bahwa dia sedang berkecamuk di dalam pikirannya sendiri.

“Sepertinya Anda sedang kesulitan memikirkan sesuatu ya, Tuan Alex.” Aku mencoba menyadarkannya dari lamunannya, dia langsung terkesiap mendengar aku berbicara.

“Maafkan saya, Nona Kisella. Saya ...”

Dia menjeda ucapannya menandakan dia enggan melanjutkan pembicaraan.

“Tidak perlu diceritakan juga tidak apa-apa, Tuan Alex. Karena setiap manusia pasti memiliki masalah dan rahasia di dalam dirinya masing-masing.”

Dia melongo melihat diriku setelah mengatakan hal itu. Aku mengerutkan kening, sebenarnya apa yang dipikirkan anak ini. Ekspresinya tidak bisa kutebak.

“Itu benar sekali, Nona Kisella.” Alex tersenyum lega, sepertinya beban pikirannya sedikit terangkat.

Aku merasa telah merubah anak ini, tapi apa itu? Wajah muramnya sudah tidak terlihat lagi, mata biru lautnya sekarang hanya bertukar tatapan dengan mata rubyku.

“A, apa Tuan Alex menyukai pohon?”

Aku mendapat bahan pembicaraan yang tepat karena dia hanya diam seribu bahasa melihatku.

“Alex.”

“Apa?” Aku bingung mendengar dia mengucapkan namanya sendiri.

“Maksud saya Anda bisa memanggil saya Alex saja.” Matanya mengatakan ini serius, sehingga aku tidak bisa berdalih, namun mana mungkin aku menyerah secepat itu.

“Tapi ... bukankah itu tidak sopan ..?” Aku meletakan dan menumpuk kedua tangan di atas perut dan tersenyum kaku.

“Tidak masalah karena aku akan memanggilmu Sella, apakah diperbolehkan?” Dia tidak meghiraukan ucapanku dan malah berbalik menanyakan itu.

Keringat di pelipisku mengalir lurus jatuh ketanah, aku masih memutar otak agar bisa menyelesaikan masalah ini secara sopan dan natural, usahaku berbuah pahit. Mata anak ini berbinar-binar membuat hati nuraniku berkata lain.

“... Baiklah, panggil aku sesukamu, Alex.” Aku hanya bisa menjawab itu sambil tersenyum kaku lagi, tidak disangka dia menunjukan wajah bersinar membuktikan ia sangat senang.

Menghela napas membiarkan masalah ini karena kupikir nanti saat aku sudah besar, Alex akan melupakan hal yang terjadi disini.

Aku dan Alex melanjutkan jalan-jalan ditaman ini bersama, bedanya dengan yang tadi adalah Alex awalnya berjalan mengikutiku di belakang sekarang sejajar denganku dan mengandeng tanganku dengan ringannya. Aku menuruti keinginannya ini, karena aku yang lebih tua daripadamu! (umur mental).

“Aku ingin ke pohon itu.” Tunjukku ke pohon besar yang selalu dilihat dari kamarku. Aku ingin sekali bersandar di pohon itu sambil membaca buku di bawahnya.

“Sella ... bukannya aku tidak mau, tapi ayahmu menyuruh kita hanya bermain ditaman saja.”

Dia menghentikan langkahnya memperlihatkan wajah sedih karena tidak bisa mengikuti keinginan dan membuatku menyerah.

Taman dan halaman rumah letaknya berbeda, kalau halaman rumsh di depan sedangkan taman di samping. Aku memandang jauh pohon itu, pertemuan kita masih jauh ya ... pohon.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!