Sepenggal kisah Arga dan Anita
Kehidupan setelah Anita melahirkan satu anak perempuan lagi, kini total anak Anita dan Arga jadi tujuh orang. Dan yang terkecil bernama Karin Oktavina, kini dia sudah berumur sepuluh tahun.
Kakaknya Cheril sudah berumur sebelas tahun setengah, hanya terpaut hanya terpaut satu tahun. Betapa repotnya Anita saat melahirkan Karin, karena harus mengurus Cheril yang masih kecil.
Arga juga tidak tinggal diam, dia membantu istrinya sebelum berangkat ke kantor saat itu.
"Syukurlah anak-anak kita sudah beranjak besar ya sayang, rasanya baru kemarin kita kerepotan mengurus anak-anak yang masih kecil." kata Arga di tengah waktu senggangnya bersama istrinya.
"Ya, aku juga merasa lega. Ternyata kita bisa menghadapi kerepotan itu bersama-sama." kata Anita lagi.
Keduanya kini sedang menikmati waktu sore di halaman rumah. Duduk di ayunan menggantung berdua dan saling memeluk erat.
"Sayang, bagaimana dengan Chiko dan Celine di sana? Apakah mereka sudah menghubungimu?" tanya Arga.
"Sudah tadi pagi, aku lupa memberitahu sama kamu." jawab Anita.
"Ya sudah, nanti malam aku telepon mereka lagi." kata Arga.
Dia kembali memeluk istrinya lagi, mencium pipi lalu bibirnya. Dia tidak pernah bosan dengan istrinya, malah semakin cinta dan bahagia hidup bersama dengan istrinya itu.
Arga sendiri kini sudah jarang ke kantor hukum, dia akan datang jika ada yang memintanya untuk jadi pengacaranya. Dan saat ini firma hukum itu dia yang menjadi kepala firma hukum.
Karirnya semakin melesat seiring usianya bertambah tua. Dan kini dia menikmati masa tuanya dengan istrinya.
Anak-anaknya sudah besar dan sudah kuliah. Chila kuliah di fakultas kedokteran, sedangkan Chiko dan Celine kuliah di luar negeri dengan jurusan berbeda namun di kampus yang sama.
Chiko mengambil hukum sedangkan Celine lebih memilih jurusan desainer. Angga dan Kevin masih sekolah menengah atas, dan adiknya Cheril dan Karin masih duduk di sekolah dasar.
Arga tidak terlalu khawatir akan biaya hidup dan pendidikan anak-anaknya. Sejak dulu sudah mereka persiapkan tabungan pendidikan dari masing-masing anak, jadi jika mereka melanjutkan pendidikan tinggi Arga dan Anita tidak khawatir.
"Mama, papa!" teriak Karin berlari mendekat oada kedua anaknya.
Anita melepas pelukan suaminya dan melihat anaknya yang berlari mendekat padanya.
"Jangan lari-lari sayang, nanti jatuh." ucap Arga.
"Karin udah gede pa, masa jatuh terus." kilah anak bungsunya itu.
"Tetap aja, yang namanya jatuh itu tidak kenal besar atau kecil sayang. Papa juga pernah jatuh kok di tangga karena buru-buru lari naik tangga." ucap Anita.
"Kok contohnya papa sih, sayang." Arga protes pada istrinya.
"Ya kan contoh nyatanya, pa. Dan memang kenyataannya kan papa pernah jatuh dari tangga." ucap Anita.
Karin duduk di antara kedua orang tuanya yang sedang berdebat kecil.
"Kenapa mama dan papa bertemgkar sih?" tanya Karin.
"Ngga bertengkar sayang, mama sedang jelasin sama papa aja. Tapi papa ngga terima." ucap Anita.
Arga mengalah, dia lalu menarik Karin untuk duduk di pangkuannya.
"Mama sama papa seperti ini sudah biasa sayang. Itu tandanya kita saling sayang dan menyayangi."
"Berarti, kalau Karin sama kak Cheril bertengkar juga saling menyayangi pa?"
Pertanyaan Karin membuat Arga diam, Anita hanya tersenyum tipis. Rasakan ya, pertanyaan anaknya yang semakin pintar.
Anita bangun dari duduknya lalu pergi meninggalkan Arga dan Karin.
"Eh, mau kemana ma?" tanya Arga.
Ke kamar, merapikan baju yang tadi belum di rapikan." jawab Anita.
"Aku tahu kamu menghindar dari kita, sayang." ucap Arga lagi.
"Ya, benar. Kamu jawab pertanyaan anakmu itu, aku mau ke kamar." kata Anita melengos pergi.
Tanpa menoleh lagi, Anita langsung melangkah pergi meminggalkan keduanya. Tentu saja Arga jadi kesal, namun dia berharap pertanyaan anaknya nanti jangan berlanjut. Karena anak bungsunya itu selalu bertanya setelah di jelaskan akan ada pertanyaan lagi.
Itu membuatnya bingung dan pusing, dia bisa selamat dari pertanyaan anaknya jika ada Anita.
"Pa, kok diam aja sih?" protes Karin.
"Eh, adek tanya apa tadi?"
"Yaah, papa kok jadi pelupa sih. Tadi adek tanya, berarti kalau adek bertengkar sama kakak Cheril itu tandanya sayang kan pa?" pertanyaan Karin di ulang.
Arga diam, dia mencari jawaban yang sekiranya jangan sampai Karin bertanya lagi. Malaikat penolongnya sedang menghindar.
"Ya ngga begitu sayang, kalau bertengkar itu tidak baik. Bukan saling menyayangi, kalau saling menyayangi itu saling tolong menolong, membantu saudaranya dan tidak bertengkar. Kalau bertengkar itu perbuatan yang tidak bagus." ucap Arga, dia merasa bangga bisa menjelaskan semuanya.
"Kalau bertengkar tidak bagus, kenapa papa sama mama tadi bertengkar?" tanya Karin.
Glek.
Arga diam seribu bahasa, dia menelan ludahnya. Kenapa juga ada pertanyaan lagi sih? pikir Arga.
"Kan tadi sudah mama bilang, kita hanya menjelaskan sama adek. Kalau mama sama papa sedang menjelaskan tadi." kata Arga lagi.
"Tapi aku pernah lihat, papa dan mama bertengkar kok." kilah Karin lagi.
"Kapan?" tanya Arga.
"Tadi malam, terus papa malah mencium mama di kamar." jawab Karin dengan muka polosnya.
"Eh?"
"Papa juga tidurin mama di kasur." ucap Karin lagi masih dengan wajah polosnya.
Arga semakin bingung, dia harus menanggapi bagaimana dengan anaknya itu. Akhirnya dia membawa Karin masuk ke dalam rumahnya.
"Ayo masuk ke dalam rumah, kita main di dalam rumah." ajak Arga pada Karin agar tidak lagi bertanya yang dia sendiri susah untuk menjawabnya.
"Ih, Karin udah besar pa. Kenapa harus main terus?" jawab Karin kesal.
"Kalau ngga mau main, ya belajar dong sayang." Arga mengalihkan ajakannya.
"Ngga mau!" teriak Karin.
"Lho, kok ngga mau?" tanya Arga heran.
"Tadi udah belajar, masa belajar lagi sih."
"Terus maunya apa?" Arga mengalah, dia lelah harus berdebat terus dengan anak bungsunya itu.
"Kita jalan-jalan naik mobil yuk pa, kak Cheril juga di ajak biar rame." ajak Karin antusias.
"Emm, mama ngga di ajak? Abang Angga sama bang Kevin?" memberi pendapat.
"Kan bang Angga belum pulang pa, bang Kevin juga." jawaban Karin selalu bisa mematahkan pertanyaan Arga.
"Nanti kalau abang kalian datang, terus di rumah ngga ada orang. Kan kasihan."
"Kan ada bi Ina di rumah."
Aduuuh, Arga pusing dengan celotehan anaknya itu. Selalu saja kalah dalam berdebat dengan anak bungsunya. Akhirnya dia mengalah, dia mengajak masuk Karin ke dalam rumah.
"Ya udah, kita tanya mama dulu ya." kata Arga akhirnya menyerah dan meminta bantuan istrinya.
"Oke pa."
Senyum Karin mengembang, dia masuk ke dalam rumah mendahului Arga. Tarikan nafas panjang keluar dari hidung Arga, kemudian dia masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamarnya.
_
_
_
❤❤❤❤❤❤❤❤
Namanya Elana Patricia, dia gadis kecil yang di besar oleh sahabat ibunya, Sandra dan Jhosua. Awalnya mereka sangat menyayangi Elana sampai berumur tiga belas tahun. Dia di sayangi oleh Sandra dan Jhosua layaknya anak sendiri, meski mereka berdua sudah mempunyai dua anak. Namun keduanya sangat menyayangi Elana.
Elana senang dia sangat di sayang oleh sahabat mamanya, dia juga sering mengunjungi Mourin ibunya yang masih mendekam di penjara karena melakukan penculikan anak seorang pengacara senior juga terkenal.
Bukan anak sendiri, tapi anak sambung. Namun begitu Elana tidak tahu tentang dakwaan ibunya. Yang dia tahu Mourin ibunya di penjara karena bersalah.
Sejak dia kecil dan sudah bersekolah dia selalu di buly oleh temannya, bahkan tidak ada yang mau berteman dengan anak seorang narapidana. Hal itu membuat Elana sedih, selama seminggu dia tidak mau berangkat ke sekolah.
Sandra dan Jhosua selalu memberinya semangat dan menumbuhkan kepercayaan dirinya agar Elana mau bersekolah lagi.
"Kalau kakak El ngga sekolah, nanti siapa yang akan menemani mama kalau mama keluar dari penjara? Kalau kakak El ngga sekolah, nanti ngga bisa cari uang untuk biaya sekolahnya nanti?" tanya Sandra waktu itu.
"Ada tante Sandra dan om Jhosua." jawab Elana dengan polosnya.
"Kalau tante Sandra dan om Jhosua ngga ada, bagaimana?" tanya Sandra lagi.
"Tapi tante, mereka ngga mau berteman dengan aku tante. Mereka bilang tidak mau berteman dengan anak narapidana. Nanti ikut di penjara katanya, hik hik hik." jawab Elana sambil menangis.
"Mereka bohong, mereka hanya iri sama kakak El. Kakak El kan pintar, jadi mereka tidak suka kakak El pintar. Makanya mereka ngga mau berteman, jadi kakak El sekarang mengerti kenapa mereka tidak mau berteman?" tanya Sandra lagi.
"Iya, nanti mereka kalah sama kakak El." jawab Elana dengan lirih.
"Kalau kakak El ngga sekolah, mereka senang. Artinya tidak ada orang pintar lagi di kelasnya." kata Sandra lagi memberi pengertian pada Elana kecil.
"Tapi mereka sering bilang mama itu orang jahat, kalau orang jahat ngga boleh di temenin." ucap Elana lagi.
"Kata siapa mama El itu jahat? Mama El itu baik, jalau teman kakak El ngga mau berteman dengan kakak, ya udah ngga apa-apa. Tapi ibu guru di sekolah baik kan sama kakak El?"
Elana mengangguk, dia kembali berusaha mencerna ucapan Sandra. Sedikit mengerti, namun dia diam saja ketika banyak penjelasan mengenai sekolah dan belajar.
Dan setiap hari Sandra dan Jhosua selalu memebdrinya semangat setiap kali Elana berangkat sekolah.
Hingga dia berumur tiga belas tahun, tepatnya kelas dua menengah pertama, Sandra masih peduli dengan Elana.
Dan dua tahun berikutnya, Elana sudah menginjak umur enam belas tahun. Sandra mulai berubah, dia kadang memarahi Elana tanpa alasan. Membuat gadis yang sedang tumbuh itu semakin pendiam dan menjauh dari Sandra.
Kadang dia pulang sore hari untuk menghindari omelan Sandra.
Sandra sendiri sekarang mempunyai tiga anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Sejak mempunyai anak perempuan, Sandra mulai berubah. Tapi tidak dengan Jhosua, kadang Jhosua selalu bertanya dan mengobrol tentang sekolah Elana yang baru di masuki di tahap atas.
"Elana, kamu pulang sore lagi?" tanya Sandra pada Elana yang baru pulang.
"Iya tante." jawab Elana.
"Kamu selalu pulang sore, kemana saja perginya? Pulang sekolah itu jam dua, lalu setelahnya kamu kemana?" tanya Sandra dengan nada keras.
Membuat Elana semakin sedih dan merasa bersalah.
"Aku ke tempat maka, tante." jawab Elana takut-takut dan juga berbohong untuk menutupi kalau dia sering membantu ibu kantin.
"Apa harus setiap hari kamu ke lapas itu? Lagi pula, kapan mama kamu keluar?" tanya Sandra.
"Enam bulan lagi tante." jawab Elana pelan.
"Hah, lama banget. Nanti kalau mama kamu keluar, mending kamu urus mama kamu itu. Rumah nenek kamu bulan depan sudah tidak di sewa lagi, kamu beresi untuk nanti mama sama kamu tempati." ucap Sandra dengan ketus.
Mungkin Sandra sedang lelah, hingga dia sering sekali marah sama Elana. Begitu pikir Elana.
"Iya tante, bulan depan El akan memberesi rumah nenek itu untuk tempat tinggal mama sama El." ucap Elana.
"Ya sudah, kamu sana ganti baju. Jaga Mario sebentar, tante mau memandikan Lauren dulu." ucap Sandra sambil berlalu dari hadapan Elana.
Elana hanya menatap Sandra dengan sedih, sejak dia tinggal dengan Sandra selalu di perlakukan baik. Bahkan dia sewaktu mengidap sakit jantung, Sandra yang dengan rela menjaga dan bolak balik ke Singapura untuk berobat.
Elana jadi sedih ketika Sandra berubah sikapnya padanya. Dia merasa tersisih, namun juga merasa berhutang budi pada sahabat ibunya.
_
Waktu terus berjalan, Elana semakin penyendiri. Dia bahkan tidak punya teman sama sekali. Teman-teman di sekolahnya juga mengetahui kalau Elana adalah anak seorang narapidana.
Memang awalnya sedih, tapi seiring waktu berjalan dia kini sudah terbiasa. Kadang ibu kantin yang mau mengajaknya bicara atau mengobrol. Dia juga sering membantu ibu kantin mencuci piring bekas makanan anak-anak yang membeli di sana setelah pulang sekolah.
Ibu kantin merasa kasihan sama Elana, dia juga tahu kalau Elana adalah anak narapidana. Tapi baginya anak narapidana atau pun bukan, Elana adalah anak yang baik dan juga suka membantunya.
"Elana tinggal sama siapa sekarang?" tanya ibu kantin suatu hari ketika pulang sekolah Elana membantu ibu kantin.
"Tinggal dengan sahabat mama, bu. Mau tinggal di mana? Lagi pula ruma eyang sekarang masih di kontrakan, jadi belum bisa di tempati.c" jawab Elana.
"Emm, Elana ngga apa-apa bantu-bantu ibu di kantin? Kan Elana anak sekolahan, jarang lho ada anak sekolah mau membantu pekerjaan orang lain." kata ibu kantin.
"Ngga apa-apa bu, sekalian bersih-bersih aja." jawab Elana.
"Ibu akan beri uang buat Elana, siapa tahu butuh untuk jajan atau ongkos angkot pulang." kata ibu kantin lagi.
"Kan aku cuma bantu bu, kenapa harus kasih uang? Nanti ibu untung jualan habis."
"Ngga kok kalau ngasihnya sekedarnya aja, kalau di kasih semua pada Elana, ya ibu bangkrut. Heheh." jawab ibu kantin dengan bercanda.
Mau tidak mau Elana tertawa kecil, lalu dia pun mengangguk. Apa salahnya menerima uang dari ibu kantin?
"Ya udah, terserah ibu aja. Berapa pun El terima kok."
"Ya udah, mulai besok Elana akan ibu bayar kalau Elana bantu ibu." kata ibu kantin.
"Iya bu, terima kasih sebelumnya."
_
Setiap hari Elana sering pulang sore, kadang dia pergi ke lapas. Kadang juga pergi ke rumah eyangnya untuk merapikan rumah dan bersih-berish setelah di tinggalkan orang yang mengontrak.
Dia juga jika pulang sore, paginya akan izin dulu pada Sandra. Agar Sandra tidak kesal dan marah padanya.
Kadang juga Elana pergi ke makan eyangnya, sejak kecil dia tidak pernah melihat eyangnya Karena sewaktu Mourin berpisah dengan Evan sudah meninggal lebib dulu.
Sandra sedang jalan-jalan dengan suaminya untuk makan malam di luar beserta anak-anaknya. Dia juga menitip pesan pada Elana agar tidak boleh pulang sore lagi.
Dan Elana pun pulang, dia membawa beberapa barang untuk di pajang di kamarnya. Pembantu Sandra sudah menunggu di depan teras ketika Elana pulang.
Sesuai dengan perintah majikannya, pembantu itu berkata ketus pada Elana.
"Kamu pulang sore lagi?" tanya pembantu Sandra bernama Mince.
"Iya mba Mince, ada urusan tadi." jawab Elana.
"Kata nyonya kamu jangan pulang sore terus. Mentang-mentang di sayang tuan Jhosua, sekarang sering banget pulang sore." ucap Mince masih dengan nada ketusnya.
Elana menghela nafasnya, kini pembantu Sandra juga tidak menginginkan Elana. Bahkan tidak menghormatinya.
"Iya mba Mince, besok saya tidak pulang sore kok." kata Elana.
"Jadi orang itu tahu diri dong, kamu di sini itu numpang sama nyonya Sandra. Hargai perintahnya juga, jangan keluyuran aja sepulang sekolah." kata Mince lagi.
Dia lalu masuk.ke dalam rumah untuk beberes lagi, Elana pun diam menunduk. Dia juga tidak mau menjadi beban Sandra terus, tapi dia tidak punya cukup uang untuk pindah ke rumah eyangnya dulu.
Tapai dia bertekad bulan depan akan pindah ke rumah eyangnya. Lebih baik dia hidup sendiri jika orang-orang sudah tidak menginginkannya berada di dekatnya.
_
_
_
❤❤❤❤❤❤❤❤❤
Sesuai tekadnya, Elana akan pindah ke rumah peninggalan eyangnya. Memang besar tapi dia akan membaginya lagi untuk di kontrakkan agar dia bisa menyambung hidup dari uang kontrakan rumah sebagian itu.
Uang tabungan dia pakai untuk menyekat tembok menjadi dua rumah. Memang kebetulan rumah agak memanjang dan berbetuk leter L, jadi Elana bisa memotong dan menyekatnya. Di rumah itu juga ada dua kamar mandi luar, dan setiap kamar pasti ada kamar mandinya. Jadi tidak usah mengantri berebut kamar mandi jika pagi hari.
Setelah di rapikan, Elana membuat iklan rumah di sewakan atau di kontrakkan. Dan minggu depan dia akan pindah ke rumahnya yang sekarang.
Sandra tahu kalau Elana akan pindah minggu depan ke rumah peninggalan itu. Jadi dia tidak terlalu marah pada Elana karena minggu depan akan pindah.
Hanya Jhosua belum tahu, biarlah. Nanti juga akan menyadarinya sendiri. Dia tidak mau Jhosua akan memarahi atau menghalanginya untuk pindah rumah.
"Neng, rumah sebelahnya mau di kontrakkan ya?" tanya tetangga yang kebetulan melihat papan tulisan di kontrakkan.
"Iya bu, rumah sebelahnya di kontrakkan. Tapi bayarnya bulanan aja." jawab Elana.
"Oh, gitu ya. Emm, teman saya sedang mencari kontrakan baru. Bisa kan neng tempatnya di kontrakan?" tanya tetangga itu lagi.
"Ya, tentu saja bisa bu."
"Baiklah, besok teman ibu suruh datang kemari untuk melihat keadaan rumahnya sendiri. Boleh minta nomor ponselnya neng?"
"Iya boleh."
Elana pun mengetikkan nomor ponsel ke ponsel tetangga rumah eyangnya. Dia senang, begitu cepat dia akan mendapatkan uang. Bulan depan, setidaknya itu akan menguragi beban hidupnya selama dia tinggal sendiri di rumah itu sebelum dirinya mendapatkan pekerjaan.
Biarlah dia hanya membawa baju-baju dan buku pelajarannya saja, toh di rumah itu ada springbed bekas pemilik yang dulu mengontraknya. Masib bagus sih, tinggal di bersihkan.
"Nanti orangnya mengubungi neng ya." kata tetangga itu yang bernama Siti.
"Iya bu, terima kasih sebelumnya."
"Iya neng, sama-sama."
Elana lalu mengunci rumahnya kemudian dia akan pulang ke rumah Sandra. Rasanya lelah sekali, niatnya dia akan mencicil barang yang akan di bawanya dari rumah Sandra meski tidak banyak, tapi mungkin besok saja. Pikir Elana.
_
Elana bingung mengatakan pada Jhosua kalau besok dia akan pindah ke rumahnya yang baru. Yang masih menyayangi Elana adalah Jhosua, karena Jhosua kerja dan pulang malam hari. Jadi dia jarang bertemu dengan Jhosua. Dan malam ini Jhosua pulang lebih awal dari biasanya.
Elana masih diam belum bicara pada Jhosua tentang rencana besok. Sandra sendiri acuh saja tanpa membantu Elana mengatakan pada Jhosua.
Sampai makan malam selesai, Elana tidak memberitahu Jhosua.
"Aku ngga berani bilang sama om Jho, tapi biarlah. Nanti juga om Jho tahu sendiri." gumam Elana.
Dia merapikan tasnya yang berisi buku-buku pelajaran serta baju seragam sekolahnya. Setelah membereskan selesai, Elana membaringkan tubuhnya. Rasanya lelah sekali, lelah hatinya juga tubuhnya karena dari pagi dia beres-beres lagi di rumah barunya.
Besok hari Senin, Elana izin sebelumnya pada ketua kelas kalau Senin besok dia tidak berangkat. Meski tidak di gubris ucapannya, tapi setidakmya ketua kelas mempunyai jawaban kalau dia izin tidak berangkat sekolah jika gurunya tanya dia tidak hadir. Hari Seninnya Elana pergi ke rumah barunya.
Dia hanya pamit di pagi hari pada Sandra dan Jhosua untuk pindah ke rumah eyangnya.
"Kakak El pindah rumah? Di mana" tanya Jhosua bingung.
"Di rumah eyang dulu om, sayang kalau tidak di tempati. Sebelahnya bisa di kontrakkan sama orang lain." jawab Elana.
"Apa kakak El sudah tidak betah tinggal di rumah om?" tanya Jhosua.
"Bukan om, kan sayang aja rumah kosong di tinggal. Nanti kalau El libur bisa kok datang ke rumah om Jho sama tante San." kata Elana agar Jhosua tidak bertanya tentang keadaannya sekarang.
"Ya, terserah kakak El aja. Om Jho juga ngga bisa melarang kakak El, tapi ingat dengan janjinya ya sering datang ke rumah om dan tante San." kata Jhosua lagi.
"Iya om. Kalau begitu, El pamit dulu om Jho, tante San. Maaf kalau El sudah merepotkan tante sama om Jho." kata Elana meraih tangan Jhosua dan Sandra untuk di cium sebagai tanda hormat.
Jhosua hanya menatap kepergian Elana. Dia yakin Elana merasa tidak enak harus tinggal dengannya dan Sandra. Lagi pula dia tahu istrinya itu suka kesal sama Elana, dia kasihan. Sejak kecil di jauhkan dari teman-temannya sampai sekarang, dan kini istrinya malah sering marah pada Elana. Dia tahu pembantunya juga ikut mengucilkannya. Jhosua sendiri tidak bisa mencegah atau memberi peringatan pada istrinya, bukannya tidak pernah bahkan kadang sering. Tapi timbulnya akan bertemgkar, dan itu tidak baik bagi hubungannya dengan Sandra.
Memang sebaiknya Elana pindah jika keadaan rumah sudah tidak kondusif seperti dulu. Nanti dia akan sering menjenguk Elana jika ada waktu senggang, pikir Jhosua.
Lalu mobil taksi yang membawa Elana pergi sudah melaju menuju rumah yang ada jauh dari rumah Sandra dan Jhosua. Tapi lebih dekat dengan tempat sekolahnya.
Jhosua menatap Sandra yang hanya diam saja sejak tadi, dia tidak tahu apa yang di pikirkan istrinya itu.
"Mama kenapa diam saja?" tanya Jhosua pada istrinya.
Sandra menunduk, namun belum menjawab pertanyaan suaminya. Dia menghela nafas panjang dan melangkah pergi meninggalkan Jhosua yang masih keheranan padanya.
Jhosua hanya menggelengkan kepalanya saja, mau marah atau menasehati juga sudah malas.
_
Sampai di rumah barunya, Elana kembali duduk termenung di kursi tamu model lama. Dia bingung harus melakukan apa saat ini. Elana merogoh saku bajunya, mengambil uang tersisa di saku. Masih ada lima puluh ribu, siang ini dia akan mengambil uang di atm untuk keperluan hidupnya di rumah baru.
Pindah rumah pasti membutuhkan banyak uang, meski hidup sendiri dia butuh barang dan bahan makanan untuk stok di rumah.
Kemudian Elana akan pergi ke warung untuk membeli beras secukupnya hari ini dan juga lauk seadanya. Kadang hidup sendiri lebih baik dari pada hidup dengan orang yang tidak menyukai kita. Hal apa pun akan selalu salah di mata orang yang tidak menyukai kita.
Sampai di warung, Elana memberi barang yang dia butuhkan. Membeli sesuai kebutuhan saja, dan besok dia membeli barang dapur yang penting saja. Kompor dan gas, panci, kuali wajan serta piring seadanya juga gelas.
"Beli apa neng?" tanya tukang warung.
"Beli beras bu sama mi instan lima buah." jawab Elana.
"Sebentar ya neng orang baru di kompleks ini ya?" tanya tukang warung itu.
"Iya bu, baru hari ini." jawab Elana.
"Sendiri aja atau sama siapa?" tanya tukang warung lagi.
"Sendiri bu." jawab Elana singkat saja.
Dia sudah tidak nyaman jika di tanya terus, pasti ujung-ujungnya tanya orang tuanya. Semoga ibu warung ini tidak tanya-tanya lagi, gumam Elana dalam hati.
Dan doa Elana terkabul, ada dua orang pembeli lagi sehingga tukang warung melayani pembeli lainnya.
"Nih neng, jumlahnya dua puluh lima ya."
"Ini bu uangnya."
Setelah memberikan uang pada tukang warung, Elana menunggu kembalian. Dia melihat dua orang itu seperti seorang mahasiswa yang sedang berbelanja. Dan sepertinya mereka sedang melakukan KKN di kampung itu.
Elana memerima kembalian uangnya, lalu dia pergi dari warung tersebut dan pulang ke rumahnya.
_
_
_
❤❤❤❤❤❤❤❤❤
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!