Tidak seperti biasanya, pagi ini para murid perguruan berkumpul di pelataran halaman. Semua mata tertuju pada seorang pemuda yang bernama Lembah Manah.
Dengan tangan terikat ke belakang, pemuda itu berlutut di tengah pelataran halaman dan bersiap menerima hukuman dari gurunya—Ki Tunggul Wulung.
Sebelumnya, Lembah Manah tersulut emosi dan mencoba memukuli Wanapati yang selalu meledeknya dengan sebutan ‘kacung kampret’.
Bukan tanpa alasan Wanapati memanggil Lembah Manah dengan sebutan itu. Karena selama belajar di Perguruan Jiwa Suci milik Ki Tunggul, Lembah Manah tak kunjung menaikkan level ilmu kanuragannya, hingga pemuda itu dikeluarkan dari perguruan.
“Lembah Manah! Atas kelancanganmu, aku hukum agar kau membersihkan seluruh perguruan selama seminggu penuh!” seru Ki Tunggul dengan nada keras.
“Tapi guru—!”
“Tidak ada tapi-tapian! Itu semua karena kesalahanmu!” kilah Ki Tunggul memotong perkataan Lembah Manah.
Wanapati tertawa penuh kemenangan, pemuda itu sengaja memancing amarah Lembah Manah agar bertindak bodoh. Dan benar saja, Lembah Manah terpancing emosi karena ejekan dari Wanapati dan menghajar dirinya, hingga terkena hukuman.
“Bersihkan semua, dasar kacung kampret!” seru Wanapati mengejek Lembah Manah.
“Sudah Wanapati!” sahut Ki Tunggul menghentikan tindakan Wanapati. “Kalian semua, kembali ke aula pembelajaran. Ada materi yang ingin aku sampaikan!”
Wanapati memang terkenal sebagai murid yang jahil. Pemuda itu selalu mengganggu murid yang lainnya bersama kedua kawannya, Jayadipa dan Nata.
“Awas kau, Wanapati!” geram Lembah Manah sembari mengayunkan gagang sapu lidinya.
Dulu, sebelum dikeluarkan dari perguruan, cukup lama Lembah Manah menimba ilmu di dalam perguruan itu. Kurang lebih lima tahun pemuda itu mendapat banyak materi dari Ki Tunggul.
Namun, dalam satu kesempatan ketika uji tanding sesama murid perguruan, Lembah Manah tak kunjung mengeluarkan ilmu kanuragannya, dan hanya mengandalkan kekuatan fisik dari tubuhnya untuk bertarung.
Pada akhirnya, dengan berat hati Ki Tunggul mengembalikan Lembah Manah kepada ibunya di tempat asalnya. Rumah pemuda itu berada di Desa Kedhung Wuni, desa ujung timur yang berada di Negeri Yava.
Sesekali Lembah Manah memperhatikan para murid perguruan dari luar pagar, seakan pemuda itu ingin kembali menjadi bagian dari perguruan itu.
Namun, tetap saja kebijakan dari Ki Tunggul tak bisa diubah, Lembah Manah tak bisa bergabung dengan perguruan, hingga kejadian pagi ini yang membuatnya dihukum.
Lembah Manah masih saja menyapu halaman yang tampak kotor oleh guguran daun mahoni dari luar pagar perguruan. Sesekali memandangi aula pembelajaran yang berhadapan langsung dengan pelataran halaman perguruan.
“Kamu nggak makan dulu, Lembah!” Terdengar suara dari belakang Lembah Manah mengagetkan pemuda itu. Dialah Mbok Pani, perempuan tua yang mengurus segala keperluan dapur perguruan.
“Nanti saja, Mbok. Ini masih tanggung, emm, sebentar lagi juga selesai!” sahut Lembah Manah menghentikan kegiatannya.
“Kalau sudah selesai, langsung saja ke dapur. Simbok sudah menyiapkan makanan untuk kamu, Le!” ucap Mbok Pani seraya meninggalkan Lembah Manah dan hendak menuju dapur perguruan.
Pada era sekarang, setiap pendekar harus memiliki tenaga dalam yang diolah menjadi ilmu kanuragan. Namun, berbeda dengan Lembah Manah, sejak dulu pemuda itu tak kunjung menunjukkan olah kanuragannya.
Misal latihan uji tanding melawan teman-temannya, Lembah Manah hanya menggunakan kekuatan fisik tanpa mengaktifkan ilmu kanuragannya.
“Mbok, mana makanannya. Lembah sudah lapar, Mbok!” seru pemuda itu sesaat setelah memasuki dapur perguruan.
“Ambil saja di meja, dekat tungku!” sahut Mbok Pani yang masih sibuk membersihkan sisa-sisa makanan murid perguruan.
Dulu, Mbok Pani memiliki putra laki-laki, tetapi karena bencana banjir yang melanda, Mbok Pani kehilangan suami dan anaknya itu.
“Kalau saja Awal masih hidup, usianya mungkin sama denganmu, Lembah!” seru Mbok Pani memandangi wajah Lembah Manah yang menurutnya mirip dengan anaknya.
“Masa sih Mbok!” sahut Lembah Manah dengan mulut penuh makanan.
“Iya Lembah, tapi sayang umurnya tidak panjang!” Perlahan Mbok Pani meneteskan air matanya.
“Sudah-sudah, Simbok jangan menangis. Emm, anggap saja aku ini Awal, Mbok!” Lembah Manah mencoba menenangkan Mbok Pani. “Ohh, iya Mbok. Setelah makan siang, Lembah diminta untuk membersihkan perpustakaan, ini juga bagian dari hukuman Lembah!”
“Kamu sih, pakai main pukul sama Wanapati!” gerutu Mbok Pani membelai rambut Lembah Manah.
“Siapa suruh dia meledek terus, huh!” geram Lembah Manah mengingat kelakuan Wanapati kepada dirinya.
“Hmm, dasar anak muda, sukanya main pukul tanpa memikirkan akibatnya!” tutup Mbok Pani.
Selesai melakukan ritual siangnya, Lembah Manah hendak menuju perpustakaan. Pemuda itu berjalan dari dapur melewati aula pembelajaran sembari membawa sapu ijuk di tangan kanannya.
Ketika sampai di depan pintu aula, Lembah Manah berhenti sejenak dan menoleh ke arah Wanapati yang duduk paling depan di dalam aula pembelajaran. Kemudian pemuda itu menjulurkan lidahnya dan berkata, “wek, Wanapati jelek!”
Sontak, para murid yang tengah menerima materi tertawa terbahak-bahak melihat tingkah Lembah Manah yang sedikit nyeleneh. Aula yang tadinya tenang, berubah menjadi ramai karena ulah Lembah Manah.
“Awas kau ya, dasar kacung kampret!” lirih Wanapati wajahnya memerah karena menahan malu.
***
Pintu tidak terkunci, pemuda itu memasuki perpustakaan dengan leluasa, tidak ada orang lain di dalamnya. Perlahan, Lembah Manah menyapu dari sisi paling ujung yang penuh debu, sembari melihat buku tentang ilmu kanuragan yang tertata rapi.
“Andai saja aku bisa mengolah tenaga dalamku. Pasti sudah aku pelajari buku ini!” lirih Lembah Manah berbicara sendiri.
Pandangan pemuda itu tertuju pada sebuah buku tentang pengobatan dan racun. Lembah Manah menghentikan kegiatannya dan menaruh sapu ijuk di depan rak buku. Diraihnya buku itu dan dibaca dengan teliti, Lembah Manah mencoba memahami isi buku itu.
“Buku tentang pengobatan dan racun! Emm, sepertinya menarik!” lirih Lembah Manah berbicara sendiri.
Banyak pelajaran yang didapat setelah memahami isi buku yang tebalnya lebih dari ratusan halaman itu. Terlebih lagi, Lembah Manah tipe pemuda yang mudah hafal dalam sekali melihat, jadi tak terlalu sulit baginya untuk mengingat isi buku itu.
Kembali Lembah Manah mengayunkan sapu ijuknya sesaat setelah mengembalikan buku pengobatan dan racun pada tempatnya. Pemuda itu terkejut ketika melihat kotak usang yang tergeletak di pojok kiri atas rak buku.
Peti itu penuh debu dan sepertinya sudah lama tidak tersentuh oleh tangan. Diambilnya peti kotak itu dan diletakkan pada sebuah meja tak jauh dari rak buku.
“Kotak apa ini!” seru Lembah Manah memperhatikan peti kotak berwarna hitam itu.
Dengan perlahan, Lembah Manah membuka peti usang itu yang sepertinya tidak terkunci. Kembali pemuda itu dikejutkan oleh sebuah kitab kuno yang berada di dalam peti itu. Kitab berwarna hitam yang tebalnya kurang lebih setengah jengkal itu diangkat dan diletakkan di atas meja.
Dengan hati-hati pemuda itu membuka halaman pertama. Tanpa Lembah Manah duga, seberkas cahaya yang menyilaukan keluar dari dalam kitab itu, diikuti dengan suara tawa yang keras.
Lembah Manah mundur beberapa langkah karena kaget dan hampir saja terjatuh.
“Apa ini!” ucapnya sembari menutup mata dengan telapak tangan kirinya.
“Hahaha! Berani sekali kau membuka kitab kuno ini, Lembah Manah!”
Terdengar suara dari dalam kitab kuno yang bersamaan keluar dari cahaya menyilaukan itu.
Lembah Manah kaget bukan main, sepertinya pemuda itu tidak asing dengan suara yang keluar dari dalam kitab kuno.
Sembari menutup matanya, pemuda itu mencoba mengingat kembali suara yang sangat akrab dengannya.
“Emm, suara ini. Anu, apakah itu Anda Guru Gendon?” seru Lembah Manah yang masih menutup matanya karena cahaya itu belum juga lenyap.
“Ternyata kau masih hafal dengan suaraku, Lembah Manah. Aku tak menyangka kau sudah tumbuh besar!” sahut suara itu dari balik cahaya yang perlahan mulai meredup.
Cahaya itu menghilang, diikuti dengan sosok gemuk yang menampakkan wujudnya. Seorang kakek tua dengan rambut dan jenggotnya yang memutih melayang di depan Lembah Manah. Sosok itu tembus pandang dengan memakai pakaian yang juga serba putih.
Dialah roh dari Ki Gendon Kroya yang telah meninggal sewaktu Lembah Manah masih kecil. Ki Gendon adalah guru Lembah Manah, sekaligus pendiri dari Perguruan Jiwa Suci.
Lembah Manah telah menganggap Ki Gendon seperti ayahnya sendiri, karena sedari kecil Ki Gendon juga yang mengasuh Lembah Manah.
Seketika Lembah Manah berlutut di depan Ki Gendon. Pemuda itu meneteskan air matanya karena merasa terharu bisa bertemu kembali dengan guru yang dihormatinya, walaupun dalam wujud roh.
“Guru, apa ini benar Guru Gendon!” lirih Lembah Manah menatap wujud roh sang guru.
“Ya benar, ini aku Lembah, tapi aku hanya berwujud roh!” sahut Ki Gendon.
Lembah Manah terkejut sekaligus senang bercampur sedih. Di satu sisi dia bisa bertemu kembali dengan gurunya. Di sisi lain dia merasa bingung, kenapa roh sang guru masih bisa menemuinya?
Dia pun terbangun dari berlututnya dan kembali bertanya, “kenapa guru bisa berada di tempat ini?”
“Kau pasti terkejut mengapa rohku dapat bertemu denganmu!” seru Ki Gendon mengelus jenggotnya. “Itu karena dulu sebelum aku wafat, aku sengaja menyisihkan sebagian kanuraganku untuk masuk ke dalam kitab ini. Aku menunggu orang yang tepat yang aku pilih untuk mewarisi semua ilmuku!”
“Tapi guru, aku tidak memiliki ilmu kanuragan apa pun. Bahkan aku juga tak mampu mengolah tenaga dalamku untuk menjadi ilmu kanuragan!” sahut Lembah Manah menjelaskan keadaannya kepada sang guru.
Setiap pendekar pasti memiliki tenaga dalam, tinggal pendekar itu bisa mengolahnya menjadi ilmu kanuragan atau tidak. Dalam kasus ini, Lembah Manah memiliki tenaga dalam, tetapi tidak bisa mengolahnya menjadi ilmu kanuragan.
Biasanya, anak berusia delapan hingga dua belas tahun mampu membangkitkan ilmu kanuragannya. Lalu, bagaimana dengan Lembah Manah yang kini berusia tujuh belas tahun?
Umumnya pusat tenaga dalam letaknya di dalam perut bagian bawah seseorang. Dan untuk mengaktivasinya menjadi ilmu kanuragan, orang itu biasanya bermeditasi terlebih dahulu dengan cara duduk bersila, lalu menghirup udara dalam-dalam yang di alirkan ke paru-paru.
Dari paru-paru kemudian dilanjutkan menjadi udara bersih menuju otak, lalu otak mengalirkan udara bersih itu ke titik pusat tenaga dalam. Dan kemudian, melewati titik meridian, tenaga dalam dialirkan ke seluruh tubuh untuk menjadi ilmu kanuragan.
“Kau berbeda Lembah, titik pusat tenaga dalammu berada di tulang belakang, bukan di dalam perut bagian bawah!” ucap Ki Gendon kembali memperhatikan tubuh Lembah Manah. “Aku sudah mengamatimu sejak awal aku bertemu denganmu, tetapi aku wafat terlebih dahulu sebelum menjelaskannya kepadamu!”
Titik pusat di tulang belakang adalah sebuah kejadian yang sangat langka, bahkan bisa di bilang seribu tahun sekali baru bisa turun kejadian langka seperti itu. Dan sekarang, hal itu ada di dalam diri Lembah Manah.
“Jadi, apakah aku bisa mengaktivasi tenaga dalamku guru?” tanya Lembah Manah dengan senyuman tipis di bibirnya.
“Bisa Lembah, aku akan membantumu!” sahut Ki Gendon mengelus jenggotnya. “Sekarang coba kau duduk bersila dan tarik napas secara teratur!”
“Baik guru,” sahut Lembah Manah sembari duduk bersila dan menutup mata di depan gurunya meski tanpa alas apapun.
“Biarkan napasmu mengalir ke paru-paru, tahan satu detik dan lepaskan perlahan lalu bernapaslah kembali secara teratur!” sambung Ki Gendon menuntun Lembah Manah. “Udara yang masuk ke paru-parumu biarkan mengalir ke otak, lalu alirkan ke tulang belakangmu bagian bawah!”
Lembah Manah menuruti perintah gurunya, pemuda itu mulai merasakan tubuhnya sedikit lebih hangat dan sangat bertenaga.
“Guru! tubuhku terasa lebih hangat dari sebelumnya!” ucap Lembah Manah membuka matanya.
“Bagus, kau telah berhasil mengaktivasi tenaga dalammu untuk mengubah menjadi ilmu kanuragan!” sahut Ki Gendon menganggukkan kepalanya. “Sekarang coba kau alirkan tenaga dalammu menuju kedua tanganmu!”
Saat itu juga, kedua tangannya terlihat seperti bercahaya berwarna biru.
“Bagus Lembah, kau memang murid yang pandai!” puji Ki Gendon kepada Lembah Manah. “Dalam sekali ku ajarkan, kau dengan mudah menguasainya!”
“Tubuhmu dilapisi aura tenaga dalam berwarna biru, itu adalah hal yang sangat langka!” lanjut Ki Gendon memperhatikan tubuh Lembah Manah.
Di dalam dunia kependekaran, ada tiga tingkatan ilmu kanuragan. Dan setiap tingkat ilmu kanuragan, dibagi menjadi tiga tahapan.
Yang pertama ada tingkat Andhap, terbagi menjadi tahap awal, menengah dan akhir.
Yang kedua adalah tingkat Madyo yang terbagi menjadi tahap awal ,menengah dan akhir.
Dan yang ketiga, tingkat Inggil, juga di bagi menjadi tiga tahapan, awal, menengah dan akhir.
Seorang pendekar yang berilmu tinggi, mampu menyembunyikan tingkatan ilmu kanuragannya atau juga bisa menurunkan tingkatan ilmu kanuragannya ketika dalam penyamaran atau pengintaian.
Kini Lembah Manah berada pada tingkatan Madyo tahap akhir, karena berhasil mengaktivasi pusat tenaga dalam dari tulang belakang yang sangat langka.
“Sekarang coba kau lesakkan tenaga dalam di tangan kananmu ke arah depan, tapi ingat jangan menggunakan kekuatan penuh!” pinta Ki Gendon.
Lembah Manah menuruti perintah sang guru, pemuda itu melesakkan tenaga dalam di tangan kanannya ke arah pintu perpustakaan.
DYAR
Seketika terdengar ledakan dan pintu itu hancur.
“Bocah gendeng!” bentak Ki Gendon memukul kepala Lembah Manah, tetapi hanya menembus kepala pemuda itu. “Diminta dengan setengah tenaga, kau malah menggunakan kekuatan berlebih!”
“Iya, iya, iya guru maaf!” jawab Lembah Manah mengelus-elus kepalanya. “Ehh, tidak kena, wek!”
“Dasar bocah gendeng!” Lagi-lagi Ki Gendon dibuat geram oleh Lembah Manah. “Itu adalah Pukulan Tapak Harimau, jurus itu sudah sangat langka Lembah!”
Lembah Manah kebingungan karena pintu yang hancur, ‘bagaimana kalau Ki Tunggul marah’, batinnya dalam hati. Dia harus menjawab apa jika ditanya Ki Tunggul dan semua murid perguruan.
“Lembah! Ada yang datang. Cepat turunkan aktivasi tingkat ilmu kanuraganmu!” pinta Ki Gendon yang diiyakan Lembah Manah.
Sementara itu di dalam aula pembelajaran, Ki Tunggul yang tengah memberi materi kepada muridnya terhenti sejenak, karena mendengar suara ledakan. Pria tua itu meninggalkan para murid untuk menuju sumber suara.
“Kamu lagi Lembah Manah, kenapa pintu ini bisa hancur?” geram Ki Tunggul dengan nada tinggi.
“Anu guru, ini anu guru!” jawab Lembah Manah kebingungan.
“Ona, anu, ona, anu, dasar bocah gendeng! Cepat perbaiki, jika nanti sore belum juga selesai, akan aku tambah lagi masa hukumanmu!” bentak Ki Tunggul dan berlalu meninggalkan Lembah Manah.
“Iya guru, ampun guru, segera Lembah perbaiki!” kilah Lembah Manah menundukkan kepalanya.
Ki Tunggul kembali ke aula pembelajaran dengan melangkahkan kakinya. Lembah Manah hanya mengelus dada dan tertawa kecil sembari menoleh ke arah Ki Gendon dan berkata lirih, “lihat tuh guru, kelakuan anak guru hihihi!”
“Oooo, dasar bocah gendeng!” geram Ki Gendon menampar kepala Lembah Manah, dan lagi-lagi hanya menembus kepala pemuda itu.
Ki Tunggul adalah anak satu-satunya dari Ki Gendon yang melanjutkan menjadi pengasuh perguruan bersama Sesepuh Anggada. Pria tua itu mempunyai seorang anak laki-laki yang bertugas menjadi telik sandi perguruan. Sedangkan Sesepuh Anggada, adalah adik dari Ki Gendon.
“Bagaimana ini guru, kalau tidak segera di perbaiki Lembah bisa kena hukum lagi!” rengek Lembah Manah dengan menggaruk-garuk kepalanya.
SWING!
Terlihat sinar biru dari tangan kanan Ki Gendon menuju ke pintu yang hancur, dan pintu yang hancur itu kembali ke bentuknya semula.
“Wah, hebat guru, terima kasih!” seru Lembah Manah kegirangan.
Lembah Manah melanjutkan hukumannya untuk membersihkan perpustakaan, hingga sore hari dia belum juga selesai karena asyik melepas rindu dengan sang guru.
Tak lama berselang murid-murid perguruan keluar dari aula pembelajaran, sementara Lembah Manah masih saja di dalam perpustakaan.
“Lembah, hanya kaulah yang bisa melihatku. Jadi tolong rahasiakan semua ini dari siapa pun!” perintah Ki Gendon kepada Lembah Manah.
“Baik guru, Lembah mengerti!” sahut Lembah Manah dengan menganggukkan kepalanya.
Wanapati, Jayadipa dan Nata yang telah selesai mendapat materi pelajaran hari ini, mencoba untuk menghampiri Lembah Manah yang tengah berada di dalam perpustakaan. Ketiga pemuda itu mencoba untuk menjahili Lembah Manah.
“Lembah, ada yang datang, cepat turunkan tingkat aktivasi kanuraganmu!” ujar Ki Gendon memperingatkan Lembah Manah. “Jika kau butuh bantuanku, panggil saja namaku!”
“Baik guru, Lembah mengerti!” jawab Lembah Manah seraya menurunkan tingkat aktivasi kanuragannya.
BRAK!
“Hoi kacung kampret!” gertak Wanapati seraya memukul pintu perpustakaan. “Mau cari masalah denganku, pakai menjulurkan lidah segala!”
“Maaf Wanapati, emm aku tidak bermak—!”
“Alasan! Kacung kampret sepertimu tak mungkin bisa mengalahkanku!” seru Wanapati memotong perkataan Lembah Manah. “Tiga bulan lagi aku menantangmu dalam pertandingan antar pendekar muda di kerajaan!” tutup Wanapati melangkah keluar perpustakaan bersama kedua temannya.
“Baik Wanapati, aku bersedia!” sahut Lembah Manah tersenyum tipis.
Hingga hari menjelang petang, Lembah Manah bergegas kembali menuju dapur perguruan untuk meminta jatah makan malam kepada Mbok Pani. Tak lupa pemuda itu mengembalikan kitab kuno Ki Gendon pada tempatnya semula.
***
Pagi menjelang, kicauan burung kutilang terdengar merdu menyambut sinar mentari. Seperti biasa, Lembah Manah bangun lebih awal dari murid yang lain, dan membantu Mbok Pani menyiapkan sarapan untuk penghuni perguruan.
Lalu, Lembah Manah sarapan setelah para murid menyantap makanannya dan masuk ke aula pembelajaran.
Lembah Manah masih dalam masa hukuman, pemuda itu harus membersihkan seluruh area perguruan dari ujung depan hingga ujung belakang. Namun, tempat yang membuat Lembah Manah betah berlama-lama adalah perpustakaan. Di sana, dia mendapat banyak pelajaran dari mendiang sang guru.
“Anu Mbok, apakah Lembah boleh memakai tungku itu Mbok!” seru Lembah Manah yang tengah merencanakan sesuatu sembari menunjuk ke arah tungku yang biasa di pakai Mbok Pani.
“Memang buat apa toh le, kalau mau di pakai ya di pakai saja sesuai kebutuhan. Lha wong itu juga untuk keperluan dapur toh!” jawab Mbok Pani.
“Baik Mbok, emm terima kasih!” sahut Lembah Manah berlalu keluar dari dapur.
Pemuda itu berencana untuk membuat aneka ramuan, karena kemarin telah membaca kitab tentang pengobatan. Dan tentu saja dengan bantuan Ki Gendon.
Segera Lembah Manah menuju perpustakaan membawa sapu ijuk, tetapi kali ini tak memedulikan Wanapati yang tengah belajar di dalam aula.
“Guru, apa guru masih di sini?” ucap Lembah Manah sesaat setelah menutup pintu perpustakaan dan berjalan pelan menuju peti kitab kuno.
“Ada apa Lembah, sepagi ini kau sudah menemuiku!” sahut sang guru diikuti dengan datangnya cahaya yang menyilaukan mata.
“Guru, Lembah ingin belajar ilmu pengobatan dari guru, apa guru tak keberatan,” pinta Lembah Manah dengan nada lirih dan memelas.
“Hahaha, apa aku tak salah dengar!” Ki Gendon mengerutkan keningnya.
“Tidak guru, anu, Lembah ingin belajar ilmu pengobatan,” jawabnya lagi.
“Baiklah, aku akan menuntunmu. Untuk seorang pendekar, pengobatan yang utama adalah ramuan pemulihan tenaga, lalu ramuan penambah tenaga dan ramuan kebal racun!” Ki Gendon menjelaskan.
“Baik guru, Lembah mengerti!” sahut Lembah Manah menganggukkan kepalanya.
“Pertama kita membutuhkan bahan-bahan ramuan yang ada di sekitar, semisal bunga lidah api, daun darah naga, madu semut hitam dan lain sebagainya,” ucap Ki Gendon mengelus jenggotnya. “Lalu tungku perapian dan kuali untuk merebus bahan-bahan itu!”
Seorang pendekar tingkat tinggi biasanya menguasai berbagai macam ilmu pengobatan dan ramuan. Misalnya ramuan pemulihan tenaga, digunakan setelah selesai bertarung dan dalam masa istirahat, seorang pendekar harus mengonsumsi ramuan ini.
Lalu ramuan penambah tenaga, digunakan apabila seorang pendekar kehabisan tenaga saat bertarung, tetapi masih bisa mengulur waktu untuk mengonsumsi ramuan ini.
Dan yang ketiga ramuan kebal racun, digunakan apabila terkena racun atau di gunakan sebagai penawar racun.
Biasanya seorang pendekar membawa berbagai ramuan ini dalam bentuk cair dengan wadah yang terbuat dari bambu kecil dipotong dan diambil bagian tengah ruasnya.
“Guru lebih baik kita pergi ke dapur. Emm, selain tungku dan kuali, di sana juga tersedia bahan-bahan yang kita butuhkan!” seru Lembah Manah mengajak gurunya.
Ki Gendon menyetujui permintaan Lembah Manah, mereka menuju dapur sesaat setelah Mbok Pani pergi ke pasar untuk membeli keperluan dapur. Tak ada yang bisa melihat Ki Gendon kecuali hanya Lembah Manah, karena pemuda itu sudah dipilih sendiri oleh Ki Gendon.
“Sekarang kau nyalakan api, lalu taruh kuali yang berisi air di atas tungku!” perintah Ki Gendon seraya memperhatikan Lembah Manah.
“Baik guru!” sahut Lembah Manah mengikuti permintaan sang guru.
“Lalu masukkan bunga lidah api, gula aren hitam dan sedikit daun darah naga, kita akan membuat ramuan pemulihan tenaga!”
“Bagus Lembah, kau dapat mengerti dengan cepat!” puji sang guru kepada Lembah Manah.
“Terima kasih guru, ini semua juga berkat bantuan guru!”
Tak membutuhkan waktu yang lama, satu ramuan sudah mengisi ruas potongan bambu yang sudah Lembah Manah persiapkan sebelumnya.
“Berikutnya kita akan membuat ramuan penambah tenaga. Seperti sebelumnya, taruh kuali berisi air di atas tungku!” perintah Ki Gendon. “Lalu masukkan bunga lidah api, gula aren hitam, sedikit madu semut hitam dan beberapa butir merica!”
Tak lama berselang ramuan yang kedua sudah memenuhi potongan ruas bambu milik Lembah Manah.
“Dan yang terakhir kita akan membuat ramuan kebal racun. Isi kuali dengan air dan letakkan di atas tungku. Stabilkan perapianmu Lembah!” perintah sang guru.
Lembah Manah mengangguk tanda mengerti apa yang Ki Gendon perintahkan.
“Masukkan daun darah naga, madu semut hitam dan air kelapa secukupnya,” lanjutnya.
“Baik guru!” ucap Lembah Manah sembari memasukkan bahan-bahan itu ke dalam kuali.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!