...*****...
Saat itu, SMA Taran. Di salah satu kelas, seorang anak culun tampak sedang tertunduk tak berdaya di hadapan beberapa murid laki-laki lainnya. Dengan wajah yang telah dipenuhi memar dan badan babak belur, anak itu hanya bisa mengerang lirih sebagai ungkapan kekesalan.
"Oi, bangun dong, Bud! Kalo kamu cuma nunduk gitu, jadi nggak seru nanti ...!" sindir salah seorang dari mereka. Si cowok dengan tatto naga yang menghiasi kedua lengannya. Tak salah lagi, dialah Reza–sang penakluk jalanan.
Bukan tanpa sebab dia dijuluki seperti itu. Reza memang dikenal akan keberingasannya dalam menghabisi lawan. Jadi tak heran, jika pemenang turnamen tinju antar sekolah tersebut disegani oleh semua orang.
"Cih, lagi-lagi seperti ini ...," gumam anak berkacamata tadi sembari mengepalkan tangan.
Dia, Budi. Bertolak belakang dengan orang yang baru saja menghajarnya, Budi lebih dikenal sebagai cowok pendiam. Pilihannya untuk menarik diri dari kehidupan sosial memang berpengaruh besar dalam banyak hal. Salah satunya, ini.
Meski siswa lainnya jelas mengetahui bahwa Budi telah terpojok, tetapi tetap tidak ada yang sudi datang dan mengulurkan tangan padanya. Selain karena mereka takut pada Reza, anak-anak itu memang tidak mau terlibat segala hal yang berkaitan dengan Budi.
"Hei, kalau ditanya itu dijawab!" Serangan belum berakhir. Reza mengayunkan sebuah tendangan keras ke arah tubuh Budi. Bahkan, saking kerasnya, sampai membuat anak tak terdosa itu terpelanting jauh hingga menabrak tembok belakang kelas.
Brak!
Suara keras terdengar setelah tubuh Budi membentur tembok, entah apa itu.
"Hehehe ... apa tulangmu patah, huh?" sinis si berandal sekolah tersebut. Reza menyeringai lebar sembari memandangi Budi yang sepertinya tak larat untuk berdiri lagi.
Sial! Budi membatin, sibuk mengumpat.
Gigi bawah dan atasnya berpadu dan menggertak pada saat bersamaan. Matanya membelalak tajam, bersiap melepaskan serangan balasan atas segala rasa sakit yang ditanggungnya. Ia melepas napas berat bak banteng yang hendak menyeruduk mangsa.
Saat merasa bahwa momentum telah tepat, Budi melesat laju ke arah Reza. Gerakan mendadaknya diakhiri oleh sebuah pukulan lurus menuju perut. Budi berhasil memukul perut Reza.
Namun, kenyataan tak sesuai dengan apa yang diharapkan. Pukulan Budi memang mengenai perut Reza, akan tetapi, orang yang terkena serangan tampak baik-baik saja. Tentu saja, perut yang telah terlatih melawan pukulan lemah pecundang, Budi tidak memiliki kesempatan untuk menang.
Semua tatapan tertuju kepadanya. Kepada Budi dan tingkah konyolnya.
Apa dia sudah kehilangan akal?
Semua orang berpikir demikian. Tidak salah juga, sebab Budi sendiri juga berpikir hal yang sama. Ia merasa bahwa dirinya baru saja membuat sebuah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Anak culun itu hanya mampu tertunduk malu di hadapan Reza.
Sedangkan Reza malah menatap ubun-ubun Budi dengan tatapan tajam. Tak lama kemudian, bibirnya mengukir senyuman miring. "Khehehe ... apa kalian lihat tadi? Budi baru saja memukul perutku, hahahaha!" pekiknya memenuhi seluruh ruangan.
Murid-murid sekelas terdiam. Mereka kembali berpura-pura sedang mengerjakan sesuatu. Tak seorangpun dari mereka yang berani melirik sorot mata Reza saat ini.
Sebab, Reza dikenal sebagai seorang pribadi yang tak sudi dipukul oleh siapapun. Hukumnya adalah, '"Aku yang memukul, aku yang mengakhirinya. Tak seorang pun yang boleh melukaiku, sebelum aku yang memintanya."
Jadi, mungkin saat ini, Budi tengah berada dalam situasi genting. Hidupnya mungkin akan berakhir sebentar lagi. Di tangan sang perundung, nyawa seseorang akan kembali melayang.
Mungkin?
"Hei, Bajing*n! Kau sudah berani memukulku lebih dulu, padahal aku belum menyuruhmu." Reza menarik kerah baju Budi sekuat tenaga dan mulai mengangkat tubuhnya ke atas. "Hari ini, akan kupastikan kau mati dengan menyakitkan, Budi," bisiknya kemudian.
Reza memandangi kedua mata manik Budi dengan tatapan yang masih sama. Sorot tajam layaknya seorang pembunuh sejati. Ia telah terbutakan oleh emosinya saat itu. Tingkah konyol yang dilakukan oleh Budi berhasil memicu amarahnya memuncak.
Sedangkan Budi, laki-laki itu justru menelan ludahnya sendiri. Meski lehernya telah tercekik sekalipun, dia masih tetap berharap bahwa dirinya tidak mati. Walau napasnya mulai tak beraturan, Budi masih menginginkan adanya keajaiban yang akan membantunya sekarang.
Kumohon, siapapun, bantu aku! jerit Budi dalam batin.
Secara tiba-tiba, entah dari mana, muncul sebuah suara.
Ding!
Lalu, diikuti munculnya tulisan di atas panel.
[Apa Anda ingin menjadi lebih kuat?]
[Ya/Tidak]
Itu?! Budi terkejut.
"Heh! Lepasin dia!" teriak seorang gadis dari kejauhan.
Semua mata langsung beralih menatap ke arah sumber suara.
Reza sedikit melirik ke belakang, karena dia merasa familiar dengan suara yang mengalun tersebut. "Ah!" Ia lalu melepaskan Budi secara kasar. "Pantas saja suaranya nggak asing, ternyata kamu toh, Arin!" sambung Reza seraya berbalik badan sepenuhnya. Ia tersenyum sumringah kepada gadis itu. Sifatnya seketika berubah 180 derajat.
Arin, nama gadis itu. Siswa mana yang tidak kenal dengannya. Si cewek cantik dari kelas 1-F. Perempuan yang menjadi ikon sekolah dan wajah bagi klub voli. Selain karena wajahnya yang cantik, Arin juga berbakat dalam berbagai hal. Tak heran jika dia menjadi incaran para kaum adam.
Tetapi, siapa sangka, meski posisi Arin terlihat sangat berpengaruh di sekolah, ternyata dia adalah adik perempuan dari si pecundang yang telah babak belur itu. Yah, Arin adalah adik perempuan Budi.
"Ah, apa kamu ke sini mau nengok aku–" Belum selesai Reza berbicara, Arin telah berjalan melewati dirinya dengan wajah dingin.
Gadis itu berjalan menghampiri Budi. "Bud, kamu nggak papa, kan?" tanya Arin dengan wajah penuh kekhawatiran.
Budi tidak menjawab. Ia hanya memegangi lehernya sambil mematung.
"He?" Sedangkan Reza masih terpaku bingung. Ia menatap Arin yang tampak sangat mencemaskan Budi.
"Bud?" Namun, lamunan Budi langsung buyar saat teguran kedua dilontarkan.
Budi terlepas dari ketakutannya. "Ah, iya ...." Ia memegangi kepalanya dan mendongak ke atas.
Deg!
Betapa terkejutnya dia saat mendapati seorang gadis cantik berambut hitam panjang tengah bertatapan dengannya. Budi reflek sedikit mundur karena terkejut. Ia langsung menutupi wajahnya yang semakin memerah.
"Eh?" Tapi, akhirnya dia menyadari siapa orang di depannya. "Arin? Kamu ngapain di si–Eeeeeh? Ke-kenapa kamu nangis?!" Pada waktu bersamaan, Budi dikejutkan dengan Arin yang tiba-tiba menangis.
Budi segera mendekatinya dan meraih bahu gadis itu dengan maksud berusaha menenangkan. Namun, para murid cowok di sekitarnya malah berpikiran bahwa dia sedang mencari kesempatan. Mereka, termasuk Reza, kompak memicingkan mata kepada anak tersebut.
"Arin ...?"
"Kamu tu ... kalo ada apa-apa cepet lapor guru dong! Masa kamu diem aja padahal badanmu babak belur begitu?!" peringat Arin dengan isak tangis yang menyertai, dia lalu melanjutkan, "aku nggak tega ngeliat kamu kaya gini ... hiks ...." Gadis itu menutupi wajahnya dengan lengan kanan.
Arin mencemaskanku?
"Ahaha ... ka-kamu nggak usah nangis gitu! Aku nggak papa kok. Lagian, tadi itu aku sama Reza cuma lagi latihan tinju aja. Jadi, aku dipu ... kul ...."
Karena merasa bersalah pada Arin, Budi pun terdiam tanpa suara. Ia tidak berani mengucap apapun, karena takut akan memperkeruh suasana. Budi hanya mampu menenangkannya dengan kata-kata.
"Maaf, Arin."
"Hei, hei. Kenapa jadi drakor gini?" Reza tiba-tiba menyela pembicaraan. "Tenang aja, Arin. Aku tadi cuma lagi main-main aja kok hahaha ... oh, ya ngomong-ngomong Budi ini siapanya kamu?"
"Diem! Aku udah tau semuanya! Jangan sok-sokan baik di depanku!" Arin melawan dengan air mata yang masih menetes.
Reza menghela napas. "Oke," ucapnya. "Aku ngaku."
"Pokoknya, mulai hari ini, jangan ganggu Budi lagi! Atau–"
"Eh, Arin ... tenang dulu ...!"
"Nggak." Reza membantah. "Aku nggak bisa berhenti gitu aja. Nanti siapa yang nyuciin sepatuku kalo Budi berhenti?"
Arin semakin tersulut emosi. Sementara, Budi hanya mampu terdiam seribu bahasa.
"Tapi, ngeliat kamu sampe memelas gitu, aku jadi nggak tega. Ya udah, khusus buat Arin, aku bakal nurutin permintaannya. Tapi, kita buat perjanjian dulu, deh."
"Perjanjian?"
~Bersambung~
...***...
Bel pulang sekolah berbunyi. Di saat seluruh siswa telah beranjak keluar dari kelas, Budi memutuskan untuk tetap tinggal sementara. Ia duduk di bangkunya sambil berdiam diri, tanpa melakukan apa-apa. Anak laki-laki itu kembali mengingat tentang kejadian pada jam istirahat beberapa saat lalu.
Selepas terlibat dalam perdebatan singkat dan peringatan dari Arin, Reza pun bersedia menghentikan perundungan terhadap Budi. Namun, hal itu dapat terlaksana jika Budi mampu mengalahkannya dalam pertarungan. Syarat yang dilontarkan jelas sangat memberatkan pihak Budi.
Arin dan Budi sempat menolak karena merasa tidak adil. Tetapi, pada akhirnya Budi menerima tantangan tersebut karena tersulut oleh perkataan Reza yang menyinggung tentang ibunya. Walau Arin terus berupaya membujuk Budi agar mengubah keputusannya, tetapi anak itu tetap berpegang teguh.
Karena dua pihak telah sepakat, perjanjian pun dilakukan. Dalam jangka waktu 2 hari ini, Reza dilarang mengganggu Budi, sampai waktu pertarungan tiba.
Budi dan Reza setuju. Dan mungkin, lagi-lagi dia membuat keputusan yang bodoh.
Pecundang melawan seorang preman sekolah. Antara harga diri dan rasa malu, keduanya akan ditentukan dalam lusa mendatang.
"Aissh ... lagi-lagi begini ...." Budi menggaruk-garuk kepalanya dan lalu membenturkan keningnya di atas meja. "Mana mungkin aku bisa menang dengan tubuhku yang seperti ini? Bahkan, pukulanku yang jelas mengenai perutnya saja tak bisa membuat Reza tumbang. Aahh sial!"
Rasa kesal yang berkecimpung dalam hatinya mulai terealisasi. Ia lantas menyesali segala yang telah terjadi hari ini. Anak itu menghela napas berat.
Di kala Budi telah sampai pada titik tersulit, sebuah keajaiban datang padanya.
Ding!
Namun, tiba-tiba terdengar suara aneh yang memecah keheningan. Mata Budi langsung memekak sempurna, karena dia merasa tidak asing dengan suara itu. Ia mengubah posisi tubuhnya menjadi kembali duduk tegak.
[Apa Anda ingin menjadi lebih kuat?]
[Ya/Tidak]
Sesuai dugaannya, setelah suara tadi muncul, sebuah tulisan mengambang akan tampak. Tulisan yang sama seperti yang dilihat oleh Budi saat tercekik.
Menjadi lebih kuat? Budi berpikir serius dalam hati.
"Sistem ini ...?" Awalnya, dia memang merasa keheranan. Melihat langsung hasil imajinasi khayal dalam novel membuatnya sedikit tak percaya. "Waaaah ... gilaa aku dapat sistem!" Hanya sedikit, selebihnya dia sangat amat senang.
Budi tersenyum sumringah. Ia lantas menggerakkan tangan kanannya ke arah panel biru yang mengambang di depannya. Jari-jemari yang terlihat nyaris remuk itu menatap pilihan 'Ya' dalam sistem.
"Untuk semua yang telah terjadi padaku selama ini, untuk segalanya yang telah kutoreh selama ini ...." Budi tersenyum penuh. "Sistem, kumohon ... aku ingin menjadi lebih kuat!"
Ya!
Budi menekan panel pilihan 'Ya' dan lalu tiba-tiba muncul semacam kode komputer di sekitarnya. Tentu saja, anak itu bingung, dia menatap ke segala arah untuk memastikan apa yang terjadi.
[Linked on]
Ding!
Akan tetapi, pusat perhatiannya teralihkan kepada suara yang muncul. Budi lantas menoleh ke depan dan mendapati sebuah panel dengan tulisan berbeda.
[Memulai penggabungan ...]
[0%]
[50%]
[100%]
[Selamat! Anda telah terpilih menjadi host Fighter System]
[Selamat! Host telah mendapat hadiah karena menerima sistem!]
[Selamat! Host mendapatkan 1 kartu emas!]
[Selamat! Host mendapatkan 1 item elit < Jaket Hitam > (A)]
[Selamat! Host mendapatkan skill bertarung < Calf kick >]
[Selamat! Host mendapatkan 1000 poin sistem!]
[Selamat! Host mendapatkan 10 poin peningkatan!]
"Wah parah gila hadiahnya! Tapi, sebentar, Fighter System?" Budi terkejut ketika melihat nama sistem tersebut. "Maksudnya, sistem petarung? Gelut?" tanyanya bingung.
Kemudian, muncul suara yang sama.
Ding!
[Tutorial akan dimulai. Host bisa mengajukan pertanyaan kepada sistem untuk fitur atau hal yang kurang dimengerti]
[Status]
[Host dapat melihat status pribadi dengan cara menekan menu pada bar atau mengucapnya dalam hati]
"Status?" Budi memerhatikan menu yang menjadi point utama. "Oh! Aku paham." Ia lalu mulai memikirkan kalimat 'Status' agar bisa melihat bagaimana dirinya ini.
[Profil]
Nama : Budiman Samudra Aji
Pekerjaan : Pelajar
Usia : 18 tahun
Poin sistem : 1000
[Stats]
Kekuatan : 11/50 (F-)
Ketahanan : 7/50 (F-)
Kecerdasan : 9/50 (F-)
Kecepatan : 8/50 (F-)
Naluri Bertarung : 6/50 (F-)
Poin peningkatan : 10
[Developed Skill]
Calf Kick : 0/100 (F)
Selepas melihat statusnya, mendadak Budi kehilangan semangat. Meski Budi telah menyadari bahwa dirinya memang lemah, tetapi melihat kemampuannya langsung, dia langsung merasa semakin putus asa.
"Pantas saja pukulanku tidak berpengaruh apa-apa padanya."
Ding!
[Info : Poin Peningkatan dapat digunakan untuk menambah stats agar kemampuan Host bertambah]
[Toko]
[Host dapat menukarkan Poin Sistem untuk mendapatkan beberapa item yang ada di sini]
"Ah, kalau cuma begini sih, aku juga paham." Budi lalu menekan tombol panah di dekat panel.
Tombol yang sering digunakan pemain VR untuk melewatkan tutorial.
[Apa host yakin ingin melewatkan tutorial?]
[Ya/Tidak]
Ya.
Ding!
[Pilihan diterima. Tutorial diakhiri]
Sistem pun menghilang sejenak dari pandangan Budi. "Eh? Hanya itu? Apa tidak ada misi atau apa?" tanya anak itu sembari menatap ke segala arah. "Yah, benar-benar hilang. Ya mau gimana lagi ...." Budi menghela napas.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki dari arah luar. Suara steps itu dibarengi dengan sebuah pekikan kencang yang sukses menarik rasa kejut Budi. "Hei, Kamu! Kenapa kamu ada di sini? Bukannya bel udah bunyi dari tadi?" Seorang satpam sekolah yang entah muncul dari mana menatap Budi dengan sorot mata sinis. "Kamu mau jadi maling, ya?!"
Budi sontak terkaget-kaget. Ia reflek berdiri dari kursi yang didudukinya dan mulai melakukan pembantahan halus. "Bu-Bukan kok, Pak! Sa-saya tadi cuma–"
"Hayo! Masih kecil udah mental maling! Kencing aja masih belum bener gitu kok!" Satpam galak itu menyelonong masuk dan berlari menuju Budi.
"Sumpah, Pak! Saya cuma lagi ngelamun!" Budi yang menerima sinyal bahaya pun mulai bergerak. Ia beralih ke sisi bangku sebelah agar tetap menciptakan distansi.
"Mana ada maling yang ngaku! Pokoknya, kamu harus ikut saya menghadap ke Bu Kus!"
"Ehhh ...."
Ding!
[Misi telah dipicu]
[Misi sampingan : Kabur dari kejaran Security]
[Hadiah : 1 kartu perunggu]
"Sial! Di saat seperti ini ...." Budi bingung harus melakukan apa. Tampak bahwa posisi si bapak penjaga dan dia saat ini adalah saling berhadapan.
Ding!
[Apa Host membutuhkan tips?]
"Tips?"
"Hei, Kamu mau kabur, ya?!" Security itu semakin mendekat.
Budi semakin panik. "Aku tak mengerti apa itu, tapi tolong bantu aku!"
[Tips : Host dapat mendorong salah satu meja yang ada di depan Anda. Hal tersebut membuat Security terjebak sesaat dan membuat celah agar Host dapat melarikan diri]
"Dorong meja?" Budi melirik ke depan dan melihat sebuah meja kayu yang memang berada tepat di depannya. "Itu dia!"
Pada saat Security tadi telah semakin mendekat, Budi mendorong meja di depannya dan membuat pria paruh baya itu tertahan.
"Sekarang!"
Memanfaatkan kelengahan yang ada, Budi segera tancap gas dan berlari secepat yang dia bisa.
Ding!
[Selamat! Host berhasil menuntaskan misi]
[Hadiah : 1 kartu perunggu]
"Berhasil!"
~Bersambung~
...*****...
"Aku pulang!" Selepas melewati hari yang panjang, akhirnya Budi sampai di rumah.
Ia membuka pintu kayu lapuk tersebut dan perlahan masuk sembari mengedarkan pandangan ke segala arah. Sunyi, hanya itu kata yang tepat untuk menggambarkan suasana di dalam rumah sempit ini.
Sembari mengelap peluh yang masih bercuran, Budi berjalan lunglai ke arah kamar mandi. Karena tidak memerhatikan jalan, tanpa sengaja laki-laki itu menabrak seseorang.
"Eh?!" Tabrakan kecil tadi berhasil menyadarkan Budi dari rasa penatnya.
"Kalo jalan liat-liat dong!" Seorang gadis dengan rambut hitam panjang memekik nyaring–memarahi Budi. Alis yang mengernyit serta bibir rapat penuh rasa geram. Tak salah lagi, dia Arin.
Meski dia adalah adik Budi, tetapi nyatanya, Arin enggan menganggap Budi sebagai kakaknya. Ada beberapa faktor yang membuatnya memilih pilihan itu. Terutama tentang kejadian saat di sekolah tadi.
Masalah yang membuatnya kesal selama ini adalah karena dia dan kakaknya–Budi–disekolahkan di sekolah yang sama. Menyadari bahwa kehidupan mereka jelas bertolak belakang, dan memahami bahwa status Budi di sekolah tidak begitu baik, anak perempuan ini pun memutuskan untuk berpura-pura tidak mengenal Budi di sekolah.
Ia akan bersikap seolah dia hanyalah adik kelas biasa. Walaupun sebenarnya, Arin seringkali merasa kesal karena Budi selalu diperbudak oleh preman-preman di sekolah. Sampai hari ini tiba. Hari di mana Arina Khanzira Putri membulatkan tekad untuk menyelamatkan kakaknya.
"Ah, maaf deh, hahaha ...." Budi menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya. "Y-ya udah, aku mau mandi dulu deh. Kamu udah makan?" lanjut Budi bertanya.
"Hem." Arin merespons singkat. Gadis itu membuang muka dan berjalan melewati Budi. Tampak tersirat ekspresi bahwa dia masih marah teringat kejadian tadi pagi.
Budi memandangi Arin dengan tatapan aneh. Ia lalu berbalik dan meraih handuk biru bermotif garis lengkung khas abad 21 miliknya. Kaki kiri hendak melangkah masuk, tetapi tiba-tiba hati Budi terketuk oleh perkataan Arin saat di sekolah. Ia mendadak merasa bersalah karena telah menerima tantangan Reza, mengingat bahwa Arin telah membantah mati-matian demi dirinya.
Laki-laki yang awalnya optimis berkat kehadiran Fighter System, sekarang terjebak dalam situasi bingung. Ia menarik lagi kaki kurusnya dan melamun.
Tak heran jika Arin tak sudi menganggapnya kakak selama ini. Sebab, dirinya memang selalu bertindak bodoh.
Pikiran itu muncul secara tiba-tiba. Namun, di saat Budi sedang terjebak, tiba-tiba terdengar suara dari arah sekitar.
Ding!
"Eh?" Budi melirik ke samping lalu mendapati sebuah tulisan di panel biru. Matanya membola, kata-kata berhuruf futuristik itu menyelesaikan segalanya. Hati Budi tergugah, dia tersenyum miring sembari bergumam, "Aku tahu apa yang harus kulakukan sekarang."
Budi berbalik, berniat menemui Arin kembali. Tetapi, ketika cowok ini baru sampai di ruang tamu, dia tak sengaja menabrak Arin lagi. Keduanya berekspresi sama. Mimik wajah orang yang hendak meminta maaf.
"Eh, ma-maaf, Rin. Aku nggak liat kamu tadi ...." Budi segera meminta maaf lebih dulu agar tidak terjadi permasalahan lebih lanjut.
"...." Tidak ada balasan dari Arin.
Situasi semakin runyam. Budi dapat merasakannya, meski Arin tak bersuara. Ia berpikir bahwa mungkin Arin tengah marah sekarang.
Tetapi, di luar dugaan. "Maaf ...." Arin justru mengucap permintaan maaf. Ia lalu mendongak untuk menatap Budi. "Maaf ... kata itu yang bakal kamu ucapin, kan?" Ternyata, tidak.
Deg!
Sorot mata dingin penuh kemelut emosi terpancar dari kubu Arin. Bibir tipis yang siang tadi digunakan sebagai media gosip sekarang tertutup rapat. Alis natural tipis mulai mengernyit. Inilah susunan ekspresi wajah Arin yang jelas-jelas telah mencapai batas amarahnya.
Bahkan, karena saking takutnya, sampai-sampai membuat Budi bergidik ngeri dan menelan ludah. "Ah, maa–eeh, maksudku bukan begitu!"
"Ah, ya–"
"Buang-buang waktu." Kalimat singkat yang mengalun menjangkau telinga Budi dan masuk secara tajam.
Arin lagi-lagi tidak menghiraukan Budi dan hanya berjalan lurus.
Semakin melihat Arin, semakin tumbuh pula rasa bersalah Budi. Ia merasa bahwa dia gagal menjadi seorang kakak yang baik.
"Nggak berhasil, ya?" gumamnya seraya menatap ke arah dapur. Budi menurunkan alis karena terbebani oleh perasaan kecewa. "Kayanya percuma. Arin udah marah banget sama aku. Kalo begini, gimana caranya biar bersikap terbuka?!"
"Ah, tauah. Mandi dulu aja." Karena enggan terjebak dalam pikiran yang mendalam, Budi pun memutuskan untuk mandi dulu. Ia pikir, mungkin pikirannya akan segar setelah mandi.
Singkat cerita, Budi yang telah selesai mandi pun masuk ke kamarnya. Sementara Arin terlihat masih berkutat dengan bahan-bahan dan peralatan masak di dapur.
Beginilah kehidupan mereka berdua setiap hari. Semenjak sang ayah meninggal dunia, Budi, Arin, dan ibu mereka hidup dalam keterbatasan. Awalnya, mereka hidup bahagia layaknya keluarga pada umumnya, meski semua serba kekurangan. Budi dan Arin saling menyayangi.
Namun, hubungan manis itu merenggang tatkala ibu mereka divonis mengidap penyakit langka sejak tiga tahun lalu. Budi dan Arin hidup dalam kesendirian. Kelaparan, terlantar, semua telah dirasakan oleh kakak beradik ini.
Keduanya tumbuh tanpa kasih sayang orang tua. Maka dari itu, terkadang Arin bersikap arogan dan selalu marah-marah kepada Budi saat keinginannya tidak dapat terpenuhi. Terlebih lagi, Arin merasa malu setiap kali melihat Budi menjadi target perundungan.
Bagai seutas benang yang terputus. Ikatan erat mereka berdua merenggang oleh waktu.
Kembali lagi kepada Budi. Ia mengambil beberapa pakaian dari lemari kayunya dan mengenakannya sebagai busana. Setelah itu, laki-laki itu duduk di kasur sembari memandangi kalimat pada panel sistem yang sejak tadi tidak menghilang.
[Tips Motivasi : Bersikap terbuka, teguh pada pendirian. Kedua sikap yang akan menuntun Host menuju kehidupan yang lebih baik]
"Bersikap terbuka? Teguh pada pendirian?" Budi merebahkan diri di kasur busa padatnya. "Semua cuma omong kosong. Aku sudah terlanjur membenci kalimat itu, tidak akan ada yang memercayaiku meski aku berkata jujur sekalipun."
Budi menghela napas berat sembari menatap langit-langit kamar.
Krieet ...
Pintu kamar terbuka. Sebuah tangan menggenggam gagang pintu dari luar. Menciptakan sebuah celah di antara pintu dan gawang kayu. Budi bergegas bangkit dari posisi merebahnya.
"Makan malam udah siap," ucap suara rendah dari luar. Arin memberi tahu Budi untuk segera keluar makan malam.
"Iya." Laki-laki kurus ini beranjak dari kasur untuk memenuhi panggilan Arin.
Keduanya duduk di meja makan untuk memuaskan rasa lapar. Sebuah makanan berkuah telah tersaji di atas panci dan dua piring serta nasi putihnya juga telah tertata. Makanan yang selalu sama setiap hari. Mie instan rebus.
Tapi, Budi tak ingin mempersalahkannya. Sebab dia tak ingin lagi membuat masalah semakin rumit. Ia menarik kursi kayu dan duduk di sana.
Sekilas, pupil mata Budi melirik Arin. Gadis itu sepertinya benar-benar tidak menghiraukan Budi dan hanya makan makanannya.
Suasana bertambah canggung setiap detiknya. Arin hanya fokus pada makanannya, begitu juga dengan Budi sendiri. Tidak ada satupun dari mereka yang memulai pembicaraan. Tidak, sampai Budi membulatkan tekad untuk memecah keheningan.
Ia berhenti makan untuk beberapa saat dan mulai berbicara. "Arin, sebelumnya aku mau minta maaf sama kamu soal kejadian di sekolah, aku tau–"
"Jangan bahas itu lagi." Arin menaruh kembali sendok alumunium miliknya. Ia lalu melanjutkan, "Mulai besok, aku bakal menjauh dari kamu waktu di sekolah. Jangan sok kenal sama aku di sekolah."
Kalimat menyakitkan kembali terdengar. "Arin, kenapa kamu keliatan benci sama aku begitu, emang aku salah apa?!"
"Salah?" Arin menatap tajam kedua mata Budi. "Padahal kamu udah tau juga, kan? Kenapa harus tanya lagi?" sambungnya.
"Si pecundang nerima tantangan berantem sama berandalan padahal udah dibela mati-matian," lirih Arin, "aku udah nyelamatin kamu dan nggak peduli kata-kata orang lain. Abis ini, apa kata mereka nanti? Temen-temenku pasti mikir kalo aku itu punya hubungan yang lain sama kamu."
"Reputasiku bakal hancur kalo tau kalo aku ini adiknya kakak kelas yang setiap hari jadi anjing peliharaan." Arin masih terus menerangkan, "kalo nggak bisa ngapa-ngapain, seenggaknya jangan nyusahin orang lain."
Budi tertunduk lesu saat mendengar segala uneg-uneg adiknya.
"Sekarang pilihannya tinggal satu. Minta maaf sama Reza, atau kita nggak usah kenal sama sekali," tegas gadis tersebut, "aku ngomong ini karena masih mikirin kamu. Mau gimanapun, kamu ini tetep kakak kandungku. Jangan bertindak bod–"
"Kalo misalnya aku bisa ngalahin Reza, kamu bakal nganggep aku sebagai kakakmu?" Budi berbicara dengan kepala tertunduk.
Kalimat itu membuat kedua alis Arin mengernyit. "Apa maksudmu? Jangan bilang kamu mau–"
"Ya, aku bakal tetep ngelawan Reza," ungkapnya, "aku minta maaf karena ngebuat kamu jadi terlibat sampai sini. Tapi, aku janji, besok lusa, aku bakal balikin semuanya."
Brak!
Arin menggebrak meja sekuat tenaga. Deru napasnya mendengus, gigi-giginya bergesekan. "Jangan ngayal deh! Kalo kamu nanti dihajar sampe babak belur sama dia gimana?!"
"...."
Budi melukis senyuman miring. "Percaya padaku. Aku pasti menang."
Arin menatap Budi yang berekspresi seolah semua akan baik-baik saja.
"Ya udah yuk, makan dulu. Aku laper nih." Dalam waktu bersamaan, Budi mengalihkan topik pembicaraan. Berupaya menurunkan emosi Arin sekaligus mencairkan suasana.
~Bersambung~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!