NovelToon NovelToon

Cinta Lembayung Senja

Bab 1 Bersiap Ke Acara.

...'Wanita bijak itu seperti angsa di atas air. Anggun meski tetap bekerja dan tetap tegar meski pun terluka.'...

...🌹🌹🌹🌹🌹...

Di sebuah kamar besar dan luas, seorang wanita berusia 31 tahun tengah sibuk merias diri di depan cermin yang menempel di meja rias. Akan tetapi, walau usianya sudah kepala tiga, ia masih terlihat berumur 25 tahunan.

Adinda Larasati Zainudin, yang lebih akrab dipanggil oleh teman-temannya, Dinda. Dengan fasilitas lengkap, terlihat sudah status soaialnya. Namun, tidak ada yang menyangka kalau gadis cantik itu adalah anak dari seorang pengusaha.

Ayahnya Gandhi Zahir Zainudin, berasal dari pulau Kalimantan. Pengusaha batu bara dan perkebunan yang cukup dikenal oleh orang Banua, tapi tidak di Jakarta. Karena memang hanya sebagian saja yang mengenalnya, dan ibunya Asmita Numari Zainudin, seorang dokter kandungan asli Jakarta.

Semenjak duduk di bangku sekolah dasar, Dinda sudah menyembunyikan identitas aslinya. Apa lagi Dinda memilih masuk ke sekolah swasta. Tentu tidak ada yang merasa curiga akan jati dirinya.

Kepiawaiannya dalam hal berdandan sudah tidak diragukan lagi. Walau tanpa memakai make up pun, Dinda tetaplah terlihat cantik. Hanya saja semenjak menyandang gelar seorang janda beberapa bulan lalu, Dinda mulai jarang memakai alat make up nya.

Suaminya Angga Gauhar Wistara saja bahkan tidak tahu kalau Dinda adalah anak dari orang kaya, mungkin seandainya suaminya tahu Dinda berharta pasti tidaklah digugat cerainya.

Ini semua karena perjanjian dirinya dengan keluarga, dimana semua keluarga menentang pernikahannya dan sang suami. Dinda pun disuruh memilih. Menyembunyikan identitasnya atau batal menikah, dan akhirnya Dinda tetap menikah. Namun, ia tidak menyangka, pernikahan yang baru seumur jagung harus hancur seketika karena hadirnya pihak ketiga.

Khusus malam ini, Dinda sedikit merias wajahnya tanpa berlebihan, hingga siapa pun yang melihatnya pasti akan memuji kecantikan alaminya.

Bukan tanpa alasan kenapa Dinda demikian. Itu karena malam ini adalah hari resepsi pernikahan temannya, Rahimah. Acara tersebut akan digelar di salah satu hotel ternama dan tidak lain ialah milik temannya. Soraya. Akan tetapi, entahlah ... mungkin juga karena akan ada kehadiran seseorang di tempat tersebut.

Mengoleskan blast on sebagai sentuhan terakhir. Dinda memandang puas hasil karya tangannya. Mata bulat tidak terlalu besar, dengan bulu mata lentik asli hanya ditambahkan maskara dan dibingkai eliner saja.

Soft lens berwarna hitam pekat menyamarkan bola matanya yang coklat, serta kelopak mata sedikit berwarna hampir sama dengan pipinya tidak terlalu tebal.

Merapikan pakaian yang membalut tubuh rampingnya, baju gamis sederhana berkain satin lurus dan dilapisi brokat berwarna cream senada dengan jilbab yang sudah melilit di kepalanya, satu kata untuk Adinda Larasati Zainudin ... Sempurna.

Bunyi dering ponsel menyadarkan Dinda dari aktivitasnya. Mengambil benda bersegi di atas meja dan mengangkatnya setelah mengetahui identitas si penelpon.

"Assalamualaikum, Ma," senyum mengembang seketika terpasang dari wajah manisnya walau orang di seberang sana tidak melihatnya.

📞"Wa'alaikumussalam, Adin," terdengar balasan dari sang mama.

"Apa Mama, bisa pulang?" tanya Dinda to the points.

📞"Keadaan Kakek Kamu masih belum stabil, jadi Mama dan Papa tidak bisa pulang malam ini," terang mamanya.

Ayah dari ayahnya kemarin harus masuk rumah sakit karena terkena serangan jantung, untungnya ada sang mama yang bisa memberikan pertolongan pertama sebelum dirujuk. Walau bukan bidangnya, tapi Mita cukup tahu apa yang harus dilakukan guna mencegah sesuatu yang tidak diinginkan.

Sebelum sang kakek sakit. Beliau sudah menyerahkan restoran yang dibelinya sekitar lima tahun yang lalu dari teman lamanya kepada Dinda, karena khawatir tidak bisa mengurus. Sebenarnya sudah lama hendak diberikan kepadanya, hanya saja Dinda selalu menolak.

"Yahh." Dinda memelas, bahkan kedua bahunya ikut turun.

"Berarti Mama nggak jadi ikut dong ke resepsi pernikahannya, Imah?" sambungnya dengan nada kecewa.

📞"Maafin mama, sayang. Tapi kamu, kan, sudah biasa pergi sendiri. Lagian, apa kamu lupa? Teman-teman kamu tidak ada yang kenal sama Mama. Mereka taunya mama kamu itu Bunda Vita, kan?"

"Iya sih," ujar Dinda mengerutkan kening sembari berpikir.

Dinda yang dulu masuk di sekolah biasa terpaksa harus ikut tinggal bersama bunda Vita, adik dari sang mama agar jarak rumahnya tidak terlalu jauh menuju sekolah. Itu sebabnya dia bisa berteman dengan Rahimah, Soraya, dan Nurul.

Bunda Vita yang divonis mandul jelas begitu bahagia mengetahui sang keponakan yang mau tinggal bersamanya. Ia dan suaminya hanyalah seorang karyawan biasa.

Sebenarnya sang mama tidak memberikan izin. Namun, ketika Mita mengetahui dirinya hamil lagi, Mita pun membiarkan Dinda dirawat sang adik. Dengan syarat seminggu sekali menginap di rumah sendiri.

Setelah menikah Dinda tinggal di rumah sang suami, dan usai bercerai ia kemudian memilih tinggal di rumahnya sendiri.

📞"Kenapa nggak ajak Bunda Vita aja, sayang?" tanya mamanya tersirat saran.

"Tadi siang, Adin sudah hubungi bunda Vita. Takut Mama nggak bisa ikut, tapi ternyata bunda Vita juga ada acara," jalas Dinda.

📞"Tapi Mama nggak bisa ninggalin kakek dan papa kamu, Adin. Kasian mereka," kembali menjelaskan keadaan yang tidak bisa ikut hadir.

"Iya Ma, Adin paham kok. Nggak apa-apa kalau Mama, nginep di rumah sakit .... Besok Adin dan bunda Vita akan ke sana, salam buat papa dan kakek ya, Ma," maklum Dinda.

📞"Iya sayang, apa kamu sudah mau berangkat?"

"Iya Ma, Adin sudah siap." Dinda mengangguk yang padahal sang mama tidak dapat melihat.

📞"Ya sudah kalau begitu, hati-hati di jalan ya Adin. Assalamualaikum."

"Iya Ma, Wa'alaikumussalam," satu helaan napas lolos dari mulutnya seiring ponsel yang Dinda matikan.

Menyimpan ponsel ke dalam envlope clutch, Dinda lantas berdiri dan beranjak dari meja rias hendak ke luar kamar.

Di lantai bawah rumah mewahnya, Dinda berpapasan dengan salah satu pelayan. "Bik Arti, saya berangkat ya," pamitnya.

"Iya non, jam berapa nanti pulangnya?"

"Mungkin Adin, nggak pulang Bik. Rencananya nanti langsung ke rumah Bunda Vita aja, sekalian nginap."

Bik Arti mengangguk paham.

"Emil mana?" tanya Dinda sambil mengedarkan pandangan keseluruh ruangan.

Kaamil Aksa Zainudin, Adik satu-satunya yang Dinda punya dan baru saja genap 25 tahun beberapa hari lalu.

"Di ruang tv non," Bik Arti menunjuk ke sebuah ruangan.

Mengikuti arah tunjuk. "Ya sudah, Adin ke situ dulu Bik," ujar Dinda.

"Inggih Non."

"Emil," panggil Dinda pada seorang pria yang sudah mulai tumbuh dewasa tengah bermalas-malasan di atas sofa panjang.

"Sudah mau pergi?" Kaamil langsung duduk tegap saat Dinda mendekatinya.

"Iya. ... Nanti Kakak langsung nginap di rumah bunda Vita, besok mau langsung jengek kakek soalnya. Kamu, jaga rumah ya!" kata Dinda menelisik sang adik sudah berpakain rapi.

Kaamil berdecak, "Ck, kaya anak kecil aja dititip jaga rumah segala. Kan, ada bibik!" ucapnya sambil menunjukan wajah kesal.

Dinda terkekeh geli melihat reaksi adik yang umurnya enam tahun lebih mudah darinya. Tanpa aba-aba Dinda mengacak rambut sang adik, membuat Kaamil tambah berdecak.

"Ck, Kak ... rambut aku berantakan." Kaamil protes sambil membenahi rambutnya.

"Memangnya kamu mau ke mana? Sok rapi sama rambut."

"Aku mau pergi sama temen, bentar lagi mereka datang."

"Main ke mana? Nggak aneh-aneh, kan?" Dinda memicing'kan matanya.

"Nggak aneh-aneh, dijamin! Aku cuman pergi bentar," ucapnya sungguh-sungguh.

"Oke kalau gitu, asal kamu bisa menjaga pergaulan ... Kakak nggak masalah, kamu mau pergi main sama temen! Jadi ingat ya pesan Kakak, jangan yang aneh-aneh!" ancam Dinda menasehati.

"Assiiiiyaaaaap," balas Kaamil sambil meletakan tangan di kening sebagai tanda hormat.

"Kakak berangkat dulu ya, hati-hati Kamu! Assalamualaikum."

"Iya, hati-hati Kak. Wa'alaikumussalam."

Dinda langsung pergi ke luar rumah dan berpamitan kepada satpam rumahnya usai membukakan pagar besi yang mehalang jalannya.

.

BERSAMBUNG ....

Bab 2 Resepsi Pernikahan Teman.

...'Siapa pun pria yang memulia'kan wanita, maka ia telah menjaga hati kedua orang tuanya.'...

...🌹🌹🌹🌹🌹...

Sesampainya di parkiran hotel tempat diadakannya acara, Dinda langsung memarkirkan mobilnya dan turun.

Untung saja Dinda sudah diberitahukan di mana kamar Rahimah yang menjadi tempat sang pengantin dirias.

"Dari mana aja sih? Kok baru sampai?" orang pertama yang memarahinya adalah Nurul usai membalas salam darinya.

"Hehe, maaf ... tadi ada sedikit kendala," ucapnya tersenyum santai.

"Kendala apa?" memang Nurul yang selalu ingin tahu.

"Ada deh ... ya ampun Imah, kamu cantik banget ...," ngeles Dinda memuji Rahimah.

"Bisa aja kamu, aku jadi malu," ucap Rahimah bersemu merah seperti buah cherry.

"Mama kamu nggak ikut, Din?" Soraya melihat-lihat dan mencari seseorang di belakang Dinda.

"Mama nggak bisa ikut, soalnya kakek lagi sakit," katanya jujur.

"Nggak apa-apakan Imah? Kalau mama aku nggak bisa hadir!" sesal Dinda.

"Iya, nggak apa kok. Kan kakek kamu lagi sakit."

"Ayo, pengantinnya sudah siap!" kata sang perias ikut menyela.

Dinda, Nurul dan Soraya segera membantu Rahimah berdiri dan membawanya ke salah satu ruangan untuk resepsi pernikahan.

Pintu dibuka, seketika semua mata tertuju pada pengantin yang tengah Dinda bimbing bersama yang lain.

"Apa kamu gugup Imah?" bisik Dinda dan diangguki Rahimah, walau berbisik tapi masih terdengar oleh Soraya dan Nurul.

"Nikmati saja, nanti gugupnya juga hilang kok," ucap Soraya menimpali ikut berbisik.

Rahimah tidak berbicara, tapi hanya mengangguk sebagai jawaban. Kini mata mereka mengarah pada sang pengantin pria yang sudah berdiri menunggu kedatangan mempelai wanita.

Di samping pelaminan ada sepasang mata yang memperhatikan Dinda sambil tersenyum senang, tetapi sang empuhnya pura-pura tidak tahu.

Usai menyerahkan Rahimah pada Abdar, trio wewek pun turun berbaur bersama tamu ikut menjamu para undangan.

"Hai, sayang!" sapa laki-laki yang tadi memperhatikan Dinda.

"Mas Adit, ngapain ke sini?" Dinda melirik kiri dan kanan, tidak ingin ada yang memperhatikannya bersama Adit.

"Ketemu kamu-lah, kangen tahu," dengan percaya diri Adit mengembangkan senyum manis.

"Ya Allah, mending Mas Adit pergi aja deh! Itu sambut tamu-tamu nya Mas Abdar! Nanti dikira nggak ada ramah-ramah nya lagi," usir Dinda.

Walau sebenarnya Dinda merasa senang dengan kedatangan Adit, tapi ia teringat akan statusnya yang seorang janda membuatnya harus memberi jarak.

"Tapi belum puas liat kamu," kata Adit santai.

"Hati-hati lo, Mas ... nanti kalau Mas Adit ketahuan Mas Abdar kebanyakan ngobrol sama aku, bisa-bisa Mas Adit dipecat," ucap Dinda mengingatkan agar Adit cepat berlalu.

"Mana berani dia pecat aku, yang ada semua kerjaan bikin dia nggak ada waktu sama istrinya," tantang Adit yakin.

Pembicaraan Adit dan Dinda terhenti ketika kehadiran Intan ada di tengah-tengah mereka. "Om Adit! Kata mama, sambut para tamu yang baru datang."

"Kamu ini ganggu aja sih!" kesal Adit.

Dinda mengulum senyum, melihat air muka Adit yang berubah keruh.

"Cepetan Om ... nanti kalau kelamaan, bisa-bisa di samperin mama."

Sembari berdecak Adit langsung berbalik badan dan sempat melirik Dinda yang tengah mentertawakannya.

Menikmati acara dan hidangan yang disajikan, Dinda tak sengaja melihat sekelebat bayangan seorang pria yang sangat Dinda kenal.

Menajamkan penglihatannya guna mengenali orang tersebut, Dinda tersentak kecil ketika dugaannya itu ternyata sangatlah benar.

"Kaamil," gumam Dinda tak percaya.

Dari sejak awal Dinda menyadari keberadaan Kaamil, pandangannya pun tidak lepas dari sang adik. Saat dirasa tidak ada yang mengajak adiknya berbicara, Dinda bergegas menariknya ke luar aula resepsi pernikahan dan sedikit menjauh dari tempat tersebut.

"Hei, apa-apaan ini?" hampir saja Kaamil menyentak tangan Dinda kasar jika tidak melihat wajahnya.

"Kakak," pekiknya.

"Kenapa nggak bilang, kalau kamu mainnya ke sini?" tanya Dinda menahan kesal.

"Hehe, ternyata kakak ke acara yang ini juga ya?" menjawab pertanyaan dengan pertanyaan sambil menggaruk kepalanya dan nyengir.

"Ampun, Kaamil ... kenapa kamu nggak bilang?" kesal Dinda langsung memiting leher Kaamil.

"Ampun kak, ampun ...," rintih sang adik sambil setengah membungkuk karena tubuh kakaknya lebih pendek.

"Jawab!" sungut Dinda.

"Lepaskan dulu! Baju sama rambut aku jadi berantakan," keluhnya.

Dengan perasaan kesal Dinda melepaskan sang adik, dia kembali menelisik baju Kaamil. Seingat nya tadi Kaamil mengenakan celana jins dan jaket kulit, tapi sekarang terlihat jauh lebih tampan ketika memakai jas dan celana kain.

"Apa?"

Kaamil hanya bisa nyengir mendapati kekesalan Dinda.

"Aku aja nggak tau kalau Kakak ke acara ini juga, aku 'kan cuman dapat perintah dari papa buat gantiin papa," jawab Kaamil apa adanya.

"Bukan itu, yang kakak tanya kenapa kamu nggak jujur aja tadi kalau mau ke acara pernikahan?"

"Nggak apa-apa, takutnya tadi Kakak malah ikut kalau aku bilang."

"Ya kalau tujuannya sama, mending tadi Kakak ikut kamukan?"

"Kan, bener! Aku nggak mau ngajak Kakak, soalnya tadi teman-teman aku juga ikut. Takutnya nanti mereka malah merayu Kakak."

Itu sebabnya Kaamil tidak mau sampai kakaknya tahu kalau dirinya juga pergi ke acara pernikahan, tapi Kaamil juga tidak tahu kalau acara yang mereka hadiri itu sama.

"Emang mereka berani merayu Kakak?"

"Ck, jangan menantang mereka Kak. Bahkan usianya yang seumur mama saja mereka berani membawanya ke hotel dengan meminta imbalan uang."

Dinda bergidik ngeri mendengar cerita Kaamil tentang teman-temannya, "Apa kamu juga sama seperti mereka, Mil?" suara Dinda berubah dingin, takut sang adik juga seperti itu.

"No," jawab Kaamil cepat dan yakin.

"Jangan samakan aku sama seperti mereka, aku tau bagaimana menempatkan dan memperlakukan seorang wanita dengan semestinya. Apa lagi aku juga punya dua wanita yang begitu berharga seperti mama dan Kakak. Jadi aku tidak akan menyentuh wanita sebelum kata sah diucapkan, karena itu sama saja aku merendahkan kalian," kata Kaamil serius.

Dinda menghela napas lega, setelah mendengarkan penjelasan Kaamil. Namun, Dinda juga tidak ingin kecolongan, "Sebaiknya jangan berteman lagi dengan mereka, bisa-bisa nanti kamu ikut terjerumus," khawatir Dinda.

"Kakak tenang saja ... walau mereka seperti itu, mereka tidak akan berani mengajakku melakukan hal itu. Asal aku juga tidak pernah ikut campur dengan urusan mereka."

"Tetap saja Kakak khawatir, sebaiknya cari teman yang lain saja."

"Iya ... akan ku usahakan," ujar Kaamil mengalah.

"Jangan hanya diusahakan, tapi HARUS!" kata Dinda penuh penekanan diujung kalimatnya.

"Iya, iya ...," ujarnya pasrah.

Lebih baik Kaamil mengiyakan, kalau tidak maka kakak nya itu tidak akan berhenti menasehati nya di lorong hotel.

Tidak jauh dari tempat mereka berdebat, ada sepasang mata yang memperhatikan mereka sedari pertama mereka keluar dari dalam aula.

"Baara," panggil seseorang mengalihkan atensi nya dari Dinda dan Kaamil sambil memengang pundandaknya.

"Iya, mas Lintang?"

"Ayo masuk! Kenapa kau masih di sini? Memangnya apa yang kau lihat?" mengikuti arah pandang yang tadi menjadi pusat perhatian lelaki yang bernama Baara.

"Tidak ada, ayo kita masuk!" Baara mengelak dan langsung menyeret orang itu ke dalam aula.

"Dasar wanita," gumamnya sambil berlalu masuk.

BERSAMBUNG ....

Bab 3 Hinaan.

...'Lidahmu jangan kamu biarkan menyebut kekurangan orang lain, sebab kamu pun punya kekurangan dan orang lain pun punya lidah.'...

...🌹🌹🌹🌹🌹...

Malam semakin larut, acara kian menyepi, lelah dan kantuk mulai merambat, hingga tubuh rasa tak sanggup berpijak lagi.

Kedua mempelai pengantin sudah pergi lima belas menit lalu, disusul Nurul dan suaminya, Ari. Yang selalu dihubungi sang ibu, karena Nuri, putri kecil mereka yang mencari keberadaan mamanya.

Tidak lama Soraya pun juga pulang. Sebab sudah diwanti-wanti suaminya, Zidan. Agar banyak-banyak beristirahat dan jangan begadang karena sedang hamil muda.

Ustadzah Habibah bersama anak, menantu dan cucunya sudah pulang setelah berpamitan dengan Rahimah.

Dinda menuju parkiran mobilnya setelah melepas kepergian para sahabat. Mengulurkan tangan guna membuka pintu mobil. Namun, belum sampai pintunya terbuka, panggilan seseorang dari belakang mengagetkannya.

"Yank," suara bariton yang sekarang sangat Dinda kenal. Panggilan yang terlontar bahkan tanpa ada persetujuan darinya.

"Mas Adit," pekik Dinda langsung berbalik.

"Kamu mau pulang?" tanya Adit tanpa basa-basi.

"Iya Mas," jawab Dinda.

"Ini sudah larut, jadi kamu harus hati-hati. Maaf kalau Mas nggak bisa mengantar kamu, karena harus mengantar Maryam." Adit menunjuk pada sebuah mobil yang tidak jauh dari mobilnya.

"Nggak apa-apa Mas, lagian aku bawa mobil kok ... jadi jangan khawatir," kata Dinda menyakinkan.

"Tetap saja! Biar pun bawa mobil, kamu itu wanita. Atau begini saja ... kamu ikut Mas, biar aku yang mengantarkanmu!" tawar Adit.

"Nggak usah repot-repot Mas, aku bisa pulang sendiri kok. Lagian gimana sama mobilku? Mending mas Adit, buruan antar Maryam dan anak-anak (Intan dan Rahman) aja! Nanti mereka nyariin," tolaknya halus.

Dinda tidak ingin merepotkan Adit, apa lagi harus bolak balik mengantar dirinya dan Maryam, baru kemudian pulang. Dinda tahu kalau Adit pasti juga sudah sangat kelelahan.

"Kamu yakin?" Adit menatap Dinda lekat.

"Yakin, Mas." Dinda mengangguk pasti.

"Ya sudah kalau begitu, kamu hati-hati ... Mas pergi dulu. Assalamualaikum," pamit Adit.

"Wa'alaikumussalam," sahut Dinda menatap punggung Adit yang mulai menjauh dan masuk ke dalam mobil.

Menatap mobil yang bergerak dan mulai pergi, Dinda kembali dikejutkan seseorang. "Kak Adin," sembari menepuk pundaknya.

"Kaamil, kamu masih di sini?" kaget Dinda sambil menoleh.

"Sudah pulang tadi sama teman-teman, tapi balik lagi karena ingat sama Kakak."

"Ayo pulang, biar aku ikutin dari belakang," kata Kaamil membuat Dinda tersenyum dan merangkul adiknya bangga.

"Ugh ... manisnya Adik, Kakak ini. Sudah dewasa rupanya? Karena mengkhawatirkan Kakaknya, malah rela balik lagi ke sini!"

"Enak aja. Aku emang udah dewasa kali, Kakak aja yang nggak sadar," kesal Kaamil tidak terima.

"Bagi Kakak, kamu itu tetap Anak kecil," ucap Dinda sambil tertawa kecil.

"Wah Mas, ternyata mantan Istrimu punya banyak gandengan ya?" ujar seorang wanita yang sangat jelas didengar.

Keduanya langsung menoleh ke asal suara, walau tidak tahu kalimat itu ditujukan untuk siapa. Dinda terkesiap mendapati mantan suaminya bersama istri barunya di samping mobilnya.

Sedang Kaamil sangat geram, rahangnya pun langsung mengeras. Walau tidak tahu wanita itu siapa, tapi melihat dia yang menggandeng mesra mantan kakak iparnya ... Kaamil bisa menyimpulkan kalau wanita itu adalah orang yang telah menghancurkan pernikahan sang kakak.

"Itu adiknya," kata Angga melirik Dinda dan Kaamil bergantian tanpa rasa bersalah.

"Oh adiknya, kukira gandengan baru. Soalnya, kan, waktu itu kita liat dia dilamar kekasihnya."

Flashback on.

"Lihat Mas, kamu tidak perlu merasa bersalah dan kasihan sama wanita ini karena sudah menceraikannya. Sekarang sepertinya dia sudah punya pengganti yang baru."

Adit dan Dinda tersentak kecil karena kedua pasang manusia itu berdiri tepat dihadapan mereka.

Dinda melirik mereka dengan sinis. Semantara Adit sedikit bingung. Akan tetapi, mengerti arti dari kata menceraikan, dan Adit bisa menyimpulkan bahwa lelaki itu adalah mantan suami Dinda.

"Ya, anda benar! Saya tidak mungkin menyia-nyiakan janda secantik Dinda, jadi saya sedang melakukan pendekatan." Dinda melotot kepadanya karena sudah bicara ngawur yang dibalas Adit dengan senyum jenaka.

"Hei Tuan, sebelum Anda melangkah lebih jauh lagi dengan hubungan yang akan Anda pilih, saya sekedar memberi tahukan ... bahwa wanita ini MANDULLLL jadi sebaiknya pikirkan lagi," kata wanita itu penuh penekanan dikata mandul.

Dinda terpaku. Matanya memanas, cairan bening tiba-tiba menumpuk dan berdesakan hendak keluar. Susah payah dia menelan sisa makanannya. Hatinya begitu hancur atas hinaan dari selingkuhan suaminya, atau bisa disebut sekarang adalah istri barunya.

Semua pengunjung mulai memperhatikan mereka dan berbisik-bisik karena mendengarnya.

"Itu tidak masah bagi saya, karena saya mencintainya dengan tulus dan akan menerima segala kekurangannya. Tidak peduli ada, atau tidak adanya anak ... asalkan saya bisa membuatnya bahagia, maka saya pasti akan ikut bahagia," seketika mata Dinda yang berkaca-kaca karena sakit hati berubah haru dengan kata-kata Adit.

"Sudahlah Jen, biarkan saja mereka. Kau ingin makan kan? Aku tidak mau anakku jadi kelaparan kalau kau telat makan." Dinda membuang muka melihat perhatian mantan suami pada wanita simpanannya.

"Ya itu benar, sebaiknya kalian segera menyingkir dari hadapan saya," sela Dinda tampa melihat mereka.

"Kau tenang saja, kami juga tidak akan berlama-lama," sahut Angga sinis.

"Baiklah Mas, ayo kita duduk di situ," mereka pergi dengan meninggalkan seribu luka di hati Dinda.

"Terimakasih karena sudah membela saya, Mas Adit." Dinda mengusap sudut matanya yang berair.

"Tidak masalah. Sepertinya mantan suamimu itu masih saja memperhatikan kita," tidak sengaja Adit melihat Angga yang curi-curi pandang ketempat mereka duduk.

"Biarkan saja, Mas," ucap Dinda bergetar sambil menelan makanannya yang terasa begitu keras.

Adit melihatnya prihatin. Melepas cincin di jari manisnya lantas Adit berjongkok dihadapan Dinda yang tidak luput dari penglihatan mantan suami Dinda.

Mendapati itu jelas Dinda terkesiap. "Mas ... ngapain?" tanya Dinda heran.

"Saya tidak peduli, jika orang lain mengatakan dirimu buruk atau apa pun itu. Yang saya tau adalah dirimu begitu berharga untuk saya sia-siakan, dan saya tidak tau apa masih ada kesempatan setelah hari ini. Jadi ... maukah kamu, membagi lukamu dengan saya? Maukah kamu, membangun masa depan yang bahagia dan menua bersama dengan saya?" kata Adit lantang menyodorkan cincinnya seolah sudah di rencanakan.

Dinda membelalakkan matanya, tidak percaya pada lelaki yang masih berjongkok dengan satu kakinya dijadikan tumpuan.

"Maukah kau menikah denganku?" tanpa terasa panggilannya pun berubah.

Apa-apaan orang ini.

Melirik ke sekitar di mana orang-orang melihat mereka begitu juga kedua pasang manusia tadi.

"Maukah kau menikah denganku?" ulang Adit.

"Terima ...."

"Terima ...."

Sorak sorai pelanggan memenuhi isi restoran tersebut, bahkan pelanggan yang baru datang ikut-ikutan bersuara walau tidak tahu menau ada apa.

"Mas, apa-apaan sih? Ayo berdiri!" Adit bergeming walau Dinda menariknya untuk berdiri.

"Jawab dulu," bujuknya.

"Jangan aneh-aneh deh, Mas ... ayo berdiri!"

Dinda tahu maksud Adit yang seperti ini, pasti karena ingin membantunya membalas mantan suaminya. Namun, tidak mungkin dia berkata iya.

"Nggak mau, jawab dulu?" kukuh Adit.

Dinda berdecak kesal, begitu malu karena menjadi pusat perhatian. Demi menyudahi drama Adit, mau tidak mau Dinda mengangguk pura-pura.

Seketika tepuk tangan para tamu menggema bersahutan bersamaan Adit yang memasangkan cincin di jari manis Dinda, yang ternyata sedikit longgar.

Dengan senyum mengembang Adit bangkit dan duduk kembali. "Nanti aku belikan yang cocok dengan jarimu," ucapnya pelan.

"Tidak perlu repot-repot, ini hanya pura-pura," balas Dinda pelan.

Adit nampak kecewa. Sebenarnya jika boleh berharap, kejadian yang tidak direncanakan ini bisa menjadi kenyataan.

Flashback off.

BERSAMBUNG ....

Saran ya gays! Biar tahu alurnya dari awal ... silahkan baca karya sebelumnya yang berjudul 'Rahman bin Rahimah', kalau sudah baca pasti udah tahu gimana kisah mereka. 🙏

Terimakasih 🤗🤗🤗

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!