"Aelah abang, itu kan punya Tika, kenapa di Ambil sih?" gerutu Cantika dengan wajah cemberut yang dibentuk sejelek mungkin, menatap sang abang yang menikmati paha ayam goreng miliknya dengan wajah tanpa dosa.
"Elah, kamu berisik banget sih dek, kamu kan masuknya jam setengah 8 masih ada waktu satu jam lagi lah buat nunggu bunda selesai goreng ayamnya lagi." balas Satya dengan mulut penuh.
"Ihs, tapi kan lama lagi."
"Sabar, orang sabar disayang tuhan."
"Ck, tahu ah abang ngeselin."
"Udah nggak usah ngambek! nih abang sisain tulangnya." balas Satya seraya memindahkan piring bekas sarapannya yang sudah kosong, yang hanya menyisakan satu potong tulang paha ayam diatasnya.
"Ihs, emangnya Tika gukguk apa dikasih tulang.?"
"Nggak juga sih, tapi mirip!" menyengir kuda, lalu secepat kilat berlari kearah dapur untuk berpamitan pada sang bunda.
"Abanggggg.....!!"
*
*
"Berangkat sekarang?"
"Iya! berangkat Bun, assalamu'alaikum!" ucapnya, setelah menyempatkan mencium tangan sang bunda yang tak lain adalah Nada.
"Waalaikumsalam, eh tunggu-tunggu, itu Satria udah
bangun?"
"Eh?" Satya mengangkat kepala, menggaruk nya dibagian belakang.
"Aduh maaf bun nggak tahu deh, tadi nggak sempat mampir, aku lagi buru-buru hari ini, banyak tugas mendadak!" balasnya, lalu melangkah keluar dengan langkah lebar.
Sementara Nada menggeleng-gelengkan kepala seraya membalik ayam goreng diwajan yang warnanya sudah berubah kecoklatan.
"Itu anak ada-ada aja, mampir katanya! emang dia pikir warung apa.?" Nada bergumam sendiri.
Setelah mematikan kompor, dan memindahkan ayam gorengnya kedalam piring, ia bergegas membawanya ke meja makan.
"Lho, kok cemberut! itu nasinya juga masih utuh belum dimakan, tadi katanya laper mau sarapan pagi-pagi." seru Nada saat melihat Putrinya bergeming menatap nasi putih yang masih utuh diatas piring dihadapannya.
"Bunda nggak lihat?"
"Lihat apa,?" tanya balik Nada dengan kedua alis yang bertaut.
"Ini, ayamnya nggak ada."
"Lho kok bisa, digondol si Moly?"
"Mana ada si Moly suka gondolin ayam." wajah kesalnya kini semakin terlihat kesal, lagi pula kucingnya dengan tubuh gendut serta bulu yang berwarna abu gelap itu tidak suka makan daging sama sekali.
"Lah terus?"
"Digondol abang, bunda.'' rengek Cantika dengan nada manja yang dibuat-buat.
"Satya?"
"Iyalah, siapa lagi, orang cuma dia makhluk paling rakus didunia."
"Hussss! nggak boleh ngomong begitu sama abang sendiri nak, nggak baik."
"Ya gimana nggak kesel bunda, yang goreng ayam nya kan aku duluan, ngambil nasi aku duluan, kenapa yang makannya jadi abang duluan coba!"
"Lah terus kenapa bisa jadi abang duluan yang makan,?"
"Tadi Tika nyegat mang yang suka jualan getuk gondok eh ternyata habis, pas balik kedalem, ayam nya juga udah mau abis, ngeselin banget nggak sih bun.?"
Nada terkekeh geli, menutup mulut dengan sebelah tangan, supaya tidak terlalu kentara bahwa ia sedang tertawa.
"Eh tunggu, bukannya tadi abang udah dibikinin sarapan juga roti bakar sama bi Sari ya?"
"Emang udah, abis juga!"
"Eh jadi itu anak beneran rakus juga ya!" Nada kembali terkekeh, sementara Cantika beberapa kali mengeluarkan decakan kesal.
"Baru sadar anak bunda yang satu itu emang rakus!"
*
*
Setelah memastikan Cantika masuk kedalam mobil untuk berangkat sekolah, Nada pun kembali masuk kerumah dengan langkah berat, seperti ada sesuatu yang kurang dan terlewatkan.
"Yaampun, satu lagi!" menepuk dahi dan bergegas menaiki undakan anak tangga menuju lantai dua dimana kamar Satria berada.
Sementara didalam kamar, Satria nampak masih terbuai dalam mimpi indahnya, usai membanting jam weker serta ponselnya setelah berbunyi satu jam yang lalu.
"Satriaaaaa.. bangun!"
"Eh?" repleks Satria langsung terduduk tegap dengan wajah kusut menatap sang bunda yang tengah menatapnya sambil berkacak pinggang, tak jarang yang mengatakan suara ibu adalah alarm paling ampuh dalam membangunkan tidur anak-anak nya.
Karena memang benar adanya, terbukti dengan bangunnya Satria saat ini.
"Kamu nggak lihat jam Sat, ini udah jam berapa coba?" Nada menunjuk pergelangan tangannya yang hanya terisi oleh sebuah karet gelang yang ia temukan di bak kitcen sink, pengikat bungkus gado-gado yang dibelinya kemarin pagi.
Sementara yang ditanya menggidikan bahu acuh, menunjuk jam weker yang tergeletak diatas lantai.
''Satria nggak tahu bun, kan jamnya mati." jawabnya enteng, yang membuat Nada meradang seketika.
"Ponselnya?"
"Ponselnya juga ikut mati!"
"Satriaaaaa,!!!!
"Masuk kamar mandi sekarang juga ayo!" Nada menyeret anak remajanya itu kedalam kamar mandi, kemudian menutup kembali pintunya setelah memastikan Satria masuk kedalam nya.
Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit, hingga dua puluh menit berlalu, sama sekali tak ada tanda-tanda bahwa pintu kamar mandi tersebut akan bergerak, membuat Nada berpikir untuk menggedornya sekeras mungkin.
"Sat, buka! buka pintunya," teriak Nada, namun tak ada jawaban sama sekali dari dalam.
"Ck, nggak salah sih ini anak pasti tidur lagi, duh yaampun dosa apa yang aku perbuat di masa lalu sehingga harus memiliki salah satu anak model begini." keluh Nada, sembari terus menggedor-gedor pintu kamar mandi yang terbuat dari bahan Pvc tersebut, dengan keras, dan berulang-ulang.
"Iya bun, iya!"
*
*
"Kamu ini mau jadi apa sih Sat, bunda pusing deh mikirin masa depan kamu itu seperti apa?" ujar Nada, saat menemani Putranya itu sarapan pagi ini.
"Mau jadi Satria aja, masa jadi mang Maman sih Bun."
"Satria!"
"Dan soal masa depan aku, kenapa bunda yang pusing, aku sendiri biasa aja tuh!"
"Satriaaaaa!" Lagi-lagi Nada berteriak marak di hadapan Putranya itu dengan emosi yang sudah meledak-ledak.
"Udah ah bunda marah-marah mulu, jadi nggak konsen makannya kan.?" beranjak dari kursi, mencangklong tas, kemudian menyalami tangan sang bunda dan melenggang pergi menaiki motor gede kesayangannya.
Sementara Nada masih terengah-engah menyetabilkan perasaan emosinya yang hampir saja meledak.
Di tempat yang berbeda, seperti biasa sebelum bel berbunyi Satria akan mampir kekantin terlebih dulu untuk sekedar nongkrong, dan menggoda murid perempuan yang tengah sarapan disana.
Sekolah Satria dan Satya memang berbeda, karena mereka berdua yang menginginkan sekolah mereka terpisah, dengan alasan tak nyaman jika satu sekolah ada dua orang dengan wajah yang sama.
"Lama amat lo, gue tebak kesiangan lagi lo ya, ngaku!" Haikal yang merupakan salah satu sahabatnya tersenyum mengejek, seraya melemparkan kulit kacang rebus ke bagian dadanya.
"Sialan!"
"Kebo banget sih lo!" timpal Adam tergelak.
"Menurut gue bukan deh!" tambah Andre.
"Menurut gue si kamvret telat karena nyuci kolor dulu, semalam mimpi basah dia!" Andre tergelak keras, yang diikuti 2 temannya yang lain.
.
.
.
"Bangsad!" Satria melempar tasnya keatas meja, sebelum kemudian ikut bergabung bersama ketiga temannya, meminum teh manis hangat milik Andre.
"BI, teh hangatnya satu lagi ya?" teriaknya pada bi Ami sang pemilik kantin.
"Ok siap ganteng!" sahut bi Ami, dengan tangan yang sibuk membolak-balik bakwan yang sedang digoreng nya di wajan.
"Wih asik dikatain ganteng sama emak-emak tuh." ledek Haikal dengan tawa khasnya.
"Setidaknya masih ada emak-emak yang ngatain gue ganteng!" sahut Satria sekenanya.
"Jiah! si anjir merendah, so iye lo! padahal hampir semua cewek disekolah ini aja bilang lo cowok paling ganteng bro." sambung haikal malas.
"Oh iya, baru tahu gue!"
"Ck!"
"Eh shhhttt.." Satria menendang kaki Haikal, "Siapa?" bisiknya, sembari melirik kearah seorang gadis yang baru saja keluar dari dalam toilet yang terletak di samping kantin bi Ami.
"Oh itu." Haikal menghentikan kegiatannya yang sedang menikmati semangkuk bubur, lalu mengikuti kemana arah pandang Satria, "Kenapa? cakep ya,?" Mengedipkan mata dengan sebelah alis yang di naik turunkan. "Stela namanya, murid baru pindahan dari sekolah sebelah." jelas Haikal.
"Anjirrr, kok gue bisa nggak tahu ya?"
Pletakkkk!
Sebuah sendok mendarat cantik tepat di kepala Satria.
"Makanya, kalau sekolah itu masuk kelas, bukan ngedekem di kantin sama di gudang doang," ujar Andre dengan diiringi gelak tawa khasnya.
"Sialan! bang sad, kepala gue!" sahut Satria, sembari memegangi kepalanya yang terasa ngilu.
"Bener sat, udah berapa hari coba lo kagak masuk kelas, lo kagak ngeri dapet SP lagi apa, kagak ada kapok-kapoknya lo!" timpal Adam.
Sementara yang di ajak ngobrol hanya mengangkat bahu, ngeloyor masuk kedalam kantin.
*
*
Brakkkkk...!!
Ando menggebrak meja yang terletak di tengah sofa ruang tamu dengan emosi yang meluap-luap.
Seharian ia bekerja di pusingkan dengan berbagai masalah yang harus ia selesaikan sendiri, lalu ketika ia pulang kerumah rupanya ketenangan belum juga ia dapat, karena lagi-lagi ia harus mendapatkan undangan dari kepala sekolah dengan masalah yang sama.
"Ayah mau tanya sekali lagi sama kamu Satria, kamu mau lanjut sekolah atau tidak?"
"Bang tenang!" Nada yang duduk di sampingnya berusaha untuk menenangkan.
"Satria, jawab ayah!"
"Ck, iya."
"Iya apa,? jangan main-main kamu." tegas Ando.
"Sekolah." jawab Satria malas, sembari memalingkan wajah.
Terlihat Ando menghela nafas, kemudian membuangnya dengan kasar, "Ok, untuk saat ini kamu ayah lolosin, karena ayah cukup lelah berdebat dengan kamu, tapi ingat! tidak untuk lain kali." lanjut Ando, lalu meninggalkannya begitu saja.
Sedangkan Nada menggelengkan kepala, menghampiri Satria lalu duduk disamping putranya itu, mengusap rambutnya dengan sangat perlahan dan hati-hati.
"Sat, kamu nggak lupa kan, sama pertanyaan bunda dari awal kamu masuk sekolah Srikandi?"
Satria mengangguk, "Nggak bun."
"Lalu masalahnya dimana, apanya yang salah, kenapa kamu jadi seperti ini?"
"Maaf!"
"Sat dengar bunda, kata maaf itu mudah sekali di ucapkan, tapi apakah kamu tahu apa makna dari kata maaf itu sendiri?"
Satria menggeleng.
"Sudah berapa kali kamu meminta maaf sama ayah dan bunda, tidak terhitung bukan? lalu berapa kali juga kamu selalu mengulang hal yang sama, yang lagi-lagi membuat kami berdua, ayah dan bunda sangat marah terhadap kamu nak!"
"Apa bagi kamu meminta maaf, lalu melakukan kembali hal yang sama adalah sebuah hobi, jika iya tolonglah berubah sat."
"Kamu tidak bisa seenaknya terus begitu dong, bunda minta tolong, jika kamu tidak kasihan sama ayah dan bunda setidaknya kasihanilah diri kamu sendiri."
"Ya sudah sekarang istirahatlah, jangan lupa besok sekolah yang bener." lanjut Nada seraya mengusap pundak Satria pelan, lalu meninggalkannya sendiri agar dapat merenungi kesalahannya.
"Bikin masalah apa lagi sih lo di sekolah,?" bisik Satya yang sejak tadi bersembunyi di belakang lemari.
"Kagak usah nanya,"
"Elah jutek banget!"
"Oh iya Sat, si Astuti tahu kan lo, anak nya pak Lurah?"
"Ngapa?"
"Nanyain lo mulu kemarin,?"
"Nanyain kenapa?"
"Kepastian katanya."
Terlihat Satria mengacak rambut bagian belakangnya, "Ajig, kepastian apa coba?"
"Lah itu elo, lo apain dia sampe minta kepastian begitu,"
"Arrggh! gue cuman godain dikit elah, tuh cewek baperan amat sih!"
"Salah lo sendiri pake acara godain anak orang segala, mana anaknya pak lurah lagi, di gibeng orang tuanya baru tahu rasa lo."
"Gue tuh emang udah biasa kaya gini ke setiap cewek, lo sendiri kan tahu dari dulu gue gimana."
"Lah itukan menurut elo, kagak tahu kan menurut si Astuti gimana."
"Tahu pusing gue!" jawabnya, kemudian beranjak berjalan menuju kamarnya.
"Ey Sat tunggu, belum kelar gue ngomong."
"Sat, woyyy!" Satya berlari kecil untuk mensejajarkan langkahnya dengan Satria.
"Terus si Arumi gimana?" ujar Satya membuat langkah Satria terhenti, dan mengurungkan niatnya yang hendak membuka pintu kamarnya.
"Apaan sih lo, siapa lagi si Arumi coba."
"Halah pura-pura amnesia ni bocah, kocak lo!"
"Ck!"
"Anaknya bu Ipeh, kang jamu deket gang mastur."
"Anjirrr, sumpah ni lo makin ngelantur aja ya!" Satria menyentil kening Satya.
"Arumi, Arumi siapa coba, kenal juga kagak!" gerutunya, sembari membuka dan mendorong pintu kamarnya.
"Mungkin elo kagak tahu namanya, tapi godain udah pernah."
"Tahu lah."
"Makanya stop jadi playboy, lo kan udah gede sekarang, lo inget kagak ayah sama bang El seusia kita ini udah married lho dulu, kalau lo lupa."
"Terus, lo sendiri kenapa kagak married sekarang,?"
"Ck, lo kan tahu_"
"Iya gue tahu, lo mau married sama siapa pacar aja kagak punya, pasti mau bilang gitu kan lo, ah payah! udah ketebak." potong Satria sambil tergelak keras.
"Anjir!"
*
*
"Sayang, menurut kamu apa selama ini kita kurang tegas dalam mendidik Satria, kamu tahu aku seperti seorang ayah yang gagal selama ini." ujar Ando dengan tangan yang menggenggam sebelah tangan Nada yang kini tengah bersandar di headboard kasur.
Nada menggeleng, "Nggak bang, abang nggak gagal, kita hanya perlu waktu lebih lama lagi untuk membuat Satria berubah."
"Tapi sayang_"
"Sudahlah bang, jangan terlalu di pikirkan, bukan kita yang salah mendidik Satria, tapi memang sifat Satria dari kecil itu berbeda dari yang lain."
"Iya, yang kamu bilang memang benar sayang, tapi tetap saja sebagai ayah aku merasa gagal."
"Kita Do'akan saja semoga setelah lulus tahun ini Satria bisa lebih baik lagi,"
"Iya sayang, oh iya kamu udah dikasih tahu si El belum, kalau Kinar hamil lagi."
"Iya udah, aku seneng banget tahu pas si El bilang Kinar hamil anak keduanya, Kira-kira bakalan kembar nggak ya?"
"Kamu ini, mentang-mentang punya anak kembar, pengen banget kayaknya punya cucu yang kembar juga."
"Iya dong, melestarikan keturunan." jawabnya yang disertai kekehan kecil.
Seperti biasa, saat pagi Satya akan berangkat sekolah lebih dulu, sementara Satria menunggu suara nyaring sang bunda memekik memasuki gendang telinganya.
"Kamu itu ya, yaampun Sat bunda musti gimana sih ngadepin sikap kamu ini." gerutu Nada, sembari menyibak selimut yang melekat di tubuh putranya itu.
"Ya nggak gimana-gimana, sini bun balikin selimutnya masih ngantuk ni ah."
"Satria cukup! bunda kasih kamu pilihan, bangun berangkat sekolah, atau lanjutkan tidur."
"Mending lanjutin tidur lah!"
"Satriaaaaa!"
"Ck!"
*
*
"Satria dengar bunda, bunda nggak mau tahu mulai besok kamu urus DenadaCafe." ujar sang bunda dengan nada penuh perintah, ketika telah berhasil membujuk putranya itu untuk mandi dan memakai seragam sekolahnya, hingga kini berada di meja makan.
Terlihat Satria mendesah kasar, dengan wajah yang berubah datar.
"Kenapa harus Satria coba bun, kan Sat_"
"Bunda nggak mau dengar alasan apapun! mulai besok kamu harus belajar mengurus DenadaCafe, karena bang El sudah melepaskannya, kamu tahu sendiri kan abang mu itu sedang sibuk dengan pabrik-pabriknya, Satya sibuk dengan Cafe milik ayah yang lain."
"Kenapa nggak Satya aja sekalian yang urus, nanggung banget."
"Kamu ini gimana sih Sat, kan pegangan Satya udah banyak, sedangkan kamu_"
"Iya, aku nganggur!"
"Bukan gitu lho maksud bunda, walau ucapan kamu itu memang ada benernya."
"Bunda seneng?" tanya Satria, sembari beranjak dari kursi, mencangklong tasnya di bahu kanan.
"Seneng dong, akhirnya kamu mau nurutin ucapan bunda."
"Yaudah Satria pamit!" lanjutnya, mencium tangan sang bunda, melangkah menuju garasi, menaiki motor gede kesayangannya, kemudian melajukannya dengan kecepatan penuh.
Saat setengah perjalanan, kilasan matanya tak sengaja menangkap sosok seorang gadis dengan seragam yang sama dengannya tengah berteriak meminta tolong, karena seorang laki-laki yang mungkin juga seusia dengannya tengah menarik paksa gadis tersebut, agar mau memasuki mobil miliknya.
Tanpa pikir panjang, Satria bergegas menepikan motornya, berlari menghampiri laki-laki tersebut.
Bughhhhh....
Satu pukulan keras mendarat tepat di rahang kokoh, anak laki-laki itu hingga tubuhnya terhuyung dan hampir saja terjatuh.
"Se tan! siapa lo berani-beraninya ikut campur masalah gue!" umpatnya, sembari mengusap sudut bibirnya yang terasa ngilu.
"Cih, lo nggak perlu tahu siapa gue, gue cuma nggak suka aja kalau ada cowok kasar sama cewek, banci tahu nggak?" balas Satria, dengan senyum mengejek.
"Lo!" Laki-laki yang sering dipanggil Betran itu berdiri, menatap Satria dengan tatapan penuh permusuhan.
"Apa, nantangin gue! ok gue ladenin, mau lanjut disini apa di tempat lain?"
Betran mendengus, melirik jam di pergelangan tangannya, lalu melirik Satria dengan wajah kesal, "Gue musti masuk kelas, gimana kalau lain waktu kita lanjutin, lo atur aja dimana tempat yang bagus buat bertarung."
"Gaya lo sok-sok an kagak mau bolos sekolah, Ck! kagak sesuai banget sama wajah lo." Lagi-lagi Satria tersenyum mengejek.
"Lo!" Betran mengarahkan telunjuknya tepat didepan wajah Satria, yang kemudian di tepisnya dengan kasar.
"Yang sopan dong, kagak usah nunjuk-nunjuk muka gue sialan!" teriak Satria emosi.
Sementara Betran bergegas memasuki mobilnya dengan terburu-buru, tanpa sempat mengatakan apapun lagi terhadap Satria.
"Huuuu, banci! bener kan yang gue bilang." teriaknya, menoleh saat menyadari gadis yang di paksa Betran tadi terdiam dengan kedua tangan yang saling bertaut.
"Lo nggak apa-apa?" tanyanya, dengan kedua tangan yang ia masukan kedalam saku celana.
"Nggak apa-apa." jawab gadis yang ditolongnya itu tanpa menoleh, sibuk merapikan seragam sekolahnya yang sedikit kusut.
"Lo, sekolah di_"
"Iya!" jawabnya cepat.
"Lho, tapi kok nggak pernah ketemu,?"
"Mana saya tahu!" jawabnya cuek, dan bergegas pergi meninggalkannya begitu saja, membuat Satria terbengong-bengong di tempatnya, sembari memandangi punggung gadis tersebut yang mulai menjauh dari pandangannya.
*
*
Haikal tertawa terbahak-bahak hingga sudut matanya mengeluarkan air, saat mendengarkan cerita dari sahabatnya Satria.
"Ini seriusan? anjirr.. gue hampir nggak percaya tahu nggak sih, gila aja rajanya playboy seantero SMA samudera untuk pertama kalinya di cuekin cewek!"
"Dan lebih gilanya dia kagak ngucapin makasih coba, udah ditolongin juga." Satria mendesis kesal, yang membuat Haikal, Andre, Dan juga Adam kembali tertawa.
"Susuknya udah luntur kali bro, tambah lagi gih!" ledek Andre.
"Ck sialan!"
"Eh panjang umurnya tuh cewek, lagi di omongin dia dateng!" ujar Haikal kegirangan, "Asli tu cewek emang cakep ya, tapi mukanya agak jutek gitu."
"Sshhhht.. cewek! manis banget sih, kenalan dong." Andre bersiul genit.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!