POV: Author
Di kehidupan yang hampa bagai kertas yang kosong, akan jadi indah dengan tinta yang dituangkan di atasnya. Seperti mimpi seorang anak kecil yang masih polos dan lugu, dan kenyataan dunia yang tajam serta pahit.
Sosok anak kecil itu menatap lurus ke arah jendela dengan tatapan hampa, poni rambutnya yang lebat hingga menutupi mata, serta tubuhnya yang kurus dan banyak lebam serta luka.
Bibir kering anak itu terus bergumam seraya menatap langit berbintang. Di dalam katanya, dia menceritakan mimpi indah yang dia lihat dalam tidurnya. Ribuan bintang itu terus berkelip seolah senang mendengarkan cerita sang anak.
Setelah bercerita, anak itu terdiam. Bibirnya terkatup rapat, dengan pelan dia menutup jendelanya.
***
POV: ???
TINNN! TINNN!
"HEI CEPAT JALAN! AKU HAMPIR TELAT KE KANTOR!"
Ah ... rutinitas yang membosankan. Hiruk pikuk kota ini selalu berisik. Dia pikir dia saja yang takut telat? Apakah dia tidak berpikir semua orang punya kepentingan yang sama?
"Perhatian, subway nomor 658 akan segera datang. Perhatikan langkah kaki anda saat memasuki kendaraan, bagi anda yang ingin turun, pastikan barang bawaan anda tidak ketinggalan."
"Minggir-minggir! Aku ingin ada di antrian depan!" Seorang pria gendut menyerobot antrian ini membuatku begitu kesal. Aku menatap pria itu dengan tatapan tidak suka semenjak dia berdiri di depanku.
"Apa?! Wajahmu sangat mengesalkan! Apakah kau tidak punya sopan santun pada orang yang lebih tua?!" Pria itu sepertinya sadar bahwa aku menatap jengkel padanya, hmp.
Aku tersenyum simpul sambil menatap pria yang lebih pendek dariku itu. "Maaf, ibuku tidak mengajariku untuk sopan pada babi," jawabku yang membuat pria itu langsung melotot ke arahku.
"APA?! KAU BILANG APA BARUSAN?!" Pria gendut itu membanting tas kerjanya dan menarik kerah bajuku dengan keras.
"Babi. Apakah ibumu tidak mengajarimu untuk antri dengan baik?" tanyaku dengan nada yang dingin serta senyuman yang hangat. Ucapanku sukses membuat pria itu memukul wajahku dengan keras.
BUGH!
Aku jatuh terduduk ke belakang, banyak orang mulai memanggil petugas keamanan.
"DASAR KAU ANAK MUDA TIDAK TAU SOPAN SANTUN! KAU! KAU!" Pria gendut yang semakin marah itu kini dihadang oleh dua orang petugas keamanan. Aku tersenyum penuh kemenangan, yah ... kemenangan bukan hanya berarti mengalahkan musuh bukan?
Kalau dia dilarang naik subway, maka dia akan telat kerja. Taruhannya adalah teguran, penurunan gaji atau pangkat, atau yang terburuk adalah dipecat.
"Aduh apakah kau tidak apa-apa nak? Pria itu sangat mengesalkan! Untung saja kau mengambil langkah yang tepat dengan tidak membalas pukulan pria itu!" Seorang ibu-ibu dengan tas sayur mendekat ke arahku dan membantuku berdiri. Aku tersenyum kecil lalu segera berdiri dan merapikan kemeja kerjaku.
"Tidak apa-apa Bu, orang seperti itu memang harus diberi pelajaran," ucapku sambil tersenyum.
"Kau benar! Ada-ada saja kelakuan orang sepertinya!" Ibu-ibu itu ikut menggerutu kesal. Setelah itu, ibu tadi kembali ke antriannya di barisan tengah, sedangkan aku kembali di antrian depan.
Keributan besar yang tadi terjadi, menghilang seolah lenyap dari muka bumi. Tidak ada orang yang membahasnya lagi, hal seperti ini langsung dilupakan begitu saja.
Oh benar, namaku Ares Andrias. Aku hanyalah seorang manusia biasa yang tinggal di zaman modern. Usiaku 26 tahun dan aku belum menikah. Sebenarnya aku tidak terlalu tertarik pada pernikahan. Aku bekerja sebagai pekerja kantoran dengan posisi manajemen IT. Hm, mungkin memang benar aku manusia biasa, warna kulitku tidak terlalu terang dan tidak terlalu gelap, rambut hitam, namun aku memiliki warna mata emas. Ada yang bilang ini indah, ada juga yang mengatakan aku monster karena warna mataku. Tapi yah sudahlah, itu hanya masa lalu.
Tempatku mengantri ini adalah sebuah tempat terbuka, dengan kata lain outdoor. Walaupun sudah ada pemberitahuan bahwa subwaynya akan segera datang, tapi biasanya kita masih harus menunggu 10 hingga 15 menit lagi.
Whusss.
"Hm?"
Kenapa tiba-tiba gelap?
Aku menatap ke arah langit, padahal setauku hari ini langit hanya memiliki sedikit awan.
Dan benar saja, yang kulihat di langit bukanlah awan, tapi sebuah benda hitam seperti sebuah lingkaran yang makin lama semakin besar.
Tunggu ... semakin besar?
Bukankah itu artinya benda itu menuju ke sini?!
Aku memutar badanku dengan cepat dan berlari keluar dari tempat antrian subway itu. Beberapa orang yang menyadari hal yang sama sepertiku, langsung ikut berlari.
"IBU AYO LARI! ADA BENDA ANEH YANG AKAN JATUH DARI LANGIT!" Aku mendengar suara dari para petugas keamanan yang menyuruh agar semua pengguna subway saat itu segera meninggalkan tempat.
"MINGGIR-MINGGIR! AKU TIDAK MAU TERKENA BENDA ITU! AKU HARUS CEPAT KELUAR!"
"TOLONG AKU LEBIH DULU! AKU MASIH PUNYA ANAK BAYI DI RUMAH!"
"IBUU! AYAAH! HUEEE!"
Suara kericuhan mulai terjadi dimana-mana. Pintu subway ini terlalu kecil. Bahkan pintu evakuasi juga sudah dibuka namun tidak sanggup membantu untuk keluar para pengguna subway.
Anak-anak yang menangis karena melihat orang dewasa panik, para lansia yang sudah pasrah kemanapun anak muda membawa mereka. Aku sendiri juga ikut berdesakan untuk keluar dari tempat ini.
"TOLONG JANGAN PANIK! KALAU KALIAN SEMAKIN PANIK MAKA AKAN SEMAKIN LAMA KALIAN KELUAR!" teriak salah seorang petugas keamanan yang diabaikan oleh para warga.
Nging.
Sial, sudah terlambat!
DUUARRR!!
WHUSSSSS!!!
Benda yang jatuh itu menimpa puluhan orang yang masih berada di area pemberhentian subway. Suara ledakan dan gempa yang dihasilkannya berhasil membuat tempat ini seketika roboh. Angin yang tercipta membuat para manusia terpental keluar bersamaan dengan puing-puing bangunan.
SRAKK! BRAKK!
"Ukh ... akh!" Aku terdiam sejenak merasakan lengan serta kepalaku yang sakit. Sepertinya lenganku tidak sengaja mendarat di atas batu, begitu juga kepalaku.
Aku masih tengkurap dan berusaha untuk berbaring, mataku menatap ke arah benda raksasa yang berdiri tegak di depanku.
Roket? Kegagalan sains?! Apa-apaan ini?!
Aku masih berpikir bahwa itu adalah roket yang diluncurkan oleh para peneliti untuk meneliti ruang angkasa namun gagal. Tapi saat aku melihat ke arah lain, puluhan roket yang sama menancap hampir di tiap daerah, ukurannya yang besar membuatnya mudah dilihat. Gedung-gedung tinggi banyak yang hancur saat roket ini mendarat.
"Apa ... apaan? Kenapa ada banyak sekali?" Aku berusaha untuk duduk, menyampingkan rasa sakit yang kurasakan. Aku melihat ke arah lenganku yang kini mengeluarkan darah segar.
Sepertinya tergores batu tajam, syukurlah tidak patah.
Aku jadi harus mengacak rambutku yang sudah ku-tata rapi untuk mengecek keadaan kepalaku. Sepertinya juga sama.
Kletuk.
"Hah?" Aku menengok ke arah roket itu. Lempengan besi serta seng yang menyelimuti roket itu kini mengelupas. Hingga menampakkan wujud asli dari apa yang dibawa oleh roket itu.
Sebuah tabung raksasa berwarna merah.
TANG!
Satu persatu baut dari tabung itu lepas, membuat tabung itu mengeluarkan gas berwarna merah. Aku segera berdiri lagi dan hendak berlari.
TANG! TANG TANG TANG!
APA ITU?! APAKAH TABUNGNYA AKAN MELEDAK?!
DDUUUUAAARRRR!
WHUSSS!
DUAR DUAR DUAR!
Seluruh roket itu meledak beruntun di seluruh kota ini. Gas merah yang awalnya hanya bocor sedikit, kimia membuat seluruh kota, tertelan gas merah yang aneh ini.
Aku tidak akan pernah menduga, bahwa dari sini hidupku akan berubah.
To be continued ...
POV: Ares
"Apa-apaan gas ini?!" Aku menutup hidungku dengan sapu tangan dari saku celanaku. Sejauh mataku memandang, yang kulihat hanyalah kabut merah menyakitkan ini. Aku tidak tau ini gas apa, tapi ... orang-orang yang menghirup gas ini secara langsung, mereka ambruk tiba-tiba.
Bzzttt!
"Dilaporkan kejadian baru-baru ini! Ribuan roket telah mendarat di seluruh dunia dan menyebabkan kekacauan! Gas merah yang kini menyebar masih belum bisa dikonfirmasi apa dampaknya!
Jumlah korban yang meninggal hingga saat ini diperkirakan mencapai 2% populasi seluruh manusia!"
Aku menatap ke arah layar LCD yang tertancap di sebuah gedung. Berita masih berjalan, namun bisa terlihat jelas bahwa gas merah itu juga mulai masuk ke dalam gedung itu juga.
"Sekarang hari apa sih? Kenapa rasanya sial sekali ...," gumamku sambil berusaha berdiri. Kakiku masih gemetar, entah karena rasa takut atau ototku yang terkejut. Aku menoleh ke sekelilingku.
Apa? Apa sudah tidak ada yang sadarkan diri? Aku tidak bisa meminta tolong ke siapapun kalau begitu.
Aku mulai melangkahkan kakiku maju, namun baru setengah langkah, kakiku sudah tidak kuat. Aku tersungkur ke depan dengan kepala yang berat. Pandanganku semakin buram, kelopak mataku seolah tertarik untuk terus menutup.
Ah ... aku benar-benar mengantuk.
***
Dimana ini?
Rasanya tubuhku seperti melayang.
Gelap. Tidak adakah cahaya?
"Hei nak, bangunlah."
Aku menatap sebuah tangan yang bercahaya, terulur padaku.
"Little boy of dream world."
"Mimpimu dimulai sekarang."
"Bermimpilah sepuasmu, tapi jangan sampai chast, hati di tangan kirinya itu penuh."
"Atau akan ada hukuman dewa yang turun, namanya adalah infik."
"Tapi jangan khawatir, peri jam 12 malam akan selalu memberimu berkat dengan mengosongkan hati yang ternoda oleh kekuatan dewa."
Hati? Chast? Little boy of dream world? Infik? Peri?
"Kita akan bertemu lagi ... mungkin? Sekarang bangunlah."
Aku menatap ke arah wajah pria itu, tapi ... yang kulihat hanyalah sebuah cahaya yang menutupi wajahnya.
***
"Uh ... "
"Aduh ... sudah berapa lama aku tidak sadar?"
"Hawanya juga sudah jadi cukup panas, kenapa tidak ada yang memindahkanku saat pingsan?"
"Dan suara siapa anak kecil yang cerewet ini?"
"..."
Loh?
"Aa?"
Hah?
"A ... aaa?"
Suaraku?!
"AAAAAAAAA!"
BENAR-BENAR SUARAKU!
Aku langsung berdiri dan menatap tanganku.
Pruk.
Celanaku langsung melorot turun karena ukuran bahuku yang juga mengecil. Aku menatap lengan kemeja putih yang membungkus tanganku hingga tidak terlihat. Bahkan tanpa celana, kemeja ini bisa menutupiku hingga setengah lutut.
"Hupla!" Meskipun begitu, tidak baik berkeliaran tanpa celana! Lebih baik aku tetap memakai celana ini meski kedodoran. Aku hanya tinggal menekuk bagian bawahnya saja bukan? Aku juga harus menekuk bagian lengan kemejaku.
"Nah! Sudah!" Aku ganti melihat ke sekelilingku.
Gas merah itu ... menghilang? Bagaimana bisa itu menghilang begitu cepat? Tersapu angin? Tunggu ... memangnya sudah berapa jam berlalu?!
Aku merogoh saku celanaku dan mencari ponselku. "Ah ketemu!" Tapi saat aku mengeluarkan ponselku, justru ponselku sudah rusak jadi kepingan.
Pasti karena terbentur tadi.
"Hm, ngomong-ngomong ... dari ukuran tubuhku saat ini ... sepertinya aku berusia 12 tahun, atau 11 ya? Tapi sepertinya 12 deh. Baiklah, anggap saja 12 tahun!" Aku memantapkan hatiku bahwa kini tubuh yang kupakai adalah tubuhku saat berusia 12 tahun. Aku berjalan ke arah jalan raya, dan baru menyadari hal-hal lain lagi.
"Ke-ke-kenapa ada mayat di depanku?" Aku terdiam sejenak dan menelan ludahku takut. Dengan perasaan yang gelisah, aku berjongkok lalu menyentuh tubuh yang telah kaku itu.
"Tapi ... ukuran tubuhnya masih normal kok?" ucapku bingung sambil menatap ukuran tubuhnya yang masih sebesar orang dewasa.
Apa jangan-jangan ... mereka yang tidak mengecil, akan mati? Berarti aku termasuk beruntung bukan? Setelah mimpi aneh itu ...
Oh iya ... mimpi!
Aku segera menatap tangan kiriku, dan mencari gambar hati yang pria itu sebutkan. Ternyata benar, ada sebuah gambar yang aneh, mirip tato di punggung tangan kiriku. Tato yang berbentuk hati dengan bagian tengah yang kosong.
Whusss!
Angin kencang tiba-tiba datang dan membawa awan mendung ke sini.
"Tck, andaikan saja di saat seperti ini aku punya payung." Aku berdecak kesal sambil berlari ke arah bangunan terdekat untuk berteduh. Dalam pikiran, aku membayangkan betapa nyamannya jika aku punya payung.
CRINGG!
"HAH?!" Aku terkejut bukan main saat sebuah payung berwarna biru tua muncul di hadapanku.
Persis seperti apa yang kupikirkan. Aku menatap payung itu dengan terheran-heran namun juga penasaran. Payung itu masih melayang di depanku, seolah menungguku untuk mengambilnya.
Ini ... sungguhan?
Aku mencoba membuka payung itu.
Sret.
Bisa kok? Ini sungguhan? Jadi ini maksudnya little boy of dream world?
Aku ganti menatap ke arah gambar hati di tangan kiriku. Benar-benar persis seperti apa yang pria itu katakan di dalam mimpi tadi, gambar hati yang awalnya kosong, kini bagian bawahnya mulai berwarna hitam, sangat sedikit. Mungkin itu menunjukkan batas yang bisa kupakai hari ini.
Kalau begitu, waktu reset kekuatanku adalah jam 12 malam.
JDER! ZRASSS!
"Hujan ya ... sebenarnya ... apa yang terjadi pada dunia ini?" Aku menatap langit yang gelap dari bawah payung yang kupakai.
Dunia monoton yang biasa kukenal, kini berbalik menjadi sebuah dunia asing yang baru. Hujan deras yang turun kali ini, seolah menghapus jejak dunia lamaku, bersama dengan para mayat yang tergeletak di jalanan. Aneh sekali bukan? Padahal aku baru saja terkena bencana yang cukup besar.
Tapi hatiku justru merasa hampa, dan ... ada sedikit rasa senang. Memang aku kasihan pada mereka yang mati, tapi ... aku tidak berbohong bahwa dunia yang ini ...
Lebih kelihatan menarik bagiku.
"HEI! KAU YANG BERDIRI DI TENGAH HUJAN! YANG MEMBAWA PAYUNG BIRU!"
JDER!
Terdengar suara anak perempuan yang memanggilku, teriakannya begitu keras, bahkan di tengah hujan yang deras ini aku masih bisa mendengar suaranya. Aku menggerakkan tubuhku untuk menghadap ke arahnya.
Dia berdiri di tengah hujan dengan seluruh tubuhnya yang basah kuyup. Tapi dia tersenyum padaku, rambut coklatnya yang sebahu, serta ... mata merah? Baru kali ini aku melihat orang dengan mata merah.
Warna matanya unik.
"Hei, apa yang kau lakukan di tengah hujan?" tanyaku balik ke gadis itu. Gadis itu terlihat senang saat melihatku merespon panggilannya. Dia langsung berlari ke arahku dan berteduh di bawah payung yang kubuat tadi.
Untungnya payung yang kubuat ini payung besar, jadi cukup untuk 2 anak kecil. Dia tersenyum lebar sambil menatapku. "Hm tak kusangka masih ada orang yang hidup! Padahal kupikir di daerah semuanya sudah mati!" ucapnya tanpa beban dengan senyuman lega. Tubuhku langsung menjadi kaku rasanya.
"Apa maksudmu?" tanyaku dengan suara yang tertahan. Gadis itu memeras rambutnya lalu melirik ke arahku.
"Di daerah ini, hanya kau yang bertahan hidup. Selain kau, semuanya sudah mati."
Apa?
"Satu ... kota?"
"Hm? Tidak satu kota, di kota ini tentu saja masih ada sekitar 1500 orang yang hidup. Kau adalah salah satunya. Yang kubilang, di daerah ini saja," ucapnya lagi sambil mengulurkan tangan padaku.
Aku terdiam sejenak memikirkan ucapannya.
Hanya tinggal 1500? Bukankah penduduk aslinya ada sekitar 10.000?
"Hei, apa yang kau pikirkan? Tanganku lelah menunggumu," ucap gadis itu sambil menjabat tanganku paksa.
"Sebenarnya ..."
"Sebenarnya siapa kau itu?" Aku menatap gadis itu dengan tatapan yang dingin.
To be continued ...
"Sebenarnya siapa kau itu?"
POV: Ares
JDER!
Kilatan petir yang menari-nari di atas langit tak henti-hentinya menabuh gendang. Di bawah payung yang sama, aku menatap tajam ke arah gadis bermata merah di depanku ini.
"Hm~ namaku Vani! Stevani Regan! Kalau kau?" Gadis itu justru tidak terlihat ketakutan dan malah ganti bertanya padaku. Aku mengerutkan alis, menatap heran pada gadis itu.
"Hahaha hei jangan begitu, kau jadi semakin imut kalau marah! Kau jadi terlihat seperti anak yang minta dibelikan mainan!"
...
Sial, aku lupa kalau aku kembali ke umur 12 tahun. Pantas saja dia tidak takut!
"... Namaku Ares ... Ares Andrias." Aku berucap sambil sedikit waspada, tapi gadis yang bernama Vani itu justru terlihat semakin bersemangat.
"Kau terlihat seperti anak kecil yang tsundere! Jadi makin imut!"
...
(PS: Tsundere itu adalah kepribadian yang luarnya dingin padahal aslinya hangat.)
...
Aku sudah tidak tau bagaimana menghadapi gadis ini lagi.
"Haaah ... jadi ... kenapa kau memanggilku?" tanyaku sambil menatapnya. Vani menjauh tubuhnya sedikit dariku dan kemudian menyentuh pipi kanannya dengan tangan kanannya sendiri.
"Apa kau tidak penasaran dengan apa yang terjadi?" tanya Vani dengan sorot mata yang ... sedikit membuatku tidak nyaman, rasanya seperti dimanipulasi.
"Tentu aku penasaran, kenapa yang hidup hanya 1.500 orang, padahal penduduk kota ini harusnya ada 10.000?" tanyaku langsung saat itu. Vani tertawa kecil lalu menunjukkan chast yang sama dengan milikku.
"Sebenarnya, orang yang mampu bertahan dari serangan gas itu adalah 50% penduduk bumi. Namun, kau pasti sadar bukan? Bahwa kau punya kekuatan yang diturunkan dengan aturan dan batasan," ucap Vani sambil mengusap chastnya yang berbentuk hati, chast miliknya menunjukkan sudah terisi sedikit, tidak sampai seperempat.
"Ya, aku tau. Aku bisa membuat payung ini. Lalu, apa hubungannya?" tanyaku lagi. Vani menunjuk ke arah belakangku. Aku mengikuti arah yang dia tunjuk, dan tiba-tiba ...
DUARRR!
Sebuah gedung meledak dengan keras hingga membuat serpihan gedungnya terlempar beberapa meter jauhnya. Aku spontan menunduk bersamaan dengan Vani.
"Orang-orang akan segera sadar bahwa mereka memiliki kekuatan.
Dan saat itulah, kiamat yang sebenarnya dimulai.
Orang yang gila akan pembunuhan akan mulai menyerang dengan membabi buta.
Orang yang ambisius akan mulai melaksanakan rencananya untuk mendapatkan apa yang dia mau.
Dan orang yang ingin bertahan hidup, akan mulai mengabdikan diri pada yang kuat, atau justru bersembunyi hingga semuanya aman.
Hal inilah ... yang membuat 5.000 manusia tersisa, menjadi 1.500 saja.
Karena 3.500 sisanya akan mati," lanjut Vani dengan tatapan mata yang yakin. Aku menelan ludahku gugup, membayangkan bahwa semua orang punya kekuatan dan akan mulai berkelahi.
Tapi itu memang masuk akal, tidak ada lagi peraturan negara yang bisa berfungsi sekarang. Tidak ada lagi polisi yang bisa menghentikan kejahatan apabila musuhnya punya kekuatan super.
Tapi ...
"Darimana kau tau itu semua? Seolah ... seolah-olah kau sudah pernah mengalaminya." Aku menatap ke arah Vani, lagi-lagi mata merahnya serta bibir mungilnya itu hanya tersenyum ke arahku.
"Kalau kau mau tau, apakah kau mau ikut denganku?" tanya Vani sambil menatap ke arah lain.
"Kemana?" Aku mengerutkan alis ku lagi sambil menatap gadis yang masih setengah basah itu.
"Ke markas 'kami'."
DUUUAAARRR!
GRUDUK GRADAK!
Aku dan Vani menatap ke arah gedung yang meledak lagi, dan salah satu bagian besar gedung itu mengarah pada kami. Aku melepaskan payung yang kupegang dan memeluk Vani erat.
Sial! Apa yang harus kubuat sekarang?! Gedung sebesar itu?!
.
.
.
Bunker?
Bisakah aku membuatnya? Tidak tidak! Harus bisa! Aku tidak ingin mati penyet!
Bunker yang kecil tapi kuat, bunker yang kokoh dan melindungi kami berdua!
CRINGG!!
GRADAKK!
DUUARR!
Whusss!
Gelap.
Tapi ... harusnya aku aman 'kan sekarang? Sial ... apakah aku masih mempunyai sisa chast untuk membuat senter?
Baiklah, ayo buat senter.
CRINGG!
Klik!
"Nah! Akhirnya aku bisa melihat!" Aku melihat ke sekelilingku yang dilingkupi besi kokoh, lalu ganti melihat Vani yang dari tadi kudekap erat di lenganku.
"Waw! Kekuatanmu sangat multifungsi ya?" ucapnya sambil melihatku kagum.
Bruk!
Aku langsung menjatuhkannya begitu dia selesai bicara. Dia terlihat sedikit kesal hingga mengerucutkan bibirnya. "Hei, apakah boleh tiba-tiba menjatuhkan seseorang seperti ini? Bagian bawah tubuhku jadi sakit 'kan!" ocehnya sambil mengusap badannya sendiri. Dia ikut memerhatikan bunker kecil yang kubuat.
"Hei ... jika kita tidak segera pergi dari sini ... kita akan mati karena kehabisan oksigen. Aku lupa membuat ventilasi," ucapku sambil tersenyum canggung. Setelah itu kami berdua terdiam, yang terdengar hanyalah suara hujan yang sudah sangat sunyi. Sepertinya bunker ini punya efek kedap suara.
"Apa kau tidak punya kekuatan untuk mengangkat bunker ini?" tanyaku pada Vani yang dijawab dengan gelengan kepala.
Aku kembali diam dan berpikir. Apakah aku harus membuat bom untuk melubangi bunker ini? Tapi nanti aku juga mati dong ... bunker ini terlalu sempit untuk menghindar. Aku menatap ke arah tangan kiriku, chast yang terpakai tidak sampai setengah, sepertinya membuat bunker ini tidak membutuhkan terlalu banyak chast.
Mungkin ada sesuatu yang tidak aku ketahui tentang perubahan ini.
"Hm ... namamu Ares kan? Hei ... apakah sisa chastmu masih cukup banyak?" tanya Vani sambil memegang bunker besi itu.
"Oh? Masih ada cukup banyak kok," jawabku dengan nada yang bingung.
"Kau harusnya bisa menghilangkan bunker ini bukan? Karena kau yang membuatnya," ucap Vani lagi.
Lah ... benar juga? Aku belum pernah mencobanya.
"Tunggu sebentar, aku coba dulu dengan benda yang sederhana," ucapku sambil membuat sebuah batu kecil.
CRING!
Baiklah ... sekarang ayo hilangkan.
Whuss.
Batu itu menghilang menjadi serpihan debu yang bersinar.
"Bisa!" Aku menoleh ke arah Vani dengan semangat. Tapi tepat sebelum aku menghilangkan bunker ini, Vani menyentuh pundakku.
"Kita masih terkubur di bawah reruntuhan gedung. Kalau bunkernya kau hilangkan, maka kita akan langsung tertimpa," ucap Vani sambil menunjuk batang hidungku.
"Lalu bagaimana aaaarghhh?!" Aku berteriak frustasi sambil menyandarkan kepalaku ke dinding bunker. Vani malah tertawa sambil duduk di tengah bunker.
"Bersiaplah, kita akan terbang tinggi setelah ini," ucap Vani sambil mulai memainkan jari-jemarinya. Aku berjongkok di tepi bunker, menatap apa yang Vani lakukan. Suhu di dalam bunker ini mulai berubah, hembusan angin yang harusnya mustahil menembus bunker ini, kini justru terasa kencang.
WHUSSSSS!
Dalam hitungan detik, angin di dalam bunker ini mulai membentuk badai. Pusaran angin super kuat terlihat menari-nari di hadapan Vani.
"Kemampuanku adalah mengendalikan cuaca.
Berarti ...
Aku juga bisa mengendalikan bencana alam.
Kekuatanku, Sky Goddess."
WHUSSSS!!!
GRAKKK!
Bunker seberat puluhan kilo ini mulai terangkat, angin di bawah bunker ini mulai masuk dan menambah kecepatan angin di dalam sini. Sedikit-demi sedikit aku dan Vani ikut terbang dan mulai berputar.
"Hei hei! Apa kau yakin ini baik-baik saja?!" tanyaku panik sambil berpegangan erat pada tangannya.
"Hahaha! Jangan khawatir! Kita akan terbang lebih jauh lagi!"
"Apa?!"
DUUARRR!!!!
WHUSSSSS!!!
Dalam hitungan detik, bunker kami terangkat dan runtuhan gedungnya juga hingga menghasilkan suara seperti ledakan bom. Dan benar seperti yang Vani katakan.
JDER!!
ZRASSS!
Aku dan Vani terbang ke atas langit. Tornado yang Vani ciptakan menjadi sangat besar dan mengerikan, pusaran angin itu menyatu dengan langit dan awan hitam, membuat hujan serta kilatan petir yang lebih keras.
"Nah Ares! Sekarang giliranmu untuk menurunkan kita!"
"BAGAIMANA CARANYA?!"
TBC.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!