Ujian Nasional baru saja usai. Inilah hari-hari dimana jantung serasa melompat dari dada. Bukan karna cinta atau apalah. Tapi menanti pengumuman.
Biasanya siswa yang berprestasi belum tentu unggul ketika ujian ini. Karena meremehkan.
Banyak juga yang sebelumnya hanya siswa biasa saja tapi malah unggul ketika kelulusan.
"Bagaimana jika aku tidak lulus? Apa yang akan terjadi nantinya?" Itu yang menjadi bayanganku setiap malam.
Ku melempar asal ponsel ke atas kasur, kemudian mengacak rambutku asal.
Tingg..
Tanda pesan masuk melalui akun messenger. Aku langsung membukanya.
[Hai Cantik]
Oleh akun Facebook Alfian Wijaya.
Aku mengabaikannya. Bukan hanya sekali dua kali digoda lelaki di sosial media. Jadi tidak membuatku tertarik sedikitpun.
[Hai Cantik. kok tidak dibalas]
Masih sama. Akun Alfian Wijaya.
[Boleh kenalan?]
Lagi. Akun yang sama.
[Oke]
Hanya itu balasanku.
[Kok malam begini belum tidur. Boleh ku temani]
"Apaan sih, malas sekali aku" batin ku.
Aku mematikan data internet, kemudian mengganti pakaian dengan seragam hitam. Seragam organisasi pencak silat yang ku ikuti.
Lima menit saja sudah sampai di lokasi latihan. Karena jarak antara rumah dan tempat latihan hanya terhalang jalan.
Sesampainya, aku langsung bergabung diantara anggota organisasi yang lain.
"Ra, kamu mau ikut tidak?" Kata Evan pada ku.
Evan adalah teman latihan ku, namun lulus setahun lebih awal. Kala itu usiaku menjadi bahan pertimbangan. Karena masih 12 tahun,dan duduk di bangku Sekolah Dasar.
Menurut ketua rantingnya tidak mungkin siswa SD menjadi pelatih. Itulah sebab aku di tinggal pengesahan.
Begitu kelas tujuh, atau kelas satu SMP pertengahan, aku bisa lulus. selama empat tahun delapan bulan latihan.
Sekarang aku sedang menunggu kelulusan sekolah menengah pertama. Semoga saja lulus. Itu harapan ku.
"Ikut kemana?" Aku mengambil gorengan yang dihidangkan di piring.
"Kita mau latihan bersama di Ranting Indo" Evan menjelaskan.
"Malam ini?"
"Iya. Kalau kamu mau ikut ku ijinkan ke rumah orang tua mu."
"Okey, jika Ayah Ibu ku mengijinkan aku akan ikut" ku ambil satu gorengan lagi.
"Lapar ya mbak?" Anto menggodaku. Ia adalah siswa ku atau bisa di sebut adik tingkat ku. Baru beberapa hari lulus nya.
"Kamu tidak lihat aku sedang galau?" Ku lirik sekilas kemudian memakan gorengan yang tersisa di tangan.
"Makanya jangan menjomblo Mulu. Mas Dhani ganteng loh" ledeknya semakin menjadi.
"Galau kalau tidak lulus. Bukan karena jomblo" aku terdengar ketus, tapi memang kesal.
Bagaimana tidak, jika Dhani menjadi kekasih ku beneran aku pasti akan di amuk masa. Secara penggemarnya dari banyak kalangan. Bukan hanya sekelas, Kakak kelas dan Adik kelas juga banyak.
Bahkan aku pernah di lempar buku oleh teman sekelas ku hanya dekat dengan nya.
"Tapi Mas Dhani ganteng" Anto mengulangi.
"Namanya juga Class Start jelek pun di bilang ganteng."
"Apa artinya."
"Bintang Kelas."
Dia memang wajah rupawan banyak yang menggemari. Bisa dibilang terobsesi.
Dia pandai di segala bidang aku sedikit dekat dengannya. Karena duduk di belakang ku. Jadi mudah untuk mencontek.
"Bagaimana?" Evan baru datang dari rumah ku.
"Yang penting pulangnya jangan kemalaman kata Ibu mu" Evan memang sedikit dekat dengan keluarga ku meski tidak terlalu cocok jika dekat dengan Kakak ku. Entah apa alasannya.
Malam itu aku boncengan motor dengan Evan. Ia membawa sebuah kado untuk pacarnya. Ulang tahunnya sudah lewat, tapi untuk memberi kado baru sempat. Katanya.
Ku aktifkan data internet ponsel ku. Notifikasi Messenger dari akun Alfian Wijaya membuat ku melotot.
"Apa maunya?" batin ku.
Ku buka profil Facebook nya. Usianya terpaut 6 tahun dengan ku. Fian kelahiran tahun 1993. sedangkan aku kelahiran 1999.
"Om om rupanya" aku masih mencari tahu semua yang ada di profil nya.
Setelah bosan dengan berandanya, ku buka pesan darinya.
[Kok tidak di balas lagi Say]
[Lagi sibuk ya?]
[Udah tidur]
[Masa pendekar jam segini sudah tidur? Kenalan yuk]
" Lebay sekali dia, apa lupa umur?" ucap ku lirih. Untungnya Evan tidak bisa mendengar.
[Maaf sibuk]
Hanya itu balasan ku. Ku simpan ponsel ku di kantong celana tanpa mematikan paket datanya. Sehingga notifikasi tetap masuk.
20 menit kami sampai di lokasi. Kami di sambut baik oleh anggota di Indo. kami langsung bergabung dengan mereka begitu juga dengan siswa kami. Mereka latihan bersama dengan siswa Indo.
Evan sibuk dengan kekasihnya, Anto juga sibuk dengan wanita-wanita pendekar di sana. Dari pada bingung, ku ambil ponsel ku.
Ku buka wa grup, sepi. Pesan masuk pun tak ada. Hanya notifikasi YouTube yang ramai.
Ku intip foto-foto Dhani di galeri. Aku memiliki banyak fotonya karena sempat tukaran memori dengannya. Ya, sedekat itu aku dengannya. Banyak yang mengira aku kekasihnya. Padahal hanya penggemar saja.
Dia berfoto bukan karena aku yang meminta. Dhani nya saja yang narsis.
drttt ....drttt....
Ponsel ku bergetar ada telepon masuk dari nomor tak dikenal.
"Halo" ku tempelkan ke telinga.
"Halo Cantik, apa kabar. Ku kira sudah tidur" jawaban dari seberang.
Aku sedikit yakin yang menelepon akun Alfian Wijaya. Karena hanya dia yang menghubungi ku dalam waktu dekat.
Masalah dapat nomor hp dari mana tidak perlu di tanyakan lagi. Di akun ku ada nomor telepon ku, dan lupa belum di privat karena masih di publikasikan.
"Maaf" sahut ku.
"Lagi apa? Sibuk tidak?"
"Lagi duduk saja" sahut ku sekenanya, karena memang sedang duduk di lapangan bersama anggota yang lain.
"Boleh aku temani?" Suara dari seberang.
"Hmm."
"Besok ada waktu tidak? Kita ketemuan di Dermaga."
"Insyaallah" hanya itu.
Dermaga desa yang dimaksud. Karena hanya itu yang terkenal. Ada dua dermaga. Satu dermaga dijadikan pasar sayur dan satu lagi di jadikan tempat wisata atau sekedar cari angin bagi penduduk terdekat.
Sampai situ percakapan ku dengan Fian. Aku menyanggupi pertemuan besok.
...***...
Keesokan paginya, aku tidak mengantar Ibu ku belanja. Biasanya Ibu belanja setiap Minggu karena untuk mengisi bahan baku warung.
Ini pertama kalinya aku bertemu langsung dengan seseorang yang kenal di sosial media.
"Bu aku ijin ke Dermaga ya, ingin main" aku merapikan kerudung segi empat sederhana yang biasa ku pakai.
"Dengan siapa?" Kata Ibu sambil bersiap membuka warung.
"Sendiri. Hanya sebentar Bu."
"Jangan lama-lama. Nanti Ibu akan yasinan kamu harus jaga warung" sahut Ibu tanpa meletakkan kerjaannya.
"Siap! Bu" ku peragakan hormat di depan Ibu, yang pasti beserta senyum gembira.
Hati ku deg-degan. Ini pertama kalinya aku menemui seseorang yang tidak aku kenal. Aneh dengan perasaan ini tapi hati ku penasaran. Aku tertarik dengan gingsul yang ada di pipi kanannya. Menjadikannya semakin manis.
"Apa kabar Dhani yang mengisi hatiku? mungkin perasaan ini hanya sebatas mengaguminya atau sudah berubah menjadi cinta" entahlah aku juga tidak begitu mengerti.
Lima belas menit aku sampai di lokasi. Aku mencari tempat ternyaman supaya tidak kagok jika ada seseorang yang melihat ku.
[Sudah sampai mana Cantik]
Pesan WA dari Fian.
[Aku sudah di Dermaga]
balasanku.
[Aku di parkiran. Kita ke kafe teman ku saja bagaimana. Tidak jauh dari sini]
Usulan dari Fian. Aku hanya menuruti.
[Baiklah aku ke sana]
Sesampainya di parkiran aku langsung menatapnya. Hati ini semakin deg-degan. Lebih manis dari fotonya.
"Hai" Fian melambaikan tangan pada ku sambil meringis memperlihatkan deretan giginya yang bergingsul.
Aku hanya tersenyum. Inikah cinta pandang pertama. Atau hanya rasa aneh yang tumbuh di hati ku. Meski demikian langkah ku semakin maju mendekatinya. Karena motor ku berada tepat didepannya.
"Ayo ikuti aku."
Aku hanya tersenyum lagi. Bingung apa yang harus ku katakan. Tak beberapa lama sampailah di Kafe yang dimaksud. Letaknya strategis di depannya ada sekolah SMK.
"Mau minum apa?" Ucapnya.
"Apa saja yang ada aku pasti minum" aku memarkir motor sambil lirik kanan kiri. Sepi.
"Okey."
Fian masuk ke rumah pemilik kafe. Dari yang kulihat sepertinya ia biasa ke sini.
Sebentar saja Fian keluar membawa dua buah cangkir kopi putih. Tak berselang lama, lelaki setengah baya keluar membawa nampan berisi roti bakar. Dilihat dari rupanya mungkin seusia Ayah ku.
"Ayo diminum jangan sungkan" Fian menyodorkan secangkir kopi untuk ku.
"Terimakasih."
Hanya itu, selanjutnya diam. Aku menyeruput sedikit kopi panas yang disuguhkan.
"Kok diam" Fian memandang ku.
"Hmmm."
"Sudah punya pacar belum Ra?"
Astaga, Fian memanggil nama ku. Jantung ku ingin loncat dari tempatnya. Apakah rasa aneh ini wajar. Perasaan aku tidak memiliki riwayat penyakit jantung.
"Belum" sahut ku sembari memainkan game zona cacing. Supaya tidak ketahuan jika aku gugup.
"Mau jadi pacar ku?"
"Hmm.. Dua Minggu lagi aku akan ke Jepara. Aku akan sekolah di sana dan pulang hanya satu tahun sekali. Jika Ayah Ibu ku punya biaya."
Padahal hati ku masih bimbang antara lulus dan tidak. Tapi dari hati ku paling dalam mengatakan jika aku akan lulus.
"LDR maksud mu? Tidak masalah asalkan kita saling percaya."
"Apa kamu tidak takut jika aku selingkuh di sana" tantang ku.
"Kamu memang banyak lelaki sebagai teman mu. Tapi aku yakin kamu bakal setia" Fian sangat yakin jika aku akan tetap menjaga hubungan ini.
Seyakin itu kah dengan ku. Apa sudah biasa meyakinkan wanita.
"Kamu tahu? Tanggal lahir kita sama hanya beda tahunnya saja. Kita bisa merayakannya bersama" aku merasa Fian meyakinkan ku dengan cara merayu ku. "Lihatlah ini" Fian memperlihatkan KTP nya pada ku.
Benar. Dia Lahir Tanggal 22 Juni 1993. Aku pun tanggal 22 Juni. Apakah ini akan indah jika berjodoh. Kami akan merayakan ulang tahun yang sama.
"Bagaimana Nara? Apa kamu menerima ku?" Fian menatap ku tanpa berkedip. Aku berusaha tenang meski ini sangat sulit.
"Baiklah akan aku pertimbangkan" sahut ku sekenanya.
"Sekarang. Jika kamu menolak pun aku bisa apa" katanya lagi.
Aku menyeruput kopi yang hampir dingin guna menghilangkan rasa gugup.
"Baiklah aku terima. Aku akan setia. Jika kamu selingkuh akan ku bunuh kamu!!" ancam ku bercanda.
Masa iya aku akan membunuhnya. Yang ada aku di penjara karna membunuh pacar yang selingkuh. Kan tidak lucu.
Satu kecupan di pipi kanan ku membuat ku sadar dari lamunan.
"Jangan makan sebelum berdoa" ucap ku tegas.
"Maaf."
Rupanya Fian paham ucapan ku. Secara ia dewasa dari segi usia. Semoga saja pikirannya juga dewasa.
Jangan makan sebelum berdoa. Sama maknanya dengan jangan menyentuh sebelum menikah.
"Aku ingin pulang berapa tagihannya?" Ku keluarkan selembar uang lima puluh ribuan.
"Biar aku saja. Anggap saja aku mentraktir mu karena kamu menerima cinta ku Sayang" Fian memasuki rumah pemilik kafe lagi.
Seusai pembayaran aku pamit pulang. Sebentar lagi Ibu akan berangkat yasinan. Akan berabe jika tidak langsung pulang.
"Fian aku pulang dulu ya. Ibuku menunggu" aku bersiap dengan tas selempang ku.
"Baiklah. Sampai jumpa" Fian melambaikan tangan kepada ku. Aku hanya tersenyum menanggapi sambil menyalakan mesin motor siap berjalan pulang.
Seusai pembayaran aku pamit pulang. Sebentar lagi Ibu akan berangkat yasinan. Akan berabe jika tidak langsung pulang.
"Fian aku pulang dulu ya. Ibu ku menunggu" aku bersiap dengan tas selempang ku.
"Baiklah. Samapi jumpa" Fian melambaikan tangan kepadaku. Aku hanya tersenyum menanggapi sambil menyalakan mesin motor siap berjalan pulang.
Selama perjalanan pulang aku terus tersenyum. Masih terbayang wajah Fian. Namun sakit ketika ingat dia mencium pipi ku. Seharusnya ciuman pertama itu untuk Suami ku nantinya.
Sesampainya di rumah, Ibu masih melayani pembeli. Jam juga masih menunjukan pukul dua lebih empat puluh tujuh menit waktu setempat.
"Ibu aku datang" seketika menjadi pusat pandangan ibu-ibu pembeli karena suara ku lantang.
"Anak gadis pamali teriak-teriak" tegur Ibu. Aku hanya nyengir kuda mendapat lirikan sekilas dari Ibu.
"Nera galak juga kalau sedang ngelatih Bu" kata salah satu ibu pembeli. Ibu Dian.
"Iya anak ku juga bilang apa lagi kalau sedang tes kenaikan tingkat sabuk" kata Ibu yang satunya lagi. "Tapi banyak yang naksir loh Bu" lanjut Bu Iyah.
"Ibu-Ibu ada saja. Mana ada yang mau sama Nera. Gadis galak" sanggah Ibu.
"Jangan salah Bu walaupun galak tapi tetep cantik dan pintar" Ibu Dian menimpali.
Di tingkat sekolah dasar aku pernah dipercaya mewakili sekolah untuk lomba OSN mata pelajaran matematika alhamdulillah sampai ke provinsi. Dari situ aku mengenal Dhani.
Di SMP di pertemukan kembali dengan Dhani, tapi dengan bodohnya aku menolak OSN tingkat kabupaten. Masih mapel yang sama, matematika. Dan itu Dhani juga mewakili IPS. Aku menyesal sampai sekarang.
Dan dua orang lainnya. satu orang sahabat ku Ami, satunya lagi Dheny se-organisasi pencak silat dengan ku. Aku Menyesal. Selain jalan-jalan juga mendapat ilmu.
"Mau beli apa lagi Bu?" Tanya ku mengalihkan perhatian juga berusaha melupakan masa itu.
"Sudah Ra. Ini saja sudah banyak."
Bu Dian dan yang lainnya sudah pulang. Ibu sedang duduk dimeja kebesarannya. Ngapain lagi selain menghitung laba hari ini.
"Banyak ya Bu hari ini" aku melihat sekilas uang yang Ibu pegang.
"Alhamdulillah rejeki tidak mungkin salah alamat Nduk" Ibu hanya membawa uang ratusan dan lima puluh ribuan masuk kedalam rumah yang ada di belakang warung ini. Yang puluhan di tinggal untuk kembalian nantinya.
Ibu duduk lesehan di samping ku sambil membawa satu toples kacang bawang. Ibu selalu membuatnya sekedar untuk cemilan sambil jaga warung. Itu juga makanan kesukaan Kakak ku.
"Nduk tadi Kakak mu telepon. Katanya ingin nambah lagi ngajinya".
"Tidak masalah Bu, asalkan Kakak bisa prihatin (hemat). Sebentar lagi aku nyusul ngaji sambil sekolah meski tidak satu tempat dengan Kakak".
"Yang semangat ya Nduk ngajinya, nurut sama Kiai. Ibu berharap kamu jadi anak yang Birrul Walidain."
"Amiin Bu."
Birrul Walidain adalah bagian dalam etika Islam yang menunjukan pada tindakan berbakti kepada kedua orang tua. Yang mana berbakti kepada orang tua ini hukumnya fardhu 'ain bagi setiap muslim, meskipun seandainya kedua orang tuanya adalah non muslim.
Fardhu 'ain sendiri maknanya status hukum dari sebuah aktifitas dalam Islam yang wajib dilakukan oleh seluruh individu yang telah memenuhi syaratnya. Seperti sholat lima waktu, Puasa dalam bulan Ramadhan. Jadi dalam Islam jika ditinggalkan hukumnya dosa.
Tak terasa adzan berkumandang. Ini tandanya aku harus jaga warung sebelum Ibu berangkat yasinan.
"Mau sholat dulu apa nanti Nduk?" Tanya Ibu.
"Sholat dulu Bu, nanti malah kelupaan."
Kalau menunggu Ibu pulang yasinan akan sangat terlambat. Biasanya hampir Maghrib baru pulang.
Biasanya aku akan ikut. Tetapi Ayah ada urusan di ladang jadi tidak ada yang jaga warung. Biasanya juga di tutup karena aku ikut yasinan. Tapi aku sedang malas berangkat.
Astaghfirullahaladzim...
Maaf ya Allah.
......***......
Pov Fian
Hati ku terketuk oleh seorang wanita pendekar. Dari gaya bicara di status Facebook nya juga beretika. Aku tertarik padanya. Tapi apakah dia belum punya pacar. Anak jaman sekarang SD saja sudah memiliki mantan.
"Bang aku pulang dulu" aku pamit dengan Bang Jarwo pemilik kafe karena urusan ku sudah selesai.
"Siapa yang kamu temui?" Bang Jarwo mengangkat satu alisnya. Ya, alis itu yang memikat istrinya kala itu.
"Nera calon makmum ku."
"Yang penting jangan sampai kamu nodai dia. Kelihatannya dia baik. Tapi jangan salah karena bungkus".
Deg
Nera si pendekar banyak teman cowoknya tapi tidak salahkan aku mempercayai kesuciannya. Semoga saja aku tidak salah pilih.
"Iya bang. Santai saja" kemudian aku berlalu.
Hati ku kalut mengingat perkataan bang Jarwo. Apalagi Nera akan sekolah jauh di Jawa. Sebaiknya nanti aku bicarakan lewat WA.
Mengapa dia akan sekolah jauh padahal disini banyak sekolahan yang terakreditasi A. Apa itu hanya alasan menolak ku. Atau entahlah sebaiknya aku tanyakan nanti.
Tadi pagi aku ngopi dengan Ayah setelah bertemu Nera aku langsung siap-siap kembali ketempat kerja. Tidak sempat ngopi sebelum malam di perjalanan.
"Semoga saja suatu hari nanti rumah ku ramai oleh anak-anak ku dari Nera."
Aku melaju pelan motorku sambil menikmati senja di perkebunan sawit ini. Banyak orang yang berlalu lalang. Ada yang dari pasar, ada yang dari rumah menuju kem, ada juga yang sekedar menikmati senja.
Itu sedikit aktifitas orang-orang yang bekerja di kebun sawit mayoritas orang-orang pendatang dari Jawa dan Sumatra. Ada juga dari Lombok, NTT, atau Sulawesi. Beragam orang disini.
Ada yang transmigrasi, Akad (Dijemput perusahaan), atau lokal (Datang sendiri). Tujuan mereka sama. Mengadu nasib. Tidak sedikit juga orang pribumi bekerja di perkebunan ini.
Ucapan Bang Jarwo masih terngiang, tapi rasa cinta ku kepada Nera lebih besar. Sudah setengah tahun aku mengamati aktifitasnya.
Semoga saja Bang Jarwo salah. Aku yakin Nera bisa jaga diri.
Sesampainya di kem aku langsung memasuki rumah. Tak sabar aku ingin Chating-an dengan Nera. Apa kabar dia setelah menjadi kekasih ku.
[Selamat malam Sayang]
Centang dua abu-abu. Mungkin dia sedang sibuk. Biarlah, lebih baik aku rebahan sambil menunggu Isya.
...***...
Pov Nera
Ku tutup pintu warung bagian depan, karena sebentar lagi adzan Maghrib. Pintu warung belakang langsung nyambung dengan ruang tamu. Namun bukan pintu keluar. Jadi setiap tamu yang datang bisa melewati warung bisa juga melewati pintu utama.
Ku ambil pisau dapur, kemudian kesamping rumah melalui pintu belakang. Tanaman segar sudah siap menunggu ku.
Tujuan utama ku adalah kangkung. Ingin sekali memasak tumis kangkung dari pada keburu tua di baskom, lebih baik aku memasaknya. Kebetulan ayah membawa lele dari ladang diberi oleh om Gopar. Om Gopar ini orang kepercayaan Ayah.
Tumis kangkung di temani ikan lele, sepertinya nikmat.
"Alhamdulillah" masakan sederhana ku selesai. Biar Ibu yang menghidangkan nanti.
Ku ambil ponsel sembari mengecek apakah baterainya sudah penuh.
Deg
Ada pesan WA dari Fian. Belum ada namanya di kontak ku. Isi pesannya udah bisa ku baca sebelum ku buka. karena pesannya pendek.
Hati ku berdegup kencang. "Aku sudah punya pacar" ucap ku girang di dalam hati. Kenyataannya hanya bibir saja yang tersenyum.
Ada kesedihan di hati. Aku akan sekolah jauh. Apa bisa aku menahan ketertarikan pada orang lain? Sedangkan pacar ku di Kalimantan. Apa di Jawa bakal ada lelaki yang bisa memporak-porandakan kelak? Apa aku bisa setia?
Apa aku mencintai Dhani apa sebatas penggemar yang terobsesi. Tapi rasa ini ada setelah pulang dari kabupaten ketika aku kelas lima SD.
"Nduk, masak apa kamu?" Ibu membuyarkan lamunan ku.
Tapi tentengan di tangannya membuat ku ingin cepat memeriksa. Apa isi didalamnya.
Ya, Ibu baru pulang yasinan dan membawa bungkusan kresek berisi berkat. Berkat ringan bukan seperti orang hajatan.
Biasanya hanya berisi empat atau lima potong makanan ringan atau kue bisa juga gorengan, di tambah segelas minuman kemasan. Entah itu berasa atau hanya Aqua gelas. Tergantung selera yang menerima giliran.
Biasanya juga bisa sate, soto, bakso, atau makanan berat sejenisnya. Tapi dalam bentuk bungkus karena tidak dimakan di tempat.
"Tumis kangkung Bu, tadi Ayah membawa lele dari om Gopar, sudah sekalian ku goreng. Tinggal di hidangkan saja" aku menjelaskan sedetail mungkin pada Ibu.
Sebelum aku beranjak ku sempatkan balas pesan WA Fian.
[Selamat malam Sayang]
pesan WA dari Fian.
[Malam]
Dia memanggil ku Sayang. Panggilan apa yang pantas untuk dia. Masa Om? Ya kali Nera punya pacar seorang om-om. Kalau di dengar orang kan gak lucu. Nera menahan tawa memikirkan semua ini.
"Nduk, kata Ibu tadi keluar acara apa?" sudah pasti Ibu yang cerita.
"Pengen saja duduk di Dermaga Yah, lagian semenjak Kakak di Jawa aku tidak pernah ke sana. Aku rindu Kakak" bukannya aku berbohong, tapi memang bohong sih. Hanya saja aku belum siap memberi tahu Ayah dan Ibu ku tentang Fian.
"Besok siapa yang akan mengambil surat kelulusan Nera?" Ayah memandang Ibu sekilas.
"Siapa Ra?" Ibu malah bertanya pada ku.
Aku makin galau memikirkan kelulusan itu. Sebelumnya Ayah atau Ibu tidak pernah mengambil raport ku sehingga aku sering mendapat teguran wali kelas.
"Siapa saja lah Bu, lagian tidak mungkin kan jika aku mengambilnya sendiri" suapan besar masuk ke mulut ku. Nikmat sekali rasanya.
...***...
Pukul tujuh lebih sembilan belas menit waktu setempat, aku belum bisa memejamkan mata. Ku buka aplikasi noveltoon aplikasi membaca novel gratis tanpa menggunakan koin. Aku suka sekali membacanya. Dari situ aku banyak sekali belajar tentang kehidupan. Intinya sangat bermanfaat bagi ku.
Ada pesan WA masuk. Siapa lagi kalau bukan Fian.
[Sudah makan apa belum]
[Sudah]
Dua centang biru
[Masak apa]
[Tumis kangkung sama goreng lele]
[Kamu apa Ibu mu yang masak?]
[Aku, Ibu tadi yasinan]
sepertinya Fian standby di chat ku. cepat sekali ia membalas. baru kirim langsung centang dua biru, langsung ada balasan.
[Oh ya, Pasti enak]
[Aku tidur dulu ya, besok aku kerja]
[Selamat malam Sayang ku]
Kerja apa dia? Syukurlah bukan pengangguran.
[Selamat malam]
Aku teringat panggilan untuknya. Apa yang cocok. Bagaimana jika aku memanggilnya Mas saja. Toh kalau jadi Suami ku memanggilnya juga mas, tidak mungkin ku panggil Om. Kalau tidak jodoh, aku bisa apa. Tuhan lebih berhak.
Aku menscrol chat Fian berulang kali, membuat ku senyum-senyum sendiri. Padahal hanya pesan ringan yang terjadi. Tapi bisa membuat ku seperti orang gila. Bahagia.
Semoga kamu setia ku tinggal mencari ilmu.
"Ya Allah bukakanlah pintu hati mas Alfian berikanlah Rahmat dan hidayah-Mu, dan jadikan dia sebagai Suami ku kelak Ya Allah. Amiin."
Tanpa sadar hati ku berucap demikian. Semoga dia menjadi jodoh ku, kalau pun tidak di dunia semoga saja di akhirat.
"Semoga besok aku lulus" ucap ku lirih.
Ku simpan Kontak Fian di ponsel ku. Ku beri nama "Mas". Itu lebih baik dari pada Om."
Setelah merapikan tempat tidur, aku berbaring siap untuk tidur. Tidak lupa memohon keselamatan kepada pemilik diri ini. Gusti Pangeran.
Ku sambut mentari pagi ini dengan senyuman. Hati ku deg-degan tak sabar menunggu hasil Ujian Nasional. Inilah penentuan ku selama di sekolah menengah pertama. Semoga Ayah Ibu ku tidak kecewa. Dan akan membawa ku mewujudkan cita-cinta ku.
Pondok Pesantren Balekambang, menjadi tujuan ku. Aku ingin sekali memiliki seragam identitasnya. Aku jatuh cinta pandang pertama dengan sarungnya.
Itulah mengapa aku rela sekolah jauh. Aku merasa Pondok Pesantren itu cocok dan sesuai dengan pilihan hati ku.
"Hai, Nera. Tumben ambil raport hahaa" Dhani cengengesan mengejek ku. Ini pertama kalinya aku mengajak orang tua ku mengambil hasil ujian.
"Tidak masalah. Semoga saja tidak ada teguran lagi" ku lipat kedua tangan ku di depan dada.
"Okey" Dhani manggut-manggut. "Kamu jadi sekolah di Jawa? Dimana nya?" Lanjutnya.
"Kepo."
"Okey, jika kamu tidak memberi tahu ku, aku akan mengetahuinya" Dhani merasa hanya dirinya yang paling sakti.
"Sekolah yang bener, ngaji yang bener, supaya jadi orang sakti. Esok aku akan berguru."
Itu lah aku jika bertemu dengan Dhani. Hanya kawan debat saja, tidak lebih. Jadi tidak usah terlalu lebay menanggapi rasa ini. Meski diam-diam aku menggemarinya. Atau berubah menjadi cinta? Aku pun tak tahu.
Tingg...
Pesan WA masuk dari Fian.
[Semangat pagi Sayang]
[Pagi]
Centang dua abu-abu. Ku masukkan lagi ponsel ku ke saku baju.
Apa kerjaannya, jam segini bisa main ponsel. Apa hanya sekedar menengok jam. Apa memang menyempatkan waktu untuk ku.
Mengapa rasa ku seperti ini mendapat kabar darinya, bahagia. Sama juga jika aku dekat dengan Dhani. Tidak mungkin aku mencintai dua lelaki dalam waktu yang sama.
"Cie, ada yang berduaan" aku terkejut dengan kedatangan Mahen, teman dekat Dhani.
"Kamu saja yang merasa kita hanya berdua" sahut Dhani.
"Kamu tidak melihat di belakang kita juga ada siswa lainnya?" Timpal ku.
"Iya deh."
Sebenarnya tidak ada urusan bagi siswa ikut ke sekolah. Aku hanya datang untuk menemani bicara selama Ayah di perjalanan.
Mereka yang ikut mungkin memiliki tujuan. Seperti pertemuan terakhir bagi yang ingin sekolah jauh, ada yang sekedar bermain, ada juga yang datang hanya untuk nongkrong.
Ayah keluar dari ruangan yang digunakan untuk menyelenggarakan acara. Beliau membawa sebuah amplop yang pasti berisi pengumuman ujian. Di rangkap dengan sebuah raport.
"Ayo kita pulang" wajah Ayah tegang.
Tidak seperti biasanya. Apa aku mempermalukan Ayah dengan nilai ku.
Tidak ada percakapan hingga sampai rumah. Ayah langsung masuk dan duduk di kursi ruang tamu.
"Lihat apa hasil mu selama ini, heran deh!" Suara Ayah lantang.
Aku dan Ibu hanya saling tatap. Inilah yang aku takutkan selama ini.
Ibu meraih amplop yang di lempar oleh Ayah ke meja. Dengan cepat Ibu membukanya.
"Ayah heran kenapa, ini hasil yang memuaskan" Ibu berbinar, Ayah mulai tersenyum.
Ku ambil kertas pengumuman yang di pegang Ibu. Alhamdulillah, aku lulus.
"Kenapa Ayah tadi diam dan tegang wajahnya" ku lirik sekilas Ayah ku.
"Kejutan saja, lagian kamu selama ini tidak pernah belajar. Dan Ayah menyesal tidak pernah mengambil raport mu" tukas Ayah.
Aku dan Ibu lempar pandang lagi.
...***...
Pov Ayah
"Bapak bisa ikut saya ke kantor?" Seorang Guru muda mengajak ku untuk berbicara. Kelihatannya serius.
"Baiklah" hanya itu yang keluar dari mulut ku.
Aku mengikuti langkah beliau ke sebuah ruang guru. Aku di persilahkan duduk di sebuah kursi lain di sampingnya.
"Bapak, maaf mengganggu waktunya. Saya wali kelas Nera. Dulu di kelas tujuh dan dikelas sembilan" Guru itu menarik nafas dalam. "Saya heran saja orang tua nya tidak pernah mengambil raport selama ini. Dan baru kali ini anda mengambilnya. Mengapa demikian?."
"Maaf pak, bukan berarti saya mengabaikan putri saya, tapi memang begini. Ketika kelas tujuh semester pertama Istri dan putri saya berniat mengambil, namun di tengah perjalanan kecelakaan ringan sehingga kami memutuskan untuk kembali."
"Kemudian, semester yang lain?"
"Maaf, putri saya meremehkan. Nera melarang saya untuk mengambil saya tidak tahu apa alasannya. Yang saya dengar dari Istri saya Nera nilainya naik turun sehingga takut dan malu jika tidak mendapat peringkat" ku tarik nafas dalam.
"Ketika kelas sembilan semester awal saya sudah siap ingin mengambil, keadaan hujan di daerah saya. Namun tiba-tiba Bapak Kepala Sekolah datang berteduh, tidak mungkin saya tinggalkan. Kebetulan saya kenal dengan Beliau" lanjut ku.
"Jadi begitu. Maaf ya Pak, saya kira Nera tidak memberi tahukan jika ada pengambilan raport. Karena selalu di ambil ketika awal masuk semester."
"Maafkan putri saya pak."
"Putri Bapak anak yang berprestasi."
"Terimakasih, saya permisi."
Aku percaya Nera anak ku, anak yang bisa di banggakan. Dari kecil sudah menunjukkan wataknya. Dia berprestasi sejak kecil.
Alhamdulillah, semoga aku tidak gagal mendidik anak-anak ku.
...***...
Pov Dhani
Aku masih belum siap untuk lulus dari sekolah menengah pertama ini. Aku belum siap merindukan dirinya.
Ku tatap foto Nera dalam-dalam. Aku terobsesi dengan kebaikannya. Nyata, ini bukan cinta, tapi nyaman jika dekat dengannya.
"Apakah dia memiliki rasa yang sama, tapi dia terlihat bahagia mendapat pesan masuk dari seseorang. Apakah rasa ini salah alamat" ku acak rambut ku asal.
Aku pengecut, demi menjaga image aku mengorbankan perasaan ku selama ini. Aku hanya takut jika rasa ini di tolak olehnya sehingga Nera menjauhi ku. Aku tidak sanggup.
Untuk mengirim pesan saja aku takut. Apa aku pantas bersanding dengannya.
"Biarlah, jika aku berjodoh dengan Nera pasti akan bertemu lagi. Jika dia mendapatkan jodoh selain aku, aku tak akan mengabarinya lagi. Biar rasa ini aku yang punya" aku semakin galau.
"Kak, ayo makan. Ibu sudah masak" Adik ku membuyarkan lamunan ku. "Buruan, nanti lagi siap-siapnya."
"Okey."
Aku malah baru kepikiran jika besok subuh berangkat menimba ilmu di luar kota. Ke sekolah tujuan ku. Aku akan belajar di pondok pesantren sambil sekolah".
"Biarlah rasa ini, akan aku lawan jika kamu memiliki yang lain, Nera."
Se-pengecut ini aku terhadap cinta ku. Mana Dhani yang pemberani? Mana Dhani yang cool? Mana Dhani yang serba bisa dalam segala bidang?
Biarlah mereka menganggap itu semua, nyatanya aku hanya seorang pengecut yang tak sanggup menggapai cinta ku.
Ku acak rambut ku lagi. Aku terlalu takut.
...***...
Sama. Dari hasil yang ku peroleh Ayah dan Ibu tidak memberikan ku surprise. Ini sudah terbiasa. Namun Ayah dan Ibu tidak pernah lupa akan kasih sayangnya. Mereka orang tua terbaik bagi ku.
"Apa lagi yang kurang?" Ibu membantu ku mengemas pakaian yang akan ku bawa ke Jawa.
"Sudah Bu, sudah semua. Tinggal uang sakunya saja" ku perlihatkan deretan gigi ku.
"Kalau itu mah, kamu selalu ingat. Besok sekalian masukkan ke kartu ATM mu" ATM junior milik ku. Karena usia ku baru 16 Tahun.
Ya, Lulus SMP usia ku sudah banyak karena ketika masuk SD usia ku sudah tujuh tahunan.
[Mas, besok aku berangkat ke Jawa, mau sekolah. Mas jangan selingkuh ya. Jaga mata dan hati untuk ku]
Ku kirim pesan WA kepada Fian. Centang dua abu-abu.
Inikah ujian cinta. Baru jadian langsung LDR an antara Jawa-Kalimantan. Tapi anehnya hati ku biasa-biasa saja. Tidak ada rasa galau atau sejenisnya.
Tingg...
[Kenapa tidak sekolah disini saja?]
Balasan dari Fian.
[Belum ada jurusan ku di SMK sini]
[Memangnya jurusan apa yang akan kamu ambil]
[Tata Busana]
[Keren, Semoga sukses]
[Semoga impian mu tercapai]
[Iya Mas]
[Jaga hati ya]
Lima belas menit tidak ada balasan dari Fian. Mungkin dia syok akan ku tinggal. Namun ini demi masa depan. Bukan tanpa alasan aku sekolah jauh. Aku ingin belajar Birrul Walidain di sana. Aku ingin menjadi wanita idaman mertua. Bukan begitu?
Walau pun nantinya Fian memilih yang lain aku harus siap, harus kuat. Karena belajar lebih ku utamakan dari pada lelaki yang belum jelas akan menjadi jodoh ku atau tidak.
Konsekuensinya akan aku terima. Apa pun Resikonya.
Sejenak aku galau. Fian tidak membalas pesan ku. Apa dia akan meminta putus dengan keputusan ku ini. Apa dia akan mempertahankan ku.
Pukul sembilan lebih empat puluh menit waktu setempat. Tidak ada balasan dari Fian.
...***...
Aku tidak bisa memejamkan mata. Entah karena menunggu balasan Fian atau menunggu jemputan. Taksi yang di booking orang tua ku akan datang pukul dua lebih empat puluh lima dini hari waktu setempat. Empat puluh menit dari sekarang.
Tingg....
[Maaf, tadi ponsel ku kehabisan baterai. Jangan marah. Ku akan baik-baik saja di sini]
Pesan masuk dari Fian.
[Kapan berangkatnya?]
[Sebentar lagi taksi datang]
[Secepat inikah? Kamu jangan nakal, baik-baik di sana Jangan lupa komunikasi]
[Aku mondok Mas, jadi tidak membawa ponsel setiap hari. Mas bisa minta kontak pondok pesantren nantinya]
[Baiklah]
[Aku tidur dulu, besok aku kerja. Semangat Sayang ku]
[Jaga hati mu juga]
Perpisahan yang menenangkan. Aku akan belajar giat nantinya.
[Okey, Sampai jumpa tahun depan ya Mas, hari raya Idul Fitri waktu ku pulang]
Tidak ada balasan, mungkin sudah tidur.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!