"Mudah-mudahan keputusanku untuk keluar dari panti dan jadi pembantu di sini, benar," batin seorang wanita sembari menatap kagum pada mansion mewah di depannya.
Ya, dia adalah Cahaya Adhisti, gadis muda yang sudah jadi yatim piatu sejak berusia lima tahun. Cahaya memiliki paras yang cantik, walaupun tanpa polesan make up di wajahnya. Postur tubuh yang tidak terlalu tinggi, tapi tidak pendek, Rambutnya yang hitam dan tebal, kulit putih mulus, hidung bangir dan satu hal lagi, gadis itu memiliki mata yang sangat indah.
"Cahaya, kenapa masih berdiri di sana? ayo masuk,Nak!" suara seorang wanita setengah baya, menyadarkan Cahaya dari keterpurukannya melihat kemewahan yang ada di depan matanya.
"Eh, i-iya, Bu." jawab Cahaya dengan gugup sembari melangkah mengikuti wanita yang dia tahu bernama Jelita itu. Wanita yang masih terlihat sangat cantik di usianya yang sudah tidak muda lagi.
"Nah, semoga kamu betah ya kerja di sini," ucap wanita bernama Jelita itu dengan menyelipkan senyuman di bibirnya.
"Amin," Cahaya mengaminkan di dalam hati.
"Ibu punya dua anak, yang pertama laki-laki, namanya Gilang. Yang kedua perempuan namanya Grizelle. Kamu tenang saja, keduanya baik kok, tapi memang putraku sangat dingin pada orang baru. Jadi, nanti kalau dia terlihat tidak ramah padamu, kamu jangan tersinggung ya," lanjut Jelita, menjelaskan karakter putra pertamanya yang memang terlihat sangat dingin, dan terkesan sombong.
"I-iya, Bu." sahut Cahaya dengan sopan.
"Aku sudah biasa menghadapi orang-orang dengan berbagai karakter. Aku sudah terbiasa dengan tatapan yang menatapku rendah," ucap Cahaya yang tentu saja hanya berani dia ucapkan dalam hati saja.
"Nah sekarang kamu simpan barang-barang kamu ke kamarmu. Nanti bik Narti akan menunjukkan kamarmu," Jelita masih seperti tadi, tidak pernah menanggalkan senyum dari bibirnya.
"Terima kasih ya, Bu!" ucap Cahaya dengan tulus sembari membungkukkan sedikit tubuhnya.
Cahaya nyaris saja melangkah mengikuti bim Narti, wanita yang sudah terlihat tua. Namun langkahnya terhenti ketika mendengar langkah kaki yang turun dari atas, dengan sedikit berlari.
Cahaya menoleh ke arah datangnya suara, dan langsung merasa terpana melihat sosok pria yang menurutnya sangatlah tampan.
"Ma, aku keluar sebentar ya! aku ada urusan penting sama Bayu," terdengar suara pria itu, meminta izin pada Jelita. Sepertinya, pria itu tidak menyadari adanya orang baru di ruangan itu.
"Dia pasti tuan Gilang, putra ibu Jelita," tebak Cahaya dalam hati.
" Tapi ini sudah sore, Lang. Kamu juga baru pulang kerja kan? masa harus pergi lagi?" protes Jelita yang terlihat tidak senang melihat putranya pergi.
"Mau gimana lagi, Ma. Ini sangat penting. Ini berkaitan dengan kerjasama dengan investor dari luar negeri itu," Pria yang memang putra Jelita, bernama Gilang itu memberikan alasan.
"Ya udah deh. Tapi kamu harus ingat, jangan macam-macam di luar sana, dan ingat pulang!" Seperti biasa, Jelita tidak pernah lupa untuk mengingatkan putranya itu.
"Iya, Ma. Setiap hari selalu itu aja omongannya," ucap Gilang, berpura-pura memasang wajah masam.
"Kamu bosan? kalau bosan, lebih baik kamu __"
"Pergi dari rumah ini, biar bisa bebas," potong Gilang, yang sudah hapal dengan apa kelanjutan ucapan sang mama.
"Tuh tahu," ucap Jelita tersenyum.
"Ya udah, Ma. Sekarang aku pergi dulu, ya!" Gilang nyaris melangkah meninggalkan Jelita setelah mencium punggung tangan wanita yang telah melahirkannya itu. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar suara mamanya yang memanggilnya kembali.
"Ada apalagi, Ma?" tanya Gilang sembari memutar tubuhnya, berbalik menghadap Jelita.
"Mama hanya mau mengenalkan ke kamu, itu Cahaya, asisten rumah tangga baru kita. Jadi, bersikap baiklah padanya," Jelita menunjuk ke arah Jelita yang secara otomatis, langsung membungkukkan badannya ke arah Gilang.
Cahaya, merasa jantungnya hendak melompat melihat tatapan Gilang yang menatapnya sangat tajam dan tentu saja tanpa senyuman sedikitpun.
"Oh," ucap Gilang singkat padat dan jelas.
"Ya udah deh,Ma, aku berangkat dulu!" Gilang kembali melangkah pergi setelah Jelita menganggukkan kepalanya,mengiyakan.
Cahaya hanya bisa menghela napasnya, dan tidak sakit hati melihat sikap Gilang padanya, karena tatapan Gilang yang dingin padanya tidak sebanding dengan tatapan orang-orang yang selalu menatapnya dengan tatapan merendahkan.
"Cahaya, jangan dimasukkan ke dalam hati ya. Seperti yang aku katakan tadi di awal, putraku itu karakternya memang begitu. Tapi, sebenarnya dia baik kok," ucap Jelita yang seperti tahu isi hati Cahaya.
"Tidak apa-apa kok, Bu!" sahut Cahaya, dengan memasang senyum manisnya.
"Ya udah, aku permisi dulu ya, Bu." lanjut Cahaya kembali meminta izin.
"Oh iya, silakan!" sahut Jelita.
"Bik Narti, tolong, Bibi kasih tahu ya, pekerjaan apa yang akan dilakukan oleh Cahaya." lanjut Jelita kembali yang kini dialamatkan pada Bik Narti.
"Iya, Bu!" sahut wanita yang dipanggil bik Narti itu sopan. Bik Narti, wanita yang terlihat sudah sepuh,sudah mengabdi pada keluarga Maheswara selama bertahun-tahun. Wanita itu sudah tidak selincah dulu lagi, dan sudah lebih banyak diam dan tidak melakukan apa-apa. Namun, keluarga Maheswara sama sekali tidak mengizinkan bik Narti untuk pulang ke kampung halamannya, karena beliau sama sekali tidak memiliki anak di sana dan keluarga Maheswara sudah menganggap bik Narti bagian dari keluarganya.
"Ayo, Nak Cahaya!" ajak bik Narti sembari berjalan dengan dengan sedikit tertatih-tatih, hingga membuat Cahaya langsung berinisiatif menuntun wanita tua itu.
"Ini kamar kamu, Nak." Bik Narti membuka pintu sebuah kamar yang ternyata cukup besar bagi seorang pembantu seperti dia.
"Terima kasih ya,Bik!" Bik Narti tersenyum dan menganggukkan kepalanya ke arah Cahaya.
"Nak Cahaya, seperti yang dikatakan oleh Bu Jelita tadi, kamu jangan ambil hati sikap den Gilang ya. Dia memang seperti itu, tapi dia sangat baik." lanjut bik Narti kembali mengingatkan Cahaya.
"Iya, Bik. Bibi tenang saja, aku sudah terbiasa menghadapi berbagai karakter. Aku juga sudah terbiasa menerima hinaan, tatapan sinis dan merendahkan dari orang-orang. Jadi, aku sudah kebal dengan semua itu," ujar Cahaya uang tetap tersenyum, tidak memperlihatkan kesedihannya.
"Kenapa kamu mau jadi seorang pembantu, Nak? padahal menurut bibi, kamu bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih bagus daripada menjadi seorang pembantu," Bik Narti mengungkapkan keheranannya.
"Zaman sekarang sangat susah untuk mendapatkan pekerjaan, Bik. Apalagi hanya tamatan SMA sepertiku. Melamar ke perusahaan juga pasti jatuhnya jadi seorang Cleaning service. Aku memilih jadi seorang pembantu, karena aku tidak akan perlu untuk membayar tempat tinggal dan makan. Kalau bekerja di tempat lain, gajiku pasti hanya habis untuk biaya kontrak rumah dan makan. Belum lagi untuk transportasi. Aku jadinya tidak bisa nabung dan membantu panti asuhan tempat aku tinggal dulu," papar Cahaya menjelaskan dengan panjang lebar dan lugas dan satu lagi tetap dengan senyuman untuk menutupi kepedihannya.
"Panti asuhan? emangnya kemana kedua orang tuamu?" bik Narti mengrenyitkan keningnya.
"Papa sudah meninggal ketika aku masih berusia 4 tahun. Satu tahun kemudian, mamaku menyusul papa. Aku jadinya tinggal di panti asuhan, karena tidak ada keluarga yang mau menampungku. Kata mereka kehadiranku akan menambah beban mereka," jelas Cahaya lagi, tersenyum tipis.
Bik Narti bergeming dan merasa empati mendengar cerita Cahaya. Wanita tua itu akhirnya memeluk Cahaya, mengisyaratkan kalau dia turut prihatin dengan apa yang sudah dialami oleh gadis cantik itu.
"Kamu sudah tepat berada di keluarga ini,Nak. Keluarga ini keluarga yang sangat baik dan tidak pernah membeda-bedakan status seseorang. Bibi yakin kamu bisa ada di sini, karena kamu orang yang baik. Orang baik pasti akan bertemu dengan orang yang baik." tutur bik Narti setelah dia melerai pelukannya.
"Kalau kamu mau menangis, menangis saja, supaya kamu merasa lega. Bibi tahu kalau kamu sebenarnya ingin menangis, tapi kamu berusaha untuk menahannya dan menunjukkan kalau kamu kuat. Tapi satu hal yang harus kamu sadari, kita juga perlu meluapkan isi hati kita dengan menangis, agar hati kita lega." ucap Bik Narti dengan lembut, hingga membuat air mata Cahaya akhirnya keluar membasahi pipinya.
"Bibi benar. Tapi, keadaan sudah menempah aku menjadi seperti ini. Aku harus tetap terlihat kuat untuk diriku sendiri dan orang-orang di sekelilingku yang menyayangiku dengan tulus," ucap Cahaya.
"Sudah -sudah! kamu jangan sedih lagi! Sekarang kamu istirahat dulu,bibi mau keluar untuk membuat makan malam." Bik Narti berbalik hendak pergi meninggalkan Cahaya.
"Bik, tunggu! Aku tidak perlu istirahat,aku akan membantu untuk menyiapkan makan malam," ucap Cahaya sembari meletakkan tas yang dia bawa di atas ranjang. Kemudian gadis itu berjalan menyusul bik Narti ke dapur.
Tbc
Makan malam kini sudah selesai dan tanpa kehadiran Gilang yang memang sudah mengabari akan makan malam bersama dengan Bayu asistennya.
Cahaya sudah diperkenalkan oleh Jelita pada kedua mertuanya, Gavin suaminya dan terakhir Grizelle putrinya. Semuanya menyambut Cahaya dengan baik, hingga hal itu membuat Cahaya merasa sangat bersyukur.
"Hmm, Terima kasih ya Cahaya, makan malam ini sangat enak. Kata Bik Narti, kamu yang memasak semuanya," Gavin buka suara yang ditanggapi dengan anggukan kepala oleh semua yang ada di meja makan itu, membenarkan pernyataan Gavin.
"Sama-sama, Tuan. Aku senang kalau semuanya suka dengan masakan saya," sahut Cahaya dengan sopan.
"Ya udah! mudah-mudahan kamu betah ya, bekerja di sini," Melinda yang merupakan mamanya Gavin buka suara.
"Iya, Nyonya!" sahut Cahaya.
"Panggil saja oma! aku sudah tua soalnya," sambar Melinda yang memang tidak suka dipanggil nyonya dari dulu
"Tapi ...."
"Tidak ada tapi-tapi! kamu panggil aku Oma, sama seperti kedua cucuku," Melinda langsung menyela ucapan Cahaya.
"Ba-baik, Oma!" pungkas Cahaya akhirnya.
"Nah, begitu lebih bagus," Melinda tersenyum senang. "Emm, sepertinya aku mau ke ruang TV dulu. Oma tinggal dulu ya," Melinda berdiri dari kursinya dan berjalan meninggalkan ruang makan disusul oleh Ganendra sang suami. Tidak lama kemudian, Gavin juga berdiri dari kursinya, disusul oleh Jelita dan Grizelle.
Setelah ruang makan sudah kosong, Cahaya dengan sigap langsung membereskan meja makan dan mencuci segala peralatan makan. Kemudian setelah semuanya bersih, Cahaya pun kembali masuk ke dalam kamarnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Cahaya kini sudah terlihat berganti pakaian dan berbaring di atasnya ranjangnya. Ranjang yang sangat empuk dan nyaman. Ini benar-benar sangat berbeda dengan kasur tempat tidurnya di panti.
Mata gadis itu, menerawang menatap langit-langit kamarnya, mengingat kisah yang dia alami selama ini. Tiba-tiba, cairan bening menetes membasahi pipinya dan langsung disekanya. Beginilah sebenarnya dirinya. Di depan orang-orang dia akan selalu tersenyum, berusaha untuk menunjukkan kalau dirinya baik-baik saja. Namun, ketika dia sudah sendiri, air mata akan selalu menemani gadis itu.
"Mama, Papa, aku merindukan kalian berdua," gumam Cahaya dengan mata yang berkilat-kilat.
Di saat Cahaya hendak memejamkan matanya, terdengar ada bunyi dering yang datang dari dalam tas bututnya. Cahaya langsung bangun dari tidurnya, dan mengambil benda yang berdering itu dari dalam tasnya. Tampak sebuah ponsel butut, yang sudah diikat dengan sebuah karet dapur, berkedip-kedip pertanda ada yang sedang menghubunginya.
"Halo, Bu!" ucap Cahaya pada orang yang menelepon, yang tidak lain adalah ibu panti, wanita yang sangat menyayanginya, seperti putri kandung sendiri. Wanita yang memberikan kasih sayang dengan tulus padanya.
"Hallo, Nak. Bagaimana, apa kamu baik-baik saja? apa majikan tempat kamu bekerja itu baik? apa kamu sudah makan?" tanya wanita di seberang sana dengan bertubi-tubi. Terdengar jelas kalau wanita itu sangat khawatir dengan keadaan Cahaya.
"Tanyanya satu-satu dong, Bu. Aya kan jadi bingung mau jawab yang mana dulu," protes Cahaya, dengan tersenyum, walaupun dia tahu kalau wanita di seberang sana tidak akan bisa melihat senyumnya.
Terdengar suara tawa kecil dari seberang sana. Ya, seperti itulah ibu panti yang sering dipanggil dengan ibu Sukma itu. Wanita itu selalu saja memberikan perhatian dan kasih sayang yang tulus pada semua anak-anak panti, tidak terkecuali Cahaya. Wanita itu selalu tidak pernah absen untuk bertanya bagaimana keadaan anak-anak yang dia asuh. Apalagi sekarang, Cahaya yang baru saja keluar dari panti. Hal itu membuat ibu Sukma khawatir dengan keadaan Cahaya.
"Kamu seperti tidak kenal ibu saja, Aya. Ibu benar-benar khawatir, Nak sama kamu. Ibu takut kamu mendapat perlakuan tidak baik dari majikan tempat kamu bekerja," ucap ibu Sukma.
Cahaya kembali tersenyum, mendengar ucapan ibu Sukma. "Ibu tenang saja. Aku baik-baik saja di sini, Bu dan majikanku semuanya orang baik. Aku juga sudah makan tadi, Bu." ujar Cahaya, menenangkan ibu Sukma.
"Syukurlah, kalau begitu." ucap Sukma, lega. "Nak Cahaya, apa kamu benar-benar mau bekerja di sana? apa tidak sebaiknya kamu kembali ke sini, Nak. Kamu bisa membantu ibu untuk mengurus adik-adikmu," Sukma kembali berusaha membujuk Cahaya agar berpikir ulang untuk bekerja sebagai pembantu.
"Bu, keputusanku sudah bulat. Aku tahu, kalau kondisi panti sekarang tidak terlalu baik. Sudah saatnya aku bekerja, bu. Cahaya akan membantu meringankan beban ibu, walaupun memang hanya sedikit. Sekarang, ibu doakan saja supaya pekerjaan Aya lancar," sahut Cahaya lugas.
Sukma menghela napasnya dengan cukup berat. Wanita itu tahu, kalau Cahaya sudah bertekad, tidak akan ada yang bisa membuat meruntuhkan niatnya itu.
"Baiklah, kalau memang itu sudah menjadi keputusanmu. Kalau untuk masalah doa, ibu tentu saja tidak akan pernah berhenti untuk mendoakanmu. Semoga suatu saat kehidupan kamu semakin baik ke depannya, Nak." ucap ibu Sukma dengan tulus.
"Terima kasih, Bu buat doa dan dukungannya, Bu." ucap Cahaya dengan tulus.
Setelah berbicara beberapa saat lagi, akhirnya Cahaya memutuskan panggilan setelah ibu Sukma pamit hendak tidur.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Gilang menepikan mobil yang dia kemudikan, setelah sampai di depan rumah. Pria itu melangkah masuk ke dalam rumah dengan raut wajah yang terlihat lelah. Bagaimana tidak, hari ini pria itu sangat sibuk. Klien pentingnya yang datang dari luar negeri, akan kembali ke negaranya malam ini juga. Jadi, mau tidak mau, dia yang tadinya sudah pulang dari kantor, terpaksa pergi lagi untuk menemui sang klien.
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, ketika pria itu menginjakkan kakinya di dalam rumah. Pria itu tidak langsung naik ke atas, tapi lebih dulu ke dapur karena merasa haus.
Suasana dapur sangat lengang dan minim cahaya. Namun, Gilang tidak berniat untuk menyalakan lampu besar karena tujuannya memang hanya untuk minum.
Sementara itu, Cahaya yang juga tiba-tiba merasa haus, turun dari atas ranjangnya dan langsung melangkah menuju dapur. Wanita itu juga sama seperti Gilang yang tidak berniat untuk menghidupkan lampu.
Jantung Jelita berdebar kencang, begitu melihat ada bayangan di depan dispenser.
"Sepertinya itu pencuri. Aku tidak boleh membiarkannya. Aku harus bisa menangkapnya," batin Cahaya sembari meraih sapu yang sudah dia hapal di mana tempatnya. Kemudian, wanita itu berjalan dengan sangat perlahan, mendekati bayangan yang dia yakin seorang pria itu.
"Mati kamu, mati kamu! dasar pencuri sialan!" maki Cahaya sembari memukulkan sapu yang ada di tangannya ke tubuh Gilang dengan berkali-kali.
"Aduh, sakit, sakit! pekik Gilang sembari berusaha menangkap sapu yang dipukulkan oleh Cahaya.
"Rasain! makanya jangan mencoba untuk mencuri di sini!" umpat Cahaya yang sekuat tenaga berusaha mempertahankan sapu yang ada di tangannya.
"Auw!" jerit Gilang begitu kaki Cahaya menendang benda yang sangat berharga miliknya, apalagi coba kalau bukan senjata pusakanya yang tersembunyi di balik celananya.
"Ada apa ini?" tiba-tiba lampu besar menyala, dan dapur langsung terang benderang.
"Ini, Bu, Tuan, ada yang berniat mau mencuri di sini," ucap Cahaya pada dua orang yang baru datang, yang merupakan Gavin dan Jelita sambil menunjuk ke arah Gilang.
"Pencuri apaan? enak aja nuduh aku pencuri," ucap Gilang dengan wajah yang meringis kesakitan.
"Tu-Tuan Gilang," gumam Cahaya dengan raut wajah takut, apalagi begitu melihat tatapan Gilang yang sangat tajam dan bengis ke arahnya.
"Ma-Maaf, Tuan! aku benar-benar tidak tahu kalau itu anda," Cahaya menundukkan kepalanya, tidak berani menatap wajah merah Gilang.
"Lain kali, jangan sembarangan mukul orang. Kamu mau tanggung jawab kalau aku ada apa-apa? Emangnya kamu ada uang untuk membawa saya ke dokter?" bentak Gilang yang sama sekali tidak peduli dengan tubuh Cahaya yang gemetaran karena takut.
"Sudah, sudah! Cahaya tidak tahu sama sekali kalau itu kamu. Jadi jangan salahkan Cahaya. Itu salahmu sendiri yang tidak menyalakan lampu," Gavin buka suara, menyalahkan sang anak.
Gilang mendengus dan melangkah keluar dari dapur dengan raut wajah kesal.
"Nak Cahaya, maafkan ucapan anak ibu ya! dia mungkin terlalu lelah hari ini, jadi gampang emosi," Jelita mendekati Cahaya yang benar-benar ketakutan.
"Aku yang seharusnya minta maaf, Bu. Aku sudah memukul Tuan Gilang tadi," ucap Cahaya dengan suara yang bergetar menahan tangis.
"Ya udah, tidak apa-apa. Sekarang kamu kembali ke kamar kamu saja. Besok ibu yakin kalau Gilang tidak akan marah lagi," ujar Jelita kembali.
"Baik, Bu!" Cahaya melangkah ke luar dari dapur menuju kamarnya. Rasa haus yang tadinya dia rasakan menguap entah kemana.
Tbc
Mentari kini terlihat mulai muncul di cakrawala, tapi masih terkesan malu-malu untuk menampakkan sinarnya. Namun, Cahaya yang memang sudah terbiasa bangun pagi-pagi, tampak sudah semangat berkutat dengan kompor, panci dan wajan di dapur.
Wajah wanita itu tampak berbinar saat memasak sarapan pagi untuk majikannya.
"Wah,wangi sekali,Nak Cahaya. Kamu sedang masak apa?" Cahaya terjengkit kaget karena tiba-tiba mendengar suara bik Narti yang ternyata sudah berdiri di sampingnya.
"Aduh, Bibi kenapa muncul nggak bilang-bilang? aku benar-benar kaget, Bik." ujar Cahaya sembari mengelus dadanya.
"Maaf, kalau aku sudah mengagetkanmu. Aku kira kamu mendengar tongkatku saat melangkah mendekatimu," ucap bik Narti seraya tertawa kecil.
"Kamu sedang memikirkan apa sih, sampai tidak mendengar suara tongkatku? kamu sedang menghayal ya?" sambung bik Narti kembali.
"Sebenarnya aku tidak sedang memikirkan apa-apa, Bik. Aku cuma terlalu fokus memasak," sahut Cahaya jujur. Karena memang dirinya sedang tidak memikirkan apa-apa.
"Oh seperti itu?" bik Narti mengangguk- anggukan kepalanya.
"Iya, Bik."
"Emm, apa ada yang bisa bibi bantu?" bik Narti menawarkan diri.
"Sepertinya tidak perlu, Bik. Ini semua sudah mau selesai. Bibi duduk saja ya," Cahaya menuntun bik Narti, membantu wanita itu duduk di kursi. Kemudian wanita itu melanjutkan pekerjaannya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Meja makan kini sudah dipenuhi dengan keluarga Maheswara kecuali Gilang yang sama sekali belum muncul.
" Bu Jelita, sepertinya den Gilang belum ada tanda-tanda akan turun. Apa perlu aku meminta tolong pada Cahaya untuk memanggilnya?" tanya bik Narti yang sudah duduk bersama dengan keluarga Maheswara.
"Tidak perlu, Bik. Tadi malam Gilang pulang sudah sangat larut. Sepertinya dia masih tidur karena terlalu lelah. Kalau kamu meminta Cahaya untuk memanggilnya, bisa-bisa nanti Gilang jadi murka dan membentak Cahaya," ujar Jelita sembari menyendokkan makanan ke dalam piring Gavin suaminya.
"Oh, seperti itu ya?"
"Iya, Bik. Biarkan saja nanti Gilang sarapan sendiri,"
Bik Narti menganggukkan kepalanya. Kemudian wanita itu pun mengambil makanan untuk dirinya sendiri.
Di saat sedang fokus makan, tiba-tiba terdengar suara seorang wanita mengucapkan salam. Dari suaranya, bisa ditebak kalau yang datang adalah Dania, putri dari Denis dan Bella yang merupakan sahabat Gavin. Dania adalah tunangan Gavin yang berarti calon menantu Gavin dan Jelita.
"Selamat pagi, Oma, Opa, Om, Tante dan calon adik iparku yang cantik!" sapa Dania dengan nada yang riang.
"Pagi, Sayang!" sahut Jelita sembari menyelipkan senyuman di bibirnya. Sementara itu, yang lainnya hanya diam tidak membalas sapaan Dania. Khususnya Grizelle yang memang tidak menyukai Dania.
"Pagi-pagi sudah muncul, membuat moodku jelek," gumam Grizelle dengan raut wajah yang masam.
"Grizel, jaga bicaramu! kamu benar-benar tidak sopan seperti itu," tegur Jelita sembari mendelik ke arah putrinya itu.
"Tidak apa-apa, Tan. Aku sudah biasa dengan sikapnya," ucap Dania dengan senyuman di bibirnya. Tampak jelas kalau senyumnya itu sangat terpaksa.
"Walaupun sudah biasa, tapi sikapnya itu tidak boleh dibenarkan, Dania." ucap Jelita dengan lembut.
Grizelle terlihat mendengus merasa kesal dengan Dania yang selalu cari muka di depan kedua orang tuanya.
"Aku mendadak kenyang, aku mau ke kamar dulu," Grizelle berdiri dari kursinya dan langsung melangkah pergi meninggalkan ruangan itu. Sebelum benar-benar keluar, gadis itu masih sempat menarik sudut matanya, melirik sinis ke arah Dania.
"Entah kenapa, sikapnya sangat jauh berbeda dengan tante Bella," batin Grizelle.
"Jangan diambil hati ya sikap Grizel tadi." ucap Jelita yang merasa tidak enak pada Dania.
"Santai aja, Tan. Aku sudah paham dan sudah kebal dengan sikapnya," ucap Dania sembari mendaratkan tubuhnya duduk di kursi bekas Grizelle tadi.
"Kamu datang sendiri, Dania?" tanya Jelita mengalihkan pembicaraan.
"Berdua sama Reyna, Tan," sahut Dania lugas.
"Reyna? tapi kemana dia? kenapa belum muncul?" tanya Melinda dengan sangat antusias. Raut wajahnya benar-benar berbinar saat mendengar nama Reyna, putri dari Reynaldi sahabat Gavin dan Nayla sahabat Jelita. Reyna yang dulunya sangat diinginkan menjadi istri Gilang. Namun, karena suatu hal, justru Gilang bertunangan dengan Dania
Dania tersenyum kecut, melihat reaksi Melinda, mendengar kedatangan Reyna. Hal yang tidak pernah dia lihat dari Omanya Gilang, bila dia datang berkunjung ke rumah ini.
"Dia tadi masih ada di depan, Oma. Dia sedang menelepon tadi," sahut Dania dengan nada yang lirih.
"Selamat pagi, semua!" tiba-tiba orang yang sedang dibicarakan muncul dan seperti biasa selalu menyapa dengan wajah riangnya.
"Selamat pagi juga, cucuku," Melinda membalas sapaan Reyna dengan wajah yang sama riangnya dengan wajah Reyna.
"Aduh, Oma! makin tua makin cantik aja," ucap Reyna sembari memeluk Melinda dari belakang dan mencium pipi Melinda yang terlihat sudah keriput.
Melihat interaksi keduanya, yang lainnya hanya bisa tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. Hanya Dania yang merasa jengah dan kesal melihat hal itu, tapi dia berusaha untuk tidak memperlihatkan rasa kesalnya itu.
"Gilang dimana, Tan? kenapa dia tidak ikut sarapan?" tanya Dania sembari mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan pria yang sangat dicintainya itu.
"Dia belum turun dari tadi. Dia pulang larut malam tadi malam, karena ada urusan yang sangat penting. Sepertinya dia masih tidur karena kelelahan," jawab Jelita.
"Emm, begitu ya?" Jelita menganggukkan kepalanya, mengiyakan.
"Kalau begitu, sebaiknya aku ke atas dulu. Aku akan membangunkannya," ujar Dania sembari berdiri dari tempat duduknya.
"Sebaiknya jangan, Dania. Nanti Gilang bisa marah sama kamu," ucap Jelita, berusaha mencegah Dania untuk masuk ke kamar Gilang. Wanita setengah baya itu khawatir dengan Dania yang ia yakin pasti akan mendapat amarah dari Gilang , jika dengan lancang masuk ke dalam kamar putranya itu.
"Tidak apa-apa, Tan. Mulai sekarang sepertinya aku harus latihan untuk menjadi istri yang baik dengan membantu menyiapkan pakaian yang akan dipakai oleh Gilang," ucap Dania penuh percaya diri dan ekor mata yang melirik ke arah Reyna. Dania seperti ingin menekankan kalau Gilang adalah calon suaminya. Sementara itu yang dilirik terlihat cuek sembari makan dari piring Melinda. Hal itu sontak membuat Dania semakin merasa kesal.
"Terserah kamu deh! tapi nanti kalau Gilang marah, Tante tidak tanggung jawab ya,". pungkas Jelita akhirnya mengizinkan. Dia tahu kalau Dania benar-benar keras kepala.
"Iya, Tan. Kalau begitu aku ke atas dulu ya, Tan, Om," Gavin sama sekali tidak menjawab. Pria setengah baya itu hanya menganggukkan kepalanya sembari tetap melanjutkan makannya.
Dania mengayunkan kakinya melangkah ke arah pintu. Di saat bersamaan, Cahaya yang baru saja selesai mandi, juga hendak masuk ke dalam ruang makan, sehingga membuat tubuh kedua wanita itu berbenturan.
"Aduh, maaf, maaf, Nona!" ucap Cahaya dengan panik.
Dania tidak menjawab sama sekali. Wanita itu justru menatap Cahaya dengan tatapan yang sukar untuk dibaca. Dania menyusuri tubuh Cahaya dari atas hingga ke bawah.
"Siapa perempuan ini?" batin Dania, yang tiba-tiba merasa was-was, takut kalau Cahaya menyukai Gilang dan demikian juga sebaliknya, melihat kalau wanita yang berdiri di depannya itu memiliki paras yang cantik.
Tbc
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!