Pagi ini, pagi di pertengahan bulan Desember tahun 2017 di kota Jakarta salah satu kota terpadat dan tersibuk di Indonesia. Disinilah sedari kecil aku tinggal. Memang Bukan perumahan besar tapi lumayan cukup bagiku. Terlihat beberapa embun di balik jendela yang masih terkunci. Pertanda semalam hujan turun di tengah lelapnya para manusia.
Jam 7 pagi hari ini aku bangun dari tempat tidurku. Ku renggangkan tanganku lebar mengumpulkan semua energi positif. Kebahagiaan yang menyiratkan sebuah kebebasan untuk hari ini. Hembusan hangat sinar mentari mulai masuk lewat celah celah kamar yang tak rapat. Sedikit demi sedikit Menerpa wajahku dengan lembut. Oh ya namaku Putra aku baru saja lulus S1 ekonomi dan praktis belum bekerja. Hehehe. Disini aku tinggal dengan ayah ibu dan seorang adik laki-laki yang masih kecil.
"Kak, udah bangun ?" Teriak ibuku menggedor-gedor bilik pintu kamar menyadarkanku sejenak dari lamunan kosong.
"Udah buk" jawabku masih agak malas
"Hoaaaaaamm tapi masih ngantuk, putra mau lanjut tidur," lanjut ku
"Bangun dulu kak?! Itu di tunggu ayah sama adekmu itu di meja makan" teriak ibu.
"Apaan sih ibu. Ganggu banget sih." Gerutuku
Krrrieetttt duukk
Akhirnya dengan berat hati Pintu ku buka dan aku berjalan ke belakang keruang makan sekaligus ruang kumpul keluarga tepatnya. Di sana terlihat seorang pria sedikit gemuk dengan kumis tebalnya. Ya itu ayahku pak Budi Rahardjo di sampingnya ada ibuku berjalan menghampiri sambil membawa se cangkir kopi ayahku.
Ibuku terlihat masih muda di banding dengan ayahku entahlah berapa selisih usia mereka aku tak terlalu memperhatikan selama ini. Dan di seberang ayahku duduk seorang bocah laki laki kecil sangat tengil . Siapa lagi kalo bukan Hendra adikku yang masih duduk di bangku 4 SD. Ku perhatikan ayah memegang sebuah kertas seperti surat ayah membacanya dengan seksama. Sesekali ayah menghela napas panjang.
"Putra sini ayah mau ngomong," ayah melempar pandangannya cepat ke arahku yang sedari tadi berdiri membatu memperhatikan mereka.
"Ya yah apa?" Jawabku
"Kamu tau ini surat dari siapa nggak ?" Tanya ayah padaku.
Kulihat ibu menoleh padaku sambil berberes. Aku hanya menggelengkan kepala tanda tak tahu.
"Ini dari nenek tari, nenek kalian di Semarang. Ibu dari ayah" lanjut ayah menjelaskan.
"Surat ini datang tadi pagi jam 6 pagi tadi" jelas ayah sambil sesekali menyeruput kopi yang masih mengepul tipis asapnya.
"Nenek sakit keras dan pengen kita kesana sekalian dia mau bagi 'waris'." Sambung ayah sembari menghela nafas.
"Lho nanti kerja nya ayah di kantor gimana ?" Jawab ibu nampak keberatan.
Aku pun sebenarnya juga keberatan karena aku masih banyak yang ingin ku kerjakan. Entah mendaki seperti hobiku atau aku bisa memanfaatkan untuk nyari kerja atau hanya mengganggur di rumah intinya banyak yang masih ingin ku kerjakan.
"Nanti ayah bisa ambil cuti kantor Bu, gapapa " jawab ayah meyakinkan.
"Yasudah ibu dan anak anak ikut ayah saja" sahut ibu sambil membereskan gelas kopi ayah di meja makan .
" Lo ibu Hendra nanti disana berapa lama. Hendra nggak mau lama lama Bu." Rengek Hendra.
"Nanti kan juga pulang toh dek jangan Manja kaya gitu ," potong ayah sambil bangkit dari tempat duduknya.
kemudian berjalan dengan tetap membawa sepotong kertas itu berlalu menyusul ibu di dapur. aku yang sedari tadi diam berpikir gak mungkin Hendra mau kesana. Sedari lahir adikku ini memang belum pernah sama sekali ke kampung nenek yang ada di pinggiran kota Semarang itu jauh dari kata Ramai seperti disini.
Dulu waktu aku kecil ayah dan ibu sering membawaku pulang kampung. Aku masih ingat sekali betapa tentram nya disana , tak seperti adikku yang sudah seperti menjadi anak millenial. Mengingat suasana disana ternyata mampu mengubah pendapatku sedari tadi, tiba-tiba aku jadi pengen sekali kesana. Sementara itu kulihat ibu dan ayah masih sedikit mengobrol kecil di dapur. Tak lama mereka kembali ke meja sambil membawa nasi berserta lauk pauk yang beragam. Harum wangi masakan ibu yang khas memang mampu menggoda perutku.
" Eh kakak belum cuci muka tuh, udah mau makan aja." Tatap Hendra Sinis padaku.
" Iya iya cerewet." Jawabku sambil berjalan ke kamar mandi.
Setelah selesai cuci muka, Sedetik kemudian kami mulai berdoa dan memulai sarapan dengan obrolan ringan. Aku yang penasaran mulai bertanya kembali soal rencana ayah.
"Emang kapan yah rencana kita mau ke desa ? " Tanyaku di tengah kehangatan perbincangan yang selama ini jarang ku temui. Maklum aku kuliah di Bandung dan harus ngekost jadi suasana seperti ini lah yang kadang kurindukan.
"Nanti siang kak" jawab ayah singkat.
"Makanya habis ini kamu beres beres bawa aja yg di perluin gausah semua di bawa. Yang perlu perlu saja ." Imbuh ibu.
"Nanti kita berangkat sebelum Dzuhur ya kak." Tambah ayah.
"ayah takut nanti kita kemalaman, ayah nggak mau ketemu kita ketemu yg bukan bukan," sambung ayah lagi.
aku tak mengerti apa yang di maksud ayah dengan yang bukan-bukan.
sejujurnya aku emang nggak terlalu percaya pada hal hal berbau mistis mistis kaya gitu.
"Kak Nanti ada kejutan disana," ucap ayah sambil bangkit berdiri dan keluar. Ya ayah keluar untuk merokok.
Aku hanya manggut-manggut mendengar penjelasan kedua orang yang ku sayangi tersebut walaupun aku lagi lagi tidak paham yang di maksud kejutan itu.
Ku akui ada rasa tidak sabar juga untuk kesana padahal aku tadi yang paling keberatan sepertinya. Mungkin aku kangen juga dengan nenekku. Nenek yg selama 15 tahun aku dan ayah tak menemui, yang saat ini sedang sakit keras entah sakit apa yang di derita nya. selain itu juga ada sesuatu yang ingin kulihat disana. ada teman masa kecilku yang ku taksir waktu masih sering kesana saat kecil dulu.
Febi, anak dari bibi yang kerja di rumah nenek. anak itu senyumnya begitu manis, entah seperti apa dia sekarang. ataukah dia sudah menikah. karena ku dengar banyak orang desa yang nikah muda.
aku jadi senyum senyum sendiri kalo membayangkan nya. entah bagaimana kabarmu feb. batinku.
"anak mamah kenapa ini Guya guyu Dewe," goda ibu. aku yang terkejut dengan serangan itu cuma bisa senyum sambil garuk garuk kepala yang sebenarnya nggak gatal.
"mikirin ceweknya ya? hehehe," goda ibu padaku.
"ah si ibu ini nggak kok buk" aku berusaha membela diri sebisanya. kulihat ibu semakin tertawa melihat wajahku yang kurasa mulai memerah.
"emmmmm yah, apa bibi Tutik masih kerja sama Simbah ?" tanyaku pada ayah yg masih sibuk di luar dengan rokoknya.
"eh ya kak, kenapa ?" jawab ayah menoleh ke arahku.
"ehm iya gak papa aku cuma pengen tau aja yah" jawabku
"kayaknya masih kak," jawab ayah sambil mengepulkan asap di udara. beberapa asap bahkan masuk ke dalam rumah.
Mendengar jawaban itu ada perasaan lumayan senang juga bisa kesana. aku jadi nggak sabar pengen lihat seperti apa si Febi Sekarayu sekarang.
apakah makin cantik atau malah udah nikah.
sebentar lagi pun aku pasti dapat jawabannya. batinku dalam hati.
Bersambung....
Tak berselang lama akupun mulai bergegas beres beres karena ayah pun tidak tahu harus sampai kapan kita disana. Kulihat ibu juga cukup sibuk dengan perlengkapannya dan si tengil kulihat dia hanya memegang ponselnya saja. Banyak pertanyaan dalam benakku tapi ayahku bukan tipe orang yang enak di ajak ngobrol.
"Ahhhh selesai juga," gumamku merapikan 2 kantong tas besar yang sudah selesai ku packing.
"Kalo udah selesai buruan masukkin ke bagasi mobil kak, " teriak ibu dari luar kamar.
"Iya buuukk" sahutku segera bergegas menuju garasi. Di sana ada ayah yang sedang ngecek mobil. Aku coba nggak mengganggu nya. Aku pun urung memasukkan tasku sekarang.
Jam menunjukkan pukul 11. Kulihat ibu sudah keluar rumah semua barang sudah di bawa. Kami seperti orang di usir dari rumah batinku. Cukup sedih juga harus meninggalkan rumah nyamanku ini dan untuk sementara harus berpisah dengan kawan kawan tongkronganku.
"Yah ayok berangkat," ucap ibu.
"Semua udah beres ?" Tanya ayah dengan senyum.
"Kalo sudah ayok semua masuk, kakak sama adek di belakang ya." Lanjut ayah sembari memasukkan tas ransel ibu dan dua tas jumboku di bagasi mobil kami. Tak berselang lama kami semua sudah ada di dalam mobil. Sejurus kemudian Ayah menyusul ke dalam mobil duduk di belakang kemudi.
"Bismillahirrahmanirrahim" ucap ayah lirih.
Brmmmmmmbrmmm
Mobil menyala Deru mesin bergema membelah jalanan ibukota. Siang ini begitu terik dan Akhirnya kami pun berangkat. Perjalanan kali ini cukup panjang jadi kuputuskan untuk sejenak tidur. Ku lirik di sampingku bahkan belum keluar dari kota adiku sudah terlelap. Tak mau kalah Aku pejamkan mataku pelan sambil menikmati gontai mobil yang melaju. Membuatku seperti terhipnotis tak lama aku pun terlelap.
Duakkkkk grraakk
Mobilku seperti nya habis melewati jalan yang buruk atau menghantam lubang yang mengangga. aku terantuk bangun dari tidurku. Kulirik ibu di depan pun sudah terbangun. Seingatku ibu juga tertidur sebelum aku tidur tadi. Kulihat keluar jendela. Hutan rimbun yang di penuhi pohon jati sebagai pagarnya. Hewan hewan kecil dan burung burung bersahut sahutan.
Terlihat cahaya temaram kuning keemasan melewati celah celah di antara rimbunnya dedaunan. Kulihat jam tanganku jam 5 sore. Entah berapa lama aku tidur seakan aku menikmati perjalanan ini atau karena aku kelelahan. Lama kelamaan kami keluar juga dari hutan yang seperti terowongan alami tersebut. Matahari pun sudah pergi berganti petang dan kini bulan yang menggantikan posisi nya.
"Habis ini kita nyari makan dulu ya buk" kata ayah sembari melirik ibu yang menguap sambil mengucek mata nya. Sepertinya ibu juga capek sekali.
"Terserah ayah" balas ibu dengan senyum manja.
Aku yang melihat itu senyum senyum di buatnya.
"Gimana kak mau makan?" Tanya ibu padaku memecah diamku.
"Iya ni Buk lumayan laper" jawabku kikuk. Kulirik adikku juga mulai melek dari tidurnya.
"Buk yah ini kita sampai dimana hoaaamm" tanya adikku sambil menguap panjang.
Tak berselang lama setelah melewati perkampungan yang lumayan sepi dengan rumah yang berjarak. Dari jauh Ada sebuah tenda makan kecil bertulis Lamongan. Tanpa pikir panjang ayah menepikan mobil kami tepat 2 meter sebelum tenda putih itu. Bau ayam goreng dan sambal tomatnya menggugah napsu makanku.
Kami pun akhirnya turun untuk sekedar mengganjal perut. Kami duduk berhadapan. Sayup sayup terdengar suara adzan di barengi gelap yang mulai menggulita. Aku pun mulai penasaran seingatku dulu perjalanan tak selama ini. Dan aku pun sepertinya asing dengan daerah yang dari tadi kita lewati. Apa kita tersesat?
"Ini kita masih jauh yah?" Tanyaku pada ibu.
"Bentar lagi juga sampai" potong ayah cepat.
Aku pun hanya diam saja mendengar itu. Lagipun perutku sudah keroncongan karena sedari tadi di mobil hanya duduk dan tidur saja.
Setelah menunggu cukup lama Akhirnya pesanan kami datang juga. Dan tanpa di beri aba aba kami langsung berdoa dan menyantap apa yang ada di hadapan kami. Kami begitu khidmat dengan apa yang tersaji malam ini.
Setelah selesai dengan urusan perut, kami berencana kembali melanjutkan perjalanan.
"Apa ayah yakin ini jalan yang bener?" Ucap ibu nampak ragu.
"Bener kok ayah yakin" jawab ayah.
Setelah berjalan menjauhi tempat makan tadi kami terus lurus mengikuti jalan. Sampai lah kami di sebuah pertigaan. Ayah kemudian berbelok ke kanan memasuki sebuah gapura yang nampak berlumut dan sudah tua sekali.
Memasuki gapura jalan seketika berubah. Jalanan batu yang tidak rata di temani beberapa lampu jalan yang redup menambah sedikit kengerian di tempat ini. Rumah di kanan kiri tampak renggang di selingi kebun yang nampak cukup pekat. Beberapa kali tubuh kami terguncang karena jalanan yang tidak rata.
Setelah sekitar lima menit kami menyusuri jalan yang cukup menyiksa kami, terlihat rumah yang cukup besar bergaya joglo kuno di ujung jalan. Rumah yang begitu besar dengan halaman cukup luas. Di depannya beberapa mobil berbagai merk berjejer. Aku tak asing dengan rumah itu. Ya itu rumah tujuan kami.
Rumah nenek tari..
Bersambung..
Belum juga usai rasa heranku sekaligus mengagumi rumah yang ada di depanku. Sesekali aku memandangi halaman yang sangat luas di tambah ada pohon asem di tengah tengahnya. Memang cukup seram kalau malam hari tapi Pasti kalo siang teduh banget batinku.
"Mereka ternyata sudah sampai" ujar ayah dengan tatapan yang serius. Ekspresi wajah yang tak pernah kulihat selama ini.
"Siapa mereka yah ?" Tanya ibu.
"Apa nenek sedang punya tamu ?" Duga ibu melanjutkan.
"Mereka saudara saudara ku ?!" Ucap ayah sembari turun dari mobil. Kami semua mengikuti.
Ayah punya saudara?. Seingatku ayah hanya punya satu kakak laki-laki yaitu pakdhe Heri. Apakah ada hal lain yang tak ku ketahui tapi nampaknya ibu juga terlihat terkejut mendengar kata kata ayah. Apa ibu juga tak mengetahui sama sepertiku.
"Assalamualaikum" ucap salam dari ayah masuk ke ruang tamu yang tepat ada di belakang pintu utama.
"Hei itu si Budi, si anak kesayangan simbol" ucap salah satu wanita yang ada di bangku melingkar di ruang tengah itu. Otomatis semua mata menuju ke kami. Ternyata banyak sekali orang dalam rumah ini.
"Diam Kowe (kamu) Tiwi ," jawab ayah ketus mengalihkan pandangannya dari wanita yg kuduga seumuran dengan ibuku itu.
Ku lihat satu satu orang yang ada di ruang tengah rumah tersebut. Semua nampak asing bagiku. Yang ku kenal dan masih kuingat cuma seorang yg sudah memutih rambutnya duduk di bangku paling ujung. Ya dia pakde ku, pakde Heri.
"Oh ini anak istrimu mas Bud," kata seorang wanita yang nampak lebih muda dari yang pertama tadi. Wanita berparas cukup manis dengan rambut panjang dan memakai daster merah bunga bunga itu menatap kami atas sampai bawah.
"Emang ngopo Ning? Iki semua nggak ada urusannya sama kamu" jawab ayah dengan nada yang lumayan tinggi.
"Pantes kamu gak mau dijodohkan sama simbok" ucap wanita yang ternyata bernama ningsih tersebut sinis.
"Sudah! Hentikan, kita ini semua saudara kita sudah lama nggak ketemu! Kalian malah seperti mau menikam satu sama lain?!" Bentak salah satu orang. Ternyata pakdeku mulai angkat bicara.
Aku mulai ingat satu kata 'saudara' ?. Ayah punya saudara sebanyak ini yang bahkan kami sekeluarga tak mengetahui nya. Ku lirik ayah hanya menunduk. Melihat aku dan ibu menatap meminta penjelasan.
"Pak buk permisi kamar bapak ibu sudah saya siapkan" ucap salah seorang wanita gemuk dengan pakaian kemben. Rambutnya diikat mirip sanggul.
"Itu bi sumi yang jaga nenekmu selama ini" kata pakde. Aku hanya mengganguk.
Pakde kemudian merangkul ayah diikuti olehku, ibu dan adik. Sementara yang lain mengekor di belakang. Kami masuk ke dalam meninggalkan ruang tamu. Masuk melewati gorden rajut berwarna hijau tua yang terkesan jadul. Disini semua terkesan gelap.
"Ini ruangan Simbok" ucap pakde menunjukkan bilik kamar dengan pintu berhiaskan ukiran kayu yang indah.
"Ayo kita lihat simbok mbakyu" kata wanita yang tadi judes kepada kami sambil memegang tangan wanita di depannya. Ternyata namanya adalah Ningsih. Kurasa dia adalah adik ayahku yang terakhir.
"Ayo Ning" jawab wanita bernama Tiwi yang ada di depannya.
"Kalo mau jenguk besok saja biar simbok istirahat" lanjut pakde. Kami semua berlalu melewati satu ruangan dengan meja kayu bulat panjang. Terlihat kokoh berdiri di tengah ruangan. Di atasnya tergantung indah lampu kristal yang menambah keanggunan ruangan ini. Kami rombongan yang setelah kuhitung hitung berjumlah 13 orang ini berjalan melewati lorong yang tak terlalu panjang. semua menatap rumah ini keheranan. bagaimana mungkin seorang nenek tua tinggal di sebuah rumah yang demikian indah dengan arsitektur yang rumit.
"Seberapa luaskah bangunan ini" gumamku
Setelah ruang makan kami sampai ke kamar yang berjejer rapi berhadapan. Ruangan yang bisa di bilang sederhana di banding ruangan yang lain. Bi sumi segera membagi kunci kami satu persatu. Kamar Di mulai dari pakde yang paling ujung berhadapan dengan kamar kami.
"Apapun yang kalian dengar disini, jangan takut" ucap bi sumi dengan raut muka datar sembari menyerahkan se Grendel kunci ke ayah. Aku mengacuhkannya karna kupikir tak penting juga.
Segera setelah masuk aku meletakkan tas yang lumayan berat. Aku segera merebahkan tubuhku ke atas ranjang sementara ibu sibuk beres beres. Kami berempat satu kamar namun dengan dua ranjang yang terpisah. Hingga,
Krincing krincing gubrakkkk pyarr
Kudengar ada suara lonceng lumayan keras di ikuti suara benda jatuh dan sepertinya ada yang pecah. Cukup untuk membuat aku dan adikku yang bermain ponsel kaget. Ku dengar penghuni kamar lain juga membuka pintu mereka sepertinya mereka juga penasaran begitupun kami berempat.
Aku keluar dari kamar tepat di depan pintu di belakangku ada ibu dan adikku mengekor. Sementara ayah sepertinya sedang mandi di belakang. Kulihat Bu sumi lari lari kecil kearah sumber suara.
"Apa itu mbok" tanyaku penasaran.
"Itu Simbah, karena Simbah putri sudah nggak bisa ngomong jadi kalo komunikasi pake lonceng den" jawab mbok sumi sambil berlalu cepat melewati kami yang masih di Liputi seribu pertanyaan.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!