"Sri.. sudikah kau jadi ibu dari anak-anak Abang?"
Sri terpana mendengar lamaran Bang Sayid yang mendadak, sebetulnya sudah sejak lama Sri ingin mendengar kata itu, dan baru hari ini terucap dari mulut Bang Sayid padahal hubungan mereka sudah berjalan hampir setahun meskipun dirahasiakan dari kedua orang tuanya.
Sri menyambut dengan gembira lamaran itu, tanpa meminta pendapat orang tuanya yang menentang keras hubungan mereka.
Orang tua Sri ulama yang cukup disegani warga sekitar dan sangat terkenal,wajar saja kalau tidak ada yang berani mendekati Sri bunga desa yang cantik, bertubuh semampai bermata indah dengan kerudung yang selalu menutup rambut bergelombangnya.
Sebetulnya Sri anak yang sangat patuh terhadap kedua orang tuanya, Sri juga menyerahkan masalah jodoh kepada mereka, tapi entah kenapa sejak bertemu Bang Sayid perasaan Sri menjadi susah dikontrol dan cenderung melawan.
Bahkan dia tak segan membantah larangan orang tuanya untuk tidak berhubungan dengan Bang Sayid, apa lagi sampai menjadi istrinya.
Hingga akhirnya Sri lebih memilih menikah dengan Bang Sayid dan meninggalkan orang tua yang selalu menyayanginya.
Setelah resmi menjadi istri Bang Sayid, Sri muali merasakan perubahan yang drastis dari suaminya itu.
Dulu Bang Sayid memperlakukan nya bagai Putri sejagat, dimanja, disayang dan segala keinginan Sri diturutinya apapun yang dimintanya.
Tapi rasa manis yang selama ini Sri rasakan hilang, padahal usia pernikahan mereka baru berjalan tiga bulan. Dan saat ini Sri sedang hamil Dua minggu, bukanya senang menyambut kehadiran buah hati kami tapi sikapnya malah berubah jadi kasar dan cepat marah.
"Abang aku mau mangga muda."
"Tak ada duit, banyak maunya kau ini Sri !"
"Bawa'an dede bayi kali Bang.. "
"Jangan terlalu kau turutin! Tak bagus itu, nanti anak mu jadi manja."
Betul, Suami ku sekarang jadi cepat marah kalau aku ngeluh sedikit saja pasti omelan yang kuterima bukan dekapan seperti waktu pacaran.
Ada penyesalan dalam hati, tapi tidak berani mengakuinya karna terlanjur malu dengan semua keputusan yang ku ambil dimasa lalu.
Sri masih brtahan dengan pernikahanya, karna Bang Sayid hanya berkata kasar tanpa berani menyakitinya.
Di saat usia ke hamilanku delapan bulan, waktu itu sore sehabis Azan Ashar aku menjawab telpon Bang Sayid karna sudah ada sepuluh panggilan belum di angkat juga, entah kamana suamiku pergi.
Baru saja aku tempelkan ditelinga, sumpah serapah dan cacian terdengar dari sebrang sana.
"Kamu kemana Bang!? Kebiasaan kalau aku ada perlu, telpon kamu selalu tidak aktif! Sekalinya aktif susah kau angkatnya?
Giliran minta Duit! Kau telpon aku seakan aku ini punya utang!"
"Bagai mana kabar anak-anak kita?.
Sudah Abang belikan Baju seragam buat Hesti?
Arya bagai mana sunatnya?"
"Jangan kau hamburkan uang yang kemaren aku transfer, itu sengaja ku minta utang sama majikan."
Sri hanya terdiam, berusaha mencerna apa yang baru saja dia dengar. Tapi tak sedikitpun bisa dimengerti hanya perasaan sakit dan sesak yang makin terasa.
Ingin rasanya bertanya pada orang diseberang sana tapi entah kenapa malah tangannya mematikan panggilan itu.
Tak lama ada pesan masuk, Sri membukanya dengan dada yang makin bergemuruh, meskipun belum melihat isinya, tapi melihat nama si pengirim pesan sama dengan si penelpon tertulis jelas "Paijo".
"Ingat mas, nati video ya pas sunat Arya." jaga baik-baik arya sama Hesti jangan abang tinggal trus, awas juga kalau main perempuan aku gak bakalan transfer uang lagi."
Tiba-tiba pandanganku gelap, dada semakin sesak, bumi berputar, dan Sri pun ambruk terjatuh ke lantai.
Ketika aku buka mata semua terasa terang, aku fikir ini yang namanya surga? Begitu menyilau kan hanya biasan cahaya yang terlihat samar-samar.
Makin lama cahaya itu memudar, dan barulah terlihat sosok yang sekarang ku benci.
"Syukur kamu udah sadar Sri! Anak kita laki- laki, tapi dia lahir fermatur jadi harus dirawat intensif."
Sri berpaling, tak sanggup rasanya menatap wajah Bang Sayid, karna dia Sri sudah durhaka kepada orang tua dan sekarang bisa merasakan gimana sakitnya mereka ketika pergi meninggalkan rumah untuk lebih memilih dia.
Sementara dia malah membuat hancur hati Sri dengan berselingkuh dan sering berkata kasar.
Tapi mendengar anakku terlahir selamat meskipun frematur rasa sakit itu sedikit memudar dan bahkan terlupakan dengan kehadiran putraku.
"Dimana anakku bang?" Tanya Sri dengan mata berkaca-kaca.
"Di ruangan anak lagi diinkubator, kamu gak boleh kemana-mana dulu harus banyak istirahat. lagian ko bisa sich kamu jatuh kaya gitu!." hardiknya
"Aku pengen liat Rizki," tanpa mendengarkan kata kata Bang Sayid, Sri berniat turun dari kasur, tapi entah kenapa sekujur tubuhku sakit luar biasa.
"Kamu ngeyel Sri, nanti juga kalu udah sembuh kamu bebas melihat anakmu. tadi dokter bilang kamu tidak boleh banyak gerak dulu karna mengalami pendarahan, untung selamat juga."
"Lagian kamu disuruh KB gak mau nurut, jadinya hamil kan! aku gak pernah berharap anak dari kamu ya Sri.
Aku yaki kamu gak berharap anak dari aku mas, karna kamu udah punya anak, bahkan bukan hanya satu anak yang kamu miliki tapi mungkin lebih dari dua batin Sri dalam hati.
Tak sabar menanyakan siapa "Paijo" yang kemaren menelpon suaminya, tapi niatnya dia urungkan, menunggu pulang dari RS saja.
Belum sempat bertanya siapa wanita yang mengaku istrinya, sikap Bang Sayid seolah sudah tau semua dan untuk menutupi kebohongannya dia membelotkan keadaan, sering marah meskipun hanya kesalahan kecil.
Hingga suatu hari, tepatnya setelah seminggu pulang ke rumah aku sudah tidak tahan lagi memendamnya.
"Bang.. apa kamu menikah lagi?"
Bang sayid hanya diam.
"Tolong jawab Bang? Siapa wanita yang mengaku sudah punya anak bernama Hesti dan Arya?"
Bang sayid masih terdiam.
"Jawab bang! Siapa "Paijo?" kenapa namanya laki-laki tapi dia telpon Abang suaranya perempuan! pekikku tak tahan lagi meminta kejujuran Bang Sayid.
"Dia istri pertama ku! Kamu mau apa? Jangan harap kamu bisa cerai dariku!" hardik Bang Sayid membuat nyaliku menciut.
Ucapnya tak terlihat merasa bersalah telah membohongi ku selama ini.
"Dimana dia sekarang Bang?" luka bekas melahirkan masih terasa tapi lebih sakit lagi luka hati ini.
"Di luar negri.!" aku juga sudah menyiapkan kepergian mu ke sana."
Sungguh aku tak percaya dengan ucapak terakhir Bang Sayid.
Samapi usia 25 tahun aku belum pernah merasakan kerja apa lagi sampai ke luar nergi.
"Aku tidak mau ...!"
"Kalau kau tidak mau! Semua perawatan buat anak kita akan di stop." Apa kamu gak mikir! Kamu dirawat aja sudah menghabiskan biaya banyak, belum lagi anak kita entah berapa lagi uang yang harus aku keluarkan?"
"Pokonya semua sudah aku persiapkan, dua hari lagi keberangkatan mu, kalau gak mau berarti harus bayar denda 50 juta"
Teriak Bang Sayid sambi berlalu tanpa memperdulikan lagi betapa hancurnya perasaanku.
Masih tidak percaya dengan apa yang Sri dengar dari mulut Bang Sayid, ingin berlari mengejar suaminya tapi apa daya tubuh sri masih lemah.
Sungguh tega kamu Bang, aku berkorban banyak demi kamu tapi balasannya seperti ini. Kalau bisa mengulang waktu, rasanya Sri tak mau bertemu Bang Sayaid apa lagi sampai harus menikah denganya. Maafkan Sri, Umi.. abi mungkin ini karma karna aku tak pernah mau mendengarkan nasehatmu. Jerit batin Sri sambil menangis terisak.
Aku harus kuat demi Rizki, bagaimanapun keadaanya tak akan ku tinggalkan, tapi Sri juga bingung harus membiayai pengobatan anaknya dari mana?
Menemui kedua orangtuanya sangatlah tidak mungkin, memikirkan harus pergi ke luar negri juga lebih membuatnya mustahil. Sri terus menangis, bukan karna rasa sakit bekas luka Cesar di perutnya tapi rasa hancur hatinya memikirkan jalan hidup yang harus dialaminya.
Dengan sekuat tenaga Sri coba menuruni ranjang, rasa rindu ingin bertemu buah hati yang belum dia lihat semenjak kelahiranya ke Dunia membuat dia mampu berdiri menggapai kursi roda yang ada didekatnya.
Dengan susah payah Sri menaiki kursi roda itu, hampir saja terjatuh tapi tanganya mampu menyangga badan yang makin sini makin kurus. Dia pun keluar mencari ruang perawatan bayi tanpa memperdulikan lagi rasa sakit di perutnya yang seakan menggigit.
Sri melihat pitu bertuliskan "Ruang Bayi" Tanpa ragu dia coba membuka pintu tersebut, tapi sayang pintu itu terkunci karan pas jam makan siang jadi tidak ada perawat yang jaga.
Di arahkanya kursi roda itu ke jendela yang memanjang, bisa dengan jelas Sri melihat ranjang bayi yang berderet. Matanya liar menatap satu persatu ranjang itu yang hampir semuanya terisi. Tak ada satupun nama dirinya sebagai ibu dari bayi yang ada diruangan tersebut. Kemudian matanya terhenti di Incubator yang terletak terpisah dari ranjang bayi, disana ada bayi yang sangat kecil seukuran botol aqua 1,5 liter.
Hidung dan mulut terpasang selang, bayi itu tergolek lemah tak bergerak sedikitpun. Mata Sri membaca tulisan disamping Incubator itu, dan mana Sri sebagai ibunya terbaca dengan jelas. Seakan tak percaya dengan apa yang di lihatnya, janin yang selama ini dia kandung begitu memilukan. Badan Sri menggigil, rasa bencinya semakin membara terhadap Bang Sayid.
Karna dia, Sri harus mengalami rasa sakit hati yang teramat sangat, sehingga dengan terpaksa bayi yang dia kandung ya harus di lahirkan sebelum waktunya.
Karna dia juga bayinya yang tak berdosa harus mengalami penderitaan seperti ini. Sakit yang dia rasakan hilang berganti kebencian. Ingin rasanya membunuh Bang Sayid, tapi takut terhadap suaminya itu membuat nyalinya tak bisa berkutik, karna Sri menggantungkan hidup sama Bang Sayid, Sri takut pengobatan Rizki dihentikan.
Memikirkan perkataan Bang Sayid terakhir kali membuat Sri makin bimbang. Tak ingin terpisah dari buah hati yang sangat membutuhkan kehadirannya, tapi ancaman menghentikan pengobatan Rizki kalau tidak menuruti kemauannya menambah pilu dihati Sri, karna Bang Sayid tak pernah main-main dengan ucapanya.
"Ibu sedang apa disini?" sapa lembut seorang perawat membuyarkan lamunanku.
"Bolehkah menemui anak saya Sus?"
"Anak ibu siapa namanya? Nama Ibu siapa?"
"Nama saya Sri, Sus." terhenti sejenak
"Anak saya Rizki,"
"Owhh, ayo ibu saya antar. Suami Ibu kemana? Ko tidak mendampingi? Seharusnya Ibu banyak istirahat dulu kan baru oprasi."
"Suami saya lagi kerja Sus, tak sabar rasanya ingin melihat anak saya,"
"Anak Ibu sehat, meskipun lahirnya prematur dan sempat krtitis tapi dia kuat bisa melewatinya, saya yakin pasti sehat seperti anak-anak yang lahir cukup umur. Asalkan Ibunya juga tetap semangat ya,"
"Iya Sus, terimakasih banyak."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!