NovelToon NovelToon

I Love My Brutal Husband

1. Pernikahan dadakan

...SELAMAT MEMBACA...

Rumah besar dengan ukiran di setiap sudut terlihat memanjakan mata. Dia merentangkan tangannya, merasakan ototnya yang lentur. Gadis berambut panjang itu bersandar di tiang, tepatnya ia berada di lantai dua.

Aku, Chalodra Agatha, putri kedua dari keluarga tanpa Ayah. Ibuku setiap hari mendapatkan banyak orderan. Setiap jam orang yang mendatanginya selalu berganti. Aku tidak suka dengan tampang mereka yang menjijikkan, apalagi yang sudah membungkuk.

Pelanggan setia Ibuku datang. Aku paling tidak suka dengannya. Tatapannya padaku seperti pemburu yang mendapatkan mangsanya. Dia tampan, tetapi pelanggan Ibuku. Aku langsung masuk ke dalam kamar saat itu juga.

Pria berusia 30 tahun yang kerap aku panggil Om Hendery. Satu hari, dia bisa datang lima kali. Tentunya, mereka masuk ke dalam kamar.

...

Setiap hari, aku menghabiskan waktu di kamar. Punya kakak perempuan tapi tidak bisa diajak berbicara. Punya adik perempuan, juga tidak pernah ada di rumah. Punya pacar, tetapi aku selalu di larang untuk pergi ke luar rumah.

Inilah hidupku yang penuh dengan larangan yang gelap.

Aku merasakan berat dalam diriku. Aku memutuskan untuk ke luar kamar. Aku pergi ke dapur, kebetulan hari ini jadwal Ibuku libur.

Segelas air aku teguk, rasanya seperti sudah dehidrasi. Aku menghela napas berat.

Suara bel berbunyi membuatku kesal. Aku melangkah menyusuri ruangan. Di setiap langkah, aku berdoa semoga bukan pelanggan setia ibu.

Aku kembali menghela napas panjang saat tahu bahwa itu tentu pelanggan Ibuku. "Hari ini libur, kan?!" Kubuat nada bicaraku menjadi ketus.

Om Hendery itu seperti biasa, berpakaian rapi dengan setelan jas. Rahang kokohnya jangan dilewatkan. "Aku ke sini bukan untuk bertemu Ibumu," katanya dengan suara berat.

Alisku saling bertautan. Lalu, dia ke sini untuk apa? Untuk bertemu aku tidaklah mungkin. "Mau bertemu Silvia Antrani?" Kusebut saja nama kakakku. Aku selalu menatap matanya yang berwarna hitam lekat, aku sangat ingin menatapnya lebih dalam. Namun, aku tidak pernah kuat.

Dia membuang muka, lalu mendekatkan wajahnya membuat aku melangkah mundur. Jantungku berdebar untuk pertama kalinya pada Om Hendery.

"Aku ke sini untuk bertemu denganmu." Aku terperanjat kaget. Apa maksudnya ingin bertemu denganku?

Apa dia ingin melakukan hal itu juga padaku?! "Ma-Maaf, aku berbeda dengan Ibu." Aku akan menutup pintu, tetapi tanganku ditahan lebih dulu olehnya. Sentuhan kulit pertamaku dengan Om Hendery.

"Aku mau menjemputmu atas perintah Ibumu!" Ucapannya sedikit lembut meski penuh penekanan.

"Kemana?" tanyaku.

"Makan-makan di restoran." Napsu makan ku seketika bergejolak.

"Ayo." Dia menarik tanganku. Tangan kananku tertarik, dan tangan kiriku bergerak menutup pintu.

Dia membawaku ke dalam mobilnya. Setelah di dalam, dia memakai masker membuat pikiranku terlintas sebuah pertanyaan. "Kenapa pakai masker? Lagi flu?" tanyaku yang duduk di kursi belakang.

Dia tidak menjawab, dan menyalakan mesin mobilnya. Mobil hitam yang dikendarainya melaju cepat.

Aku duduk diam memperhatikan jalan depan. Kepulan asap putih memenuhi sekitarku membuat kepalaku pusing. Seperti ada gempa, mataku perlahan menutup, dan gelap.

. . .

Sudah disiapkan karangan bunga memenuhi ruangan luas itu. Beberapa orang berseragam berlalu lalang. Sepasang orang berbincang dengan asiknya, juga segelas minuman di tangannya.

Di sebuah ruangan yanga terdapat kasur king size. Gadis terbaring, matanya tertutup, wajahnya dipoles dengan make-up, juga gaun pengantin di tubuhnya.

Matanya terbuka perlahan. Diedarkan pandangannya. Tubuhnya terduduk spontan menyadari sesuatu. Matanya terbelalak kaget. "Aku diculik!" Suara kerasnya menggema.

Saat akan berdiri, dia merasakan tubuhnya sangat berat. Ia melihat gaun mewah berada di tubuhnya. Sebuah kaca memantulkan tubuhnya yang sudah mirip pengantin. "K-kok?"

Pintu di hadapannya terbuka. Dahinya berkerut. Langkahnya maju berusaha keluar dari ruangan tapi dihalangi oleh seorang pria. Pria itu kembali menutup pintunya.

Chalodra Agatha berdua di kamar bersama Hendery Charlon.

Hendery melangkah maju membuat Chalodra melangkah mundur. Keduanya saling melemparkan tatapan tajam. Tubuh Chalodra terpental ke kasur. Hendery membanting tubuhnya dia tas tubuh Chalodra.

Gadis itu meringis tidak suka. Chalodra memberontak dengan mendorong tubuh Hendery, tetapi tidak berpengaruh apapun pada pria gagah itu.

Tangan Chalodra ditahan oleh Hendery, ia membuat tangan Chalodra mengalungi lehernya. Chalodra tertegun hingga mematung.

Wajah tampan Hendery mendekat membuat Chalodra memalingkan wajahnya. Tangan kekarnya menahan dagu Chalodra agar menatapnya. Mata Chalodra terpejam.

Benda halus itu mendarat di bibir Chalodra membuat matanya terbelalak kaget. Dia melihat wajah Hendery yang sangat dekat dengannya tanpa jarak.

Hendery membuat Chalodra meremang, gejolak tubuhnya memanas. Hendery menyudahinya, ia berdiri seraya merapikan jasnya.

Chalodra masih mematung dengan mata yang melebar. Ciuman itu terasa bagi Chalodra.

"Aku akan menikahimu. Jadi, cepat rapikan dirimu! Tidak ada penolakan." Hendery melenggang pergi keluar kamar.

Tangan Chalodra bergerak ingin membuka pintu itu, tetapi ternyata dikunci. Ia menahan air matanya keluar. Langkah lemahnya berjalan menuju cermin.

"Aku menikah? Bukan dengan kekasihku? Aku harus apa? Menerima?"

"Om Hendery, kenapa dia? Apa Ibu yang menjualku padanya?"

Kepalanya menggeleng beberapa kali. Chalodra tidak kuat menahan air matanya. Pasti, air matanya jatuh. Dadanya terasa sesak.

Tok tok tok

Suara ketukan pintu membuat Chalodra cepat menghapus air matanya. Pintu itu terbuka, tetapi itu bukan Hendery melainkan seorang wanita beruban.

Alis Chalodra saling bertaut. Ia mulai bertanya-tanya, apakah dia ibu Hendery.

Ibu itu menyapa Chalodra dengan senyuman yang tulus. "Ayo, Non!" ajaknya menuntun Chalodra.

Semua orang memandangi Chalodra yang menuruni tangga. Dia turun sendiri, ibu tadi hanya mengantarnya sampai tangga turun pertama. Chalodra menyimpulkan bahwa ibu itu hanyalah pembantu Hendery.

Hendery di bawah menatap Chalodra dengan tajam. Chalodra terpaksa harus mengukir senyum di bibirnya. Wajah ibunya ia dapatkan saat berada di tangga terakhir.

Chalodra berjalan seakan menemui Hendery, padahal ia berjalan dengan pakasaan. Mereka berdua berjalan dengan Chalodra menggandeng tangan Hendery untuk akad.

Sah, sudah resmi mereka berdua menjadi suami-istri. Chalodra sudah menjadi istri pelanggan ibunya. Banyak pertanyaan yang sudah Chalodra siapkan untuk ibunya setelah acara ini selesai.

Hendery selama acara berlangsung tidak membuka suara untuk Chalodra sama sekali. Chalodra hanya tersenyum ketika mendapat ucapan selamat dari para tamu.

Hingga acara itu selesai. Chalodra bergegas mencari ibunya. Namun, tidak kunjung melihat batang hidung sang ibu. Chalodra berdecak kesal.

Tubuhnya seperti melayang kala Hendery menggendongnya dari belakang. Dia membawa Chalodra ke kamar. Pikiran Chalodra mulai tidak bisa diatasi.

Hendery membanting Chalodra ke kasur. Dia melepaskan setelannya membuat Chalodra harus meneguk ludah.

Chalodra mulai merinding. Hendery telanjang dada. Ukiran sempurna yang ada di perutnya hampir membuat mata Chalodra lepas.

Hendery membaringkan tubuhnya di samping Chalodra. Chalodra panik, ia menutupi tubuhnya dengan selimut.

"Apa yang sebenarnya terjadi?!" sentak Chalodra.

Hendery terlihat tidak menghiraukan ucapan Chalodra. Dia menutup mata.

"Om Hendery!"

"Jangan panggil Om! Panggil Mas! Mulai sekarang! Karena kamu sudah menjadi istri saya."

"Kenapa kamu menikahiku?" Suara Chalodra melirih. Seakan tidak percaya, bahwa dia menikah dengan pelanggan ibunya.

"Aku menyelamatkanmu." Pernyataan singkat Hendery membuat Chalodra diam seribu bahasa.

"Ada pelanggan Ratu yang ingin membeli kamu."

2. Jalinan tanpa hati

...SELAMAT MEMBACA...

Apa Hendery menikahi Chalodra hanya untuk dikurung di dalam kamar? Bahkan sudah dua hari Chalodra berada di dalam ruangan membosankan ini. Apa Chalodra diciptakan hanya untuk hidup di kamar?

Pintu, jendela itu dikunci dari luar, dan tirai itu juga di paku. Hidupnya semakin tidak berwarna. Apalagi kamar Hendery terlihat sangat membosankan. Bagaimana tidak?! Hanya berwarna putih dan sedikit corak hitam, dan tidak ada warna lain selain itu.

Hendery memasuki kamar hanya untuk tidur, dan pagi sudah hilang. Sepertinya dia vampir yang takut cahaya.

Chalodra mendudukkan tubuhnya di kasur, seperti biasa, dia akan melamun. "Tunggu! Aku punya kekasih, lalu dia bagaimana?!"

Chalodra gelagapan, dia beranjak turun dari kasur dan mencari benda pipih kesayangannya itu. Di bawah bantal, di bawah seprai, di dalam laci, tetap tidak ditemukan. Benda tinggi mencuri perhatiannya.

Chalodra berjalan mendekati almari, dia berjinjit, berharap bisa melihat bagian itu. Tangannya meraih kursi, dia berdiri di atasnya.

"Ketemu!" Chalodra kegirangan. Ponselnya ketemu. Dia berbinar. Pintu itu tiba-tiba terbuka dan menampakkan Hendery yang tersenyum menyapa.

Chalodra sontak menyembunyikan ponselnya di balik badan. Hendery peka, dia mengerutkan dahinya sambil berjalan mendekati Chalodra.

Chalodra berjalan mundur, kontak mata dengan Hendery membuatnya ingin mati.

"Sembunyikan apa kamu?" tanya Hendery dengan suara menggelegar. Chalodra hanya menggeleng gugup.

Hendery menarik tubuh Chalodra hingga ke pelukannya membuat gadis itu tercengang. "Buat apa ponsel? Berniat minta bantuan dan kabur?" Tebakan Hendery salah, meski itu ada untungnya jika dilakukan.

Tangan kekar Hendery berusaha mengambil ponsel itu dari Chalodra, tetapi Chalodra menahannya dengan sangat kuat.

"Berikan padaku, Cha!"

Chalodra menggenggamnya dengan erat. Pelukan, lebih tepatnya dekapan Hendery sangat kuat membuat tubuhnya susah untuk bergerak.

"Cha, jangan melawan kalau gak mau aku kasar!"

Chalodra tetap teguh pada keputusannya untuk mempertahankan ponsel itu. Sekali pun Hendery pasti berhasil mengambilnya.

"Om, aku mau hubungi teman aku. Sekali, saja," ucap Chalodra. Chalodra sesekali mendesis menahan nyeri punggungnya.

"Teman atau pacar?"

Chalodra sontak terdiam mendengar pertanyaan Hendery. Suaranya terdengar sangat dingin. Benar saja, saat Chalodra mendongak melihat rahang kokoh milik Hendery mengeras.

"Teman aku," lirih Chalodra.

Chalodra lengah, tangan kekar Hendery melepaskan ponsel itu dari tangan Chalodra hingga ponsel itu akhirnya jatuh. Chalodra langsung melihat ponselnya yang sudah remuk.

Chalodra terduduk, ponselnya sudah tidak bisa menyala. Hendery sedikit merasa bersalah.

"Cha? Chalodra? Apa bisa hidup?"

Lain dari suara Hendery yang biasanya, kali ini terdengar sedikit lembut dan sopan masuk ke telinga. Chalodra terlihat menghembuskan napas panjang.

"Aku gak punya ponsel sekarang," ucapnya dengan senyum yang terlihat palsu.

"Lebih baik, karena kamu gak akan bisa meminta bantuan untuk keluar dari sini." Hendery melenggang pergi meninggalkan Chalodra yang masih tertekan.

Chalodra merangkak menuju kasur. Ia bersandar di tepi ranjang. Kedua kakinya ia lipat, dan ia peluk. Tatapannya tertuju pada dinding di depannya.

"Suasana macam apa ini?"

"Apa kejadian selanjutnya?"

Pikirannya sangat kosong, apa pun yang ia pikirkan tidak akan terjadi. Apa pun itu, sama sekali tidak berguna.

"Pernikahan seperti apa ini, Tuhan?!"

"Kenapa tidak sekarang saja aku mati?"

"Tolong sekarang saja. Tidak usah ditunda lagi."

"Mau keluar kamar? Dikunci." Pandangannya tertuju pada pintu kamar yang selalu menutup itu. "Terus? Aku harus apa?!"

Chalodra menghela napas panjang seraya menaiki tempat tidur. Tubuhnya ia banting begitu saja. Bebannya tidak bisa berkurang hanya dengan melakukan ini.

Waktunya makan siang. Chalodra tahu, akan ada seseorang yang datang ke kamarnya untuk mengatakan makanan.

Tanpa mengetuk pintu, yang biasa di panggil bibi itu masuk dengan membawa nampan. Dia meletakkan benda itu di atas nakas. Bibi selalu tersenyum pada Chalodra, dan Chalodra membalasnya. Bahkan Chalodra selalu bertanya hal yang sama pada bibi.

"Tuan Hendery sedang ada tamu di depan, jadi lebih baik Nona tidak membuatnya emosi." Sampai bibi hafal membuat Chalodra sedikit tercekat.

"Kalau begitu, Bibi permisi." Bibi melenggang pergi dengan membawa nampan itu. Dia meninggalkan sepiring nasi beserta lauk, dan segelas air murni.

Chalodra melihat sekilas benda itu. Sudah dua hari tidak ganti menu. "Ayam dan tomat, lagi?" Helaan napas berat terdengar memenuhi telinganya.

Mau tidak mau, Chalodra harus memakan itu dari pada harus matu kelaparan. Mungkin, sesekali Chalodra bisa request.

Terakhir, meneguk segelas air hingga habis. Dan, tidak lama bibi datang. Bibi hanya mengambil piring itu, apa ada benda perekam di dalam ruangan ini?

"Bibi," panggil Chalodra menghentikan pergerakan bibi yang akan melangkah pergi. Bibi berbalik badan.

"Besok bisa ganti lauk?"

Tanpa disangka, bibi mengangguk saja. Setidaknya Chalodra sedikit lega, yang artinya besok makanannya akan ganti.

Malam hari tiba, Chalodra sudah memakai baju tidurnya. Dia akan bersiap untuk tidur. Tubuhnya sudah ia tutup rapat dengan selimut.

Pintu kamar terbuka, Chalodra membuka matanya untuk melihat kedatangan pria dingin itu. Chalodra kembali memejamkan matanya. Tubuhnya ia miringkan membelakangi tubuh Hendery.

Ketika Hendery datang, dia langsung merebahkan tubuhnya di samping Chalodra. Lalu dia akan memeluk Chalodra dari belakang.

Chalodra pasrah, ia juga suka dengan pelukan hangat Hendery. Meski dari belakang. "Om ...." Chalodra mencoba untuk mengawali pembicaraan malam ini. Suaminya itu hanya berdeham.

"Kenapa aku gak boleh keluar kamar? Aku bosan kalau di kamar terus."

Jawaban Hendery membuat manik mata Chalodra membesar. Pelukan Hendery terasa semakin kuat. "Saya takut kamu pergi."

Detak jantung Chalodra seakan berhenti. Ia memutuskan untuk memejamkan matanya secara paksa. "Apa ini namannya?"

3. Sebuah tugas

...SELAMAT MEMBACA...

Setiap malam Hendery datang, dan pagi dia sudah pergi. Seperti itu saja setiap hari. Membosankan bukan?

Chalodra merangkak turun dari tempat tidur. Matanya sayu memandang pintu kamar yang terbuka, langsung saja maniknya melebar.

"Eh? Dibuka?!" serunya berlari mendekati pintu. Wajahnya berseri kesenangan. Binar iris matanya berkilau. "Boleh keluar?"

Ada rasa takut dan bersalah ketika melangkah ke luar kamar. Bagaimana jika Hendery tahu? Pasti akan marah. Ah, sudahlah, untuk saat ini Chalodra tidak peduli.

Langkahnya perlahan tanpa arah, pandangannya ia edarkan. Chalodra berhenti di tangga, turun satu anak tangga. Jantungnya berdegup kencang.

"Loh? Ada perempuan?!"

Suara berat laki-laki membuatnya menoleh. Lelaki itu berdiri di samping kamarnya. Matanya membulat, lelaki itu menakutkan tapi tampan.

"Sewaannya Hendery, ya?"

Chalodra diam seribu bahasa. Langkahnya mundur menuruni tangga. Lelaki itu mendekati Chalodra. Chalodra akan turun, tetapi tangannya dicekal oleh lelaki itu.

"Lepas," ucap Chalodra lirih.

"Hai, bolehlah saya coba."

Chalodra disentuh. Dagunya diangkat oleh tangan lelaki itu. Chalodra memalingkan wajahnya. "Hey, jangan takut sama daddy!" Desir napasnya terasa menyeruak di wajah Chalodra.

"Taka! Lepaskan dia!" sentak seseorang dari belakang Chalodra.

Lelaki itu langsung melepaskan Chalodra. Chalodra berbalik, itu Hendery, Chalodra bersembunyi di balik tubuh Hendery.

"Dia istriku. Sekali lagi kau sentuh, tahu sendiri akibatnya." Berat suara Hendery terdengar menakutkan. Apalagi rahangnya yang mengeras.

"Oh, istrimu. Aku tidak tahu, maaf, ya ...." Dia mengintip Chalodra yang berada di balik tubuh Hendery. Senyum tengil ia tunjukkan agar Chalodra tidak takut.

"Ayo!" Hendery menarik pergelangan tangan Chalodra. Langkah besarnya membuat langkah kecil Chalodra menjadi cepat.

Hendery menarik Chalodra ke dalam kamar, tidak lupa pintu itu ia tutup dan dikunci.

Hendery mendudukkan tubuh Chalodra di tempat tidur. Chalodra yang ketakutan hanya menunduk.

"Kenapa keluar?!"

Chalodra tersentak kaget. "Pintunya dibuka, jadi aku keluar."

"Lain kali jangan keluar. Ini salah satu alasan saya tidak kasih izin kamu untuk ke luar kamar."

"Maaf." Suara Chalodra sangat pelan. Wajahnya memanas akan kemarahan suaminya itu.

Hendery mendudukkan pantatnya di samping Chalodra. Chalodra menegakkan tubuhnya dengan kepala yang masih menunduk.

"Lihat saya!"

Chalodra bergeming. Istrimu sedang ketakutan, kenapa kau suruh menatapmu?!

"Cha, lihat saya!" Suara Hendery menjadi lembut, meski berat.

Chalodra menghela napas panjang, lalu ditatap wajah tampan suaminya.

Tangan kekar Hendery menyelinap masuk di balik rambut Chalodra, dipegang tekuk leher Chalodra. Wajahnya dimajukan, kelopak mata Chalodra terpejam.

Sekilas, Hendery mengecup bibir mungil Chalodra. Lalu dia berdiri sembari merapikan jasnya.

"Sebentar lagi Bibi akan antar sarapan kamu," ucapnya.

"Om sudah makan?"

Tatapan tajam Hendery kembali keluar saat menatap Chalodra. "Sudah saya bilang, jangan panggil Om! Panggil Mas, atau Daddy."

"Daddy?!" Suara Chalodra keluar dengan keras, segera ia tutup mulutnya dengan tangan.

"Kenapa? Kamu maunya Taka yang kamu panggil Daddy?"

"Bu-Bukan seperti itu."

"Kalau Sayang?" lanjut Chalodra.

Hendery mematung sejenak. Lalu ia berbalik menghadap pintu. "Terserah." Hendery melenggang pergi ke luar kamar.

Chalodra tidak kuasa menahan dirinya agar tidak teriak. Dengan cepat ia berlari ke kamar mandi.

Hendery melangkah menuruni tangga dengan senyum yang berseri-seri. Laki-laki itu menghentikan langkahnya. "Sekali lagi kamu seperti itu, habis." Ucapannya penuh penekanan membuat lelaki itu meneguk ludah.

"Maaf, aku tidak tahu." Bibir Taka berkerut.

"Ayo!" Hendery mendahului langkah Taka di belakangnya.

"Berliannya jadi?" tanya Taka di sela langkahnya menuju luar.

Hendery tidak menjawab pertanyaan Taka. Saat hendak masuk mobil, Hendery berhenti sejenak. "Ada tugas dari Papa Carlon," seru Hendery.

"Perintah?" tanya Taka.

"Ck, jangan banyak tanya!"

Mereka berdua memasuki mobil dengan Taka yang memegang kemudi.

Antaka Andreas, adik Hendery yang berusia 25 tahun. Dia putra bungsu dari keluarga Hendery. Taka dikenal dengan kepribadiannya yang bertolak belakang dengan Hendery yang dingin. Taka banyak bicara dan ramah senyum. Apalagi ketika bertemu seorang perempuan.

Chalodra mengeringkan rambutnya dengan hair dryer. Di sini, Chalodra bebas menggunakan listrik sepuasnya. Tidak disangka, bibi benar-benar membuatkan menu makanan baru untuk dirinya.

Langkahnya menuju tempat tidur, lalu duduk untuk menyantap sarapannya. Nasi putih hangat dengan lauk ayam, udang yang dipenuhi bumbu asam manis. Segelas jus jeruk untuk hari ini.

Habis sudah, piringnya kosong. Makanan itu pindah ke dalam perutnya. Ia teguk minuman itu sampai habis. Tidak lama, bibi datang dengan senyuman khas.

Chalodra kembali bingung, otaknya berpikir keras. Pasalnya, bibi selalu tahu ketika makanan Chalodra sudah habis, dia pasti datang. Sudah tidak bisa diragukan, di dalam kamar ada kamera pengintai.

"Bibi," panggil Chalodra.

"Iya, Non?" Bibi menghentikan langkahnya di depan pintu, ia berbalik.

"Nama Bibi, siapa?"

"Nama Bibi Aya."

"Bi Aya?"

"Iya, Non." Senyumannya sangat damai, dan sorot matanya terlihat kasihan pada Chalodra. "Sudah tidak ada apa-apa lagi?"

"Sudah, terima kasih."

. . .

Sebuah ruangan besar yang dihiasi lukisan di dinding, dindingnya berwarna putih dan sedikit corak kuning keemasan.

Pria baya duduk di sofa bersama dua pria muda. Sepotong rokok di tangan pria baya itu, senyum licik beberapa kali ia tampilkan.

"Putri dari Charleston Anggara, kamu bisa, Hendery?"

"Kenapa aku?" Kedua alisnya terangkat, punggungnya bersandar di sofa. "Papa punya banyak kenalan pembunuh bayaran, kan?"

"Papa mau kamu yang bunuh dia." Wajah liciknya tidak bisa diragukan lagi.

"Kenapa harus putrinya? Kenapa tidak Charleston Anggara saja?"

"Apa kamu tahu? Anggara yang sudah buat almarhum Adik perempuan kamu meninggal." Matanya melebar menatap Hendery.

"Tapi, putrinya tidak salah apa pun."

"Papa mau Anggara merasakan apa yang Papa rasakan." Ia hembuskan napasnya dari bibir hingga mengeluarkan kepulan asap rokok.

"Pa, putri dari Anggara banyak. Papa mau semuanya dibunuh, itu sama saja Papa tidak punya hati. Hanya mementingkan dendam," sahut Taka.

"Papa mau putri bungsunya saja."

Manik mata Hendery melebar. Bibirnya tidak bisa terbuka lagi. Tubuhnya ia tegakkan. Raut wajah datanya sulit diartikan. "Aku usahakan," ucapnya lalu melenggang pergi.

Taka itu pun menyusul Hendery. Pria baya yang dipanggil papa oleh kedua lelaki itu tidak lain adalah Carlon June, mafia serakah akan kepuasan hartanya. Carlon dibakar panasnya dendam akan masa lalunya. Mudah baginya untuk membuat orang lain kehilangan nyawa.

. . .

Hendery berdiri di tepi pembatasan jembatan, ditemani angin malam yang menerpa. Tatapannya kosong, hanya tertuju pada arus air.

"Putri bungsu Anggara? Anggara, putrinya ada empat dari dua almarhum istrinya. Putranya hanya satu dari istri pertama. Putri bungsu dari istri kedua, bernama ...."

Ia jeda kalimatnya untuk mengambil napas panjang. "Chalodra Agatha."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!