Di malam hari yang larut, Mutiara sedang membaca buku di meja belajarnya, karena dirinya akan menghadapi ujian terakhir besok. Ia harus belajar dengan tekun supaya perjuangan selama tiga tahun itu tidak sia-sia, dan juga agar ia bisa masuk ke SMA favorit jika nilai rapornya bagus.
Sebenarnya, Mutiara memang anak yang cukup pintar dan rajin, sehingga ia selalu masuk peringkat tiga besar di sekolahnya. Akan tetapi, ia merupakan anak yang suka menyendiri, kurang bisa bersosialisasi dengan teman-temannya. Ia tidak mempunyai teman dekat, walaupun ada teman yang ingin mendekat, Mutiara selalu menolak. Alasannya karena ia tidak ingin dimanfaatkan hanya karena kepintarannya, bukan atas dasar ketulusan.
Mutiara memang anak yang seperti kurang kasih sayang dari kedua orang tuanya. Setelah ayahnya meninggal karena kecelakaan di tempat kerja, kini ibunya menikah lagi dengan seorang duda beranak satu, dan itu pun tanpa persetujuan dari Mutiara. Karena ibunya sudah bucin akut dengan sang duda, ia tidak memikirkan perasaan anaknya dan lebih mengutamakan cintanya.
Begitu pun dengan sikap dari suami baru ibunya, yang seperti tidak menerima keberadaan Mutiara di dalam keluarganya. Kadang pula ia suka memarahi anak tirinya tanpa alasan yang jelas, dan hal itu membuat Mutiara harus menghadapi tekanan hidup yang berat di usianya yang masih belia.
Sungguh miris sekali hidupnya.
Dalam keadaan yang sudah sangat mengantuk, terdengar suara orang dari luar yang sedang mengetuk pintu.
Tok tok tok.
Sontak saja ia tersentak kaget saat mendengar ketukan pintu tersebut. Kemudian Mutiara berjalan ke arah sumber suara yang berada di ruang tamu.
"Bukaaaa pintunya oiyyy!" teriak Dimas.
"Tunggu sebentarrr," sahut Mutiara dengan nada suara sedikit ditinggikan agar yang di luar bisa mendengar.
Klik.
Ia membuka kenop pintu dan mendapati kakaknya sedang menatap tajam ke arahnya.
"Lama banget sih lo ngebukain pintunya," sarkas Dimas kepada adiknya.
Kemudian Mutiara mengendus aroma yang sangat menyengat dari kakaknya.
"Kak, bau apa ini?" tanya Mutiara kepada kakaknya.
"Berisikkk lo!" ketus Dimas dengan tatapan dinginnya.
"Maaf, Kak," ucap Mutiara sambil menunduk karena tidak berani menatap kakaknya.
"Sekarang lo bantu papah gue ke kamar," pinta Dimas dengan wajah datarnya.
"Iya, Kak," sahut Mutiara dan langsung memapah kakaknya menuju kamar.
Ketika berjalan di ruang tamu, tiba-tiba...
Dukk.
"Awww, kakiku!" pekik Dimas sambil memegangi lututnya yang terbentur meja tamu.
"Lo sengaja ya ngelakuin ini? Dendam sama gue, hah?!" bentak Dimas kepada adiknya dengan menyebalkan.
"Maaf, Kak. Aku enggak sengaja. Lagian badan Kakak berat, jadinya aku oleng," celetuk Mutiara, kemudian langsung membungkam mulutnya sendiri karena dipelototi kakaknya.
Setelah itu, ia kembali memapah kakaknya menaiki anak tangga menuju lantai atas. Sesampainya di depan kamar, Mutiara membuka kenop pintu dan merebahkan kakaknya ke kasur dengan pelan-pelan.
Saat ia hendak mendekati pintu...
"Eh, tunggu. Bawain air minum. Gue haus," pinta Dimas kepada adiknya. Kemudian Mutiara menoleh dan mengangguk, mengisyaratkan bahwa ia akan membawakannya.
"Iya, Kak. Tunggu sebentar," ujarnya, kemudian keluar kamar menuju dapur.
Sesampainya di dapur, ia mengambil air minum seperti yang diminta kakaknya, dan membawanya ke kamar Dimas. Sesampainya di depan kamar, ia mengetuk pintu.
Tok.
"Kak, ini minumnya," panggil Mutiara kepada kakaknya.
"Masuk," balas Dimas menyuruh adiknya masuk. Kemudian ia menyodorkan gelas kepada kakaknya. Dimas mengambil gelas itu dan meminumnya.
Glek glek glek...
Dimas meminumnya sampai habis, kemudian menyodorkan gelas itu ke tangan adiknya. Mutiara menerima gelas itu dan menaruhnya di atas laci dekat tempat tidur. Saat ia hendak berbalik badan, tiba-tiba tangannya dicekal oleh kakaknya dari belakang. Lalu, ia menarik tangan Mutiara hingga terjatuh dalam pelukannya.
Sontak saja karena hal itu, Mutiara kaget dan mencoba melepaskan pelukan dari kakaknya itu. Namun, hal tersebut sia-sia karena Dimas enggan melepaskan pelukannya. Malah ia semakin mengeratkan pelukannya itu.
Tiba-tiba, tangan Dimas mulai membelai rambut Mutiara, menghirup aroma rambutnya, dan mencium rambut Mutiara dari belakang dengan sangat bergairah.
Sontak saja karena tindakan kakaknya itu, Mutiara menegang. Di lubuk hatinya, ia sangat takut akan apa yang akan dilakukan oleh kakaknya.
Kemudian Dimas membalikkan badannya supaya mereka saling berhadapan. Dimas menatap lekat sorot mata adiknya, sementara Mutiara hanya bisa menundukkan pandangannya karena ia takut menatap sorot mata tajam kakaknya itu.
Kemudian tangan Dimas mulai memegangi dagu adiknya dan mendongakkan wajahnya supaya berhadapan dengan dirinya. Tatapan mereka saling bertemu, membuat wajah Mutiara bersemu merah. Tiba-tiba...
Cup.
Ciuman manis dari kakaknya itu mendarat di bibir mungil ranum Mutiara, dan membuat jantungnya berdebar-debar tak karuan. Karena ini merupakan first kiss-nya, dan lagi, yang melakukannya adalah kakak tirinya sendiri.
Dimas semakin memperdalam ciuman itu, seolah-olah enggan untuk melepaskannya.
Melihat perbuatan Dimas yang melewati batas, Mutiara langsung mendorong kakaknya sekuat tenaga supaya dia tidak berbuat hal yang tidak senonoh lagi kepadanya. Karena amarah dalam dirinya sudah tidak bisa ditahan lagi, pada akhirnya...
Plak!
Entah Mutiara mendapatkan keberanian dari mana hingga bisa menampar kakaknya itu. Sampai akhirnya cap lima jari bekas tamparan itu terpampang jelas di wajah tampan kakaknya. Tapi sayangnya, tindakannya itu tidak membuat kakaknya sadar dari mabuknya.
Dimas memegangi pipinya yang perih karena tamparan itu, dan menatap nyalang ke arah adiknya. Mutiara sudah mulai ketakutan atas tindakannya. Kemudian ia langsung berlari ke arah pintu kamar, tapi sayang, kakaknya langsung menahan Mutiara agar tidak bisa keluar dari kamarnya.
Mutiara benar-benar ketakutan setengah mati. Keringat bercucuran deras di wajahnya karena dirinya dihadang oleh kakaknya saat hendak keluar. Kemudian Dimas mengunci pintu kamarnya, tetapi tatapan matanya tidak terlepas dari adiknya.
Takut dengan tatapan buas kakaknya itu yang seakan-akan ingin menerkam, ia perlahan-lahan berjalan mundur ke belakang. Sementara itu, Dimas hanya tersenyum menyeringai melihat wajah pucat adiknya.
Karena Mutiara tidak melihat jalan di belakangnya, akhirnya tanpa sadar ia sudah mentok pada tembok tersebut.
"Tolonggg!" teriak Mutiara sekeras-kerasnya.
Tapi hal itu percuma, karena saat ini di rumahnya hanya ada sang kakak dan dirinya, sementara pembantu yang biasa ada di rumah sedang izin pulang kampung.
Dimas semakin mendekati adiknya hingga posisi mereka kini saling berhadapan. Ia merasakan deru napas hangat kakaknya itu. Kemudian Dimas membisikkan sesuatu di telinga adiknya.
"Mutiara... malam ini kamu terlihat cantik." puji Dimas kepada adiknya.
Jederrr.
Sontak saja mendengar pengakuan kakaknya itu, ia dibuat terkesiap dan hanya bisa menyipitkan mata, seolah-olah bingung harus berkata apa kepada kakaknya itu.
Melihat ekspresi wajah Mutiara yang kebingungan seperti itu malah membuat Dimas gemas dengan kepolosan adiknya.
Mutiara memutar bola matanya, jengah dengan tatapan mata kakaknya yang terus memperhatikannya.
Kemudian tanpa aba-aba, Dimas langsung membopong adiknya ke kasur.
Kemudian tubuh Mutiara dijatuhkan ke atas tempat tidur dengan kasar. Mutiara berusaha berpikir keras, bagaimana caranya agar ia bisa pergi dari kamar ini.
Ia melirik ke sekeliling, mencari sesuatu yang bisa dijadikan senjata untuk melawan kakaknya itu.
Ayolah Ara, cepatlah berpikir. Bagaimana caranya agar bisa terlepas dari situasi ini... batin Mutiara dalam hatinya. Tak jauh dari kasurnya, ia melihat ada bantal dan guling. Tanpa pikir panjang, ia langsung memukuli kakaknya tanpa ampun.
Buk! Buk! Buk!
“Rasain! Emang enak ditimpuk, hah!” umpat Mutiara, kemudian menginjak kaki kakaknya.
Melihat ada celah untuk melarikan diri, ia langsung berlari ke arah pintu dan berusaha membuka kenopnya.
Ceklek. Ceklek. Ceklek.
“Sial! Kenapa harus macet segala lagi?” gumamnya sambil menatap kakaknya yang mulai mendekati dirinya.
“Hahaha...”
“Percuma, lo nggak akan bisa keluar dari sini,” sahut Dimas kepada adiknya, membuat Mutiara semakin panik.
Dalam keadaan terdesak, ia melirik ke arah beberapa benda yang berada di atas laci dekat pintu, lalu melemparkannya ke arah Dimas—gelas, lampu tidur, remote, power bank—semuanya dilempar tanpa ragu.
Prang! Prang! Prang!
Sayang sekali, benda-benda itu tidak ada yang mengenai Dimas. Ia bisa menghindar, dan sekarang posisi Mutiara sudah terhimpit oleh tubuh kakaknya. Tubuhnya gemetar ketakutan, sementara Dimas hanya tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya menggoda adiknya yang ketakutan.
“Sudah cukup main-mainnya, Sayang. Sekarang waktunya kita bersenang-senang,” ucap Dimas dengan senyum menyeringai.
Mendengar ucapan itu, bulu kuduk Mutiara merinding. Ini seperti bukan kakaknya yang selama ini ia kenal, melainkan setan yang sedang merasuki tubuh Dimas di saat mabuk.
Kemudian Dimas menarik tangan Mutiara secara paksa dan mendorongnya hingga terjatuh ke belakang. Untungnya, ia mendarat di atas kasur empuk. Saat dirinya hendak bangkit, tiba-tiba Dimas mengukungnya dan mulai bertindak agresif.
Tangisan Mutiara mulai tumpah, membasahi pipinya, saat Dimas menciumi leher jenjangnya. Nafsu Dimas semakin membuncah, sampai ia mulai membuka satu per satu kancing piyama adiknya itu.
Sementara Mutiara hanya bisa memukuli dada bidang kakaknya, namun tenaganya tidak sebanding dengan Dimas. Ia sudah pasrah dengan keadaan ini.
“Aaaaaaaah! Tolonggg!!” teriak Mutiara sekeras-kerasnya dengan isak tangis tak tertahankan. Tapi sayangnya, di rumah itu tak ada siapa-siapa selain dirinya dan sang kakak. Pembantu rumah mereka sedang izin pulang kampung, sehingga tak ada orang yang bisa menolongnya.
Dan... kejadian yang tidak diinginkan pun akhirnya terjadi pada Mutiara—kejadian yang akan menjadi trauma terberat dalam hidupnya.
---
Di sudut kamar tidur, seorang gadis belia duduk sambil memeluk lututnya dan menangis tersedu-sedu tanpa henti.
“Huhuhuhu...”
“Aku tidak menyangka Kakak tega melakukan ini padaku. Padahal selama ini aku selalu berusaha menjadi adik yang baik, menuruti semua perintah Kakak dengan harapan agar bisa diterima menjadi bagian dari keluargamu. Tapi... ini balasan yang aku terima...” gumam Mutiara sambil menatap tajam ke arah kakaknya yang sedang tertidur pulas tanpa pakaian, hanya diselimuti sehelai selimut.
Saat dirasa emosinya mulai tenang, ia berdiri dan berjalan dengan tertatih-tatih, menahan perih yang dirasakannya. Ia keluar dari kamar Dimas dan berjalan menuju kamarnya sendiri.
Sesampainya di depan pintu kamar, ia membuka kenop dan masuk ke dalam. Setelah itu ia menguncinya, lalu menyenderkan tubuhnya ke pintu.
Tanpa bisa dibendung lagi, air mata mulai menetes dan membasahi lantai yang ia pijak. Kemudian ia berjalan menuju tempat tidur dan merebahkan diri. Ia menatap langit-langit kamar dengan wajah kosong.
Pikirannya melayang, mengingat kembali saat pertama kali dirinya masuk ke rumah ini—rumah yang kini menjadi sumber luka terbesarnya.
---
Flashback
Tiga tahun lalu, dirinya diajak oleh sang Mamah untuk tinggal bersama keluarga baru Mamahnya itu. Awalnya, ia ingin menolak. Tapi Mamah bersikeras memaksanya ikut, dengan alasan: “Siapa yang akan mengurusmu nanti?”
Ayah kandungnya baru saja meninggal belum lama sebelum ibunya menikah lagi. Mau tidak mau, ia harus menerima ajakan itu.
_
Sesampainya di depan rumah, Mutiara menggenggam erat tangan Mamahnya sambil melangkah masuk. Tapi baru beberapa langkah, mereka dihentikan oleh seorang laki-laki yang terlihat sudah cukup tua, namun tetap tampan untuk seusianya.
“Kirana, kenapa kamu membawa anak itu ke rumah ini?” ucap Hartanto dengan ekspresi tak suka, matanya menatap tajam pada Mutiara.
“Masss, dengarkan dulu penjelasanku,” ujarnya dengan ekspresi memohon.
Tak jauh dari ruangan itu, seorang pemuda tampan duduk santai sambil menatap datar ke arah mereka. Mamah Kirana memberi kode lambaian tangan pada pemuda itu.
“Dimas, ayo ke sini dulu,” panggil Kirana pada anak sambungnya.
Akhirnya, Dimas berdiri dan berjalan menghampiri mereka.
“Ara, sekarang kamu istirahat dulu ya. Nanti kita bicara lagi,” ucap Mamah Kirana lembut.
“Dimas, tolong antarkan Mutiara ke kamarnya, ya,” ujarnya kemudian. Dimas hanya mengangguk, lalu berjalan menuju tangga. Mutiara membuntutinya dari belakang.
Sementara itu, di ruangan lain, sepasang suami istri mulai terlibat debat sengit.
“Kirana! Apa maksudmu mengajak anak itu tinggal di sini, hah?!” bentak Hartanto kepada istrinya. “Itu pun tanpa persetujuan dariku!”
“Oke... untuk itu aku minta maaf, Mas. Tapi... mau bagaimana lagi? Anakku sudah tak punya siapa-siapa selain aku. Siapa yang akan mengurusnya nanti selain diriku?” ujar Kirana, menjelaskan dengan panjang lebar, berharap suaminya bisa menerima Mutiara.
“Seharusnya kamu titip anakmu itu ke kakek-neneknya! Bukan malah membawanya kemari,” tegas Hartanto.
“Tidak bisa, Mas. Mereka sudah tua. Kasihan kalau aku titipkan Mutiara pada mereka,” rengek Kirana mencoba meyakinkan suaminya.
Dengan napas kasar dan wajah tak rela, akhirnya Hartanto mengizinkan.
“Baiklah. Aku izinkan anakmu tinggal di sini, asal dia jangan buat masalah!” ucap Hartanto, lalu berjalan keluar rumah.
Raut wajah Mamah Kirana berbinar bahagia saat mendengar ucapan itu. Ia lalu menyusul suaminya keluar.
Sementara itu, di lantai atas, Dimas telah sampai di depan kamar dan menunjuk pintu di hadapannya.
“Nih, kamar lo. Kalau butuh apa-apa, panggil Bi Idah—pembantu di sini,” ucap Dimas, lalu pergi begitu saja.
Mutiara membuka kenop pintu dan masuk ke dalam.
“Wah, bagus sekali kamar ini. Sebelumnya aku pikir akan tinggal di gudang. Tapi untungnya, aku masih dianggap penting oleh keluarga ini...” monolognya dalam hati sambil menatap sekeliling kamar dengan takjub.
Ia lalu merebahkan diri di atas kasur dan berguling-guling riang. Namun, kebahagiaan kecil itu tak berlangsung lama, karena tiba-tiba terdengar suara ketukan dari arah pintu...
Mutiara kaget saat mendengar suara ketukan itu. Ia berjalan menuju pintu dan membukanya.
"Permisi Non, Bibi mau bilang kalau Nona lapar, Bibi sudah masakin makanan. Nanti turun ke bawah, ya," ujar Bi Idah dengan senyum ramah. Saat ia hendak pergi, Mutiara mengucapkan terima kasih, dan Bi Idah hanya membalas dengan anggukan kepala.
Setelah itu, Mutiara kembali ke kamarnya dan mulai merapikan barang bawaannya untuk disimpan di lemari.
"Ini pakaian aku yang sedikit, atau lemarinya yang terlalu besar, sampai masih menyisakan banyak ruang," pikir Mutiara sambil bingung, harus diisi apa lagi ruang lemari itu. Setelah selesai, ia beralih menata beberapa foto dan barang lainnya di laci serta meja rias. Tatapannya tertuju pada satu foto yang membangkitkan kenangan indah bersama Ayah dan Mamanya—saat mereka mencium kedua pipinya di hari ulang tahunnya. Ia memeluk erat foto tersebut, meluapkan tangisan rindu pada sosok Ayah dan keluarga yang dulu masih utuh, sebelum ia tahu kabar perceraian kedua orang tuanya. Jujur saja, ia merasa berat menerima kenyataan pahit ini.
Namun keadaan memaksanya untuk tetap bersabar menjalani hidup yang berat, di kala usianya yang masih muda dan seharusnya mendapat kasih sayang berlimpah dari kedua orang tuanya. Lamunannya buyar saat terdengar suara cacing yang mulai "berdisko" di perutnya.
Krucuk krucuk
"Aduh, lapar banget. Udah ah, beresin barangnya nanti aja, kalau udah makan," monolognya dalam hati. Ia pun turun tangga dan berjalan menuju dapur. Sesampainya di dapur, ia melihat Bi Idah mempersilakannya duduk di meja makan. Ia mengangguk tanda mengerti, lalu duduk berhadapan dengan kakaknya yang sedang makan sambil membaca buku.
"Kakak," sapa Mutiara.
Dimas hanya melirik sekilas adiknya dengan tatapan datar.
"Kak, buku apa yang Kakak baca?" tanya Mutiara dengan mulut penuh makanan.
"Kalau sedang mengunyah makanan, sebaiknya jangan berbicara," terang Dimas, mencoba menasihati. Tapi Mutiara malah salah paham dan menganggap kakaknya tidak ingin diganggu.
"Maaf, Kak," balas Mutiara sambil menunduk, tak berani menatap kakaknya dan melanjutkan makannya.
Dimas hanya bisa tersenyum melihat tingkah polos adiknya itu.
Setelah beberapa hari, Mutiara mulai terbiasa dengan lingkungan keluarga barunya. Ia sering membantu pekerjaan Bi Idah dengan inisiatif sendiri karena tak enak hati jika dianggap tak tahu berterima kasih tinggal di rumah ini tanpa melakukan apapun. Suatu ketika, saat ia sedang menyirami tanaman di taman rumah, tak jauh dari sana kakaknya duduk bersantai sambil membaca buku.
"Gitu dong. Lo harus tahu diri kalau numpang di rumah orang. Setidaknya ada timbal baliknya, bantuin Bi Idah ngurus rumah ini, termasuk nyiram tanaman," sindir Dimas pedas. Namun Mutiara tidak terlalu menghiraukannya karena ia tahu ucapannya ada benarnya. Tapi lama kelamaan, ia merasa seperti sedang diperhatikan oleh kakaknya dari belakang. Ia pun menoleh.
Namun, ia hanya melihat Dimas yang tampak fokus membaca buku.
"Apa cuma perasaan aku aja, ya," batinnya. Ia melanjutkan menyiram tanaman, dan lagi-lagi Dimas hanya tersenyum penuh arti.
Setelah selesai, Mutiara kembali ke kamar untuk beristirahat. Di dalam kamar, ia mulai memikirkan bagaimana kehidupannya ke depan dan berharap yang terbaik.
Flashback off
Ia tersadar dari lamunannya dan menatap sekitar dengan pandangan kosong, ditambah derai air mata yang tak henti-hentinya mengalir. Ia hanya bisa meluapkan kepedihan dengan tangisan sambil memeluk boneka kesayangan pemberian Ayahnya dengan sangat erat.
"Semoga saja ini hanya mimpi, dan saat aku bangun semuanya tidak menjadi kenyataan," batinnya sambil mencoba menutup mata.
Sinar matahari akhirnya menembus tirai jendela, membangunkan seseorang dari alam mimpi.
Di sebuah kamar yang sangat luas, Dimas mulai membuka mata dan bangun dari tidurnya. Ia menatap sekitar dengan kesadaran yang belum pulih. Ia merasa kamarnya berbeda dan menyadari sesuatu.
"Ha? Kenapa aku tidur tanpa berpakaian?" gumamnya sambil melirik ke arah cermin lemari. Alangkah terkejutnya saat ia membuka selimut dan mendapati bercak noda darah di sprei dan lantai kamar. Ia mencoba menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi.
Tiba-tiba, kepalanya mendadak pusing, memperlihatkan kilasan kejadian malam itu. Ia syok bukan main mengingat perbuatan tidak pantas yang ia lakukan kepada adiknya.
"Astaga... apa yang telah aku lakukan..." gumam Dimas. Ia berlari ke kamar mandi, mencoba menenangkan diri.
Di bawah guyuran shower, Dimas merenungi kesalahan besar yang ia lakukan tadi malam. Mengingatnya saja membuat hatinya sesak.
"Seharusnya tadi malam aku tidak pergi ke bar dan mabuk-mabukan," lirihnya penuh penyesalan. "Aku harus bagaimana kalau sudah begini? Dia pasti sangat hancur karena kejadian ini."
Setelah cukup lama di kamar mandi, ia keluar dan cepat-cepat berganti pakaian. Ia berniat menemui Mutiara untuk meminta maaf dan mencari solusi bersama. Ia memberanikan diri mengetuk pintu kamar adiknya.
Tok tok tok
"Mutiara... bisa kita bicara sebentar?" bujuk Dimas, namun tidak ada respons dari dalam.
Sementara itu, Mutiara sudah terbangun saat mendengar suara ketukan, tetapi ia tidak memedulikan bujukan dari kakaknya.
"Mutiara, ayo bukain pintunya, please..." mohon Dimas.
Namun lagi-lagi Mutiara tidak menghiraukannya. Dimas mulai menangis dan merasa khawatir karena Mutiara tak kunjung membuka pintu.
Di sisi lain, Mutiara hanya bisa menutup kedua telinganya, tak ingin mendengar suara kakaknya. Air matanya mengalir deras.
"Kakak ingin minta maaf... Mutiara... hiks... hiks... Tolong maafkan aku. Kakak memang orang yang bejat... tapi sungguh, Kakak sangat menyesal atas kejadian malam itu. Kakak dipengaruhi alkohol..." ujar Dimas sambil menangis tulus dari lubuk hatinya.
Di sudut lain, sepasang mata mengintip dan memperhatikan Dimas yang menangis di depan pintu kamar Mutiara—tanpa dimas sadari...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!