Shanum tersentak bangun. Sekujur tubuhnya penuh dengan peluh. Dia mengusap wajahnya, dengan tubuh masih gemetar, detak jantung yang berpacu cepat, terasa nyeri menghentak dada. Shanum menatap ke satu titik, pandangannya masih tidak fokus, bayangan mimpi itu masih segar di dalam ingatannya. Ketakutan, rasa itu hidup, bernapas, dan bersemayam dalam dirinya!
*Empat lelaki, kokoh seperti batu, mengikuti gadis itu perlahan-lahan dari arah belakang. Ada sesuatu yang berbeda dari tingkah mereka. Jalan mereka bagai tak berpijak di tanah, seakan-akan melayang.
Seandainya Shanum mampu berteriak memperingatkan gadis itu. Sayangnya dia tak dapat melakukannya. Sudah dia coba berkali- kali untuk berteriak. Tapi tidak ada satu suara pun yang keluar dari bibirnya. Shanum laksana patung beku yang hanya dapat mengamati tanpa berbuat apa-apa*.
Para lelaki itu telah memperpendek jarak antara mereka dan gadis itu. Tapi mereka tidak mempercepat langkah. Shanum memusatkan perhatian ke wajah mereka, menduga akan mendapatkan suatu bentuk emosi.
Wajah-wajah yang tak berekspresi, tatapan mata yang kosong. Dia tidak tahu mereka adalah manusia atau bukan. Mungkin itu hanya akibat aura kosong yang menyelubungi tubuh mereka dengan janggal.
Gadis itu sepertinya menyadari. Dia berlari, tetapi mereka membuatnya terpojok sebelum ia mendapat kesempatan untuk melarikan diri. Meskipun para penyerang itu masih terkesan tenang, langkah mereka semakin cepat saat mendekati gadis itu.
Penerangan yang menyinari tempat kejadian hanya sebentuk obor yang terpasang di samping kiri dan kanan bangunan yang terbuat dari batu dilapisi tanah liat.
Gadis itu terantuk, lalu jatuh. Shanum menahan napas. Salah satu penyerang tertawa seperti segerombolan orang sinting. Mereka berada di dekat gadis itu. Cukup dekat sehingga bau mereka pastilah mengelilinginya. Dia dikepung.
Mereka mengelilinginya, dan Shanum berharap dapat membantunya. Tangan dan kakinya tanpa sadar dalam posisi siaga, siap mengeluarkan jurus-jurus bela diri yang pernah dipelajari.
**Gadis itu gemetar, dan berusaha bangkit dari tanah. Lengannya yang terkesan rapuh sebenarnya agak kekar, dan tampaknya ia akan berhasil berdiri. Shanum merasakan kesenangan kecil merasukinya saat itu, namun gadis itu tidak bergerak cukup cepat, dan sepatu salah satu penyerang yang menekan punggungnya, membuatnya kembali terhempas ke tanah.
Shanum bisa membayangkan betapa sakitnya hidung dan bibir gadis itu saat mencium tanah yang berisi tonjolan bebatuan. Dia berjuang melawan lelaki itu tapi tak ada kemajuan**.
Mereka tetap menahannya di tanah. Gadis itu mencoba memberontak, dan mendapatkan pukulan dari salah satu penyerang.
Sekarang, Shanum hanya bertanya-tanya apakah mereka akan menghabisi gadis itu atau menodainya, dan kemudian bertanya-tanya kembali, apakah kedua hal itu akan ada bedanya. Salah satu pria memukul tengkuk sang gadis, dan gambar yang Shanum lihat berganti.
**Saat ini gadis itu terduduk di lantai dalam sebuah ruangan mirip seperti penjara, yang berbeda adalah tidak ada jeruji dan pintu besi di sini. Tangan gadis itu terikat di sela-sela dinding yang terbuat dari bambu.
Keseluruhan ruangan berbentuk bulat, seperti sebuah tenda besar yang sangat kokoh, dengan rangka bambu sebagai penopang. Wajah gadis itu menunduk, tubuhnya terlihat lemas, tidak ada pergerakan, kecuali suara napasnya yang terdengar teratur**.
**Shanum menoleh, mendengar suara-suara, ada yang melangkah masuk. Dia melihat seorang wanita berjalan masuk bersama dengan seorang pria. Bukan pria penyerang tadi, pria dengan tampilan berbeda.
Mereka mengenakan pakaian yang terlihat kuno dengan model kimono putih dengan nuansa warna-warni. Mereka berwajah ras Mongoloid, kulit kuning langsat, rambut kaku dan bermata sipit. Sebenarnya zaman apakah saat ini? Mengapa mereka terlihat seperti pemain film seri kolosal lawas, yang sering tayang di televisi**?
Wanita itu lantas mendekati gadis itu. Dia mendongakkan wajahnya, menarik rambutnya, dan meludahinya. Gadis itu sontak terbangun sambil merintih. Wanita itu membisikkan sesuatu di telinga sang gadis, dan mendapatkan reaksi yang tak terduga, gadis itu seketika meneteskan air matanya sambil menggelengkan kepalanya berkali-kali.
*Pria yang datang bersama wanita itu, sedang berdiri mengamati, tiba-tiba berjalan mendekat. Dia mengambil sebilah belati di lipatan kimononya. Kemudian memberikannya pada wanita itu.
Shanum sekejap memejamkan mata, dan menggigit bibir, tatkala melihat belati itu menyusuri pipi mulus sang gadis. Perlahan belati itu menyayat, mulai dari bawah dagu hingga menuju ke pipi kiri atas. Kemudian berlanjut kembali di pipi sebelah kanan*.
Sungguh penyiksaan yang mengerikan. Gadis itu menjerit, darah perlahan-lahan menetes. Mengalir menuruni kedua pipi, dan bergerak perlahan. Wanita itu tersenyum sadis, kemudian menjilat bilah belati yang berlumuran darah. Setelah itu ia tertawa geli, tawanya membahana ke seluruh ruangan.
Shanum merasa bulu kuduknya berdiri, pipinya terasa berkedut nyeri, ikut merasakan sakitnya. Denyutnya bahkan sampai terasa ke dalam kepalanya, membuat pening. Luka terbuka di pipi gadis itu juga menimbulkan rasa mual yang disebabkan oleh rasa takut.
*Kemudian gambar mulai mengabur, pertanda pergantian babak dari mimpi itu. Shanum di hadapkan pada situasi terang benderang. "Dimanakah aku? Situasi ini baru, sekelilingku terlihat penuh rumput hijau kecoklatan. Ah, aku melihat kembali ada orang yang berjalan mendekat," batin Shanum.
Sepasang pria dan wanita melangkah berdampingan. Bukankah itu adalah gadis tadi? Wajahnya sama, meski di sini wajahnya tampak cantik berseri-seri*.
Gadis itu tersenyum malu-malu. Sedang berbincang dengan pria tampan di sampingnya. Rambutnya panjang melewati punggungnya. Seuntai rambutnya menyentuh matanya yang berbentuk seperti mata kucing, mencuat di ujung mata. Kulitnya putih bersih, hidungnya mungil, bibirnya tipis dan berwarna merah alami. Ada lesung pipit menghiasi kedua pipinya.
*Pria itu lalu mengajak gadis itu untuk duduk di rumput. Mereka duduk berhadapan dan berbincang dengan bahasa yang tidak Shanum mengerti.
Pria itu memegang tangan sang gadis, mengangkat punggung tangannya ke arah bibir.
Kemudian mengecupnya satu persatu. Tatapan sang pria terlihat teduh ke arah gadisnya. Sepertinya mereka adalah sepasang kekasih. Si gadis agak menunduk, tampak tersipu malu-malu. Semburat merah tampak hingga ke telinganya*.
Shanum memang tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Tapi melihat gestur tubuh, tatapan keduanya, dan senyum di wajah mereka, ia mengerti, keduanya berhubungan sangat dekat. Keduanya pasangan serasi, si wanita cantik, prianya juga tampan. Sang pria memiliki bola mata coklat keemasan, yang terlihat bersinar dan indah. Mata itu memperlihatkan kelembutan tak terkira untuk sang wanita.
Shanum jadi malu sendiri melihat kemesraan pasangan di hadapannya ini. Dia mengakui, bahwa ia belum pernah jatuh cinta. *Menurutnya cinta memiliki banyak misteri. Dari cinta melahirkan mereka yang begitu dahaga untuk membentuk ikatan, dengan seseorang yang bisa mereka sebut sebagai 'belahan jiwa'.
Menjalin cinta berarti menjadi segalanya bagi sang kekasih. Dunia selebihnya menjadi tidak berarti. Shanum lebih suka hal yang lebih sederhana, dan apa adanya. Dia menikmati berteman dengan banyak orang, dan tidak mau terlibat lebih jauh dengan para prianya. Baginya cinta untuk saat ini tidak ada dalam kamus hidupnya.
Saat sedang asyik dengan pikirannya sendiri, gambaran di hadapan Shanum tanpa disadari telah berubah. Sekarang Shanum berada di suatu tempat yang gelap. Tidak ada cahaya setitik pun. Indera pendengarannya langsung waspada. Untuk berjaga-jaga akan kemungkinan terburuk.
"Shanum." Dia memejamkan matanya, meski sebenarnya ia tidak dapat melihat. Namun saat mendengar ada suara lirih yang memanggil namanya, secara otomatis mata itu menutup. Bulu kuduknya pun mulai berdiri. Di tengah kegelapan yang pekat, Shanum mulai takut, dirasakan udara disekelilingnya *terasa dingin.
"Shanum" suara itu terdengar lagi. Biasanya dia tidak pernah bisa berinteraksi dengan siapa pun dalam mimpi, namun mengapa sekarang berubah? Apa pemicunya? Suara tadi kembali memanggilnya. Shanum mencoba menutup telinganya dengan kedua tangan. Namun tetap saja suara itu bergema di kepalanya. Siapapun itu mencoba masuk ke dalam kepala Shanum. Mencoba mendapatkan reaksinya.
"Tutup mulut. Siapa kau? Jangan membuatku takut!" jerit Shanum. "Jangan takut, aku adalah Sarnai." Suara itu seperti berbisik, dan membuat Shanum merasa semakin tidak bisa bernapas. Apakah dia akan mendapatkan serangan panik? "Tenang Shanum, tarik napas dalam-dalam, jangan panik." Dia mencoba menenangkan dirinya.
"Shanum, carilah, temukan aku." Kemudian hening, suara itu tidak terdengar lagi. "Hei, apa maksudmu? Jangan berteka-teki..." Tidak ada jawaban, tetap sunyi. Yang terdengar hanya suara napas Shanum, menyatu dalam alunan kegelapan.
Pagi yang cerah, burung-burung berkicau bersahutan. Menyambut sinar keemasan yang muncul di batas cakrawala. Hawa sejuk terasa segar saat Shanum membuka jendela kamarnya. Keindahan pagi tidak dapat lagi menutupi keresahan dalam batin Shanum. Rasa lelah karena tidur kurang nyenyak, menghantui wajahnya pagi ini.
Semua kekacauan ini di mulai pagi hari, saat usianya genap ketujuh belas tahun. Shanum terbangun dari mimpi yang luar biasa, dan merasa seolah-olah pita suaranya ditarik dari tempatnya, matanya terasa dicungkil dari rongganya, dan di dorong kembali ke tempatnya semula.
Rasa sakit itu menyebar, bagai gelombang yang terlalu cepat menyebar dalam pembuluh-pembuluh darahnya, dan meledak menembus kulitnya. Shanum menjerit, setiap jeritannya terasa bagai pecahan kaca yang menggores kerongkongannya. Air matanya mengalir deras, tak kuasa membendung ketakutan yang mendera.
Suara gaduh terdengar memasuki kamar Shanum. Raisa dan Dimas berlomba-lomba menghampiri Shanum. Pasangan itu terlihat khawatir mendengar jeritan putri semata wayangnya. "Shanum, ada apa? Kau baik-baik saja, Nak?" Raisa-ibunya mendekat, menarik Shanum ke dalam pelukannya, sambil mengusap-usap punggungnya. Sedang Dimas-ayahnya termenung, berdiri di belakang ibu sambil menatap bingung ke arah Shanum.
Ayah menghela napas, kemudian perlahan ikut duduk di samping ibu. "Princess, sayang." terdengar suara ayah, sangat lembut dan penuh perhatian. Ibu melepaskan pelukannya, mereka berdua menatapnya. Shanum menghapus sisa-sisa air matanya.
"Kau sudah bisa menceritakan apa yang terjadi padamu?" tanya ayah. Shanum berusaha bicara, "Aa-yah, aku...aku bermimpi, buruk sekali...mimpi itu seakan-akan mengejarku. Aku...takut A-yah!" Shanum menjelaskan terbata-bata, air mata kembali meleleh turun ke pipi mulus Shanum. "Shh, tenang sayang. Ada Ayah dan Ibu di sini. Itu cuma mimpi, Princess." Ayah memeluk erat Shanum.
Sejak hari itu mimpi datang silih berganti. Anehnya Shanum tidak menjadi gila karenanya. Seakan-akan ada tameng dalam pikiran yang menjaganya tetap waras. Namun jauh di lubuk hatinya, Shanum ingin menjadi normal. Menjalani hari-hari seperti gadis seusianya, bercengkrama dengan teman-teman, dan jatuh cinta. Tidak dihantui oleh mimpi yang tidak ia ketahui maksudnya.
Shanum menoleh, ada yang masuk ke dalam kamar. Ibu berdiri di depan pintu, tersenyum ke arahnya. "Shanum, sudah bangun? Kenapa belum mandi? Bukannya hari ini kamu mau ke perpustakaan. Semalam kan sudah bicara ke Ibu." Ibu menghampiri sambil mengusap kepalanya.
"Iya Bu, ini Shanum mau mandi" Dia tersenyum, tidak ingin ibu mengetahui keresahannya. "Selesai mandi langsung turun ke bawah ya. Ibu tunggu di ruang makan. Sarapan sudah siap di meja. Ayah malah sudah sarapan duluan," ujar Ibu. "Baik Bu, nanti Shanum langsung turun, setelah mandi."
Ibu tersenyum mendengar jawaban Shanum. Dia segera menuju kamar mandi, tidak mau sampai terlambat. Shanum sudah berjanji dengan kedua sahabatnya. Mereka akan menunggu di perpustakaan, dan berencana mencari bahan referensi untuk tugas kuliah.
"Bu, Shanum pergi dulu ya." Shanum berpamitan sambil mencium tangan kanan ibunya. "Hati-hati ya, Nak." Shanum mengangguk, segera menyalakan mobil Brio kesayangannya dan melaju pergi menuju ke perpustakaan. Sampai di parkiran perpustakaan, Shanum mencari-cari keberadaan kedua sahabatnya. Matanya melihat ke kanan dan ke kiri, memperhatikan setiap sudut, tapi tetap tidak menemukan kedua gadis itu.
Tiba-tiba, "Dor..." Keduanya tertawa terbahak-bahak melihat wajah kaget Shanum. "Sial, bikin kaget saja. Bisa-bisa berkurang umurku gara-gara kalian," pelotot Shanum. "Ya dia marah, mohon ampun N**doro, tolong hamba jangan di Karate ya," ujar salah satu sahabat Shanum sambil memperlihatkan wajah memelasnya. Tentunya penampakan wajah itu hanya sandiwara belaka, mereka sudah sering usil, bawaan dari lahir. Shanum mencibir, sambil berkata, "Sudah ah, ayo sudah siang! Lanjut cari bahan." "Siap Bos!" Serempak kedua temannya menjawab.
Baru saja mereka ingin melangkah, tiba-tiba, "Eh, psst--psst..." Salah seorang sahabat Shanum yang bernama Adiva memberi tanda sambil melirikkan matanya ke satu arah. Mulutnya berkomat-kamit sambil memajukan dagunya. "Apaan sih Diva, bicara tuh yang jelas, jangan pakai bahasa isyarat," sahut Farah. "Arah jam satu, itu lihat! Kalian t**elmi sekali sih." Shanum dan Farah melihat ke arah yang ditunjuk Diva. Mereka saling berpandangan, dan tetap bingung. "Lah, malah jadi termenung begitu. Itu, pria yang pakai baju putih bikin gemas sekali. Rasanya jadi ingin gigit dia."
Shanum memutar bola matanya, dan Farah menghela napasnya. "Haduh, mulai kumat," bisik Farah. Mereka berdua paham seratus persen, sahabat mereka itu tidak bisa melihat pria licin, tampan, dan imut-imut. Matanya langsung bersinar-sinar, bagaikan ngengat yang tertarik dengan cahaya lampu.
"Ayo ladies, jadi tidak ini mau cari bahan referensinya?" tanya Shanum. "Iya...iya, ayo," jawab Farah. Sedang Diva masih mencuri-curi pandang ke arah pria yang bikin gemas tadi. "Diva, ayo!" Shanum menarik Diva. Mereka melangkah masuk ke dalam perpustakaan. Shanum mengerjapkan matanya. Perbedaan cahaya membuat matanya perlu menyesuaikannya. Suasana di dalam perpustakaan sangat berbeda dengan di luar. Suara musik lembut terdengar mengiringi dinginnya ruangan.
"Nanti duduknya di sini ya, kita mencari literaturnya masing-masing." Shanum mengatur pencarian mereka. Farah dan Diva menganggukkan kepalanya. Perpustakaan itu begitu besar, berisi rak-rak buku setinggi langit-langit, dan jendela tinggi yang pada siang hari dapat memancarkan sinar matahari ke sepanjang ruangan.
Perabotan jati dan mahoni terlihat formal dan kokoh mendominasi rak-rak buku. Terdapat juga meja besar dengan kaki berbentuk cakar, dan sofa kulit yang terlihat nyaman, serta kursi yang serasi. Shanum membaca satu persatu papan petunjuk arah yang berisi literatur yang ingin ia cari. Dia menuju rak sesuai materi. Kemudian menelusuri rak demi rak.
Shanum tiba-tiba berhenti di satu tempat. Matanya menatap ke arah salah satu rak. Pandangan tertarik memancar dari kedua bola matanya. Dia mengambil sebuah buku, membukanya, dan membaca baris demi baris dengan wajah kaget. Roman mukanya tidak percaya, dan matanya tiba-tiba berkaca-kaca. Buku di hadapannya membuatnya merasakan lebih banyak emosi daripada yang pernah dirasakannya selama ini.
Buku itu berjudul Golden Horde. Isinya tentang dinasti yang terbesar dan terlama keberadaannya di zaman berkuasanya Chengis Khan. Sejarah dinasti ini diawali oleh salah satu putra Chengis Khan, yaitu Jochi. Yang berhasil menjadi penguasa di Siberia Barat dan Stepa Kipcak. Daerah padang rumput di salah satu aliran sungai Volga dan daerah Siberia yang gersang, terdapat kota pertama untuk dinasti ini.
Shanum mengusap lembar demi lembar buku di hadapannya. Saat sedang serius membaca, Shanum berdiri tegak, menoleh ke sekelilingnya. Rambut halus di lehernya berdiri, meremang seperti tersengat listrik. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang, dan ia merasa dirinya sedang diawasi. Seperti mangsa yang sedang diintai.
Sekejap Shanum memejamkan mata. Bulu kuduknya masih berdiri, hawa sedingin es berdesir di punggungnya. Desir yang menyergap leher, dan membuat nadi di telapak tangannya berdenyut kencang. Dengan mata terbuka lebar ia kembali memandang sekeliling ruangan.
Tidak ada yang berubah, rak buku di sekelilingnya tetap sama seperti sebelumnya. "Shanum, kau sudah melantur," bisiknya. Tidak ada apa pun atau siapa pun bersamanya di sini, kecuali khayalannya yang berlebihan.
Shanum menggeleng, mencoba menghapus imajinasi itu. "Aneh sekali," gumam Shanum, tubuhnya masih menggigil. "Astaga, aku benar-benar mulai gila."
Dia menutup buku dan kembali ke meja tempat berkumpul tadi. Di sana sudah ada Farah yang sedang membaca. Terdapat tumpukan buku di hadapannya. Shanum mendekati Farah dan Diva, mereka terlihat sedang asyik membaca. Shanum menepuk pundak Farah, memberitahukan kehadirannya. "Oh hai Shanum, bagaimana? Sudah dapat buku referensinya?" tanya Farah sambil menatap ke arahnya. Shanum menggelengkan kepala dan tersenyum sedih. Karena kejadian tadi, Shanum tidak tertarik lagi mencari buku referensi.
"Aku tadi menemukan buku yang tidak ada sangkutannya dengan tugas kita. Hmm...terus aku keasyikan membaca itu. Jadi, belum mendapatkan buku referensinya." Shanum menunjukkan buku tentang Golden Horde tadi. "Oh ya sudah, kalau begitu kamu bantu saja memilah buku-buku ini. Tadi aku dan Farah sudah dapat banyak, itu ada di meja" Diva menunjuk buku-buku yang tersusun rapi di atas meja. "Oke, aku bantu pilih ya." Farah dan Diva mengangguk, kemudian tersenyum. Mereka melanjutkan mengerjakan tugas, dan berada sampai siang di perpustakaan itu.
Selanjutnya saat sudah berada di parkiran perpustakaan. "Makan siang dulu yuk," ajak Diva. "Boleh, mau makan di mana?" Farah menatap kedua sahabatnya. "Ke cafe seberang itu saja yuk." Shanum menunjuk letak cafe yang berada di seberang perpustakaan. "Mobil tetap parkir di sini saja apa di bawa pindah ke sana?" tanya Diva. "Taruh di sini saja, repot kalau harus dipindah lagi mobilnya," sahut Shanum. Mereka beranjak menuju ke cafe seberang.
Cafe itu sungguh ramai, banyak yang menghabiskan waktu makan siangnya di sana. Mungkin karena lokasinya dekat dengan kampus jadi cafe ini banyak didatangi para mahasiswa atau mahasiswi. Ketiga gadis itu mendapatkan meja di pojok ruangan, dengan pemandangan menghadap taman belakang yang sungguh indah.
"Diva, Farah, maaf ya tadi aku tidak bisa fokus membantu kalian mencari bahan referensi." Shanum meminta maaf sambil menyeruput minuman pesanannya. "Iya nih, tadi kamu malah serius baca buku tentang konde." Farah menyahut sambil mengunyah makanannya. Shanum terlihat bingung, namun kemudian ia mengerti maksud Farah. Apalagi setelah melihat wajah isengnya itu.
"Ish, Horde, bukan konde, memangnya aku mau kondangan pakai konde," koreksi Shanum. Farah tersenyum lebar. "Namanya memang agak susah disebut ya." Diva ikut tertawa mendengarnya. "Ah, Itu sih Farah saja yang senang melesetin kata," jawab Shanum sambil memutar bola matanya.
Kemudian Shanum menceritakan kejadian menyeramkan saat dia menemukan buku itu. Mereka kaget. "Serius, kok jadi merinding ya. Jangan-jangan perpustakaan tadi berhantu. Aku tidak mau lagi kesana, seram!" Diva bicara sambil mengusap-usap tangannya, menunjukkan bulu romanya yang berdiri.
"Kalau aku sih tambah penasaran, kok bisa ya kamu merasa kenal dengan isi buku itu. Memangnya kamu pernah ke sana?" tanya Farah. "Aku juga tidak tahu, yang kurasakan di sana tadi membuatku bingung. Aku merasa seolah-olah melihat wujud asli gambaran kota tersebut, bentuk bangunannya, orang-orangnya, bahkan suasana pasar di saat itu terbayang-bayang di pelupuk mataku."
Diva dan Farah mendengarkan sambil terpana, mulut mereka menganga. Pandangan mereka takjub. Tidak ada suara sedikit pun keluar dari mulut mereka. Mereka masih terkesima. "Wow, aku-aku tidak bisa berkata-kata." Farah menggeleng-gelengkan kepalanya. "Betul, aku juga jadi Speechless," sahut Diva.
"Tapi, aku punya ide gila nih, bagaimana kalau kita pergi ke sana saja? Aku yakin, warisan sejarah harusnya sih masih dilestarikan. Setidaknya kalau seperti di sini kan, masih ada reruntuhannya. Mungkin Shanum bisa mendapatkan petunjuk di mulai dari sana. Lagipula sebentar lagi kita libur semester. Sekalian liburan kan," usul Farah.
Diva mengacungkan jempolnya tanda setuju. Shanum tersenyum cerah, usul Farah tadi bagaikan air penyejuk yang dapat mengurangi kegundahan hatinya. Ketiganya saling melempar senyum. Mereka sepakat untuk izin kepada orang tua masing-masing terlebih dahulu, dan akan saling mengabari lebih lanjut.
Shanum mengetukkan ujung kakinya seiring alunan musik pop yang terdengar dari stereo set di ruang keluarga. Bahkan dari dapur ini pun, suara musik itu terdengar begitu lembut. Penyanyi di lagu tersebut mendendangkan bait-bait tentang cinta yang terdengar syahdu. Shanum memasak sambil bersenandung pelan mengikuti lagu.
"Masak apa, Sayang?" Ibu menegur Shanum. Dia menoleh, gerakannya mengaduk-aduk bumbu di penggorengan terhenti. "Masak nasi goreng, Bu." Ibu tersenyum, sambil meletakkan piring, dan gelas kotor yang akan dicucinya. "Hmm, Ibu, bagaimana dengan jawabannya? Apakah Ibu dan Ayah sudah setuju tentang rencana kepergian Shanum ke Astrakhan?"
Ibu menghela napasnya. Gerakan mencucinya terhenti. Dia menoleh, memandang ke arah Shanum. Gadis itu mematikan kompor, dan menempatkan nasi goreng yang telah jadi ke piring. Melalui sudut matanya Shanum melihat ibu masih terpaku menatapnya.
Shanum menaruh piring berisi nasi goreng tersebut di sebelah kompor, dan menghampiri ibu. "Kok Ibu diam, Ayah masih tidak setuju ya?" Lagi-lagi ibu menarik napasnya. Ibu memandang Shanum, wajahnya terlihat ragu. "Ada apa Bu? Katakan saja, Shanum akan mencoba menerima keputusan Ayah."
Ibu mengambil piring yang berisi nasi goreng, menarik tangan Shanum dan mengajaknya ke ruang makan. "Duduk, Nak, makanlah dahulu. Setelah itu baru Ibu akan katakan." Kemudian ibu kembali ke dapur dan sepertinya melanjutkan mencuci piring yang tertunda tadi. Shanum masih terpaku, namun akhirnya mengambil sendok dan mulai menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya.
Sambil makan Shanum bertanya-tanya tentang kata-kata ibu tadi. Sepercik kecemasan menyergap, tapi Shanum menenangkan diri. Ibu dan ayah pasti akhirnya akan setuju dengan rencana kepergiannya. Shanum memang anak satu-satunya. Ia anak yang lama diharapkan kehadirannya, ayah menjadi lebih ketat menjaga
Shanum dalam hal apa pun. Ayah tetap memantau seluruh kegiatan Shanum, di sela-sela kesibukannya memimpin sebuah perusahaan besar di negara ini. Meski mereka bergelimang harta, namun Shanum tetap harta paling berharga untuk mereka. Mereka selalu mengajarkan kesederhanaan dan tanggung jawab kepadanya. Oleh karenanya, ia tumbuh menjadi gadis yang sopan, mandiri dan rendah hati.
"Makannya jangan sambil melamun, nanti salah masuk itu sendoknya. Harusnya ke mulut jadi malah masuk ke hidung," tegur ibu. Lalu Ibu menarik bangku, dan duduk di sampingnya. Shanum tersenyum sambil mengunyah makanannya.
"Nak, Ayah sebenarnya masih setengah hati untuk melepasmu pergi sejauh itu." Shanum menoleh ke arah ibu, kemudian meletakkan sendoknya. Perhatiannya sepenuhnya tertuju kepada ibu, menunggu lanjutan kalimatnya. Terdapat jeda panjang sebelum dia melanjutkan kalimatnya.
"Ibu sudah berusaha, Nak. Sepertinya kamu harus bicara langsung dengan Ayah." Shanum tersenyum dan memegang tangan Ibu. "Iya Bu, tidak apa-apa, Shanum mengerti. Nanti Shanum bicara dengan Ayah." Ibu tersenyum dan mengusap kepala Shanum.
Malam itu Shanum berniat menghampiri ayah di ruangan kerjanya. Seperti biasa selepas makan malam, ayah pasti berada di sana. Ibu melihat Shanum berdiri terpaku di depan pintu. "Shanum..."
Shanum menoleh, melihat ibu tersenyum sambil mengangkat kedua jempolnya di udara, tanda memberi semangat padanya. Shanum menjawab dengan anggukan kepala dan senyum manisnya.
Perlahan Shanum mengetuk pintu ruangan itu, "Boleh Shanum masuk Ayah." "Masuk saja Princess," jawab Ayah dari dalam ruangan. Shanum membuka pintu, kemudian masuk ke dalam.
Ayah sedang duduk di belakang meja kerja yang terbuat dari kayu pohon maple, memiliki pola ukiran rumit berwarna coklat. Bentuk meja itu kokoh, memiliki kaki melengkung bagai cakar, dan dengan bangku kerja yang senada. Di samping meja kerja terdapat lemari buku tertutup kaca dengan warna yang sama.
Shanum perlahan berjalan menuju sofa di sisi kanan meja kerja ayah. Di bawah sofa terdapat karpet berbahan Saxony dengan warna krem lembut. "Kok duduk di sofa, sini duduk di hadapan Ayah." Ayah menunjuk bangku di hadapannya. "Shanum duduk di sini saja ya Yah, duduk di sana bikin gugup. Jadi kaya mau menghadap Bos Besar yang galak," sahut Shanum sambil meringis.
Ayah tertawa kecil, keluar dari belakang meja kerjanya, berjalan menuju sofa tempat Shanum duduk. "Baiklah, kalau begitu Ayah duduk di sini." Ayah duduk di sebelah Shanum, menatapnya, melipat kedua tangannya di depan dada dan menaik turunkan kedua alisnya. "Jadi...," ucapan Ayah terhenti, masih tersenyum sambil memperlihatkan wajah lucunya tersebut. Kontan Shanum tertawa geli.
"Iih...Ayah apaan sih, Shanum mau bicara serius juga." Ayah masih tidak bersuara, sekarang giliran kedua telinganya bergoyang-goyang naik turun. "Haa...haa, Ya Tuhan, Ayah! Sudah!" Shanum tertawa makin keras, tampak terengah-engah, sambil memegangi perutnya. Terakhir dibekap mulutnya, meski sesekali masih mengeluarkan suara seperti orang tercekik karena menahan tawa.
"Baiklah Princess, tarik napas dalam, keluarkan. Tarik napas dalam sekali lagi, keluarkan," ucap ayah. Shanum masih menahan tawanya, alisnya mengkerut, matanya menyipit, wajahnya mulai memerah. "Lho kok duduknya miring-miring begitu, mau kentut ya?" Ayah memencet hidungnya.
Shanum tidak tahan lagi, tangannya memukul-mukul bahu ayahnya, sambil tertawa terbahak-bahak. Ayah ikut tertawa sambil pura-pura berteriak kesakitan dan memohon ampun pada Shanum. Akhirnya tawa itu mereda. Shanum menghapus air mata di sudut-sudut matanya. Dia tersenyum manis.
"Terima kasih Ayah, sudah menghapus kecanggungan dan kegugupan Shanum tadi." Shanum memeluk erat ayahnya, dan dibalas oleh Dimas. Dimas merengkuh putri semata wayangnya. Putri yang teramat ia cintai.
Princess-nya yang selalu merasakan kesedihan dan kebingungan. Dimas tahu, putrinya itu dihantui mimpi sejak usia belia. Dia sudah pernah membawanya ke Psikiater. Sudah berapa banyak sesi terapi yang dijalani putrinya yang tegar itu. Namun akhirnya semua itu sia-sia, mimpi itu tetap hadir tanpa bisa dihilangkan.
Dimas juga sudah mencoba mencari informasi di berbagai macam literatur, tokoh terkemuka sampai orang pintar. Hasilnya tetap nol besar. Tidak ada yang bisa menyembuhkan putrinya, semuanya angkat tangan tanda menyerah.
Sempat ada satu kejadian yang selalu membekas diingatannya, kata-kata dari salah satu orang pintar yang ia temui sampai ke Tanah Dayak. Orang pintar tersebut mengatakan bahwa ini sudah suratan takdir putrinya.
Putrinya itu tidak dapat menolak dan melarikan diri. Hal itu akan terus mengikutinya, sampai suatu saat semua layar akan terbuka, dan para tokoh di belakang layar akan terkuak. Putrinya harus mempersiapkan fisik dan mentalnya untuk menghadapi ini, karena jalan takdirnya sangat terjal dan berduri.
Dimas hanya bisa termenung mendengar kalimat orang pintar itu. Kemudian dia kembali ke rumah dengan tubuh lemas, kalut, merasa kalah, dan sedih yang mendera di dada. "Ayah, Shanum mau bicara serius." Shanum memecah lamunan Dimas, ia melepas pelukannya.
"Ya Princess, mau bicara dua rius juga boleh," jawab Dimas. "Shanum serius, Ayah, jangan bercanda terus dong, ini tentang rencana kepergian Shanum ke Astrakhan. Hmm, Ayah mengizinkannya kan?" Shanum menatap ayahnya takut-takut. Dimas menghela napasnya, wajahnya berubah menjadi keruh, kemudian bangkit berdiri dari sofa, berjalan menuju pintu geser ke arah balkon.
Dimas membukanya dan menghirup dalam-dalam semilir angin yang berhembus dari luar. Napasnya terasa sesak, seakan-akan pasokan oksigen di dalam ruangan mendadak menipis. Dimas menatap langit malam bertabur bintang. Batinnya meronta, tidak ingin melepas putri cantiknya ke tempat yang jauh itu.
Hati kecilnya seakan tahu, ada sesuatu yang buruk menanti putrinya di sana. Tapi apakah ini hanya kekhawatiran seorang ayah? Ataukah memang firasat buruk yang sebenarnya. Ingin rasanya Dimas membawa putrinya pergi jauh, untuk melupakan semua masalah ini. Tapi Dimas tidak bisa, seperti kata orang pintar itu, putrinya tidak bisa menghindar. Jadi Dimas harus kuat, demi putrinya, dan juga istrinya.
"Ayah..." Shanum kembali memanggilnya. Dimas menoleh, dilihatnya Shanum mencoba bangun, dan ingin menghampiri. "Tidak Princess, duduklah. Ayah akan menjawab pertanyaanmu." Suara pintu di buka terdengar dalam ruangan. Dimas dan Shanum menoleh ke arah pintu.
"Mas!" Tiba-tiba ibu memanggil, ibu sudah berdiri di depan pintu. Ingin masuk tapi ragu, takut mengganggu pembicaraan yang sedang berlangsung. "Masuk saja Ra," sahut Dimas sambil tersenyum.
Raisa melangkah ke dalam, menutup kembali pintu itu dan melangkah menuju suaminya. "Maaf Mas, aku penasaran, tadi sempat mendengar suara tawa Shanum dan kamu. Apa sudah ada kata mufakat?" Ibu bertanya sambil tersenyum ingin tahu. Ayah mengangkat alisnya kemudian terkekeh.
Ayah menghampiri ibu, menggandeng tangannya, lalu membawanya duduk di sofa persis di sebelah Shanum. Kemudian ayah duduk di bangku satunya di samping ibu. "Kami tadi belum sampai ke topik itu Bu, Shanum baru bertanya dan Mas baru akan menjelaskan." "Oh begitu, wah...Ibu jadi menginterupsi pembicaraan kalian dong ya. Maaf ya!" Ibu tertawa kecil sambil meringis.
Ayah tersenyum sambil menggeleng, "Tidak apa-apa. Hmm, baiklah, Ayah lanjutkan saja ya. Kasihan Princess cantik kita ini, nanti makin penasaran dia." Shanum tersipu malu, ayahnya ternyata paham sekali dengan kegundahan di hatinya saat ini.
Ayah menatap Shanum, wajahnya terlihat serius. "Princess, Ayah mengizinkan, tapi..., sebentar, jangan potong dulu ucapan Ayah!" Shanum baru saja akan membuka mulutnya, seketika mengatupkannya kembali mendengar ucapan ayah.
"Shanum, Ayah ada syarat, dan syarat ini tidak bisa ditawar. Pertama, Ayah mau kamu pergi dengan sahabat-sahabatmu, Kedua, seluruh akomodasi ayah yang atur, hotel, Tour Guide, dan lain-lain. Ketiga, Ayah minta daftar tempat-tempat yang akan kalian kunjungi, Keempat, Ayah mau selama di sana, setiap hari kamu harus Vicall Ayah atau Ibu, Kelima, tidak boleh keluar malam, kecuali hal yang mendesak, Keenam, tidak pergi ke klub malam atau kegiatan lainnya yang membahayakan, Ketujuh, jika ada hal yang mencurigakan segera hubungi Ayah.
Paham, Princess!" Ayah menatap Shanum dengan lekat. Shanum tampak terperangah, kemudian menggelengkan kepalanya. Tidak percaya dengan syarat-syarat Overprotective ayahnya itu.
Bagaimana nanti dia mengatakan syarat-syarat yang begitu banyak itu kepada para sahabatnya. Habis sudah, siap-siap panas kupingnya dijadikan bahan ledekan. Shanum mengusap wajahnya, tampak menarik napas dalam.
Kemudian Shanum menatap wajah ayah dan ibunya dengan tampang memelas. Ibu tampak tersenyum miris dan ayah masih dengan tatapan tidak mau dibantahnya itu. "Baiklah Ayah, Shanum akan menurut. Cuma sedikit saja minta keringanan, boleh ya, please..." Shanum masih menampakkan wajah memohon.
Ayah menggelengkan kepalanya, tatapannya terlihat tegas. "Bu, setidaknya boleh ya Shanum tidak setiap hari Vicall. Malu Shanum sama Farah dan Diva." Shanum melihat Ibu dengan mata memohon pertolongan. Raisa merasa tidak tega mendengar permohonan putrinya. Akhirnya dia menoleh ke arah suaminya, memegang tangannya dan menganggukkan kepalanya sambil tersenyum memohon kebijaksanaannya.
Ayah menghembuskan napasnya, "Baik, kalau kamu malu, Ayah saja yang Vicall kamu. Itu pun jika Ayah atau Ibu kangen saja." Mendengar ucapan Ayahnya perlahan, wajah Shanum berangsur cerah, terbit senyum di bibirnya. Kemudian ia memeluk keduanya, mengucapkan terima kasih dan berjanji untuk menjaga dirinya selama di sana.
Shanum pamit kembali ke kamarnya. Namun langkahnya ditahan ibu. Ibu mengajak Shanum untuk kembali duduk. "Nak, ada satu hal lagi yang perlu Ibu ceritakan padamu. Ini perihal kejadian setelah kelahiranmu. Ibu melihat ke arah Shanum, menunggu reaksinya. Shanum memperhatikan dengan kening berkerut, namun tetap serius mendengarkan setiap ucapan Ibu.
"Hari itu, Ibu terpaksa melahirkan di daerah yang jauh dari rumah sakit. Ibu menemani Ayah meninjau ke lokasi proyek yang terdapat di salah satu daerah di Kalimantan. Saat itu, perkiraan kelahiranmu seharusnya masih dua bulan lagi.
Namun ternyata, Ibu harus melahirkanmu saat usia kandungan masih berusia tujuh bulan. Ibu terjatuh saat mau keluar dari kamar mandi. Ketika itu Ayah sangat panik, karena air ketuban Ibu juga pecah." Ibu menatap ayah dengan pandangan lembut.
"Ibu terpaksa di bawa ke dukun beranak yang biasa membantu kelahiran bayi di wilayah itu.
Masih Ibu ingat, saat kau keluar dari rahim Ibu, kamu menangis kencang dan tubuhmu bersinar terang. Seperti ada lingkaran cahaya yang melindungi di sekelilingmu.
Dukun beranak yang membantu proses kelahiranmu langsung kaget. Untung saja dia tidak menjatuhkanmu. Dia langsung menyerahkanmu kepada ayah. Seakan-akan takut memegangmu lebih lama. Kemudian dengan wajah takut ia pamit pergi, bahkan menerima bayaran dari kami saja dia tidak mau." Ibu tampak tersenyum geli.
"Saat itu Ibu masih lemas, tidak bisa langsung menggendongmu. Untunglah Ayah luar biasa tenang, ia membersihkanmu yang masih berlumuran darah. Memakaikan baju, dan menyelimutimu." Ibu bercerita sambil memandang jauh ke depan. Seakan-akan peristiwa itu tergambar nyata di pelupuk matanya.
"Ayah sampai menangis terharu melihatmu saat itu Princess, kau adalah cahaya hidup kami. Kau begitu bersinar, cantik sekali." Aku terpana mendengar cerita Ibu dan Ayah. "Maksud Ibu dan Ayah, saat aku lahir ada cahaya begitu di tubuhku. Kok bisa? Ayah dan Ibu tidak takut?" Aku menuturkan keherananku.
Raisa dan Dimas berpandangan, dan tertawa bersama. Shanum tambah bingung melihat perilaku kedua orang tuanya itu.
"Mungkin saat itu yang ada di pikiran kami lebih kepada rasa syukur kau lahir dengan selamat, meski prematur. Tidak terlalu mempermasalahkan tentang cahaya yang muncul itu. Yang ada di pikiran kami saat itu, hanya segera membawamu ke rumah sakit terdekat untuk di periksa Dokter. Ayah khawatir karena kau lahir prematur, Princess," Ayah menjelaskan lebih lanjut.
"Terus sampai kapan cahaya itu ada di tubuhku saat itu?" Shanum semakin penasaran dengan kelanjutan cerita Raisa dan Dimas. "Baik, Ibu lanjutkan ya. Jadi setelah Ibu menyusuimu cahaya itu secara ajaib menghilang. Ibu juga tidak tahu penyebab dan alasan cahaya itu berhenti berpendar. Mungkin karena kamu sudah tidak menangis, atau karena sebab lainnya. Yang kami tahu setelah cahaya itu tidak bersinar lagi dari tubuhmu. Kami jadi dapat melihat tanda lahir unik di telapak tanganmu."
Shanum tersenyum sambil mengusap tanda lahir yang ada di telapak tangan kanannya, letaknya persis di bawah jari manisnya. "Tanda ini memang unik, bentuknya mirip seperti kelopak bunga," ucap Shanum lirih. "Jadi kau sudah tahu rahasia kelahiranmu, Princess. Ayah dan Ibu sudah menceritakannya. Bagi kami, seperti apa pun kau terlahir ke dunia, kau tetap anak kami. Kami akan selalu sayang, dan melindungimu." Raisa dan Dimas menatap penuh sayang kepada Shanum. Mata Shanum berkaca-kaca, merasa terharu mendengar ucapan orang tuanya. Kemudian ia langsung memeluk erat keduanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!