DRUPADI
Suara gendang terompet gading dan segala bebunyian terdengar ditabuh memekakkan telingaku.
Dan disana, di pelataran aula agung, duduklah berpuluh puluh ksatria yg penuh semangat beradu aji diri menunggu dimulainya sayembara yang ayahanda buatkan untukku demi mencari menantu takdirnya.
Selirih angin yang berhembus, kupanjatkan doa dan asaku pada para Dewata. Kuingin mendengar beritamu wahai ksatriaku.
Apakah bumi sudah menelanmu beserta saudara saudara lakimu ?
Oh Angin.
Tiadakah engkau mendengar kabar ksatriaku ?
Kelu lidahku saat menjawab pertanyaan ayahanda setiap ksatria kerajaan tetangga datang meminangku .
Apalagi saat kudengar berita yg bersliweran di istana, jika Suyudana juga tertarik padaku. Entah karena keberadaanku atau karena kerajaan ayahandaku..Aku tidak tau.
Karena sungguh itu memuakanku.
Wahai pangeranku,
saat pertama aku melihatmu berlatih dengan panahmu, hatiku tidak pernah lagi merasa damai.
Setiap saat, teringat jelas tawa malu malumu setelah berhasil memanah burung kayu yg dipasang guru Durna di kait berputar. Ketenangan, kepandaian dan wajah tampanmu sungguh telah memporakporandakan jiwaku.
Dan disinilah aku.
Mata nanarku mencari keberadaanmu diantara ksatria dan pangeran pangeran itu.
Adakah kamu disana belahan jiwaku ?
Lamat lamat aku mendengar kakanda Destrajumna mengumumkan syarat sayembara ini.
Terdengar mustahil.
Dan batinku bergolak karena aku tahu yang bisa melakukan nya hanya pangeranku.
Kangmas Drestajumna dibantu Paman patih Drestaketu telah mendirikan tiang setinggi tujuh puluh depa, yang di puncaknya terikat sehelai rambutku.
Dan para raja dan pangeran dari berbagai negara berkumpul di dekat tempat itu, sedangkan Ayahanda Prabu Drupada, Ibunda Ratu Gandawati, Paman Arya Gandamana, Mbakyu Srikandi dan aku menonton dari kejauhan.
Terdengar suara Kangmas yang kemudian berteriak lantang," Barangsiapa mampu memanah sehelai rambut Dewi Drupadi yang terikat di atas tiang tinggi sambil memandang cermin menggunakan Busur Gandiwa, maka ia berhak memperistri Dewi Drupadi."
Dalam hati aku sangat tau jika busur Gandiwa yang telah disiapkan di dekat tiang sangat berat. Bahkan untuk mengangkatnya dibutuhkan seratus orang prajurit perkasa.
Beberapa waktu menunggu, dari tempatku duduk, aku melihat Adipati Jayadrata dari kerajaan Banakeling maju ke tengah gelanggang. Wajah dan lagaknya membuatku memilih memandang cunduk manik rambut yang sedari tadi dalam genggamanku. Dari suara bibi dayang di belakangku aku tahu dia berusaha mengangkat Busur Gandiwa dengan sekuat tenaga namun gagal.
Rasain.
Semoga kejadian ini bisa mengurangi kadar songongnya, karena Adipati Jayadrata langsung keluar arena dan memanggil kusir keretanya mengabaikan riuh ejekan dari para penonton, mengiringi kepergiannya.
Peserta yang kedua adalah Prabu Jarasanda raja Magada.
Dalam hati aku berpikir senang, membayangkan dengan wajah seperti apa si tua sombong itu akan meninggalkan arena tanding ini.
Walau awalnya kepercayaan dirinya setinggi langit, ahkirnya ia tahu juga kehebatan Busur Gandiwa. Karena semakin ia mengerahkan tenaga, busur itu akan terasa semakin berat.
Huuuft..
Senyum kutahan sebisa mungkin supaya tidak muncul kentara di bibirku.
Dengan wajah merah menahan malu, ia pun undur diri kembali ke negerinya tanpa berpamitan kepada kami.
Peserta yang ketiga adalah paman Prabu Salya dari kerajaan Mandraka. Paduka paman berkata bahwa dirinya ikut sayembara ini bukan untuk memperistriku bersanding dengan bibi Ratu, tetapi untuk menjadikanku sebagai menantu.
Maaf paman.
Walau aku tahu paman prabu hebat sakti mandraguna dengan banyak ilmu kanuragan, tapi saat ini aku berdoa untuk kegagalan paman.
Dari kejauhan ayahanda mempersilakan sahabatnya itu untuk mencoba. Paman Prabu Salya pun mengerahkan Aji Candabirawa untuk mengerahkan para raksasa ganas dari dalam dirinya agar turut membantu mengangkat Busur Gandiwa. Namun demikian, semakin mereka berusaha, busur pusaka itu terasa semakin berat. Prabu Salya akhirnya menyerah. Ia memasukkan kembali para raksasa Candabirawa ke dalam tubuhnya, dan berjalan ke arah kami untuk berpamitan.
Yeay!
Setelah Adipati Jayadrata, Prabu Jarasanda, dan Prabu Salya pulang meninggalkan arena tanding, para raja dan pangeran lainnya merasa gentar untuk mencoba.
Namun perwakilan dari Kerajaan Hastina, yaitu Pangeran Duryudana yang datang bersama adik-adiknya yang tidak tau adab itu berserta Patih Sangkuni dan Raden Basukarna berteriak kepada ayahanda prabu. Duryudana merasa sayembara ini terlalu sulit untuknya dan ia tidak mau menjadi bahan tertawaan para hadirin yang menonton seandainya ia ikut bertanding dan kalah.
Lalu kulihat Raden Basukarna berbisik bisik kepada sahabatnya. Sepertinya dia yang akan maju mewakili keikutsertaan Duryudana di pertandingan ini. Dari yang pernah kudengar, Raden Basukarna pandai memanah bahkan di beberapa latihan bisa menyamai pangeranku.
Dan lihatlah..
Senang akan mendapat jackpot, Duryudana tertawa dengan congkaknya dan menyemangati sahabatnya untuk maju tanding.
Badan kekar dan langkahnya mantab mendekati busur Gandiwa. Meskipun biasanya ia bersikap angkuh dan sombong, aku melihatnya memandang Busur Gandiwa dengan penuh penghormatan. Setelah menyembah tiga kali, ia lantas mengangkat busur pusaka tersebut.
Jaaaangaann!
Mengapa Busur Gandriwa seolah merelakan dirinya diangkat ?
Jika orang lain merasa Busur Gandiwa sangat berat, dia bisa memegangmu dengan sangat ringan dan juga lentur.
Trang..trang..trang..dung..dung..dung..
suara gendang ditabuh dg ritme yang riuh semakin memeriahkan suasana.
Para hadirin pun bersorak-sorak memuji Raden Basukarna anak Adipati Adirata sebagai calon pemenang.
Dewata Agung,
aku tidak mau menjadi hadiah untuk Suyudana, jeritku dalam hati.
Tekatku sudah keras, aku harus segera menggagalkan kepesertaannya.
Kuhampiri Raden Basukarna yang sudah bersiap hendak membidik sasaran melalui cermin.
"Raden Basukarna, tidak kah kau mendengar bahwa pertandingan ini hanya boleh diikuti oleh para Raja, Pangeran dan ksatria..?Aku harap kamu memahami posisi dan status asalmu! Aku tidak sudi menjadi istri seorang kusir kereta."
Aku berharap nada lembutku tidak akan memancing kemarahan orang orang Hastinapura. Karena bagaimanapun juga tidak ada manfaatnya jika berselisih paham dengan negara sekuat dan sebesar mereka.
Tiba tiba kudengar suara ayahanda disamping kami. Rupanya ayah menyusulku ke atas arena." Drupadi jaga bicaramu. Kyai Adirata ayah Raden Basukarna bukan lagi seorang kusir kereta, tetapi sudah diangkat menjadi adipati di Petapralaya ".
Namun, aku tetap tidak bersedia jika Raden Basukarna melanjutkan sayembara." Tidak ayahanda..Mohon maafkan ananda. Meskipun kini Raden Basukarna sudah menjadi anak seorang adipati, namun itu adalah pemberian Pangeran Duryudana. Yang namanya kaum sudra tetap berjiwa rakyat jelata, meskipun memakai baju ksatria bangsawan."
Kulihat Raden Basukarna semakin marah atas kata kataku. Ia meletakkan Busur Gandiwa, lalu berkata semoga suatu hari nanti aku mendapatkan pembalasan, dihina di depan umum. Dan tanpa malu Ia berharap semoga dirinya panjang umur dan bisa menyaksikan penghinaan atasku tersebut. Setelah mengutuk demikian, Raden Basukarna lalu turun meninggalkan arena dan pergi dengan wajah merah padam.
Ayahanda prabu memandangku dengan marah dan menyuruhku segera pulang ke kaputren. Hatiku penuh oleh banyak emosi. Campur aduk memenuhi rongga dada. Marah, bahagia, lega, takut namun juga cemas.
FLASHBACK ON
Dalam penyamaran selepas kejadian kebakaran Sibale bale tiga tahun lalu, tampak di pinggiran kerajaan Pancali, empat orang dalam balutan baju brahmana sedang tergesa gesa berjalan mengarah ke istana Prabu Drupada.
Brahmana yang paling tua adalah Resi Domya, sedangkan tiga yang muda bernama Dwija Kangka, Wasi Balawa, dan Wasi Parta yang tidak lain ketiga putra Pandu, Yudhistira, Bima dan Arjuna.
Saat mereka bertemu hari itu, setelah Yudhistira bercerita tentang kabar ibu Kunti dan kedua adiknya, resi Domya mengkisahkan tentang hutang budi Prabu Drupada pada ayah mereka saat berusaha meminang Dewi Gandawati dan menjadi raja di kerajaan Pancali. Dan atas hutang budi tersebut, saat itu prabu Drupada berharap bisa menjalin kekerabatan melalui pernikahan putra putri mereka. Bukankah sebuah garis takdir yang hakiki jika hari ini di istana kerajaan Pancali sedang diselenggarakan sayembara untuk mencari calon suami bagi Putri Drupadi anak bungsu Prabu Drupada yang cantik jelita.
Resi Domya sangat percaya bahwasanya semua hal terjadi oleh kehendak dewata dan dia merasa inilah saatnya bagi anak anak Pandu untuk membuka penyamaran dan kembali ke tengah tengah kehidupan kerajaan. Dengan patuh, ketiga kakak adik Pandawa ini mengikuti resi Domya yang merupakan sahabat resi Abhiyasa, kakek yang sangat mereka hormati.
Sesampainya di istana, setelah mengetahui persyaratan sayembara, resi Domya segera menghadap Prabu Drupada dan memperkenalkan ketiga brahmana muda itu sebagai murid muridnya dan meminta ijin untuk mengikuti sayembara.
Dan demi menangkis tuduhan bodoh Pangeran Duryudana yang memprovokasi peserta sayembara lain dengan mengatakan bahwa persyaratan sulit yang dibuat oleh Prabu Drupada adalah untuk mempermalukan para ksatria yang hadir dan bukan sungguh sungguh mencari calon menantu, Prabu Drupada mengijinkan para brahmana ini untuk mengikuti sayembara.
Setelah mendapat ijin dan restu dari Sang Guru, Wasi Parta segera mengambil posisi dangan berjalan mendekat ke arah Busur Gandiwa. Mengangguk hormat kepada Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, Wasi Parta melanjutkan nya dengan menyembah busur pusaka tersebut tiga kali sebelum kemudian mengangkatnya.
Semua mata memandang heran, ketika melihat brahmana kumal itu sanggup mengangkat busur berat Gandiwa dengan mudah, seolah terasa ringan seperti sebatang kayu ditangannya. Dan sejurus kemudian, brahmana muda itu lalu membidik sasaran berupa rambut Dewi Drupadi yang diikat di ujung tiang. Setelah yakin dengan sasarannya, dengan ketenangan seorang ksatria ia pun melepaskan anak panah yang secepat kilat melesat mengenai targetnya dan jatuh di depan Raden Drestajumna, di mana pada ujungnya telah tertancap sehelai rambut milik Dewi Drupadi.
Raden Drestajumna kagum menyaksikan sendiri bagaimana panah yang dilepaskan Wasi Parta memotong rambut yang diikat di atas tiang dan membawanya turun ke tanah tanpa terpisah. Lalu diapun sedikit menunduk menghormat kepada Wasi Parta, calon adik iparnya.
Ditengah sorak sorai seluruh yang hadir dan juga penonton, pihak kurawa masih marah dan merasa dipermalukan atas kemenangan Wasi Parta. Mereka kemudian berteriak teriak dan membuat gaduh suasana, tidak terima karena Prabu Drupada telah menolak Adipati Karna namun justru mengijinkan seorang brahmana asing mengikuti sayembara.
Untuk menenangkan semua yang hadir yang mulai terprovokasi ucapan Pangeran Duryudana, Prabu Drupadapun segera naik ke arena, memberikan penjelasan kepada semua yang hadir, namun tetap saja tidak bisa memuaskan hati Pangeran dari Hastinaphura itu. Dan masih dengan kelakuan yang membuat para sepuh mengelus dada, Pangeran Duryudana melangkah keluar arena bersama semua saudara dan rombongan nya.
FLASHBACK OFF
Dikamar kaputren, Dewi Drupadi mendengarkan dengan seksama segala hiruk pikuk yang terdengar dari luar. Berharap pendengaran nya bisa menjadi mata atas peristiwa penting yang akan menjadi masa depan takdirnya.
Mengapa debar jantungku bersahutan memenuhi rongga dada?- suara batin Drupadi.
"Bibi Dayang, apakah sudah ada pemenang? Siapa dia, Bi? Ksatria darimana?"
Mengapa hatiku cemas sekaligus bahagia? Kutahu Kangmas Drestajumna dan ayahanda Prabu Drupada merancang persyaratan sulit itu untuk dimenangkan oleh pangeran Arjuna putra Pandu. Apakah itu kamu pangeranku ?
"Tenanglah Yang Mulia Ayu. Jika benar sudah ada pemenang, sebentar lagi baginda Prabu pasti akan mengirim utusan menjemput Putri," kata bibi Dayang sambil membenahi kain dan hiasan rambutku.
Mengikuti kata hati, hampir saja Dewi Drupadi nekat berlari keluar. Tapi karena nampak dari kejauhan Patih Drestaketu dan pengawal berjalan cepat memasuki gerbang kaputren, terpaksa diurungkan nya niat itu.
"Mari Tuan Putri saya antar ke bale agung. Ayahanda dan semua orang sudah menunggu Tuan Putri disana. " Kata Patih Drestaketu dengan wajah sumringah.
Sayang sekali, ketika Dewi Drupadi ingin mengorek tentang pemenang takdirnya, paman Drestaketu mengunci bibirnya rapat rapat.
Kenapa juga harus serius begitu, Paman.- batin nya mendengus sebal.
Setengah berlari Dewi Drupadi berjalan ke bale agung mengikuti langkah dua laki laki di depan nya. Kain nya terangkat sedikit supaya tidak menghalangi langkah yang menjelaskan ketidaksabaran gadis itu.
Namun ketika bayangan Prabu Drupada sudah terlihat di kejauhan, gadis itu segera memperlambat jalan nya demi tata krama seorang putri yang harus selalu terjaga apalagi di depan calon suami.
Walau langkahku perlahan penuh kelembutan, mengapa jantungku terasa ingin meloncat keluar saat mataku bertatapan dengan brahmana itu?- teriak batin Drupadi waspada.
Dewata Agung.
Apakah aku mengenalnya ?
Wajah di balik kumis dan cambang panjang itu mengingatkanku pada wajahnya.
Pandangan tajam Prabu Drupada ketika menatap Dewi Drupadi memaksa pendangannya harus luruh ke lantai. Karena sangat tidak pantas seorang putri memandang penuh keinginan pada seorang pria, apalagi jika dia brahmana.
Apa?
Brahmana?
Calon Suamiku?
Sesosok wajah pangeran yang selalu memenuhi pikiran nya mendadak hilang manakala kesadaran itu muncul.
Dewata, mengapa setelah terlepas dari Pangeran Duryudana, dengan kejam Engkau mengirim seorang brahmana sebagai takdirku?- kesedihan yang mendadak hadir di dala hati Dewi Drupadi.
Di pinggir aula tahta, empat dayang berjalan berbaris sambil membawa baki yang berusi seutas untaian bunga yang harus Putri Drupadi kalungkan pada pemenang sayembara. Dan mengikuti titah Ayahandanya, Dewi Drupadi menurunkan tudung kepala brahmana yang menutupi rambut panjangnya.
Dengan rasa enggan yang teramat sangat, sambil menunduk dia mengangkat tangan nya untuk kemudian mengalungkan untaian bunga penanda penaklukan diri pada pemenang takdir hidupnya.
Seutas senyum tipis menghias wajah kumal brahmana itu, sebelum ahkirnya terdengar suara lembut itu berkata, " Lama tidak bertemu, Dewiku ".
Tunggu.
Suara itu.
Dewata.
Bolehkah aku berharap itu kamu pangeran ?
Tiba tiba Prabu Drupada berujar," Jika resi Domya tidak mengatakan nya pada ayahanda, akupun juga sulit mengenali pemuda ini. Ingatkah kamu akan Pangeran Arjuna Putra Pandhu, wahai putriku?"
Tanpa sadar, mata dan tangan Dewi Drupadi terangkat untuk melihat wajah itu lebih dalam. Mencari kebenaran kata kata Prabu Drupada dalam seraut wajah kumal. Dan ketika menemukannya, betapa hati sang Dewi menjadi penuh atas kebahagiaan. Dewi Drupadi kemudian bersujud dengan menyentuh kaki calon suaminya. Tidak membiarkan calon istrinya berlama lama membungkukkan badan, Pangeran Arjuna segera menggenggam dan menariknya ke atas untuk berdiri, mencium sekilas kening wajah jelita itu sebelum memberikan berkatnya.
Oh Dewata,
Sungguh takdir yang indah.
Beberapa waktu kemudian, nampak Prabu Drupada berbincang serius dengan dua resi lain yang ternyata adalah Pangeran Yudhistira serta Pangeran Bima, untuk menjemput ibunda mereka, Dewi Kuntiboja.
Sementara di kaputren, Drupadi tidak bosan bosannya memandang bayangan ayu yang terpantul di cermin. Senyum bahagia terus mengembang di bibirnya yang penuh.
Ahkirnya aku berjumpa dan berjodoh dengannya.
Pujaan hati, katanya tadi.
Sungguh, wajahku menjadi panas mengingat senyum dan kata katanya. Setelah nanti bertemu ibunda Dewi Kunti dan mendapatkan restunya, kami akan kembali ke istana dan mempersiapkan pernikahan.
Tapi mengapa mataku tidak berhenti berkedut ?
Apakah aku akan menangis.
Oh Dewata, apa yang akan terjadi ?
Akankah kebahagiaan ini akan sirna secepat datangnya?
...----------------...
ARJUNA's FLASHBACK ON
Siapa yang tidak mengenal kecantikanmu wahai putri pujaan hati. Bahkan sejak pertama kali aku melihatmu mengintip latihan kami, hatiku sudah terpana olehmu. Matamu yang bulat, tampak terkagum kagum saat aku berhasil memanah bidikanku.
Dan ketahuilah putri jelitaku, sejak saat itu kamulah sasaran panah cintaku.
Plaak.
Tangan besar Kangmas Bima mendarat di kepalaku. "Melamun terus. Segera bersiap siaplah menemui calon istrimu! Kita menjemput ibunda Kunti, Nakula dan Sadewa."
Tergesa gesa Drew memasukkan dua buku, satu map tugas, dompet, Hp, note dan pouch kabel ke ransel canvas.
Sret..sret..beres.
Semua barang sudah masuk ke posisi masing masing dan siap menemani gadis itu sepanjang hari.
Jarum pendek jam hampir mendekati angka tujuh. Dan dia harus bergegas supaya kejadian kemarin tidak terulang lagi. Dua minggu sudah berlalu dari jadwal tiga bulan yang harus dilaluinya, melakukan tugas praktek di unit radiologi RS swasta terbesar kota ini.
Dengan antusias dia meninju angin di atas kepalanya berharap semesta mengalirkan energi positif pagi ke dalam diri.
Fight Drew !
Sebelum mengunci kamar kos, dia mengikat rapi tali sepatu dan menyambar topi yg tadi sudah disiapkan di atas meja dan bergegas menuruni anak tangga menuju lantai satu sambil bersenandung pelan.
Berlari kecil menyusuri gang depan, sambil membetulkan letak ransel di punggung, Drew menyapa beberapa penjual makanan yang dia kenal.
Merantau seorang diri di sebuah kota besar, dia menyadari harus pandai pandai membawa diri. Karena kadang bantuan tidak datang dari saudara dekat yang tinggalnya jauh, melainkan dari orang yang bukan saudara tapi tinggalnya dekat.
Mengenal pedagang pedagang kecil ini bukan hanya sekedar untuk memperpendek antrian penikmat dagangannya, namun kadang dalam interaksi itu justru Drew sering menemukan hal hal menarik yang menambah pemahaman nya tentang hidup.
Mendung yang kemarin menggayuti angkasa sepanjang hari, sudah berganti dengan langit cerah. Jalan ramai mulai ramai dengan lalu lalang orang menuju tujuan mereka masing masing.
Dan sesaat setelah sampai di trotoar jalan, Drew menekan tombol kecil di bagian belakang sepatu untuk mengeluarkan dua pasang rida yang keluar dari bagian tumitnya
Tersenyum kecil Drew mengingat Gege kakaknya yang telah berbaikhati mendesain dan mengotak atik sneakersnya menjadi sepatu super spesial sebagai hadiah ultah yang ke 20. Entah material apa yang digunakan untuk mendesign ulang sepatu itu, karena hasilnya adalah sepatu multi fungsi iyang terasa ringan namun kokoh.
Dengan hadiah spesial ini, barang yang dia bawa setiap harinya menjadi lebih ringan karena tak perlu lagi membawa inline skate ungu yang terlihat mencolok saat kupakai di RS.
Thanks Mas Ge.
Dibalik wajah cenberutmu, kamu paling tahu apa yang aku mau. Baik baiklah dengan pekerjaan barumu. Kuberdoa semoga kariermu saat ini cocok dengan passion mekanismu. -Doa Drew tulus
Ditepuknya pelan badan sepatu untuk melepas beberapa daun kecil yang menempel. Dan semenit kemudian gadis itu sudah bergerak lincah menuju halte bus trans terdekat.
" Tolong 1 tiket koridor 2, mas ! " ujarnya sambil menyerahkan kartu e money.
" Lebih pagi dari kemarin mbak ?"
" Iya mas, kemarin terlambat jadi hari ini berusaha lebih pagian..", sahutnya sambil tersenyum.
"Jangan lupa roda sepatunya dimasukkan supaya mbaknya nggak jatuh lagi. Untung kemarin ada mas mas yang sigap menarik badan mbak. Kalau terlambat sedetik saja, saya takut membayangkan apa yang bisa terjadi pada mbak ", katanya lagi dengan wajah serius.
" Iya mas. Terimakasih sudah ngingetin. Nggak akan terjadi lagi. Maaf ya, sudah bikin kehebohan di halte."
" Heboh sedikit nggak jadi masalah mbak. Paling mbak jadi sedikit terkenal."
Terkenal karena ceroboh bukanlah sebuah prestasi yang patut dibanggakan. - cela batin Drew mengingatkan.
Sambil menunggu bus datang, kejadian kemaren terulang lagi di ingatan nya. Usia 20 th sepertinya tidak bisa menjadi patokan seseorang menjadi lebih teliti dan matang.
Miss Clumsy.
Gara gara terlambat bangun, membuatnya terburu buru berangkat dari kos dan sesampainya di halte trans Drew lupa memasukkan roda sepatu.
Jika kondisi normal, bukan masalah besar berjalan dengan roda masih diluar. Tapi entah darimana munculnya 2 orang ibu ibu yang lumayan gendut menabrak punggungnya sehingga tubuhnya terdorong kencang ke depan dan menggelincir ke arah pintu halte yang mengarah ke jalur bus.
Untunglah ada sepasang tangan yang cepat menarik pinggangnya dan menghentikan luncuran nya lebih jauh.
Hampir saja.
Aku selamat tidak cedera. Mengingat apapun bisa terjadi karena kejadian itu.
Drew menoleh ke semua arah untuk mencari keberadaan laki laki penolongnya itu. Namun sosok itu sudah tidak nampak sebelum sempat berterimakasih. Rupanya dia buru buru pergi meninggalkan halte dan bus ku pun datang.
Hanya seraut wajah yang terekam sekilas. Wajah tampan tanpa senyum.
***
Sesampainya di selasar RS yang khusus menjadi jalur keluar masuk para karyawan, sambil berjalan Drew mengenakan outfit putih RS, name tag dan mengeluarkan lagi roda sepatu untuk segera mengayuhkan kaki ke bagian radiologi.
Serrr..serrrr..
terdengar suara lembut roda sepatunya yang beradu dengan lantai.
Sinar matahari hangat menerobos diantara daun daun, menyentuh hangat kulitnya yang putih.
Dan karena selasar RS belum terlalu ramai, Drew masih bebas meliukkan badan memacu sepatunya supaya lekas sampai sehingga tidak terlambat absensi.
" Selamat Pagi, Dok.." sapanya kepada Dr. Kunti penanggung jawab bagian Radiologi. Wajah lembut keibuannya segera tersenyum melihatkl kehadiran nya.
" Bagus Drew. Kamu datang tepat waktu. Briefing pagi 10 menit lagi. Tolong sampaikan pada Dr. Sadewa untuk menyiapkan tim nya di ruang 2." kata beliau dengan cepat.
Belum sempat dia bertanya tentang Dr Sadewa, Dr. Kunti sudah hilang masuk ke ruang kepala.
Aduh gimana nih ?
Saat Mas Pramono, staf senior departemen Radiologi lewat, Drew pun menghentikan nya sebentar.
" Mas Pram, Dr. Sadewa yg mana ya ? Ada pesan dari Dr. Kunti untuknya, " tanyanya sebelum dia berlalu.
" Itu yang pakai baju putih berkacamata, sedang menghadap ke alat USG yang baru ", kata Pram menunjuk pada ujung lorong sebelah kiri.
" Makasih mas ", ujar Drew cepat sambil melangkah ke sosok yang ditunjuk Pram.
Dari samping terlihat seseorang sedang membungkuk dan melakukan beberapa pengecekan pada alat baru di depan nya.
" Maaf, betul Dr.Sadewa ?" sapa Drew sopan.
Haish, diam saja.
Dia terlalu fokus pada alat baru dan buku manualnya. -Batin Drew memberitahu.
" Dok..Dok.." Ulangnya sambil menarik ujung baju outfit dokternya.
Whaaa..
masih diam dan semakin fokus mengurai kabel yang bersliweran menjuntai kesana sini dengan warna khusus.
" Dokteeeer Sadewaaaa ! ", kata Drew kencang di dekat telinganya.
Karena kaget, Dr. Sadewa mendadak menoleh ke arah gadis itu tanpa sempat menarik wajah yang memang terlalu dekat.
Dan bisa ditebak kelanjutan kejadian nya.
Sekilas bibir mereka bersinggungan, sebelum cepat cepat mereka mundur selangkah dengan wajah kaget atas kejadian tidak terduga itu.
" Kamu..kamu..sembrono sekali ! " kata Dr. Sadewa sambil tersenyum.
" Dokter yang tiba tiba menengok setelah saya panggil berulang ulang tidak mendengar !" ujar Drew ketus tidak mau disalahkan.
" Saya sibuk, Pergi sana! " usirnya sambil mengibas ngibaskan tangan nya.
Waduh, kamu diusirnya Drew.
Sambil menghentakkan kaki Drew pergi menjauh, namun belum sampai 3 langkah berjalan, dia kembali lagi pada Dr. Sadewa teringat pesan dari Dr. Kunti yang belum tersampaikan.
" Dok, tadi Dr Kunti berpesan 10 menit lagi Dr. Sadewa dan tim diminta briefing pagi di Ruang 2..Ingat ruang 2 ya ", ujarnya keras dan bergegas pergi.
Sebodo amat kamu denger ato tidak. Tugas selesai.
Tiba tiba terasa kerah baju Drew tertarik ke belakang dan sehingga badan nya secara otomatis berputar menghadap Dr. Sadewa lagi.
" Sini liat name tag kamu. DREW ARACELI ", katanya pelan membaca nama yang tertera di bawah foto close up.
" Nama yang bagus. Sayang tidak cocok dipake orang sembrono seperti kamu. Pakai sepatu roda yang bener. Jangan sampai meluncur sembarangan lagi ! ", katanya tanpa ekspresi dan kembali fokus pada buku manualnya.
Kujulurkan lidah sengit mendengar komentarnya dan bergegas pergi.
Tunggu.
Sepatu roda ?
Meluncur sembarangan ?
Itu dia Drew.
Segera Drew membalikkan badannya kembali dan berusaha mengamati lagi wajah Dr. Sadewa sambil membayangkan jika wajah tampan ini tanpa kaca mata.
Wooooo..Itu dia.
Si WTTS penyelamatku.
Wajah Tampan Tanpa Senyum.
Segera gadis itu membungkukkan badan ke arahnya sambil berterimakasih atas pertolongannya kemarin.
" Terimakasih Dok. Jika kemarin dokter tidak menarikku, saya pasti sudah terkapar di RS. Entah bagian mana yang cedera. "
" Hush..Hushh sudah pergi sana, kamu menggangguku. Waktuku tinggal 5 menit tau ! "
Karena dia pahlawan bagi Drew, walau sudah diusir galak 2 kali wajib tetap memberikan senyum termanis sambil pergi menjauhinya dan menuju ke meja depan mempersiapkan kegiatan hari ini sebagai mahasiswa radiologi praktek sepertinya
Oh ya.
Ada briefing di Ruang 2.
Mengambil catatan dan bollpoint Drew bergegas menyusul Pram dan staf lain yang sudah berjalan di depan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!