Melbourne, Australia
"Selamat pagi Amber, bagaimana kabarmu?"
Gadis itu muncul dari balik pintu yang memisahkan dapur dengan caffe. Caffe bertemakan retro-modern itu memiliki meja bundar dan bangku tinggi dibanyak spot hingga memenuhi ruangan caffe itu. Jendela-jendela kaca tinggi membuat pencahayaan Moonlight Caffe sangat nyaman dan terasa hangat.
Gadis itu memiliki wajah Asia oriental dengan sepasang manik hitam sejernih air, dan kulit kuning langsat. Tidak seputih orang Eropa atau Amerika, namun dianggap putih untuk orang Asia. Rambutnya hitam legam, sepanjang lutut dan diikat rendah menggunakan pita berwarna biru. Wajah cantiknya sedikit terhalang kacamata bundar berframe hitam yang digunakannya.
Yang disapa——gadis berambut pirang bermanik kelabu, menoleh dan tersenyum lebar melihat kedatangan si gadis Asia.
"Oh! Arana, selamat pagi juga untukmu. Dan aku merasa sangat baik hari ini!" Jawab Amber——si pirang, dengan nada riang.
Usianya sudah menginjak angka ke sembilan belas. Namun penampilan manisnya membuatnya nampak baru berusia limabelas tahun. Terlebih dengan gaya pakaiannya yang terkesan childish, membuatnya terlihat sempurna untuk kembali menjadi remaja limabelas tahun.
"Aku membawakan pesananmu, seperti biasa, kue keju rendah gula." Arana mengangkat ringan sepiring chess cake ditangan kanannya, sementara tangan kirinya ia gunakan untuk membawa sekeranjang bunga aster yang harum.
Amber menerimanya. "Terimakasih, Rana. Ingin duduk dan bersantai sejenak?"
Arana menatap bunga-bunga dikeranjangnya sebelum menatap kembali Amber. "Em, kurasa tidak. Aku harus pergi mengantarkan bunga hari ini. Mungkin lain kali bisa ngobrol sambil minum teh."
Dia mengetuk ringan meja dua kali dengan ujung jarinya dan mengangkat senyum. "Nikmati kuemu, Amber."
Amber mengedipkan sebelah matanya. "Aku menggantikannya. Hati-hati dijalan~"
"Tentu." Arana menganggukkan kepalanya dan melangkah keluar dari caffe, meninggalkan Amber yang mulai menikmati chees cake pesanannya.
Arana menginjakkan kakinya keluar dari caffe dan melangkah menuju sebuah motor matic putih yang terparkir disamping caffe. Selain sebagai sebuah caffe, Moonlight Caffe menyediakan layanan pengiriman bunga baik buket bunga maupun karangan bunga. Ada beberapa pegawai tetap di caffe ini, termasuk Arana yang memiliki pekerjaan mengantarkan bunga dengan motor yang sudah disediakan.
"Mari lihat, dimana saja aku harus mengantarkan bunga-bunga ini," gumam Arana sembari meletakkan keranjang bunga ditangannya keatas jok motor, kemudian meraih secuil kertas dari sakunya.
"Yang pertama, em .. Perumahan Bridge Nomor 65?" Gumamnya.
Menganggukkan kepalanya ketika ia mengetahui perumahan itu, Arana menyimpan kembali catatan kesaku celana panjangnya. Arana menaiki motor dan mengenakan helm birunya, sebelum melajukannya dengan kecepatan rata-rata. Jalanan padat yang dilalui kendaraan disetiap waktunya membuat Arana tak lagi asing dan canggung berada ditengah-tengah padatnya arus kendaraan. Ia dengan tenang mengendarai motornya sembari sesekali mengikuti arahan rambu lalu lintas yang tertata apik setiap beberapa ratus meter.
Duapuluh menit Arana habiskan untuk berkendara, kini motor maticnya sudah ada didepan sebuah gerbang rumah bercat hitam. Disampingnya ada sebuah papan bertuliskan angka '65' dan tertempel apik digerbang batu.
Perumahan Bridge memang luar biasa, dan Arana mengakui betapa megah dan mewahnya rumah-rumah yang ada disana. Bahkan bangunan berlantai dua itu memiliki halaman yang luas dan dipenuhi tanaman yang terlihat sangat mahal.
Menggelengkan kepalanya, Arana menekan bel sekali, menunggu pemilik rumah untuk keluar. Semenit berlalu, dua menit berlalu hingga lima menit berlalu. Arana belum menekan bel lagi karena berpikir jika mungkin saja pemilik rumah masih ada dibelakang dan sedang dalam perjalanan menuju kedepan.
Tetapi setelah dua menit lagi berlalu, Arana tidak tahan dan berulang kali menekan bel yang tertempel didekat papan nomor rumah.
"Sebenarnya ada orang atau tidak sih, dirumah ini?" Gumamnya.
Ia merogoh ponselnya dan hendak menghubungi seseorang sebelum terhenti ketika maniknya menangkap seseorang tergeletak disamping taman. Maniknya melebar, dan Arana segera mengantongi ponselnya dan mencoba membuka pintu gerbang yang sayangnya terkunci.
"Halo yang disana?! Apakah anda baik-baik saja?!" Teriaknya.
Namun pihak lain tidak merespon. Nampaknya orang itu benar-benar tak sadarkan diri. Arana tidak kehabisan akal, segera meraih pegangan besi pagar dan memanjat. Aksinya dilakukan hanya dalam kurun waktu lima detik, dan ia telah mendarat kembali ditanah. Arana segera menghampiri wanita itu tanpa basa-basi.
"Nyonya?"
Wanita setengah baya itu benar-benar terbaring tak sadarkan diri. Tidak ada tanda-tanda kekerasan ditubuhnya, dan dari apa yang dilihat Arana, nampaknya wanita itu pingsan saat sedang menyiram tanaman.
"Aku harus memanggil ambulance!" Meraih ponselnya, Arana segera menekan digit nomor darurat dan menghubungi pihak rumah sakit terdekat.
"Rumah sakit? Tolong kirim ambulance! Ada seorang wanita yang tak sadarkan diri di perumahan Bridge nomor 65!" Lapornya dengan tergesa namun jelas.
...***...
Arana duduk didalam bus umum sembari memandang keluar jendela. Hari ini hari yang melelahkan, tetapi Arana selalu puas dengan hari-hari yang dijalaninya.
Ia memandang sebuah kalung berliontinkan permata kecil berwarna biru. Arana merasakan benda ditangannya sangat berat. Bukan bebannya, namun kenyataan bahwa dia mendapatkan benda berharga ini secara cuma-cuma dari wanita yang ditolongnya.
Nama wanita itu Daniah, lengkapnya Daniah Dolores, berumur setengah abad dan tinggal seorang diri di perumahan Bridge tanpa ditemani putra dan putrinya. Diusianya yang ke empat puluh tujuh tahun, dia sudah menyandang status janda karena suaminya, penyandang marga Dolores telah berpulang karena kecelakaan pesawat terbang. Saat Arana menemukannya pingsan, wanita itu kelelahan karena terlalu banyak menghabiskan tenaganya untuk berkebun, merawat harta berharganya.
Wanita itu mengucapkan terima kasih padanya, dan memaksanya mengambil barang pemberiannya. Daniah itu pembicara yang baik, hingga tak memberikan celah untuk Arana menolak. Sehingga dengan terpaksa, Arana menerima kalung itu.
"Huh, hari yang melelahkan." Gumamnya sembari menyimpan kembali kalung itu kedalam tasnya.
Kelereng hazelnya bergulir, menatap mobil disampingnya yang menampilkan keluarga yang nampak penuh dengan senyuman. Sang ayah yang diam-diam tersenyum, melirik dua putrinya yang duduk dibangku belakang, sementara sang ibu menggoda kedua putrinya dengan tawa yang membuat keduanya terseret dalam candaan yang menyenangkan.
Arana menyunggingkan sebuah senyuman tipis. Sebuah keluarga yang harmonis.
"Pasti menyenangkan," lirihnya sebelum memejamkan mata dan terhanyut dalam perjalanan.
CHIBI MBA CHARACTER (from unnie doll)
Perjalanan dari halte bus keapartemen Arana memakan waktu selama lima menit dengan berjalan kaki. Tetapi jalan yang harus ditempuh melewati gang sempit dengan pencahayaan yang sedikit remang dari satu lampu yang sering berkedip. Bagi mereka yang tidak terbiasa akan menganggap bahwa lingkungan itu benar-benar menakutkan, namun bagi Arana yang sudah hampir tujuh tahun menetap disana, lingkungan itu biasa bagi Arana.
Melewati belokan terakhir, Arana menginjakkan kakinya didepan tangga sebuah apartemen tua dan nampak sederhana. Bahkan dalam beberapa hal, apartemen itu tidak nampak cukup untuk dikatakan sederhana.
Tangga selebar orang dewasa itu menjadi satu-satunya akses keluar dan masuk penghuni gedung apartemen itu. Ketika ada dua orang atau lebih yang hendak naik dan turun, salah satu dari mereka harus mengalah memberikan jalan. Sayangnya orang-orang disini bukan orang yang suka beramah tamah dan dengan baik hati mengalah. Cekcok dan adu mulut sudah sering terjadi hanya karena akses gedung.
Dinding-dinding apartemen memiliki beberapa poster lapuk yang menempel. Entah brosur, iklan atau hanya gambar-gambar sederhana. Tak jarang menemukan permen karet kering yang menempel didinding. Anak-anak dilingkungan ini sangat jahil. Arana sendiri tak jarang terkena kejahilan mereka. Seperti lantai depan apartemennya yang kotor. Pintu tercoret. Jendela yang pecah, dan lain sebagainya.
"*Sialan!! Berani-beraninya kau membawa masuk selingkuhanmu kerumahku! Pergilah keneraka dasar ba*ingan*!!"
"Ah! Tutup mulutmu dasar cerewet!"
"Kau berani meneriakiku? Hah?!!"
Dari satu pintu disamping pintu apartemennya, ada teriakan menggema yang bahkan mampu terdengar sampai kelantai bawah. Tetangga sesama lantai tiga Arana benar-benar tidak pernah mampu menghentikan suara-suara teriakan dan pertengkaran mereka. Hampir tiap hari, menjadi makanan sehari-hari Arana. Lingkungan ini sebenarnya tidak cukup aman dan layak untuk ditinggali, tetapi ada banyak hal yang menjadi pertimbangan Arana untuk tetap menetap ditempat ini.
Yang pertama, karena biaya sewanya yang dibawah harga rata-rata penyewaan apartemen biasanya. Arana jelas tahu karena fasilitas diapartemen yang ditinggalinya tidak selengkap fasilitas apartemen lain.
Pemadaman listrik sering terjadi, dan terkadang karena saluran air terganggu, Arana harus menumpang mandi dipemandian umum yang ada dilantai bawah. Tetapi hanya untuk mandi disana, Arana harus rela mengantri panjang dan tak jarang hanya bisa mandi kurang dari sepuluh menit karena desakan yang lainnya.
Yang kedua, karena apartemen ini yang terdekat dari semua tempatnya bekerja.
Arana memang memiliki cukup banyak pekerjaan yang dilakoninya setiap hari. Dari hari Senin sampai hari Jumat dipagi hari sampai siang hari, Arana memiliki tugas disebuah supermarket sebagai kasir. Sementara dari siang sampai malam hari, Arana bekerja di Moonlight Caffe sebagai pelayan dan pengantar bunga.
Dihari Sabtu dan Minggu dari pagi sampai malam, Arana memiliki pekerjaan sebagai maskot taman hiburan yang digaji tiap jamnya dengan bayaran yang tak seberapa. Tetapi dengan waktu dari pagi sampai Malam, Arana cukup mendapatkan penghasilan yang setidaknya mencukupi kebutuhan makan hariannya.
Brak!
"*Sialan! Aku pergi, aku muak melihat wajah ba*ingan sepertimu*!" Ada seorang wanita keluar dari pintu apartemen disampingnya dengan koper ditangannya.
Wajahnya menampilkan kemarahan yang tak bisa lagi tertahan. Tetap maniknya tak bisa menyembunyikan kesedihan yang dirasakannya, menyakitkan hingga kehati. Ia menghapus air matanya yang luruh tanpa dirasa dan berlalu pergi membawa kopernya. Arana menyaksikan kejadian itu dengan mata kepalanya sendiri, sebelum menoleh kepintu samping.
Ada seorang pria setengah baya yang bertelanjang dada dengan seorang wanita yang hanya mengenakan kaos tipis dan hotpants setengah paha. Pria itu merangkul wanita disampingnya dan keduanya mentertawakan wanita pertama yang telah meninggalkan apartemen itu.
"Sungguh pasangan yang serasi," batin Arana melirik samar dua orang disampingnya.
Sama-sama sampah.
Arana menarik tatapannya, memutar knop pintu dan masuk. Begitu masuk, ada suara yang menyambutnya.
"Meong~"
Kucing seputih salju itu menggesekkan tubuhnya kekaki Arana. Gadis sembilan belas tahun itu segera menunduk dan mengangkat si kucing dengan kedua tangannya.
"Hello, Snowy~ Bagaimana kabarmu dirumah, hm? Apa kamu menghabiskan makananmu?" Ia berujar sembari menggendong Snowy—kucing putihnya disebelah tangan, sementara tangan lainnya melepas sepatunya dan meletakkannya diatas rak didekat pintu masuk.
Arana menyalakan lampu, sehingga ruangan seluas 3 meter x 3 meter itu terlihat jelas didepannya. Tidak luas dan didominasi warna putih yang cat dindingnya menjamur dan hampir mengelupas dibeberapa tempat. Ruang itu terbagi menjadi dua wilayah. Bagian sudut kanan untuk dapur dan kamar mandi kecil tertutup. Dan sudut lainnya untuk ruang TV dan sebuah sofa panjang dan tunggal yang menghadap meja persegi.
Didekat pintu masuk, ada sebuah pintu yang merupakan kamar gadis itu.
Ada sebuah wadah makan kucing didekat sofa, dan hanya ada beberapa buah makanan kucing yang tersisa didalamnya.
"Waah, Snowy adalah kucing yang pintar~ Snowy menghabiskan makanannya, hum?" Tukas Arana sembari menggesekkan hidung tajamnya kehidung merah jambu Snowy.
"Meong~ Meong~"
Meletakkan Snowy kembali kebawah, Arana meletakkan tasnya keatas sofa dengan sembarang. Dia menggulung rambutnya dan menahannya menggunakan jepitan rambut sebelum meraih handuk didepan pintu kamar mandi dan melangkah masuk untuk membersihkan diri dari bau matahari setelah seharian berkeringat karena bekerja diluar ruangan.
...***...
Tok! Tok! Tok!
"Arana! Keluar kamu!"
Ada teriakan lantang disertai ketukan pintu keras dari luar, membuat Arana yang duduk disofa sedikit tersentak. Ia menoleh, bangkit dan berjalan menuju pintu untuk menyadari bahwa yang ada didepan pintu apartemennya adalah pemilik apartemen.
"Bibi, ada masalah apa?" Tanya Arana begitu ia membuka pintu.
Wanita didepannya memiliki wajah campuran Tionghoa. Matanya sipit dengan kulit putih dan bertubuh pendek.
Dia tanpa basa-basi segera berkata, "Pembayaranmu bulan ini menunggak. Jika kamu tidak lagi ingin tinggal disini, kemasi barang-barangmu. Aku memiliki lebih dari selusin orang yang ingin tinggal disini."
"Aku lupa!" Batin Arana saat mengingat bahwa tenggat sewa apartemen adalah kemarin lusa.
Ia menggosok dahinya dan tersenyum canggung. "Maaf bibi. Aku cukup sibuk sampai melupakan biaya sewa. Aku akan mengambil uangnya sekarang."
"Cepatlah kalau begitu." Kata wanita itu mendesak Arana.
Arana membiarkan pintu terbuka ketika dia melangkah memasuki kamarnya. Ia membuka laci dengan kunci dan mengeluarkan uang dari dalam kotak penyimpanan. Memandang beberapa ratus dolar ditangannya, Arana menghela napas tanpa daya dan kembali kedepan.
"Ini uangnya, bibi. Maaf merepotkan bibi." Ujar Arana meminta maaf.
Wanita itu menerima uang yang diberikan Arana, menghitungnya sebelum menganggukkan kepalanya dengan puas. "Lain kali bayar uang sewamu tepat waktu."
Arana mengangguk, membiarkan wanita itu menghilang dianak tangga sebelum menutup pintu dan menghela napas berat. Uangnya kembali berkurang.
Arana melompat dan mendarat disofa kelabu dalam posisi berbaring. Ia meraih Snowy yang meringkuk didekat sofa dan meletakkannya diatas perutnya, mengelusnya dan mengeluarkan beberapa kalimat yang entah dimengerti oleh kucing bermata sapphire itu atau tidak.
"Snowy, kakak tidak memiliki banyak uang setelah membayar uang sewa. Nampaknya kakak tidak bisa mengirimmu ke rumah perawatan kucing minggu depan," ucapnya.
Arana meraih ponselnya yang ada diatas meja. Ponsel hitam keluaran lama yang adalah hadiah dari sang nenek saat dia berumur sepuluh tahun. Itu sudah sembilan tahun lamanya, dan sudah berulang kali diperbaiki. Tampilannya pun tak lagi bagus, namun Arana memiliki kesan mendalam tentang ponsel itu.
Ia membuka aplikasi WhatsApp dan menemukan beberapa pesan dari beberapa sahabat-sahabatnya.
[Rana, kudengar dari Amber jika kamu menolak beasiswa dari Ocean University? Apakah benar? Arana, kenapa menolaknya? Itu kesempatan sekali seumur hidupmu diterima di Universitas sebagus itu.]
Arana tersenyum dan mengetikkan balasan kepada sahabatnya. [Peraturan mereka mengatakan tidak memperbolehkan mahasiswanya melakukan kerja part-time. Jadi, aku menolaknya.]
[Ya berhenti saja dari pekerjaan part-timemu, Rana. Kamu bisa meminta bantuanku dan Amber dulu, setelah kamu mendapatkan gelar S1 dan mendapatkan pekerjaan dengan itu, kamu bisa mengembalikan bantuan kami.]
[Aku tidak bisa selalu merepotkanmu dan Amber. Tidak apa, lagipula aku bisa kapan saja berkuliah.]
[Kamu sangat keras kepala. Kamu tahu kami selalu ada untukmu.]
Arana mengulas senyuman. Karena dia tahu mereka selalu ada untuknya lah yang membuatnya puas. Setidaknya meski dia belum atau bahkan tidak berpendidikan tinggi, dia selalu memiliki lebih dari satu teman.
[Terima kasih, Lily.]
Begitu mengunci layar ponselnya, Arana meregangkan tubuhnya dan memejamkan matanya. Hingga kantuk menyerang, Arana tak berpindah kekamarnya.
Terlarut dalam mimpi ditemani remang cahaya lampu jalan yang menyorot dari tirai jendela yang tersibak.
Arana berjongkok didepan pintu apartemennya dan meremas lembut wajah Snowy yang mengeong manja dalam elusannya.
"Snowy, kakak berangkat bekerja dulu, ya~ Kakak harus bekerja untuk membelikan Snowy makanan enak~" Kata Arana sembari menggerakkan dua jemarinya menggaruk dagu Snowy.
"Meong~"
Alana menyisir rambut panjangnya rapi, membentuk poni hingga sebatas bulu matanya. Rambutnya yang panjang hanya diikat rendah menggunakan pita putih. Kacamata hitam bertengger diwajahnya. Ia mengenakan sebuah sweeter coklat berlengan panjang dengan celana jeans hitam yang menampilkan bentuk kakinya yang ramping. Senyumnya mengembang menikmati setiap moment-nya dengan Snowy yang selalu lucu dimatanya.
Menutup pintu setelah memastikan keadaan apartemen aman untuk Snowy, Arana mengunci pintu dan berbalik pergi. Langkah demi langkah membawanya menuju halte.
"Jam berapa sekarang?" Bergumam, Arana menatap jamnya dan mendapati jamnya bergerak lebih cepat.
Ia merogoh ponselnya dan melihat bahwa sebenarnya masih kurang duapuluh menit sampai bus tiba. Nampaknya dia bangun terlalu awal pagi ini. Setelah memastikan, Arana memilih menunggu di halte sembari sesekali melihat kendaraan lain yang berlalu lalang dijalanan. Beberapa pengguna jalur pejalan kaki beberapa kali meliriknya, dan Arana hanya menganggukkan kepalanya dengan senyuman menanggapi mereka yang menundukkan kepala dan balas tersenyum padanya.
"Oh, busnya sudah datang." Gumamnya ketika melihat bus merah yang sering ditumpanginya mendekat ke halte.
Arana bersama beberapa orang menaiki bus dan memasukkan selembar uang kedalam kotak yang ada disamping pengemudi. Setelahnya, dia mencari tempat duduk dan menunggu bus membawanya kehalte didekat caffe tempatnya bekerja.
Duapuluh menit berlalu, Arana turun dari bus dan berjalan selama lima menit untuk menuju tempatnya bekerja.
"Selamat pa—" Ucapan Arana terhenti kala melihat pemandangan yang ada didepannya.
Ada dua orang yang tengah duduk bersama Amber yang segera menoleh ketika melihat kedatangannya. Amber adalah yang pertama bereaksi, berdiri dan mendekati Arana.
"Arana, mereka mendatangiku tadi malam dan menanyakan alamat rumahmu. Aku tidak memberitahu mereka karena sudah sangat malam, jadi aku menyuruh mereka datang kesini pagi ini." Amber menjelaskan.
Ia meraih lengan Arana dan bertanya dengan ragu. "Apakah mereka, benar-benar orangtuamu?"
Wanita itu menatap Arana dari atas sampai bawah. Sebelum memandang pria yang berdiri disebelahnya. Pria itu turut memandangnya dan menganggukkan kepalanya.
"Arana, kami datang untuk menjemputmu." Wanita itu berkata lebih dahulu, menarik Arana dari lamunannya.
Mereka orangtuanya. Ayah dan Ibu kandungnya.
Michael Damarian——ayahnya, adalah seorang pengusaha yang dikenal sebagai seorang suami yang setia dan ayah yang penyayang. Tak hanya parasnya yang menawan, Michael juga memiliki perusahaan yang sudah dikenal dikancah internasional. Sementara Lidia Amarisa Putri——ibunya, adalah mantan model terkenal yang dulunya berada dibawah naungan Darmian Entertain. Namun semenjak melahirkan putra sulungnya, dia berhenti menjajaki dunia permodelan dan memilih mengelola sebuah restoran yang menjadi restoran bintang lima sekarang.
Keduanya adalah sosok yang terkenal dimata umum.
Dan mereka adalah orangtua, yang telah menelantarkannya di kota, dinegara dan dibenua yang berbeda ini. Dan memilih mengasuh dan membesarkan kakak serta kembarannya. Tidak ingin direpotkan dengan kehadirannya.
Sembilan belas tahun yang lalu, dia dilahirkan kedunia tanpa diinginkan. Dia tahu kenyataan ini saat umurnya menginjak duabelas tahun, tepat dihari kematian nenek yang selama ini telah membesarkannya. Ia dilahirkan dalam keadaan sehat, namun kakak kembarnya dilahirkan dalam keadaan sakit-sakitan. Entah bagaimana pikiran mereka, orangtuanya menganggap bahwa dirinyalah yang membuat putri mereka menjadi lemah. Sehingga mereka menjauhkan Arana dari mereka.
Bahkan setelah kematian neneknya, orangtuanya benar-benar tidak menganggap keberadaannya ada didunia. Mereka tidak pernah lagi mengirimi uang hidup untuknya, membuatnya harus bekerja diusianya yang masih belia hanya untuk bertahan hidup.
Ia bahkan harus menjual rumah peninggalan sang nenek untuk melanjutkan hidupnya. Memiliki rumah sebesar itu untuk hidup sendiri memerlukan banyak usaha. Selain itu, Arana kerepotan membersihkan rumah sebesar itu sendirian. Sehingga ia menjualnya, dan menggunakan uangnya untuk menyewa apartemen kecil yang ditinggalinya saat ini.
Tetapi dalam hati kecilnya, Arana bertekad bahwa suatu saat nanti dia akan membeli kembali rumah peninggalan sang nenek.
Sekarang setelah bertahun-tahun tanpa kabar, keduanya ada dihadapannya. Bolehkah Arana sedikit berharap?
"Ma—Mama, papa." Lirih Arana.
Amber melangkah mundur sebelum membiarkan Arana melangkah mendekati mereka dengan senyuman. Arana memiliki senyuman dan sepasang manik yang sedikit berkaca-kaca. Tangannya hampir terangkat bila saja ucapan Lidia tak menghentikannya.
"Arana, tolong bantu Alana!" pinta Lidia.
"A—Apa?" Beo Arana hampir tak bersuara.
Lidia meraih tangannya dan berkata secara langsung. "Alana membutuhkanmu, Arana. Minggu depan Alana akan menikah dengan tunangannya. Kami sadar setelah Alana menjelaskan bahwa Alana sama sekali tidak mencintai Alva. Tolong gantikan dia menikahi Alva, Arana."
Apa?
"Bisnis Alva sangat besar. Kami takut hubungan kerjasama perusahaan Damarian dan perusahaan Erlangga akan hancur karena pembatalan pertunangan ini." Sambung Michael.
Ia lanjut berkata, "Maka tolong gantikan Alana dan menikahlah dengan Alva. Bertukar identitas lah dengan Alana."
Arana menarik tangannya dari cengkraman Lidia dan mundur selangkah. Ia menatap kedua orangtuanya dengan tak percaya. Bagaimana mereka bisa memperlakukannya seperti ini? Bagaimana mereka bisa memperlakukannya bak barang cadangan?
Apakah dia dilahirkan hanya untuk ini?
Arana mencoba menyunggingkan senyuman sinis, tetapi justru terlihat miris dan pedih. "Kenapa .. Kenapa aku harus mau?"
"Aku tidak mau menikah menggantikan Alana. Aku bahkan tidak mengenalnya." Ucap Arana.
Michael berkata dengan tegas. "Kamu harus mau, Arana. Ini menyangkut perusahaan papa, dan ini menyangkut kebahagiaan kakakmu, Alana."
"Lalu bagaimana dengan kebahagiaanku?" tanya Arana spontan.
Lidia dan Michael sedikit terkejut dengan pertanyaan Arana. Namun Lidia segera berkata, "Tidak bisakah kamu sedikit mengalah untuk Alana? Kamu sudah merebut segalanya dari Alana. Kamu diberi kesehatan yang baik. Bahkan kamu lebih cerdas darinya. Tidak bisakah kamu berkorban sedikit saja demi Alana?!"
Bak disambar petir, Arana diam mematung. Begitulah.
"Haha," Arana terkekeh pelan.
Bagaimana dia bisa begitu naif selama belasan tahun ini? Bagaimana dia bisa mengharapkan sedikit saja kasih sayang orangtuanya untuknya? Bagaimana dia bisa memiliki harapan sekonyol itu disaat orangtuanya benar-benar tidak memiliki tempat untuknya dihati mereka?
Mereka mengatakan jika dirinya merebut segalanya dari Alana?
Bukankah justru Alana yang merebut segalanya darinya? Kehidupan remaja pada normalnya. Kasih sayang orangtua? Perhatian dan kepedulian kakak? Bahkan semua prestasi yang diraihnya disekolah ia hasilkan dengan belajar keras.
Dia ingin orangtuanya bangga padanya setelah melihat prestasinya dan berpikir untuk membawanya kembali.
Tetapi kali ini harapannya sirna.
"Belasan tahun aku hidup tanpa peran orangtua. Belasan tahun aku hidup dengan mengharapkan kasih sayang kalian." Kata Arana sembari menunduk.
"Kalian mengatakan aku merenggut segalanya dari kakak kembarku, Alana?" pertanyaannya retoris.
Ia mengangguk dan mendongak, menampilkan wajah masam dan senyum miris. "Tidak apa, kalian bisa menganggapnya begitu."
Ia memandang keduanya dengan manik yang berkilat karena air mata. "Mama dan papa tenang saja. Aku tidak akan lagi mengganggu Alana. Pikiranku untuk mendapatkan kasih sayang kalian pasti juga kesalahan. Jadi aku akan dengan sadar mundur. Terima kasih karena sudah menyadarkanku bahwa aku tidak memerlukan kasih sayang mama dan papa dalam hidupku."
Deg!
Ucapan Arana membuat keduanya tertegun. Mereka memandang Arana yang menghapus air matanya dan memasang wajah datar tanpa ekspresi.
"Mama dan papa juga tidak perlu khawatir dengan pernikahan. Tentang menikahi tunangan Alana, aku bersedia." Ucap Alana.
Perkataannya membuat pikiran Lidia dan Michael teralihkan. Mereka segera menepi perasaan aneh dibenak mereka dan saling pandang dengan bahagia.
"Terima ka—" Lidia hendak berkata dan memeluk Arana sebelum Alana menahan gerakannya.
"Tidak perlu, ma. Aku tidak menginginkan lagi pelukan dari mama ataupun papa. Berikan waktu bagiku untuk berkemas. Aku akan menemui mama dan papa dibandara nanti malam."
Setelah mengatakan itu, Alana berbalik memandang Amber. "Amber, bisakah kamu mengantarku pulang?"
Bahasa Indonesia Amber masih belum lancar. Dia mengerti beberapa kosakata, namun selebihnya, mendengar percakapan mereka membuatnya bingung dan bertanya-tanya. Awalnya Amber membawa mereka menemui Arana karena berpikir mereka berniat membawa Arana karena sadar perlakuan mereka pada Arana selama ini salah. Namun melihat reaksi Arana, nampaknya pikirannya tentang mereka tidak bisa berubah.
Amber mengangguk dan menjawab, "Aku akan mengantarmu."
Amber tidak salah.
Mereka tidak layak disebut sebagai orangtua.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!