Byurrrr
"Banjir!!" teriak seorang pria dengan nyaring sambil beranjak dari tempat tidurnya dan berusaha melarikan diri, tapi malang ia malah menabrak pintu kamarnya sendiri.
"Akkhhh!!" Ia memegang kepalanya dan mengusapnya pelan, sedetik kemudian ia termenung sesaat sebelum akhirnya membulatkan mata. Ia langsung menatap kembali ke arah tempat tidurnya.
"Ibu!!!!!"
"Tidak baik membentak orang tua mu sendiri Genta!" nasehat sang ibu yang berkacak pinggang sambil mempelototi anak bujangnya.
Genta memelas dan berjalan gontai ke arah sang ibu. Ia menarik napas dan menatap malang ke arah tempat tidurnya.
"Padahal ibu bisa membangunkan ku dengan cara yang baik." Ia beranjak dan membereskan tempat tidurnya.
"Genta ayah mu sakit." Satu kalimat itu sukses menghentikan aktivitas Genta. Ia menatap sang ibu dan menjatuhkan bantal yang ada di tangannya.
"Maksud ibu?" tanyanya dengan mata yang perlahan memanas dan dengan keras menggelengkan kepala berharap apa yang ia dengar hanyalah angin lalu biasa.
"Apa kurang jelas nak?" ibu Tera tidak sanggup lagi membendung air matanya. Ia terisak dan langsung menatap ke samping agar anaknya tidak melihat air bening yang baru saja keluar dari maniknya.
"Ayah dimana sekarang Bu?" Tanya Genta panik dan ia langsung berlari ke kaca memastikan jika penampilannya layak untuk keluar rumah.
"Di rumah sakit."
Genta tanpa ba bi bu langsung berlari keluar dan mengambil sepeda tuanya di gudang.
Sebelum pergi ia menatap ke arah pintu rumah, tanpa sengaja matanya menangkap sang ibu yang sedang menangis nyaring. Hatinya sesak saat menyaksikan adegan itu. Tiada yang lebih menyakitkan bagi anak pria selain melihat orang dicintainya sedang menderita.
Dengan buliran air mata ia mengayuh sepedanya sekuat tenaga.
Genta Arakhan, pria yang akan merubah cinta menjadi tinta.
_________
Ibu Tera langsung berlari memeluk Genta untuk terakhir kalinya sebelum anaknya itu akan pergi ke kota dengan kurun waktu yang lama.
Pelukannya teramat erat seolah tak akan pernah bertemu lagi, ia tidak rela anak semata wayangnya pergi. Namun tidak ada pilihan lain inilah yang harus dilakukan seorang Genta. Ia juga terpaksa melakukan ini, semuanya bukanlah kemauan Genta, tapi melainkan kehendak keadaan.
Jika ia bisa mengubah rasa dan segalanya mungkin ia tidak akan bertemu dengan masa yang sangat sulit ini.
Sakit, itulah yang dirasakan satu keluarga. Tidak ada yang menginginkan perpisahan ini.
"Ibu maafkan Genta," lirihnya sembari mengusap punggung sang ibu dengan penuh kasih sayang.
"Jangan minta maaf, kau tidak salah nak, yang salah adalah takdir." Ia melepaskan pelukannya dan tersenyum sembari diiringi tetesan bening. "Nak ibu harap kamu dapat melakukan nya sebaik mungkin. Ingat Demi keluarga mu."
"Akan Genta penuhi. Tapi ibu jangan menangis lagi." Genta menghapus air mata Tera dan memberikan ulasan senyum.
"Bagaimana ibu tidak menangis nak? Anak satu-satunya ibu akan pergi ke kota dan meninggalkan ibu." Isakan Tera semakin nyaring meluapkan semua perasaannya. Dan betapa sakit hatinya ia kala kedua pria yang ia cintai semakin jauh darinya.
Genta tertawa dan menghapus air mata sang ibu. Ia menarik Tera kembali dalam pelukannya. Seperkian detik sebuah suara yang menjadi akhir perpisahan mereka membuat Tera semakin menangis nyaring. Genta tak sanggup lagi menahan tangisnya. Ia mencengkram punggung sang ibu untuk menguatkan hatinya.
Ia melepaskan paksa pelukan sang ibu. Lalu mencium kening wanita kunci berharganya itu cukup lama dan hikmat.
"Genta pergi ibu." Ia melirih pelan, "demi ayah."
Tanpa menunggu jawaban sang ibu, Genta berjalan menuju bus yang beberapa detik lagi akan berangkat.
Tera mengangguk dan memejamkan matanya saat maniknya menangkap sang anak semakin hilang dari pandangannya. Ia menatap bus yang sudah siap berangkat ke kota. Hatinya bak diremas, ini sangat menyakitkan.
Ia pergi ke kota demi banyak orang terkhusus keluarganya. Hanya di kota ia akan mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang cukup agar dapat mengobati sakit keras sang ayah. Tentu hidup di kota tidak segampang dipikirkan dan mencari pekerjaan yang layak itu tak semudah dengan apa yang dibayangkan.
Genta menatap sang ibu yang menangis dari jendela. Ia juga merasakan hal sama yang dirasakan sang ibu.
Kehidupan yang sesungguhnya akan dimulai.
____________
Genta menatap secarik kertas di tangannya dengan bingung. Ia celengak celenguk mengawasi sekitar pasalnya ia tak tau sedang berada di mana dan dimana pula alamat yang tertulis di potongan kertas di tangannya itu.
Ini pertama kalinya ia ke kota besar seperti ini. Memang sangat menakjubkan pemandangannya, namun semuanya tiada arti jika dilihat dengan hati yang gundah.
"Ada apa Nak?" Genta tersentak dan langsung membalikan badannya. Ia menyengir kepada pria tua yang ada di depannya itu.
Sejenak Genta pikir tidak ada salahnya menanyakan alamat ini kepada pria itu. Siapa tau ia bisa memberikan petunjuk bagi dirinya bukan?
"Bapak tau di mana alamat ini?" tanya Genta was-was pasalnya ia takut jika alamat di tangannya palsu.
"Aduh kurang tau saya. Cari di google map saja nak. Saya juga bukan orang sini."
Genta tersenyum lirih. Cukup sudah mungkin ia telah ditipu, tiada lagi harapan di kota besar ini.
Genta menghela napas dan mengangguk lalu tersenyum lirih. Handphone ya? Ah, sayang di handphone nya tidak ada aplikasi semacam itu.
Pria tadi pergi dan Genta hanya menarik napas panjang.
Brak
"Akhhh!!"
Genta menatap orang yang baru saja menabraknya. Ia mengernyit heran, perempuan itu lah sendiri yang menabraknya dan ia pula yang mengaduh kesakitan.
"Ma-ma-maffkan aku!" lirihnya takut dan meremas kedua tangannya. Wajahnya tertutup rambutnya yang tergerai panjang.
Genta menarik napas. Wanita berseragam sekolah sekitaran 17 atau 18 tahunan ini terlihat sangat takut padanya. Dan itu membuat Genta merasa bersalah.
"Tid..."
"Nona dari mana saja?"
"Paman Sean??"
"Nona ayo pulang."
Wanita itu menatap sekilas pria yang berdiri di dekatnya yang baru saja ia tabrak.
"Maafkan aku!" ujarnya dengan nada bersalah sebelum berlalu dari sana.
Genta membeku menatap wajah cantik yang dimiliki wanita itu. Seumur hidupnya ia tak pernah menatap wajah sesempurna itu.
"Ya ku maafkan," gumamnya.
Tatapan matanya tak lepas dari mobil yang dinaiki perempuan tersebut. Setelah beberapa detik Genta menyadarkan dirinya sendiri.
"Aku tidak mungkin kan menjadi pedofil?" Yah wanita tadi tampak hanya sebatas pundaknya serta wajahnya saja telah menunjukkan ia masih dibawah umur, berbeda dengannya yang hampir berkepala tiga.
🙏🙏🙏🙏🙏🙏
"Genta?"
Merasa terpanggil Genta pun mengalihkan pandangannya ke samping. Ia kaget menatap siapa yang ada di depannya ini.
"Cristian? Kau menjemputku?"
"Aku tidak menyangka ini kau Genta!!"
"Aku lebih tak menyangka jika kau rela datang menjemput ku." Genta tersenyum. Tentu ia bahagia ternyata Cristian rela datang menjemputnya kemari.
"Kau ternyata lebih tampan dari yang di foto Genta, ku pikir wajah mu tak setampan ini."
"Cristian kau ada-ada saja, kau tak malu memuji pria seperti itu?" Genta terkikik geli melihat orang yang di samping mereka memasang ekspresi jijik setelah mendengar ulasan Cristian.
"Hahaha. Sebenarnya aku juga jijik mengatakan itu. Tapi setelah ku analisis lagi kau memang jelek."
Genta memasang tampang kesal pada Cristian.
Cristian dan Genta merupakan teman virtual. Dan pertemuan kali ini adalah pertemuan pertama bagi keduanya. Mereka saling mengenal melalui aplikasi Snap Chat, waktu itu Genta meminjam smartphone temannnya dan memainkan aplikasi tersebut.
Yah pertemuan singkat itu berlanjut ke mode SMS dan hingga sekarang. Mereka berteman cukup baik.
"Ah ya Cristian apakah aku bisa menginap di rumah mu!?"
"Santai bro aku bisa meminjamkannya beberapa hari... Tapi selanjutnya harus bayar." Cristian berlalu sambil terikik memasuki mobilnya.
"Ya, Cristian aku akan membayar nanti."
Cristian yang telah berada di dalam mobil kontan menatap Genta yang masih di luar. Dia tertawa mendengar pernyataan Genta. Padahal ia bercanda dan pria itu menganggapnya serius? Genta memang luar biasa pikirnya.
"Apakah hidup mu tidak membosankan?"
"Maksud mu Cristian?"
"Benar dugaan ku. Pasti sangat sulit hidup tanpa lelucon dan jokes. Pantas kau tidak mengerti apa yang ku katakan tadi." Genta mengernyitkan jidatnya. Apa maksudnya? "padahal aku hanya bercanda tadi. Kau dapat tinggal di rumah ku sampai kau mendapatkan pekerjaan di sini. Aku tentu tak sejahat itu bung menyuruh mu membayar."
"Cristian kau ini.... Tak apa Cristian aku akan tetap membayar nantinya."
Pria di dalam mobil itu hanya menggelengkan kepala melihat betapa gigihnya pria yang menjadi lawan bicaranya ini.
"Sudahlah Genta, terserah kau saja. Oh ya apakah kau akan selamanya berdiri di situ?"
Genta menarik napas dan menggeleng.
"Jadi aku harus melakukan apa?"
"Dasar pria bodoh. Tentu kau masuk ke mobil ku. Kau mau berjalan kaki? Boleh juga."
"Bagaimana cara membuka pintunya?"
Cristian menganga tidak percaya. Apakah ia sedang berada di bawah alam sadar? Ini benar-benar menakjubkan ia baru pertama kali memiliki teman seperti ini.
Ia menarik napas dan membuka pintu mobil tersebut.
"Masuklah sebelum ku tinggalkan."
Sesuai perintah, Genta pun mematuhinya. Cristian menepuk pundak Genta.
"Kau memang pria polos. Aku khawatir dengan kau yang di kota besar ini sendirian, bisa saja nanti kau diperkosa."
"Hah maksud mu? Tidak, aku pria baik." Genta mulai ketakutan, dia tidak ingin kehilangan ke perjakaannya. Ia berjanji akan memberikannya hanya pada istrinya kelak.
"HAHAHHA. MEMANG BODOH!!"
________
"Kenapa kau mengendap seperti itu, hm Alice?"
Alice tercekat lekas berbalik. Oh God ayahnya berdiri di depannya dan tentu ini tidak akan menjadi baik-baik saja.
Dadanya berdegup dan wajahnya meringis. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Oh tidak dia tidak ingin ayahnya kembali melarang ia membeli boneka seperti kemarin dan menyita ATM nya.
Alice memang minat terhadap boneka dan mengkoleksi di kamarnya. Meski ia sudah tergolong besar, membeli boneka unik menjadi hobinya.
"Papa."
"Ku dengar kau kabur ke toko boneka saat jam pelajaran berlangsung." Matilah kau Alice, ternyata berita ini telah menyebar dengan laju di luar pemikirannya.
"I..itu tidak benar Pa, Alice sekolah kok tadi." Alice menyembunyikan kegugupannya. Ia harus pandai berakting semaksimal mungkin.
"Oh ya, jika Papa menanyakan guru mu apakah kau masih mau berkata seperti itu."
Alice langsung bengong. Dalam hati Alice terus menggerutu. Tidak lagi, tidak boleh kejadian beberapa Minggu lalu terulang kembali.
Dengan pasrah Alice langsung bersimpuh di depan ayahnya. Ia menatap sang ayah dengan mata bulatnya.
"Pa Alice minta maaf, tadi ada pameran Boneka Pa makanya Alice bolos!" Ia memasang tampang polos dan mengedipkan matanya. Semoga saja dengan itu ayahnya mau luluh.
"Apakah boneka lebih penting dari belajar mu Alice."
Tanpa sengaja wanita itu menyebut, "tentu Pa."
"ALICEE!!!"
Menyadari apa yang barusan ia katakan Alice langsung panik dan berlari ke kamar seperti kekanakan sambil memeluk boneka stroberi di tangannya.
"Dasar.. anak nakal itu."
Pria paruh baya itu memijat kepalanya atas pemandangan di depannya. "Anak itu keras kepala." William Arakhe melenggang pergi dari sana.
Seonggok tubuh kecil yang berjalan dengan penuh kehatian mencegat jalannya. Ia tersenyum simpul melihat anak pria nya yang baru bisa berjalan. Grisson Arakhe adalah buah kebablasan nya bersama sang istri di masa senja.
Ia mengangkat anak itu dan menciumnya.
"Ku harap kau tak semenyebalkan Kaka mu Grisson."
Grisson tertawa. "Hihihi pa pa papa..." Ujarnya sambil menepuk-nepuk dada ayahnya kesenangan.
_________
"Wah indahnya," gumam Alice. Ia terkikik bahagia melihat pameran boneka yang menakjubkan di malam hari.
Langkahnya gontai mengelilingi tempat itu dan melihat satu persatu boneka yang dipamerkan. Ia melihat boneka yang cukup unik dan mendekatinya.
"Benar-benar indah." Ia melihatnya dengan seksama. Tiba-tiba jiwanya meronta-ronta menginginkan boneka itu.
Ia melihat harganya. $2000. Tidaklah mahal pikirnya. Dan kebetulan sekali boneka tersebut dijual.
"Kaka bisa pesan ini?"
Petugas di sana meneliti Alice dengan seksama. Dari penampilannya kurang meyakinkan.
"Nona ke sini dengan siapa?"
"Sendiri," ujar Alice polos.
"Maaf Non boneka ini cukup mahal, Nona mending beli yang di depan sana saja ya."
Alice menggeleng kuat. Ia tak mau boneka yang ada di sana, ia mau boneka ini yang telah memikat hati bahkan pikirannya.
"Alice mau yang ini," pekik Alice dengan mata yang berkaca-kaca.
Satpam yang menyadari ada kericuhan pun hendak menarik Alice keluar. Dengan sekuat tenaga pula Alice menahan tubuhnya.
"Apaan sih.... Lepasin Alice.." teriak wanita itu. "Alice akan bayar dua kali lipat."
Anak perempuan itu mengeluarkan black card nya. Semua mata langsung melotot. Sang kasir mengambil ATM tersebut dan memindai nya ke mesin khusus. Sang kasir terbelalak melihat jumlah uang di sana. Ia pun menggesek ke mesin ATM.
"Ini ATM nya Non," ujar sang kasir setelah nya.
Para pelayan di tempat itu menyerahkan boneka besar tersebut pada Alice.
Dengan perasaan berbunga ia mengambilnya dan langsung berlari keluar toko.
"Bocah bukan sembarang bocah." ujar orang di sana.
"Tapi yakin dia masih bocah? keliatannya dia baru saja beranjak dewasa. Cantik juga."
Alice berjalan di tengah keramaian kota sembari bersenandung ria. Ia belum ingin pulang, ia hendak menikmati malam sambil bersenang-senang.
Melihat pemandangan kota yang begitu indah membuat Alice mengukir senyum. Boneka beruang yang baru saja dibelinya setia berada dalam dekapannya.
"Ahh sekarang Alice namain kamu Caca." Aneh sekali padahal boneka itu berjenis kelamin pria.
"Sekarang kamu tinggal di rumah Alice, di sana juga ada, Tata, Aci, Nino.." ujarnya berdialog pada benda bisu itu. Alice bahagia dan mengusap kepala sang beruang.
Alice melotot baru menyadari ia tersesat di keramaian hingga menuju jalan kesunyian. Ia tidak tau ada dimana sekarang.
Batinnya gugup, tangannya merinding menatap kesunyian. Senyumnya yang mengembang seketika memudar. Matanya memanas.
"Hiks hiks hiks Alice mau pulang."
Ia terus menangis sesugukan sambil berjongkok dan mendekap bonekanya.
Cukup lama ia dalam posisi itu dan tentunya sembari menangis hingga sebuah tangan menepuk pundaknya.
"TOLONG JANGAN GANGGU ALICE!!" tangisnya pecah ketakutan.
"Hey jangan menangis," ujar orang tersebut begitu lembut dan mampu menghentikan tangis perempuan kecil itu.
Alice mendongak dan samar-samar melihat wajah seorang pria. Ia ketakutan dan berjalan mundur.
"Caca kita harus selamat," bisiknya pada boneka beruang jumbo itu.
"Aku orang baik. Aku akan menolong mu, hari sudah gelap sebaiknya kau ke rumah ku, aku tinggal dekat sini," lirih sang pria dengan wajah cemas. Ia tak tahu cara menenangkan seseorang.
"Paman bakal nolongin Alice sama Caca?"
Pria itu mengangguk sebelum sebuah kejanggalan memenuhi otaknya.
"Alice siapa? Dan Caca siapa?" tanyanya bingung, apa masih ada orang lain lagi di sini?
"Alice nama ku dan Caca nama beruang punya Alice," tunjuknya pada sang beruang.
Pria itu mengangguk paham.
"Kamu ikut paman dulu ya, baru besok paman antar ke rumah mu."
Entahlah ia juga bingung harus melakukan apa, ia sendiri juga tak tau hendak mengantarkan Alice ke mana?
Beberapa jam kemudian. Dua orang pria menatap pada ranjang yang dihuni seorang anak gadis bersama beruangnya.
Mata Cristian melotot mengetahui beruang dan pakaian Gadis itu bukan sembarang barang. Itu mahal.
"Di mana kau menemukan mesin ATM berjalan ini Genta?"
"Di jalan," polos Genta.
"Selain cantik dia juga sepertinya bukan sembarang orang."
"Maksud mu?"
"Kau tau Genta seluruh yang ada di tubuhnya itu ada sekitar dua juta dolar."
"Hah?? Tidak mungkin." Genta menganga tidak percaya, itu nilai yang sangat fantastis.
______
Tbc
Kedua manusia itu menganga tak percaya menatap bangunan menjulang tak terhingga di depan kedua mata mereka. Sangat menakjubkan, mungkin Cristian hanya berapa saat menatap seperti itu, lain dengan Genta yang tak menghentikan tatapannya. Ini baru pertama kalinya ia berada sedekat ini dengan bangunan bak istana.
Ia tak yakin ini sebuah rumah, dapat ia tebak bahkan terasnya saja sudah seluas rumahnya di kampung. Apakah gedung di depan ini pantas disebut dengan rumah?
Ia menelan salivanya, ia benar-benar tak menyangka telah menyelamatkan gadis maut. Diluar dugaannya dapat berdiri di depan sini.
Genta menatap pada gadis manis yang ada di sampingnya. Perempuan itu tak kunjung melepaskan beruang yang baru dibelinya semalam. Genta baru menyadari jika wanita kecil ini adalah anak kemarin yang menabraknya.
Kecantikan Alice semakin bertambah kala tersenyum manis melihat orang tuanya berlari ke arah sang wanita. Genta benar-benar takjub melihat pemandangan ini. Amat indah ketimbang bangunan bak istana di depannya.
"Terima kasih telah mengantarkan anak saya," ujar Tiara kepada Cristian dan Genta. "Bagaimana kalau kita masuk dulu dan berbicara di dalam."
"Ah tidak perlu nyonya."
Tiara menarik napas dan menatap pelayan di samping. "Eliza tolong telponkan suami ku dan katakan padanya Alice sudah di rumah."
"Baik Nyonya."
"Kalau begitu apa keinginan kalian biar saya penuhi," tukas Tiara sembari tersenyum. Tangannya tak henti mengusap belakang sang anak.
Dunia Tiara seakan runtuh kala mengetahui sang anak menghilang dari kamarnya tadi malam. Kepanikan mendera satu rumah dan pencarian besar-besaran dikerahkan. Alice memang nakal, anak itu suka pergi menyelinap tiap malam.
Mendapat kabar jika Alice ada di luar pagar tentu mengembalikan senyum Tiara. Ia tak menangis lagi dan berlari menempuh luasnya istana. Tak menghiraukan peringatan sang pelayan takut-takut ia terjatuh.
Bagaimana mungkin sosok berharganya ditemukan dan ia tak berterima kasih pada sang penemu?
"Keinginan kami tidak ada Nyonya. Saya dan teman saya ikhlas membantu Nyonya. Bukan kah sudah sepantasnya sesama manusia saling menolong." Itu bukan perkataan Cristian. Pria itu tak kan mungkin mengeluarkan kata-kata bodoh itu. Sangat naif sekali Genta. Bukan kah ini adalah kesempatan emas dan ia menolaknya mentah-mentah? Memang aneh pria ini.
Cristian menarik napas dan menginjak sengaja kaki Genta.
"Akhhh.... Ada apa dengan mu Cristian? Kenapa kau menginjak kaki ku."
Cristian berbisik pada Genta. "Pria sialan kau bodoh atau bagaimana? Situasi ini uang bro. Dan kau mengabaikannya? Ku rasa saat pembagian otak kau tidak hadir."
Tiara tertawa sekilas menatap itu ia masih dapat mendengar kata-kata Cristian tadi. Namun, Genta lebih menarik perhatiannya, pria itu sepertinya cukup baik, dia ramah dan berbudi. Sangat jarang ada pria seperti demikian di zaman ini.
Ia menyadari jika Genta bukanlah orang yang berasal dari sini. Meskipun itu belum pasti dan hanya menduga, entah kenapa nalurinya meronta mengatakan seperti itu.
"Siapa nama mu?"
Cristian kontan langsung menatap lurus pada wanita paruh baya tersebut. Ia mengembangkan senyuman.
"Cristian Nyonya!."
"Oh itu kah nama kau? Cukup bagus tapi yang ku maksud adalah nama teman mu itu!" Tiara begitu anggun dan lembut menanggapinya.
Alice yang sedari tadi hanya berdiam saja pun angkat bicara. Ia tersenyum menampakkan deret giginya yang rapi. Wanita itu benar-benar bak Dewi kayangan. Wajahnya yang imut serta perawakan yang masih kecil membuatnya tampak menggemaskan.
Bahkan setiap orang yang menatapnya tak akan pernah bosan. Apalagi dengan sosoknya yang ceria.
"Paman itu namanya paman Genta ma."
Genta dan Cristian melotot tak percaya terutama Genta. Dia rasa mereka tak ada memberitahukan nama mereka masing-masing, di mana Alice mengetahuinya?
Genta tersenyum kikuk kala namanya disebut oleh gadis manis. Entah kenapa jantungnya berdegup tak karuan. Jantungnya Mungkin lelah berdegup lemah.
Tiara mendengar nama cukup unik di telinganya tersenyum simpul. Ia mengelus kepala sang anak. Syukurlah perinya telah berada di dekapannya kembali.
"Nama mu cukup bagus Genta. Oh ya apakah kalian sama sekali tidak menginginkan sesuatu?"
"Tidak!! Iya!!" Cristian dan Genta.
Tiara bingung namun ia langsung mengubah ekspresi-nya seperti biasa.
"Ku rasa kau Cristian membutuhkan. Katakanlah!"
"Nyonya adakah pekerjaan di sini bagi seorang yang tidak berpendidikan?"
Tiara mengernyitkan bingung. Buat apa pria tersebut menanyakan itu? Tentu ada, namun kurang layak dan gajinya kurang memuaskan, jika menginginkan bukan kah mereka bisa meminta yang lebih dari itu?
Entah apa yang akan Genta katakan kala mulutnya menganga ingin berucap sesuatu yang tertahan di kerongkongan. Ia menatap Cristian tak percaya. Apa barusan pria itu ucapkan? Ia sungguh tak ingin memanfaatkan sesuatu demi kepentingan dirinya. Ia rela dan tulus membantu.
Pria itu menggaruk kepalanya dan menatap pada Alice yang juga menatapnya. Anak perempuan itu tersenyum manis sangat manis padanya. Hati Genta tak karuan. Ingat Genta dia masih bocil, bukan kah umur hanya angka? Tapi meski hanya angka tak pantas pula baginya jatuh cinta pada perempuan baru puber itu, kan? Genta merasa bejat memang dirinya ini.
"Tentu ada. Kenapa memang kau menannyakan itu? Kau ingin menjadi pelayan kah Cristian?"
"Bukan Paman Cristian yang mau ma tapi Paman Genta, Paman baru saja ke kota kemarin dan mencari pekerjaan Ma." Sekarang bukan Genta saja yang dibuat terkejut tapi Cristian juga.
Benar-benar jenius ini anak bahkan mereka sendiri tak pernah mengatakan itu ke Alice tapi anehnya ia mengetahui.
Genta tersenyum pada Alice. Dan berdiri di depan anak itu.
"Alice dari mana kau mengetahuinya?"
"Maafkan aku Paman aku tak sengaja mendengar percakapan kalian malam tadi."
Tiara tersenyum mendengar penjelasan sang anak. Ia menatap Alice dan mengusap wajahnya.
"Alice tidak baik menguping pembicaraan orang. Bukannya sudah mama katakan kemarin? Kau melupakannya?"
Genta yang melihat Alice tersudut kan sigap langsung menyanggah. "Ah tidak apa nyonya. Jangan marah kepada Alice." Ia tentu tak mau melihat Alice mendapatkan amarah sang ibu, dasarnya memang Alice tak bersalah sama sekali.
"Hm, baik sekali kamu nak. Genta kamu bisa bekerja mulai besok di rumah ini."
"Maksud nyonya?"
"Bukan kah pekerjaan yang sedang kau butuhkan?"
Genta mengangguk namun ia tak paham sama sekali. Cristian tersenyum dan menepuk pundak Genta.
"Selamat bro."
"Cristian apa yang harus ku lakukan?" tukas Genta gugup.
"Tentu senang bodoh," kesal Cristian seraya menggeplak kepala pria itu.
"Maafkan hanya ada posisi pelayan untuk mu Genta, dan maaf pula gajinya tak memadai hanya $5000."
"Hah?!!!! ITU TIDAK BISA DISEBUT HANYA NYONYA!!!"
__________
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!