Seorang laki laki bername tag Langit Agam Perkasa, sedang duduk di tempat biasa ia kumpul bersama teman- temannya namun kali ini ia terlihat sendiri tanpa teman-teman yang meneman, tempat itu yang tak lain dan tak bukan adalah rooftop.
Kali ini Langit sedang duduk termenung, kepulan asap keluar dari mulutnya dan di jari tangannya terdapat sebatang rokok yang sedaritadi ia hisap sambil memandangi cuaca hari ini yang cerah.
Melihat itu Langit menyungingkan senyum sinis, nyatanya hatinya kini tidak secerah cuaca yang sedang ia nikmati.
Hati Langit saat ini sedang terasa sesak, masalah yang ia alami semakin hari semakin rumit dan sering membuat nya frustasi, ia selalu bertanya kenapa ia di ciptakan di dunia ini jika hanya untuk merasakan sakitnya kehidupan.
Sungguh demi apapun Langit tidak tahan dengan semuanya, ia ingin mengakhiri hidupnya namun itu tidak akan ia lakukan karna ada seseorang yang harus ia jaga.
Seseorang yang saat ini menjadi semangatnya untuk hidup, seseorang yang saat ini sedang berjuang untuk selalu bersama Langit, untuk memberinya semangat dan pelukkan seseorang yang saat ini selalu Langit syukuri kehadirannya.
"Lang," panggil seseorang membuat Langit menoleh, dan di sana ada Petang-sahabatnya yang sedang tersenyum dan melangkah mendekati Langit
"Lo gk pulang Lang? Ini udah jam pulang sekolah," ucap Petang memberitahu Langit karna takutnya Langit tidak tau bahwa bel sudah berbunyi sedaritadi karna bel tidak terdengar bunyinya sampai ke rooftop.
"Lo lupa ya? Gue kan gk punya rumah," ucap Langit dengan tatapan dinginnya, membuat Petang menatap sendu sahabatnya itu, ia begitu paham dan ia juga tau apa yang sahabatnya itu alami saat ini adalah masalah yang sangat rumit sekali.
"Dimana yang lain?" Tanya Langit yang berdiri lalu menginjak puntung rokoknya.
Petang yang paham maksud Langit pun langsung menjawab "Aksara dia lagi di hukum sama bu Retno gara gara dia gk ngerjain pr, kalau si Rintik dia lagi beli bensin nanti juga balik, terus si Candra dia lagi ada panggilan alam, dan Fajar dia lagi ada urusan penting katanya menyangkut masa depannya ama Kara," jelas Petang dan Langit pun hanya menganguk lalu kembali menggambil satu batang rokok dan mulai menikmatinya.
Petang yang melihat itu hanya mampu menggelengkan kepalanya.
"Lo udah abis berapa bungkus rokok Lang?" Tanya Petang menatap Langit yang saat ini begitu menikmati rokok nya.
"Udah abis satu bungkus," ucap Langit, tidak berbohong karna memang hari ini saja ia sudah berhasil menghabiskan sebungkus rokok sejak tadi.
Hal itu membuat Petang geleng-geleng kepala, lalu segera merebut rokok yang ada di tangan Langit dan membuat Langit menatapnya tajam.
"Balikin rokok gue," perintah Langit dingin dengan mata yang masih menatap tajam Petang.
"Lang lo gila ya? Lo udah ngabisin sebungkus rokok dan lo tau itu gk baik buat kesehatan lo, sekalut kalutnya gue. Gue gk pernah tuh ngerokok sampe abis sebungkus gini," ucap Petang dan Langit hanya terdiam sambil meredam emosinya.
"Gue gk tau apa yang harus gue lakuin. Gue bener bener frustasi saat ini," ucap Langit sambil mengacak acak rambutnya sambil berdecak kesal.
"Lang, lo kan punya sahabat. Lo harusnya cerita ke gue kalau gk ke yang lain, kita ini sahabat Lang. Kita ini satu, masalah lo masalah kita juga dan kita bakal bantuin lo tapi please Lang lo jangan kaya gini. Ngeliat lo kaya gini bikin gue tambah khawatir," ucap Petang membuat Langit seketika terdiam.
"Ciee kalian saling khawatir satu sama lain, duh romantis banget sih."
Kali ini itu bukanlah suara Petang dan Langit tapi itu suara ....
"Aksara? Lo udahan di hukumnya?" Tanya Petang pada Aksara yang terkekeh lalu duduk persis di samping Petang.
"Belum sih sebenernya, tapi gue tadi kabur aja abisnya gue capek di suruh lari sepuluh puteran ngelilingin lapangan yang lebarnya udah kaya jidat pak Odoy," ucap Aksara yang teringat dengan guru matematikanya yang super killer dan selalu menghukumnya, padahal Aksara tidak melakukan kesalahan apapun.
Padahal dirinya cuma tidur di kelas masa sampai di hukum segala? Sungguh tidak berperi kemanusiaan memang, begitulah fikir Aksara saat itu.
"Ck lo itu sa gk ada kapoknya,"ucap Langit yang berhasil membuat Aksara terkekeh.
"Kalau gk nakal gk asik," ucap Aksara dengan kekehan yang semakin keras.
"Buset tuh mulut udah kaya toa masjid," kata Rintik yang datang bersama Candra dan bergabung bersama Langit, Petang, dan Aksara.
"Loh kok? Cuma kalian berdua? Si Fajar mana?" Tanya Aksara yang menyadari bahwa sahabatnya Fajar tidak terlihat batang hidungnya.
"Biasa si Kara ngambek lagi, keknya bentar lagi mereka putus tuh," ucap Candra mendapat jitakan di kepala oleh petang.
"Parah lo ya! Ucapan itu doa tau," ujar Petang dan Candra hanya bisa cengegesan sambil mengangkat ke dua jarinya membentuk huruf 'V'
"Sorry bro hehe ... khilaf," kata Candra memohon maaf pada Petang.
Drrrrttttt
Suara ponsel Langit berdering, membuat semuanya terdiam dan Langit pun segera menggangkat panggilan yang masuk ke gawainya.
"Hallo?"
"...."
"Baik saya akan segera ke sana," ucap Langit mengakhiri panggilannya bersamaan dengan raut wajahnya terlihat panik dan Langit pun segera menggambil tasnya.
"Lang kenapa?" Tanya Petang khawatir.
"Siapa yang telpon Lang?" Tanya Aksara yang juga merasa khawatir.
"Dari rumah sakit dan gue gk ada waktu buat jelasin ke kalian. Gue harus segera ke sana," ucap Langit yang segera berlari meninggalkan rooftop dan menuju parkiran sekolah.
Lalu sesampainya di parkiran Langit segera menuju ke tempat motornya terparkir lalu ia pun segera melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata rata.
Doanya saat ini adalah semoga dia baik- baik saja karna Langit tidak siap jika harus kehilangan nya, Langit benar- benar sangat takut.
"Sial!" Umpat Langit ketika ia harus berhadapan dengan lampu merah, yang Langit lakukan kali ini adalah berharap agar ia tidak terlambat untuk sampai ke rumah sakit.
Langit akhirnya sampai di rumah sakit, lalu tanpa tunggu waktu lama lagi. Dia pun segera berlari masuk ke dalam rumah sakit tersebut dan ia segera berjalan menuju ruangan HCU, tempat orang tersayangnya di rawat saat ini.
Saat sudah sampai di depan pintu HCU, Langit berhadapan dengan seorang dokter yang selama ini menanggani dia yang Langit sayangi.
"Bagaimana keadaannya dok?" Tanya Langit yang wajahnya terlihat sangat panik.
"Tenanglah, Alhamdulillah dia sudah berhasil melewati masa kritisnya tapi dia masih harus di pantau lagi kondisinya, karna saat ini kondisinya masih begitu mengkhawatirkan," jelas dokter bername tag Rizal tersebut.
Setelah mendapat izin untuk masuk Langit pun segera masuk ke dalam ruangan tempat ia yang tersayang sedang berbaring melawan penyakitnya.
Langit berdiri mematung saat retina matanya menatap seorang gadis dengan wajah pucat dan mata tertutup serta alat yang tidak Langit tau, kini sudah terpasang di tubuh dia yang Langit sayangi.
Hal itulah yang membuat Langit merasa bertambah sakit melihatnya, jika bisa Langit berharap bahwa ia saja yang merasakan sakit itu dia jangan, dan jika boleh biarkan Langit saja yang terbaring saat ini dan dia jangan.
Tapi apa boleh buat, ini semua sudah takdir dan Langit tidak bisa berbuat apa- apa selain merasakan sesak di dadanya.
Langit mengenggam tangan gadis tersebut, lalu menciumnya dengan sayang.
Langit menatap wajahnya lagi, jujur saja ia sangat merindukan gadis itu.
Langit rindu mata indah itu terbuka dan menatapnya, Langit juga rindu memeluk tubuh gadis itu, ia rindu melihat manik mata berwarna biru itu, dan Langit juga rindu senyuman gadis itu dan semua hal tentangny, Langit sangat merindukan itu semua.
"Cepatlah sadar," lirih Langit sambil mencium kening gadis tersebut dengan penuh rasa sayang dan tersenyum, senyuman yang selama ini jarang sekali ia tampilkan.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 3.00 dini hari.
Semua orang masih terlelap di alam mimpi, namun tidak dengan Langit. Ia masih terjaga sedaritadi tatapannya masih sama, menatap dia yang saat ini masih memejamkan mata.
Rasanya Langit tidak mau beranjak dari sampingnya karna Langit takut jika nanti dia sadar Langit tidak ada di sisinya, Langit takut jika nanti dia merasa sakit Langit tidak bisa menyemangatinya, dan Langit sangat takut akan hal itu.
Langit berusaha sekeras mungkin agar matanya tidak terpejam, padahal rasa kantuk sudah menyerangnya dan akhirnya tanpa bisa di cegah Langit pun tertidur.
Langit tersadar saat ia mendengar bunyi suara deteksi kegawatan terdengar begitu nyaring, hal itu membuat Langit membuka matanya ia terkejut saat melihat monitor vital milik dia yang Langit sayangi di tambah lagi ia mengalami kejang kejang dan mulutnya mengeluarkan banyak darah.
Melihat itu membuat Langit panik, dia segera keluar mencari dokter untuk meminta bantuan.
Dan akhirnya ia bertemu dengan dokter Rizal, Langit pun segera mengajak dokter Rizal untuk membantu dia yang Langit sayangi.
Langit hanya bisa terduduk lesu dengan air mata yang sudah mengalir di pipinya, rasa takut kembali datang membuat Langit memeluk lututnya sambil mengelengkan kepala, mencoba menepis fikiran negatif yang tiba tiba datang menghampiri kepalanya.
"Jangan pergi ...." lirih Langit.
Saat ini ia benar-benar merasa sangat sakit, seperti di tusuk ribuan pisau di dada semuanya bercampur menjadi satu.
Rasa takut, sesak, dan rasa sesal, semuanya bercampur menjadi satu.
Langit memukul dadanya, berharap sesak di dadanya itu dapat hilang namunya nyata nya tidak.
Langit bangkit, ia sedang kalut saat ini dan ingin sekali melampiaskan rasa sakitnya itu, akhrinya Langit pun bangkit. Lalu ia segera berjalan ke arah rooftop rumah sakit tersebut karna saat ini ia sedang butuh kesendirian.
Di perjalanan menuju rooftop, langkah langit terhenti. Telinganya mendengar suara sayu-sayup seseorang sedang membaca Al Qur'an dengan suara yang lirih dan terdengar begitu merdu.
Akhirnya Langit pun melangkah mencari siapa orang yang mempunyai suara begitu merdu itu yang mampu membuat hati Langit terasa tenang.
Langit terpaku dengan pemadangan di hadapannya saat ini, ia melihat seorang gadis berbalut mungkena berwarna merah sedang duduk sambil memangku Al Qur'an dan membacanya dengan pelan, dan suaranya Langit akui sangat merdu bahkan dapat membuat mata Langit berkaca kaca mendengarnya.
Sudah lama ia tidak mendengar lantunan ayat suci Al Qur'an, terakhir kali ia membaca dan membukanya saat ia duduk di kelas lima sekolah dasar dan setelah musibah buruk menimpanya, Langit tidak pernah lagi membaca Al Qur'an atau pun mendengarkan lantunannya.
"Kamu mau sholat?" Tanya gadis itu yang kini sudah berdiri di hadapan Langit, dan membuat Langit tersentak kaget.
Langit pun menatap wajah gadis di hadapannya ini, gadis itu memiliki wajah yang cantik, hidung yang mancung, bulu mata yang lentik, dan bibirnya yang tipis, serta bola matanya yang berwarna coklat menambah keindahan ciptaan Tuhan di hadapannya ini.
Langit kembali tersadar ketika gadis itu menundukan kepalanya.
"Kamu mau sholat tahajud? Tapi afwan kayanya kamu salah, ini shaf kuhusus wanita. Sedangkan shaf khusus laki laki ada di sana," ucap gadis itu sambil menunjuk ke arah pintu shaf laki- laki.
Langit hanya diam, mendasak bibirnya terkatup rapat dan matanya terus saja ingin melihat wajah gadis di hadapannya yang entah kenapa rasanya sangat menenangkan hatinya.
"Kalau begitu saya duluan. Assalamu'alaikum," ucap gadis tersebut lagi yang kini melangkah pergi menjauh dari hadapan Langit.
Langit tidak menjawab salam gadis itu, ia masih diam namun detik kemudian bibirnya menyungingkan senyuman, kali ini senyumnya sangat lebar.
Langit melangkah kembali, kini ia tidak jadi pergi ke rooftop dan malah melangkahkan kakinya ke arah shaf laki- laki dan berdiri di ambang pintu.
Kakinya terasa berat untuk melangkah masuk ke dalam, batinya berkecamuk dan akhirnya Langit melangkah pergi meninggalkan mushola rumah sakit tersebut. Ia melangkah ke ruangan tempat di mana dia yang langit sayangi berada.
"Keadaannya semakin memburuk," ujar dokter Rizal memberitahu dan berhasil membuat hati Langit merasakan sakit kembali.
"Dia harus mendapat donor ginjal segera kalau tidak-"
"Nggak! Dia pasti selamat dia harus selamat!" teriak Langit dengan penuh penekanan.
Ia tidak mau dia pergi, Langit menyayanginya bahkan sangat menyayanginya dan Langit tidak siap jika harus kehilangan gadis itu, karna membayangkannya saja sudah membuat Langit sesak.
"Saya mohon selamatkan dia ... hanya dia yang saya punya saat ini," ucap Langit dengan suara yang parau, ia bahkan sampai bersujud di kaki dokter Rizal dam membuat dokter Rizal segera menangkat bahu Langit dan menyuruhnya untuk segera bangun.
"Saya akan berusaha semampu saya sedangkan kamu teruslah berdoa pada Allah, karna saat ini kita hanya bisa berharap pada Allah," ucap dokter Rizal menasihati, dan setelah itu pergi meninggalkan Langit yang tampak kacau.
Langit melangkah masuk ke dalam ruangan setelah dokter Rizal menyuruhnya untuk masuk.
Langit menatap nya dengan tatapan sendu tersirat kesakitan dan penderitaan di mata Langit.
Langit diam dan terpaku, namun detik kemudian tubuhnya luruh ke lantai.
Langit Agam Perkasa, seorang bad boy SMA Pertiwi saat ini sedang tidak berdaya, sekuat apapun Langit di mata teman-temannya Langit tetaplah manusia dan ia akan menangis jika orang yang paling ia sayangi harus menderita.
"Bangunlah ... abang mohon cuma kamu yang abang punya saat ini," lirih Langit menatap dia adik yang amat Langit sayangi.
"Jika bisa biar abang aja yang ngerasain sakitnya sedangkan kamu jangan," ucap Langit di sela isak tangisnya dan ia pun kembali menciumi tangan adiknya yang terasa sangat dingin.
"Apa kamu gk kasian ngeliat abang terus menderita kaya gini? Bangun dek, abang janji. Abang akan turutin semua perintah adek dan abang juga gk akan tinggalin adek lagi tapi tolong maafin abang ya dek," ujar Langit yang tangannya masih setia mengengam tangan adiknya seraya berharap suatu keajaiban dapat terjadi, ia berharap adiknya bisa segera membuka matanya karna demi apapun Langit merindukannya.
"Adekk .... " lirih Langit.
Tangisnya kini semakin terdengar pilu dan siapapun yang mendengarnya pasti akan ikut merasakan sakit yang Langit rasakan.
Langit merasa terkejut ketika tangan adiknya menunjukkan pergerakkan, Langit bahagia sekaligus panik lalu ia pun segera bangkit dan berlari mencari keberadaan dokter Rizal lagi.
Selama proses pemeriksaan, Langit tidak ingin keluar dan bersikeras untuk tetap bisa melihat adiknya.
Degan penuh pengharapan Langit terus menatap adiknya yang saat ini sedang di periksa oleh dokter Rizal.
Dokter Rizal menghampiri Langit dengan senyumannya lalu memberikan kabar baik pada Langit.
"Langit penantianmu selama ini tidak sia- sia. Kondisinya semakin stabil kemungkinan ia akan segera sadar," ucap dokter Rizal.
Dan dengan bahagianya Langit pun segera menghampiri adiknya dengan senyuman di wajahnya yang menambah tingkat ketampanan Langit, meskipun saat ini keadaan Langit sangat kacau.
Adzan subuh berkumandang dengan merdu, membuat Langit merasakan kedamaian saat mendengarnya.
Ingatannya kembali pada saat dimana semuanya masih baik-baik saja dan tidak ada masalah dalam hidupnya, semuanya masih terasa menenangkan.
Langit terpaku menatap adiknya yang sepertinya masih sangat nyaman memejamkan mata, sedaritadi gengaman tangan Langit tidak pernah terlepas dan ia masih mengenggam erat tangan adiknya, sesekali juga ia menciumnya atau sesekali ia mengusap tangan itu dengan lembut.
Langit ingat saat pertama kali adiknya lahir kedunia ini, saat itu ia begitu bahagia. Bahkan ia rela tidak tidur hingga larut malam demi menunggu kelahiran adiknya, Langit jugalah yang selalu menemani adiknya kemanapun adiknya pergi, Langit jugalah yang memeluk adiknya dengan erat. Di kala adiknya sedang merasa sedih, karna apapun akan Langit lakukan demi adiknya, Kayana Jingga Gemilang.
"A ... abang."
Suara itu membuat Langit tersadar dari lamunannya, ia menatap adiknya yang menunjukkan senyuman meskipun wajahnya terlihat pucat tapi Kanya masih tetap terlihat cantik.
"Adek udah sadar," ucap Langit antusias ia segera menghujani Kanya dengan ciuman, membuat Kayana mencebikan bibirnya.
"Ish abang! Kanya bukan anak kecil lagi! jadi jangan panggil adek harus panggil Kanya aja."
Protesan Kanya membuat Langit terkekeh ia kembali mencium kening adiknya lama.
"Abang, Mamah sama Papah gk jenguk Kanya?" Tanya Kanya tatapannya terlihat sendu, membuat Langit terluka dan tidak tega melihat wajah adiknya yang terlihat begitu sendu itu.
Langit tau pasti sebentar lagi air mata Kanya akan jatuh, maka dari itu Langit pun segera menghapus air mata yang menetes di pipi Kanya dengan lembut dan memberikan senyuman terbaiknya.
Senyuman yang memang limitid edition, yang hanya ia tampilkan pada orang yang menurut Langit sangat berharga dan beruntungnya Kanya bisa melihat senyuman itu.
"Emang Kanya gk seneng ya abang di sini?" Tanya Langit sambil pura pura menunjukkan muka sedihnya.
"Nggak gitu, Kanya malah sangat bersyukur punya abang kaya abang Langit karna ternyata Allah itu Maha Baik ya bang," ucap Kanya dengan senyumannya.
"Maksud kamu?" Tanya Langit yang tidak mengerti.
"Allah Maha Baik bang, karna dia udah ngasih Kanya abang sebaik abang Langit dan tau gk bang? Abang itu abang terbaik sedunia," ucap Kanya sambil membawa tangan Langit ke bibirnya, lalu menciumnya dan membuat Langit tersenyum.
"Abang yang paling merasa bahagia karna abang punya adik kaya kamu, miss you so much adekk abangg," ujar Langit sambil mengacak pelan rambut Kanya membuat Kanya cemberut atas pelakuan Langit.
Hening tidak ada percakapan apapun lagi antara Langit dan Kanya, kini keduanya sedang sibuk dengan fikiran masing-masing, kemudian Kanya pun menatap ke arah Langit.
"Abang mau gk janji sama Kanya?" Ucap Kanya sambil mengacungkan jari kelingkingnya ke hadapan Langit.
"Janji apa?" Tanya Langit namun meskipun begitu ia tetap mengaitkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Kanya.
"Abang janji sama Kanya abang gk akan bolos lagi, abang janji sama Kanya dan abang harus merubah hidup abang. Jangan jadi badboy lagi bang, dan abang janji akan berubah demi Kanya," kata Kanya penuh harap.
"Tapi kamu juga harus janji dek. Kalau kamu kamu gk akan ninggalin abang," kata Langit yang sedang membantu Kanya untuk duduk bersandar pada dipan keranjang rumah sakit.
"Abang gk akan sanggup kalau kamu pergi, kamu satu satunya penyemangat abang jadi kamu harus bertahan dan abang janji abang akan menepati janji kamu itu. Abang sayang Kanya dulu, sekarang, dan selamanya," ucap Langit yang kini air matanya sudah menetes mengalir di pipinya.
Sementara itu Kanya langsung menangis dalam pelukkan Langit dan isak tangisnya terdengar begitu memilukan.
"Abang ... hiks ... jagan gitu bang. Kalau itu Kanya gk bisa janji karna penyakit Kanya udah parah ... hiks ... dan abang bilang sama Mamah dan Papah kalau Kanya kangen sama mereka."
"Adek," panggil Langit sambil mengelus punggung Kanya namun tidak ada jawaban.
Isak tangis Kanya pun kini sudah tidak terdengar lagi, dan karna penasaran Langit pun melepas pelukkan Kanya.
"Adek!" Teriak Langit saat matanya menatap ke arah adiknya yang tidak lagi sadarkan diri.
Seluruh tubuh Kanya sudah terasa sangat dingin, hal itu membuat Langit panik dan tidak lama dokter Rizal pun masuk.
Dokter Rizal pun segera menyuruh Langit keluar karna ia akan memeriksa Kanya, awalnya Langit memberontak namun setelah di tarik paksa oleh beberapa dokter dan suster akhirnya Langit pun keluar dari ruangan tempat di mana Kanya sedang di periksa saat ini.
Langit sedari tadi terlihat sangat gelisah, pandangannya tetap tertuju pada satu titik, yaitu pintu yang saat ini tertutup.
Di dalam sana, ada adiknya yang sedang berjuang melawan penyakit yang dideritanya.
Langit berharap adiknya akan baik-baik saja, kemudian pintu ruangan pun terbuka dan langit langsung masuk ke dalam.
Ia berdiri di depan pintu wajahnya yang tadi sumringah berganti dengan tatapan dingin dan pandangannya lurus, menatap satu arah yaitu ke arah seseorang yang wajah dan seluruh tubuhnya saat ini sedang di tutupi dengan kain putih.
"Kalian apakan adik saya? Kenapa dia di selimutin kaya gitu?!" Tanya Langit dengan nada penuh penekanan di setiap katanya.
Ia segera menepis tangan suster yang tadi menutupi wajah adiknya itu, Langit membuka kembali selimut tersebut dan memperlihatkan wajah cantik nan pucat adiknya.
Langit mencoba menyentuh pipi adiknya yang kini terasa sangat dingin bahkan lebih dingin dari sebelumnya.
"Kanya bangun dek, abang ada di sini," panggil Langit lirih, ia kini sedang mengelus rambut panjang Kanya yang terurai, Langit mengelusnya dengan sayang.
"Abang ada di sini ... Jangan takut," lirih Langit di telinga Kanya dan seraya mencium kening adiknya.
Perlakuan Langit pada Kanya tidak lepas dari tatapan para suster yang ada di sana, mereka juga ikut menangis haru melihat perlakuan Langit pada adiknya.
Karna mereka juga tau bahwa sedekat apa Kanya dan Langit, selama ini yang selalu menjaga Kanya adalah Langit.
Langit bahkan rela bolos sekolah hanya demi menjaga adiknya tersayang, Langit rela melakukan apapun demi kesembuhan adik yang sangat ia sayangi.
"Catat kematiannya pukul 6.20 pagi."
Perintah dokter Rizal pada salah satu suster yang ada di ruangan itu.
Langit yang mendengar ucapan dokter Rizal pun segera menghampiri dokter Rizal, ia berdiri tepat di hadapan dokter Rizal. Dokter Rizal pun kini sedang menatap ke arah Langit yang saat ini terlihat sangat-sangat kacau dari sebelumnya.
"Dokter ... ambil ginjal saya," ucap Langit lirih dengan ekspresi wajah serius membuat dokter Rizal terkejut mendengarnya.
"Untuk apa saya menggambil ginjal kamu?" Tanya dokter Rizal bingung.
"Untuk kesembuhan adik saya, agar matanya bisa terbuka dan melihat dunia lagi. Agar dia tidak merasa kesakitan lagi," ujar Langit sambil menatap ke arah adiknya.
"Langit maafkan saya, percuma saja kalau sekarang kamu mendonorkan ginjalmu untuk adikmu ini karna ... dia sudah tiada lagi Langit," ucap dokter Rizal yang membuat Langit tertawa dengan kencang dan hambar namun sorot mata dan air mata yang menggalir tidak bisa berbohong bahwa saat ini Langit tidak sedang baik baik saja.
Langit tertawa, menertawai dirinya yang memang tidak pernah berguna.
"Dokter pasti sedang bercanda kan? Jangan bercanda dok, dia itu harta saya yang paling berharga dan satu-satunya yang saya punya," ucap Langit tubuhnya kini sudah luruh dan terududuk ke lantai.
Langit menangis dan kedua tangannya sudah mengepal kuat, ia bahkan sedang mencoba menahan rasa sakit di dadanya namun rasanya semakin sakit.
"KANYAA!" Teriak Langit dengan sangat kencang, lalu kemudian yang terdengar hanyalah isak tangisnya.
Kini dia yang Langit sayangi sudah pergi jauh, meninggalkannya sendiri dan benar- benar sendirian.
Penyemangat hidup Langit sudah pergi, Langit tidak tau apakah selanjutnya ia akan kembali menjalani hidup atau memilih untuk menyusul adiknya.
Langit tidak tau, karna yang ia tau sekarang adalah rasa sakitnya kehilangan dia yang Langit sayangi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!