NovelToon NovelToon

Jalan Pergi

00. Prolog

Belumkah tiba waktunya bagi orang-orang beriman untuk menundukkan hati mengingat Allah dan al-haqq yang telah diturunkan kepada mereka?

-Al-Qur’an-

Devi yang memang memiliki kecantikan fisik luar biasa kian melambung sebagai “Anak Haram” paling menawan, mempesona, dan bisa mendebarkan hati para lebah yang mendekatinya. Tapi, di atas segalanya itu, ia semakin berlumuran diterjang prahara dosa dan kegelapan jiwa. Batinnya meronta keras, apalagi setelah bertemu dengan Mbah, ia tidak percaya Tuhan begitu tega mengharamkan makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang paling sempurna. Ia pun memutuskan untuk mencari sesuatu yang hilang dalam hidupnya selama ini. Ia korbankan jiwa raga, hidup, cinta, dan air mata untuk menemukan arti jati diri, kekuatan hati, dan kebahagiaan sejati. Ia pun pergi mencari jalan itu, berhasilkah ia...?

Hingga novel ini ditulis dan anda membacanya, di luar sana banyak “Devi” sedang terombang-ambing. Mereka yang terlahir ke alam fana ini dengan “memikul” beban sebagai di cap sebagai anak haram. Secuil dogma yang sangat membingungkan. Siapa yang membuat dan siapa pula yang menanggung? Meskipun tidak semuanya dari mereka yang mengalami tekanan batin atas sebuah kutukan yang disematkan ada mereka itu secara tiba-tiba.

Devi adalah seorang tokoh yang difiksikan dari sebuah fakta yang ada, ia mencoba bertutur tentang apa yang ia alami selama terombang-ambing dalam lautan kebingungan dan ketidakpastian itu. Tersandar pada kata banyak orang, “Anak haram tidak pantas hidup di muka bumi ini!” kata mereka begitu tegas menghukumi. Dan semua dibantah, Dialah Sang Maha Penyayang. Semuanya datang dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya pula. Itu pasti.

Maka, ke hadapan-Mu, hamba sama sekali tidak bisa berujar apa pun. Shalawat dan salam terhaturkan kepada Kanjeng Nabi Muhammad beserta keluarga, para sahabat, para aulia, para guru. Terkirim pula terima kasih saya kepada semua mukminin dan mukminat.

Untuk “Devi”, terima kasih telah menaruh kepercayaan kepada saya untuk menulis kembali kisah yang begitu luar biasa. Walaupun saya hanya bisa menyaksikan secuil kisah itu.

Teruntuk para pembaca, selamat menempuh perjalanan panjang ini. Temukan kebahagiaan sejati. Jangan pernah menyerah, “Jalan Pulang” dan “Jalan Pergi” akan menemani anda.

Secuil kutipan dari Syeh Al-Muhasibi sebelum membaca novel jalan pergi ini :

“Dan bagaimana engkau bisa menghina seorang beriman sedangkan engkau tidak mengetahui kesudahan hidupnya dan kesudahan hidupmu sendiri, juga tidak mengetahui rumah yang mana di antara surga dan neraka tempat engkau kembali? Maka jika engkau menasihati dirimu, sesungguhnya dirimu itu lebih berhak untuk mendapatkan penghinaan. Bukankah engkau lebih mengetahui tentang keburukan-keburukan jiwamu dan kekejian jiwamu dari pada orang lain? Maka jika engkau mengira bahwa dirimu mampu mengetahui rahasia orang lain seperti halnya rahasiamu, sesungguhnya engkau telah mengakui-akui perkara yang amat besar, karena sesungguhnya engkau tidak mengetahui rahasia orang lain seperti halnya rahasiamu kecuali dengan merendahkan dirimu dan tidak menganggap dirimu suci.

Sesungguhnya terlarang bagimu untuk menganggap utama dirimu, juga terlarang menganggap dirimu (paling) suci. Sebab, siapa tahu, barangkali engkau pada hari kiamat kelak berada di bawah telapak kaki orang-orang yang telah engkau remehkan, engkau caci maki dan engkau hina-hina di dunia. Renungkanlah apa yang engkau dengar, kemudian mintalah bantuan kepada Allah untuk melenyapkan kesombongan dari hatimu. Semoga Allah melindungi kita dari hal yang demikian.”

Semoga tidak ada kebingungan bagi para pembaca semuanya. Bacalah saja dan kemudian mintalah bantuan kepada Allah untuk melenyapkan segala kebingungan dan memberikan secercah cahaya petunjuk untuk menemukan jalanmu.

Kampus putih

Hari ini, tepat pukul sebelas siang, para mahasiswa yang telah selesai mata kuliah Jurnalistik berbondong-bondong turun dari lantai empat gedung Kampus Putih. Mereka berdesak-desakan di anak tangga. Ada yang tertawa-tawa, ada yang diam saja, ada juga yang merengut. Dini terlihat di antara gerombolan para mahasiswa itu.

Memang tidak sedikit jumlah mahasiswa di Kampus Putih ini. Maklum kampus ini masih menjadi pilihan terfavorit di kota pendidikan ini, Jogja. Bahkan gerombolan orang ini terlihat saat pembukaan dan ujian masuk kampus ini. Mungkin citra para alumni yang setelah lulus dari kampus ini mendapatkan pekerjaan yang cukup bergengsi, hal ini pula yang mendorong orang-orang ingin bernasib sama dengan para alumni itu. Hidup bahagia dengan banyak harta, istri/suami yang cantik/ganteng, serta pamor yang tinggi, siapa yang tidak mau itu semua.

Beberapa saat kemudian...

“Nin, kamu kok nggak masuk kuliah?” sapa Dini kepada Nina yang sedang asyik menikmati sebutir cilok khas bandung ke dalam mulutnya, di lantai bawah gedung kampus ini. Di situ ada semacam kantin kecil-kecilan ala kampus. Sederhana hanya menyajikan jajanan pasar, ATK, foto copy, dan berbagai cemilan.

Nina mendelik. Panas mungkin cilok yang sudah tanggung masuk ke mulutnya itu. Tidak bisa langsung menjawab karena ciloknya mesti ditelan dulu.

Melihat Nina yang mendelik berusaha menelan cilok, Dini tertawa kecil, “Sorry...”

“Panas tau...” Nina nyerocos, hah huh hah huh. Lalu, diambilnya teh botol dan meminumnya.

Dini masih tertawa melihat itu, “Iya, kan sudah minta maaf aku. Kenapa nggak masuk kelas sih? Dapat nilai jelek baru tau rasa kamu.”

“Males aku lihat Bang Fajar. Ada kan dia tadi?”

Dini tersenyum, tahu kalau Nina sedang merasa sebal sama Fajar, kakak angkatan mereka tiga tingkat yang menjadi asisten Pak Yuono, dosen mata kuliah analisis berita. Masalahnya hanya sepele, tugas laporan analisis berita Nina ditolak Fajar karena susunannya yang salah. Ngamuk deh Nina yang bermarga Lubis kepada Fajar yang bermarga Sihombing. Sempat ramai mereka adu argumen di Lab jurnalistik menggunakan bahasa daerah. Sama-sama batak, sama-sama kencang dan sama-sama cinta.

“Nina... kangen sekali aku...”

Sontak Nina dan Dini sama-sama menoleh ke sumber suara. Fajar meringis manis tepat di belakang mereka. Tampan pemuda batak ini, pandai juga. Cuma saklek saat menjadi asisten dosen. Tidak mempan dirayu untuk mendongkak nilai praktikum atau tugas-tugas yang diberikan. Bahkan kepada Nina, pacarnya sendiri. Padahal, asisten dosen yang lainnya tidak se saklek itu, hanya butuh modal secuil senyum maka melelehlah mereka. Maka, dibuat merenggutlah para mahasiswi itu karena Batak tampan yang satu ini.

Nina langsung pura-pura tidak tahu dan memalingkan wajahnya.

Dini tersenyum, “Sini, Mas...”ia mempersilakan Fajar duduk di antara mereka. Nina melotot gaya jinak-jinak ikan koki. Sang Arjuna pun duduk sambil tertawa renyah.

“Permisi ya...” setelah duduk Fajar mengambil berkas dari  dalam tasnya. “Nih...”

“Apaan, Bang?” tanya Nina.

“Tugasmu.”

Nina mulai mengecek, satu persatu halaman diperiksanya, lalu bibirnya tersenyum. Itu adalah laporan tugas analisis berita. Fajar membuatkannya khusus untuk Nina. Namanya juga sudah cinta. Jika cinta sudah melekat, tai kucing pun rasa coklat. Ah, indah sekali.

“Gimana? Baikkan lagi kita?” Fajar memancing.

Nina hanya diam saja, tapi nampak senyumnya semakin merekah.

“Tolong jelaskan kepadaku, Din, apa maksudnya ini? Sebuah senyuman merekah tanpa kata-kata. Aihh, alangkah misteriusnya...,” Fajar berdeklamasi.

Dini hanya terkekeh pelan. Sementara Nina tetap tersenyum dengan pipi merona merah di kulit putih bersihnya. Maklum, blasteran Batak-Austria punya ini. Maka, rona kemerahan itu pun perlahan semakin nampak ketara.

“Din, sekarang malah merah....,” Fajar mendesah lagi.

Malulah Nina diperlakukan seperti itu oleh Fajar. Sebuah cubitan sayang terpaksa melayang ke lengan abangnya.

Lalu mereka bertiga pun tertawa ikut menyumbang keramaian kantin kecil itu.

“Tapi ingat! Tugas ini harus langsung diserahkan ke aku di Lab. Nggak ada serah terima tugas di sini.” tukas Fajar setelah tawa mereka mereda. Mulai lagi deh sakleknya.

“Iya,Bang. Paham aku juga,” Nina manyun manis.

Mereka pun tertawa lagi.

Fajar mengajak Nina dan Dini untuk pindah ke kantin fakultas. Sekalian makan siang. Di kantin fakultas banyak menunya, mulai dari bakso, mie ayam, pecel, lotek dan berbagai macam lauk. Harganya sesuai kantong mahasiswa. Mahasiswa elit, mahasiswa miskin, mahasiswa alim, mahasiswa revolusi, masuk semua di kantin ini. Jam makan siang menjadi momen berjubelnya para mahasiswa itu. Seperti saat itu, ada yang nongkrong, makan, nyanyi-nyanyi, ngelamun, saling cemberut, saling tatapan cinta. Ealah... yang tidak bisa tertinggal pasti ada yang diskusi. Hal yang sangat wajar ditemui di Kampus Putih ini. Namanya juga kampus rakyat, kampus perlawanan, kampus revolusi. Hidup rakyat! Hidup mahasiswa!

Fajar pun memesan dua porsi lotek. Dini sebenarnya tidak mau karena masih kenyang, tapi Fajar tetap memesankannya. “Kalau nggah habis, biar aku yang sapu.” Sementara Nina masih sibuk melahap ciloknya, nanti kalau kepingin tinggal sendok punya abangnya.

Ngobrolah mereka sambil menunggu pesanan datang.

“Eh, kok tumben Devi tidak kelihatan? Ke mana dia? Biasanya kalian bertiga nempel terus?” tanya Fajar.

“Tahu tuh. Tadinya aku mau tanya ke Nina kali aja tahu,” jawab Dini.

“Tadi aku sempat lihat dia di sana...,” Nina menunjuk pertigaan arah ke Perpustakaan. “Kupanggil cuma balas melambai, terus ngeloyor begitu saja.”

“Nggak nyamperin?”Dini heran. Tidak biasanya Devi bersikap begitu.

Nina menggeleng, “Mau kususul, dianya keburu jauh. Paling ke Perpustakaan. Nantilah kita sekalian ke sana.”

“Setuju. Sekarang kita makan dulu,” ajak Fajar. Lotek pesanannya sudah datang.

Dini yang tadinya bilang tidak lapar, ternyata habis juga. Memang salat Jawa ini enaknya bukan main. Perpaduan bumbu kacang dan sayuran begitu serasi. Sulit untuk menolaknya.

Beberapa saat setelah makan kemudian...

Ternyata, Devi tidak ada di Perpustakaan. Dicari sampai pelosoknya oleh Dini tetap tidak ketemu juga. Ditelpon, Hpnya mati. Paniklah Dini.

“Bagaimana? Ada Devi?” tanya Nina yang baru saja beres urusan dengan Fajar di Lab.

Dini hanya menggeleng. Dicobanya lagi untuk mengontak Devi, masih saja tidak aktif.

“Ke mana nih anak.” Dini bergumam. “Nin, kok perasaanku jadi nggak enak begini. Kamu mau masuk kuliah pengantar jurnalistik media nanti?”

Nina mengangkat bahu.

“Masuk aja deh, nanti absenin aku. Dan jangan lupa pinjamin aku catatanmu.”

“Emang kamu mau ke mana, Din?”

“Mau nyari Devi. Ini perasaaanku nggak enak bener deh.”

“Aku ikut sajalah...”

“Jangan! Kita bagi-bagi tugas. Kalau dua-duanya bolos, siapa yang absenin. Ini kan kuliah MKDU.”

Nina mengangguk-angguk. Di MKDU alias Mata Kuliah Dasar Umum, urusan absensi sangatlah penting. Kehadiran di bawah yang telah ditentukan, dijamin bakalan tidak lulus atau mendapat nilai jelek. Meskipun waktu ujian mendapat nilai yang cukup bagus.

“Sekalian absenin Devi. Siapa tahu nggak nongol juga.”

Nina mengangguk setuju.

“Oke. Baiklah kalau begitu, Din.”

Mereka pun berpisah. Nina melangkah menuju ke ruang kuliah R 302, Dini  segera ke parkiran. Dengan motor Vespa Primavera hijau tosca, dia meluncur ke rumah Devi di kawasan Depok.

“Eh, ada Dini. Ke sini sama siapa?” sapa Tante Agus, ibunya Devi, saat Dini sampai di depan rumah.

Dini tersenyum manis, “Sendirian saja, Tante.”

“Kok Tumben? Biasanya kan bertiga, minimal berdua.”

“Itulah, Tante, Devi ada di rumah nggak?”

“Loh? Dia kan pergi kuliah?” Tante Agus yang bernama asli Intan ini balik bertanya ke Dini.

“Nah itu, Tante. Di kampus nggak ada. Tadi saat di telepon juga nggak nyambung, dimatiin. Saya kira dianya sudah balik ke rumah karena tadi Nina bilang sempat  lihat di kampus dan buru-buru pergi.”

“Dia belum balik tuh...”

“Duh, ke mana nih anak,” gumam Dini gemes. “Ya sudah kalau begitu, Tante, saya pamit.”

“Nggak mau masuk dulu nih?”

“Terima kasih, Tante, lain kali saja. Ini mau cari Devi dulu, mungkin masih di kamus dia.”

“Baiklah, mungkin ada pesan untuk Devi kalau dia sudah pulang?”

“Apa, ya? Bilangin saja ke Devi suruh hubungi saya kalau sudah balik ya, Tante.”

“Iya nanti Tante sampaikan.” Intan tersenyum.

Dini ikut tersenyum. “Baiklah saya pamit, Tante.” Dini meraih tangan Intan dan mencium layaknya ibu sendiri.

Di perjalanan balik, HP Dini berdering. Nampak di layar tertulis nama Nina memanggil. Dini pun memberhentikan motornya di pinggir jalan. Cari pohon yang teduh.

“Gimana, Din? Ada?” Nina langsung nyambar.

“Nggak ada. Belum pulang kata Tante Agus.”

“Nih anak ke mana sih..?” Nina kebawa sewot.

“Eh bentar, kok kamu bisa nelpon aku? Emang udahan kuliahnya?”

“Udah. Nggak datang dosennya. Sialan. Giliran dia yang bolos nggak apa-apa.”

Dini tersenyum. “Tapi, absensi tetap jalan kan?”

“Tetap. Kasih absen doang asistennya, terus cabut.”

“Baguslah. Sekarang kamu di mana?”

“Pulang”

“Ya sudah. Sampai besok.”

“Okey, bye.”

Dini pun kembali memacu Vespa Primavera ke arah Ngaglik...

Malam harinya, sekitar pukul delapan, Dini sedang asyik membaca novel, HPnya berdering. Dari rumah Devi, ada pararelnya di kamar gadis itu. Selepas Maghrib tadi, sudah tiga kali Dini mengontak Devi. HPnya masih tidak aktif. Ke rumahnya sekali, belum pulang juga.

“Halo, Dev, ke mana saja sih kamu?” Dini langsung nyerocos. Tapi, kemudian dia tertegun mendengar isak Devi di sana. “Dev? Ada apa?”

Terdengar masih terisak, belum menjawab.

“Devi..., ada apa?” Dini mencoba bersikap lembut.

“Nggak apa-apa, Din. Maaf, tadi aku nggak nemuin kalian...,” jawab Devi lemah bahkan lebih dominan isaknya.

“Sudah nggak apa-apa. Ada apa, Dev? Semua baik-baik saja kan? Atau ada masalah sama Mas Dika, ya? Tenang saja biar aku labrak dia nanti, enak saja temanku di...”

“Din... Bukan itu.” belum selesai Dini ngomel sudah di potong oleh Devi.

Dika adalah pacar Devi. Seorang mahasiswa dari perguruan tinggi lain.

“Terus apa dong kalau gitu? Ayo cerita, cerita... atau, kita ketemuan saja?”

Devi masih terus terisak.

“Dev... Ya sudah, aku ke sana sama Nina. Ya?”

“Nggak usah, Din. Besok aja kita ketemuan.”

“Benar nih nggak apa-apa, mumpung masih sore ini?”

“Ini persoalan yang berat, Din, besok sajalah...”

“Persoalan berat? Kalau begitu aku ke sana sekarang.”

“Jangann..jangan, Din. Besok saja aku ceritakan.”

“Yakin kamu nggak apa-apa?” Dini agak cemas. Soalnya Devi ini orangnya lembut, gampang banget hanyut kebawa perasaan. Agak berbeda dengan dirinya dan Nina yang lebih santai.

“Semoga saja...” jawabnya masih lemas.

“Baiklah kalau begitu. Besok kami tunggu, jangan dipendam sendiri.”

“Hmm...iya...”

“Ya sudah, sekarang kamu istirahat dulu. Apa pun itu, jangan dipikirkan terlalu dalam. Besok bagi-bagi sama kami biar bisa berkurang bebannya.”

“Makasih, Din.”

“Santai saja. Selamat istirahat...”

“Iya, bye..”

“Bye..”

Setelah itu, Dini langsung menghubungi Nina. Menceritakan tentang hal yang barusan.

“Bener nih, kita nggak usah ke sana?” tanya Nina.

“Pengennya sih ke sana, tapi Devi bilang besok saja. Kamu tahu sendiri kan Devi seperti apa?”

“Apa dia kuat sampai besok? Anak baperan gitu... Udah, ke sana aja, yuk!”

“Jangan, Nin, tambah acau nantinya. Yang penting kan sekarang Devi sudah ada di rumah. Amanlah sampai besok.”

“Iya deh, besok aja. Aku perlu telepon dia juga nggak?”

“Terserah sih. Tapi, kalau menurutku, biar besok saja sekalian semuanya. Kasih waktu dululah buat dia nenangin diri. Lagian malah salah paham nanti  kalau cuma sepotong-potong.”

“Hmm... bener juga.”

Setelah berbincang-bincang sedikit. Dini kembali melanjutkan membaca novelnya. Tapi, sekarang susah fokus karena sebagian pikirannya terbang memikirkan Devi. Ahh, tuh anak...

Sementara itu di depan sebuah rumah, seseorang tertunduk lesu....

“Kerjakan perintahku, baru kau boleh ke sini lagi!” bentak seseorang yang lebih tinggi wibawanya. Yang dibentak hanya manggut-manggut tanpa berkomentar. Di lihat dari perawakannya, orang yang dibentak bukanlah orang yang bisa diremehkan. Penampilannya preman papan atas yang sudah memiliki jam terbang tinggi.

vespa primavera

Pukul delapan lewat lima belas menit, Vespa Primavera Dini masuk gerbang sebelah barat dan langsung memasukkan motornya di parkiran perpustakaan. Gerbang ini lebih dekat dari pada gerbang utama yang berada di selatan sana. Kalau janji ketemuan, mereka saling menunggu di ruang tunggu perpustakaan, lebih adem dan nyaman kursinya. Dini baru saja hendak mengunci stang motornya saat Vespa Primavera Nina masuk. Kendaraan mereka bertiga ini memang sama-sama Vespa Primavera. Motor itu menjadi pilihan mereka bertiga karena bentuknya yang lucu. Scoter bergaya klasik dan terkesan mewah. Scoter ini pun dapat mencerminkan kepribadian mereka bertiga yakni sebuah hasrat yang membebaskan untuk bergaya. Tapi punya Devi jarang sekali dipakai kecuali kalau sangat perlu. Enakkan naik Trans Jogja katanya. Bisa leha-leha. Walau sedikit ngebut.

Setelah motor dianggap sudah aman, beranjaklah mereka berdua ke ruang tunggu perpustakaan. Ternyata di sana Devi sudah duduk menunggu. Duduk sendirian pakai sweater abu-abunya dengan kepala menunduk. Dini dan Nina pun bergegas menghampirinya.

“Dev...,” sapa Dini, lalu duduk di sebelah Devi. Nina mengikuti. “Sudah lama?”

Devi menghela napas , “Jam enam.”

“Jam enam...?” Nina kaget campur meringis.

Jam segitu di kampus masih langkah manusia, sekarang juga masih sedikit. Paling satpam dan para aktivis kampus yang hobi ngalong. Layanan perpustakaan pun baru dibuka jam delapan. Salah satu aktivis tersebut adalah para anak Menwa yang kabarnya kena piket markas. Seperti Bang Fajar yang salah seorang pentolannya.

“Sudah sarapan?” Dini menawarkan kue yang dia bawa dari rumah.

Devi mengambil sepotong, lalu mengunyahnya pelan.

“Makasih...” katanya sambil menunduk.

“Berat sekali masalahnya ya, Feb?” tanya Nina.

Devi hanya mengangguk pelan.

“Ceritakan semuanya kepada kami, Dev. Jangan kamu tanggung sendiri,” kata Nina.

Devi memandang Nina, lalu menghela napas panjang.

“Kita ke dalam perpustakaan yuk, layanan sudah di buka...,” ajak Nina.

Devi dan Dini menganggukkan kepala setuju. Mereka pun menghampiri petugas layanan perpustakaan untuk mendapat kunci loker tempat menyimpan tas atau jaket. Kunci loker tersebut didapat dengan menyerahkan kartu mahasiswa yang mereka miliki. Setelah tas dan perlengkapan lain tersimpan dengan baik, mereka langsung ke lantai empat yang tertinggi dan sepi. Pilih posisi meja yang pojok pula dan menghadap ke jalan raya. Jam-jam segitu lalu lintas padat merayap. Rapi, sepi, menepi...

“Baiklah, sekarang kalau mau cerita, ceritakan semuanya....kalau mau nangis dulu, nangislah...” Dini membuka acara curhat ini.

Devi masih diam semanjak naik tangga tadi. Maka, menangislah dia. Terisak pelan, tapi lama. Dini dan Nina menunggu dengan rasa prihatin, mereka berdua paham masalah ini pasti begitu berat bagi Devi.

Hampir setengah jam, mulai reda akhirnya. Dini dan Nina menghela napas. Bersiap menerima semua tumpahan masalah sahabatnya ini.

“Din, Nin, aku sudah menjadi haram...,” Devi berujar pelan.

“Hah?” Dini dan Nina sama-sama kaget.

“Haram bagaimana, Dev?” tanya Nina.

“Apa yang sudah dilakukan Mas Dika kepadamu?” tanya Dini.

Devi hanya menatap lesu, lalu menggeleng pelan. “Bukan itu, ini tidak ada hubungannya dengan Mas Dika.”

Dini dan Nina sedikit bisa menghela napas lega, setidaknya Devi masih bisa menjaga kehormatannya. Memang akan sangat sulit untuk menjaga sebuah mahkota di dunia kampus terlebih kampus di kota besar seperti ini. Butuh ekstra tenaga lebih.

Devi terisak kembali. Dini dan Nina mencoba menenangkan.

Devi melihat kedua sahabatnya, “ Ternyata Mbak Sari itu tanteku, bukan kakakku...,”

Dini geleng-geleng kepala. Dia belum bisa menangkap maksud ucapan Devi itu. Nina terlebih lagi. Selama ini kan sudah jelas kalau Devi adiknya Sari, merek berdua putrinya Om dan Tante Agus. Kenapa sekarang tiba-tiba tiada hujan atau pun angin muncul label “anak haram” dan kakak menjadi tante?

“Tenang dulu, Dev.... coba tari napas dalam-dalam...,” kata Nina.

Devi mencoba mengendalikan dirinya. Dia mulai menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya, dia lakukan hal itu beberapa kali. Dini dan Nina masih memandangnya dengan perasaan yang tak kalah gundah. Jika apa yang dikatakannya itu benar, berarti memang ini masalah yang serius karena langsung menyerang aspek psikis. Devi orang yang lembut. Kalem dan halus perangainya.

“Bagaimana, Dev? Sudah merasa lebih tenang sekarang?” tanya Nina.

Devi mengangguk.

“Nah, sekarang coba ceritakan yang jelas. Apa yang kamu maksud haram tadi dan apa hubungannya dengan Mbak Sari?” tanya Nina.

Devi kembali mengambil napas panjang sekali lagi, lalu mulailah bertutur. Dini dan Nina menyimak dengan serius.

“Jadi, Mbak Sari itu anak dari nenekku. Ibu kandung ibuku...”

Kening Dini dan Nina sama-sama berkerut. Masih bingung mereka berdua.

“Oke, taruhlah Mbak Sari benar tantemu. Tapi, kamu tetap saja anak Om dan Tante Agus, kan? Bukan anak haram dong,” Dini berkomentar.

Devi terisak kembali, “Masalahnya, ayahku juga kakekku. Walau kakek tiri...”

“Hah?” Dini dan Vina terbelalak. Apa lagi ini? Masalah anak haram saja belum jelas, ini ditambah lagi dengan kakek tiri.

“Sebentar, sebentar, Dev... maksudnya gimana ini?” tanya Nina.

Devi kembali tersedu. Dini da Nina menghela napas. Dibiarkan saja Devi menumpahkan perasaannya, hingga beberapa saat.

“Ayahku menikahi seseorang perempuan bernama Asih. Dia janda waktu itu, punya anak satu. Anaknya bernama Intan, ibuku. Dari pernikahan itu lahirlah Mbak Sari. Itu yang artinya Mbak Sari adalah adik tiri ibuku. Entah bagaimana selanjutnya tentang Asih, tetapi yang jelas ayahku menikahi Asih...,” suara Devi tersendat. “Dan lahirlah aku..,” tumpah, nangis lagi Devi.

Dini kaget, Nina melongo...

“Ayahku mengawini anak tirinya. Kamu tahu kan, Din, Nin...., haram itu hukumnya. Dari yang haram, lahir aku... maka anak haramlah aku...,” kata Devi agak keras.

Dini dan Nina segera memeluk sahabat mereka ini. Sahabat sejak masa Ospek dulu, hingga saat ini.

Terisaklah mereka bertiga di lantai empat gedung perpustakaan itu. Beberapa mahasiswa dan mahasiswa yang melintas sekilas memerhatikan kelakuan mereka, tapi kemudian cuek. Di kampus ini, hukum “urus urusanmu sendiri” sudah mendarah daging.

Setelah mereda, suasana hening sejenak. Masing-masing merenungi situasi yang terjadi.

“Kacaunya lagi, suami pertama Asih adalah Mbah Winardi. Kakekku yang di Pasuruan. Asih ini katanya selingkuh dengan ayahku sehingga dicerai oleh kakekku itu. Ngerti nggak kamu, Din, Nin?”

Dini memejamkan mata. Sedikit paham. Nina menggeleng, masih buntu dia.

“Jadi begini, Nin, Mbah Winardi sama Asih itu suami istri. Si Asih ini katanya ganjen, dia selingkuh sama si Agus...,”

“Dev, itu kan ayahmu. Jangan manggil ‘si’ gitu dong...” tegur Dini.

“Biarin! Brengsek semua. Kecuali Mbak Sari, brengsek semua...!”

“Aku rasa Dini benar. Panggil ayah sama ibu aja kayak biasanya, Dev.” Nina menimpali.

“Kalian ini paham tidak sih dengan apa yang aku rasakan saat ini!?” Devi membentak, lalu bangkit hendak beranjak.

Dini dan Nina kaget, tidak seperti biasanya Devi bersikap seperti ini. Terlalu lembut dia untuk bisa marah. Mereka pun segera meredahkan suasana. Mereka sadar kondisi psikis yang sedang dialami sahabatnya.

“Tenang dong, Dev. Jangan marah, kami paham kok...,” Dini menahan Devi yang sudah berdiri. Nina turut berdiri menghalangi Devi.

Devi diam sejenak lalu kembali duduk dengan sedikit mendengus.

“Lanjut, Dev..,” Nina membuka kembali acara curhatan itu.

“Tapi jangan dipotong! Biarkan aku selesai ngomong...,” kata Devi rada ketus.

Dini dan Nina mengangguk paham.

Devi mengambil napas dalam, “Setelah ketahuan selingkuh, Mbah Winardi menceraikan istrinya, terus pergi ke Pasuruan. Tinggal di sana sampai sekarang. Ayahku membawa Asih ke Semarang, sekalian sama ibuku yang waktu itu masih SD. Kawin katanya mereka di sana. Lahirlah Mbak Sari.”

“Ooo...,” Dini dan Nina ber-’O’ bersama.

“Katanya, Agus itu playboy. Cocok sama Asih yang ganjen. Keterlaluannya, si Agus ini anak tirinya diembatnya pula. Ibuku kan jelas anak tirinya kalau dia kawin sama ibunya. Dasar buaya! Jangkrik! Kambing!” mata Devi nanar menahan air matanya yang menggenang di kelopak.

Dini dan Nina hanya bisa menunduk lemas. Mulai jelas masalah ini. Kaget bukan main, ternyata Devi bisa mengeluarkan kata-kata seperti itu untuk ayahnya. Padahal betapa lembutnya dia selama ini. Tutur katanya halus dan pelan. Kalau pun marah, dia hanya diam, atau pergi. Tidak pernah ada kata-kata kasar yang terlontar dari bibirnya. Teramat sakitkah hati Devi...?

“Kemarin aku sempat cari ustadz, mau tanya masalah seorang ayah yang kawin dengan anak tirinya. Dan ustadz-ustadz yang aku tanya semuanya bilang hukumnya haram. Karena kawinnya sudah haram, maka anaknya pun juga haram.  Sampai kapan pun itu...,” kata Devi sambil menatap ubin putih perpustakaan, tidak ada air mata kali ini. Mungkin sudah habis, atau sudah tidak diperlukan lagi.

Dini memeluk Devi. Nina mengusap-ngusap punggungnya. Hening sejenak. Terdengar beberapa mahasiswa yang mulai berdiskusi.

“Tapi, Dev, apa memang benar hukumnya seperti itu?” tanya Nina.

Devi mengangguk pelan, “Kawinnya haram, anaknya pun haram. Haram + Haram = Haram. Titik.”

Dini menghela napas. Setahu dia memang demikian hukum yang berlaku, “Mbak Sari sudah tahu persoalan ini?”

“Belum tahu. Aku belum cerita ke dia.”

Dini mengangguk-angguk, “Kamu dapat cerita ini dari siapa? Aku dengar tadi kok katanya-katanya terus?”

Devi menghela napas, “Ada seseorang yang memberitahuku.”

“Siapa?” kejar Dini.

***

“Siapa? Dan di mana kau berada?” geram seseorang bertubuh besar dan berpenampilan sangar itu. Rokok disulutnya, dihisap dalam-dalam lalu dikeluarkan dengan lembut. Tapi tak selembut perawakannya.

Secuil kopi

Primavera S adalah sosok evolusi paling trendi, romantis, dan manis dalam keluarga Vespa. Sang bintang dengan evolusinya yang tak henti agar tetap mengikuti tren terkini, Primavera S skuter adalah modis yang berkelas.

Warna baru disajikan sebagai pembuktian akan statusnya sebagai pemimpin tren. Blue Vivace hadir di 2020 dengan meleburkan high fashion dan elegance dalam sebuah harmoni yang penuh simfoni.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!