Selama ini aku hidup dengan serba kekurangan, berada di tengah keluarga yang tidak harmonis, dan selalu kurang beruntung dalam segala hal. Siklus kemiskinan pun terus berlanjut padaku yang hanya lulusan sekolah menengah atas, sekarang di sinilah aku bekerja sebagai office boy di salah satu perusahaan terbesar di kota ini.
Sudah hampir tiga tahun aku bekerja dan aku hanya bisa menabung untuk beberapa uang receh. Seluruh gajiku habis untuk memenuhi kebutuhan hidupku sehari-hari dan untuk membantu membiayai uang kuliah kekasihku.
Namanya Karen, dia kekasihku yang paling manis dan setia meski tau kondisiku yang serba kekurangan ini. Tak apa aku membantunya, lagipula dia anak yang lumayan cerdas saat di sekolah dan ingin melanjutkan studinya ke bangku perkuliahan. Perlu kalian ketahui bahwa dia berasal dari kalangan yang sama denganku yaitu keluarga miskin, jadi aku memutuskan untuk membantu meringankan biaya kuliahnya.
"Alan, mengapa kamu senyum-senyum sendiri? Apa kerajaanmu sudah selesai semua, ha?" Salah seorang pria datang menghampiriku dan bertanya dengan nada tidak suka.
Pria itu bernama Joshua, rekan sesama tukang bersih-bersih di perusahaan ini. Umurnya terpaut tidak terlalu jauh denganku, hanya beda tiga tahun saja, akan tetapi dia merasa sangat senior di tempat ini. Entahlah, aku hanya mengangguk dan tersenyum membalas pertanyaannya. Malas sekali kalau harus menjawab, dia pasti sedang mencoba membuatku kesal.
Sekedar informasi, Joshua ini benci sekali padaku. Itu terjadi karena dia menyukai salah seorang pekerja wanita di tempat ini, hanya wanita itu selalu saja mencoba mendekatiku. Meski aku sudah menolak dan mengatakan bahwa aku sudah mempunyai kekasih, dia tetap menggodaku. Nama wanita itu Sri, dia sebenarnya tidak terhitung cantik, tapi wajahnya bisa dikatakan manis? Anaknya supel dan asik kalau diajak ngobrol, tapi yah sekarang aku jarang sekali berbicara dengannya. Bukan apa-apa, aku hanya ingin menjaga jarak dengannya, aku tidak ingin memberi harapan padanya.
Selepas membersihkan lantai koridor kantor dia lantai dua, pekerjaanku sore itu telah sepenuhnya selesai. Maka dari itu aku dengan penuh semangat buru-buru pergi ke ruang para staf tukang bersih-bersih dan berniat untuk mengganti pakaian. Namun, sesampainya di depan pintu ruangan, aku segera melihat sosok Sri yang terlihat seperti sedang menunggu seseorang. Sesaat aku berhenti dan merenung sesaat, apa dia sedang menungguku?
Dengan ragu-ragu aku tetap lanjut berjalan menuju ruangan itu. Ketika kedua mata kami saling bertatapan, Sri tersenyum dan segera memanggilku agar cepat mendekat. Sedikit aneh di sini, mengapa juga Sri sebegitu senangnya saat menatapku? Apa aku telah melewatkan sesuatu hal yang baik? Aku pun penasaran dan mendekat dengan langkah besar dan sampai di hadapannya.
"Ada apa, Sri?" kataku dengan ekspresi bingung.
Sri meraih tanganku seraya berkata, "Udah, cepet masuk keburu Pak Gunawan berubah pikiran!" Kemudian Sri buru-buru menarik tangan kiriku dan membawa aku masuk ke dalam ruangan.
Sesampainya di dalam, aku langsung disambut dengan keheningan dan tatapan para staf lain, tak terkecuali tatapan sinis datang dari arah Joshua. Di dalam juga aku sudah melihat sosok Pak Gunawan yang tersenyum menyambut kedatanganku.
"Nah, semuanya udah kumpul kan? Saya hanya ingin menginformasikan kepada beberapa nama yang akan saya panggil, mereka adalah para karyawan yang telah bekerja keras untuk perusahaan ini. Maka dari itu, saya meneruskan pesan dari atasan untuk memberikan cuti dua minggu kepada mereka," kata Pak Gunawan dengan nada ramah, aku bisa merasakan bahwa Pak Gunawan ini memang orang yang bersahabat.
Segera satu ruangan berteriak senang dan beberapa saling berpelukan karena saking senangnya. Tentu, Sri yang berada di sampingku hendak memelukku, tapi karena melihat aku yang diam saja, membuat Sri menjadi malu dan buru-buru menenangkan dirinya. Melihat ruangan menjadi gaduh, Pak Gunawan kembali berdeham untuk membuat yang lain berhenti mengoceh.
"Baiklah, dengarkan baik-baik. Nama-namanya sebagai berikut, Ben, Sri, Melinda, Hans, dan Alan. Lima orang yang saya panggil tadi akan mendapatkan reward sebagai karyawan pembersih dengan kinerja paling baik setengah tahun ini, selamat berlibur," kata Pak Gunawan, kemudian dia berpamitan keluar dari ruangan lebih dulu.
"Al, kamu juga dapat! Yey, kita libur!" Sri mengguncangkan tubuhku. Dan jujur saja saat itu aku masih tidak mempercayai apa yang aku dengar. Masalahnya masih ada banyak karyawan yang mungkin lebih baik kinerjanya dariku, juga para senior itu kini menatapku dengan tatapan penuh iri.
"Ya, kamu juga Sri."
"Selamat ya."
Kami pun tidak ingin berlama-lama dan masing-masing mulai mengganti pakaian dengan bilik yang dipisahkan. Aku beranjak mendekat ke arah loker milikku dan membukanya, lalu meraih pakaian ganti yang berada di dalam tas. Sesudahnya aku beranjak memasuki ruang ganti dan menarik tirai penutup. Sembari mengganti pakaian, aku berpikir tentang agenda apa yang aku lakukan ketika mendapat hari libur nanti? Setelah berpikir cukup lama sambil menatap ke arah cermin, akhirnya aku memutuskan untuk memberi kejutan kepada Karen! Ya, sudah kuputuskan! Dia pasti akan sangat senang ketika mendapati aku datang menemuinya.
Oh ya, Karen kan suka buah jeruk. Tenang saja, aku akan membelikan beberapa jeruk kesukaannya itu dengan sisa uang tabunganku bulan kemarin. Dia pasti akan sangat menyukainya!
Aku melangkah keluar dari gedung perusahaan ini. Dengan napas berat aku merenggangkan kedua tangan ke atas sembari menguap. Lelahnya, seharian aku mengepel lantai dan membersihkan perabotan kantor. Diam-diam aku mengendus aroma badanku yang sedikit bau karena berkeringat, aku tidak tahan lagi, secepatnya aku harus segera pulang dan membersihkan diri.
Seperti biasanya, aku datang ke halte bus terdekat. Sebentar aku melirik ke arah jam tangan tak bermerek ini dan mendapati bahwa bus yang akan datang nanti adalah bus terakhir yang searah dengan tempat apartemenku berada. Sabar, masih sepuluh menitan lagi busnya baru datang. Tanpa sadar pun aku hanyut dalam pandangan mobil dan kendaraan umum yang berlalu lalang. Lagi-lagi aku memikirkan tentang nasibku ini yang sangat miskin. Bagaimana nanti aku bisa hidup kedepannya, apa aku bisa membiayai hidup Karen juga bila kita sudah menikah nanti? Bagaimana ya keadaan ibu dan ayah di kampung halaman? Yah, banyak hal yang membuatku melamun ketika menunggu bus itu.
Sampai seseorang datang dan membangunkan aku. Dia mengagetkanku sampai aku tersentak. Oh, rupanya Si Sri yang baru saja datang dan mengguncang tubuhku secara tiba-tiba. Dia datang dengan senyuman lebar dan langsung mengambil posisi duduk di sebelahku.
"Gimana Al, apa kamu udah kepikiran mau ngapain liburan nanti?" Sri bertanya sambil memainkan sedotan yang berada di dalam gelas tehnya. Sesekali dia meminumnya ketika mengobrol bersamaku.
"Belum tau juga sih, tapi kayanya aku bakal menyiapkan satu hari untuk pergi melihat Karen."
"Oh, jadi begitu." Sri menjadi terdiam dan memandangi jalanan dengan cara yang aneh. Seperti kecewa? Meski aku tidak bisa mengetahui apa isi pikirannya, akan tetapi aku bisa merasakan hawa di sekitar menjadi berubah begitu saja. Mungkinkah, aku lagi-lagi membuatnya berharap?
Tidak, tidak, aku tidak boleh membuatnya sedih. Lebih baik aku pergi dan mencari taksi untuk pulang, tidak bisa terus dekat dan satu bus bersama Sri.
"Ya Tuhan! Sepertinya aku meninggalkannya di lokerku! Sepertinya aku harus balik ke kantor sekarang juga untuk mengambilnya. Sri, maaf kamu duluan saja."
Beranjak dari tempat duduk, aku berniat untuk melangkah pergi meninggalkan halte itu. Namun, Sri dengan cepat meraih tanganku dan bangkit dari kursinya. Kemudian dia berkata, "Tunggu, Al. Biar aku aja yang pergi, kalau kamu memang ga suka deket-deket sama aku."
"Eh, bukan begitu, Sri." Aku buru-buru menyangkal kesalahpahaman ini, dan kemudian kami duduk kembali dan mengobrol sambil menunggu bus itu datang. "Entah aku harus mulai berbicara dari mana, tapi yang jelas Sri, aku hanya tidak ingin membuatmu sakit hati. Kuharap kamu mengerti, ini juga karena aku sering tanpa sadar membuatmu sedih. Sungguh, aku tidak ingin memberi harapan padamu, aku benar-benar sudah memiliki seorang kekasih."
Untunglah, daerah di sekitar halte itu sepi. Dan di sana hanya ada aku dan Sri yang sedang menunggu bus selanjutnya datang. Setelah aku memuntahkan seluruh isi pikiranku kepadanya, bukannya Sri menjadi tambah sedih, lah ini yang ada malah sebaliknya. Dia menertawakanku dengan puas seraya memegangi perutnya karena saking lucunya.
"Kok malah ketawa sih, aku serius ngomongnya ini."
"Lagian kamu ini ada-ada aja, deh. Kukira kamu itu belakangan ini menghindar karena jijik gitu deket sama aku. Eh, ga taunya cuman karena alasan klasik kaya ginian." Sri mencoba berhenti menertawakan aku, tapi rupanya itu masih belum cukup juga?
"Al, dengerin aku ya. Mungkin memang aku sedikit sedih sih ya karena kamu udah punya kekasih di luar sana. Tapi yah, lebih sakit rasanya kalau kamu menghindari aku karena alasan tidak masuk akal itu, bilang ga mau aku sakit hati lah, ga mau aku berharap lah. Lagian ya, kalau orang suka itu ga mesti harus memiliki, kan? Dan di sini hanya cinta bertepuk sebelah tangan, tidak ada yang perlu dipusingkan. Kamu cukup anggap saja aku sebagai teman atau rekan kerja seperti biasanya, lebih baik seperti itu."
Sri pun tersenyum, kali ini dia memang terlihat lebih baikan setelah aku memberitahukan alasanku belakangan ini menjauhinya.
"Itu busnya, ayo naik." Sri bangkit dan pergi lebih dulu masuk ke dalam bus. Sementara aku masih tersenyum dan menghela napas lega, sebelum pada akhirnya ikut masuk ke dalam bus itu mengikuti Sri.
Di dalam bus kami tidak banyak menghabiskan waktu untuk mengobrol, hanya sempat Sri memintaku untuk memperlihatkan bagaimana penampilan Karen dari galeri ponselku. Sebenarnya aku menolak untuk memberikannya, tapi setelah Sri ribut mulu dan terus menggangguku, maka kuputuskan untuk menunjukannya. Sri pun mengangguk puas setelah melihat foto itu yang mana memperlihatkan aku dan Karen yang sedang berfoto saat masih sekolah dulu.
"Menarik, rupanya tipe wanita yang kamu sukai seperti itu."
"Apa ada yang salah?"
Sri hanya tersenyum dan mencoba menggodaku. Kemudian setelah dia merasa puas, dia pun melanjutkan, "Dia memang pantas, sampai mampu membuatmu jatuh hati hanya dengan sikapnya yang begitu manis, benar begitu?"
"Tapi Al, aku tidak tau apakah aku harus mengatakan ini atau tidak. Namun, karena pertemanan di antara kita, aku masih harus mengatakannya demi kebaikanmu. Sepertinya, kekasihmu yang bernama Karen ini bukanlah wanita baik-baik."
"Maksudmu apa, Sri?" Aku spontan menaikan nada bicaraku dan mengernyitkan alis karena tidak suka dengan perkataannya barusan. "Maaf, aku hanya tidak menyangka kamu sampai hati menjelekan dia di hadapanku. Bahkan kamu saja belum pernah bertemu dengannya, lantas atas dasar apa kamu bisa menilainya?"
"Tunggu Al, aku belum selesai berbicara." Sri pun buru-buru meluruskan bahwa ini tak semata-mata hanya perkataan yang tidak berdasar. Yah, aku menghela napas dan mencoba menenangkan diri dan mendengarkan kelanjutan dari perkataannya.
"Begini, coba lihatlah kembali foto yang kamu tunjukan sebelumnya."
"Memangnya ada apa?"
"Sudah, perlihatkan saja lagi," kata Sri yang masih memaksaku untuk menunjukan fotoku bersama Karen itu lagi padanya.
Setelahnya, kubukalah kembali galeri ponselku dan memperlihatkannya sesuai kemauan dia. Karen pun mengangguk dan melanjutkan, "Nah, iya ini. Lihatlah baik-baik, apa kamu tidak menyadari kejanggalan ada padanya?"
Berulang kali aku melihat ke arah foto itu, tapi aku tidak juga menemukan sesuatu hal yang aneh dan mencurigakan. Setelah beberapa saat aku mencari dan tak menemukan maksud dari perkataan Si Sri, aku pun melirik ke arahnya dengan tatapan skeptis.
"Ayolah, masa kamu ga ngerasa aneh sama sekali waktu itu?" Kulihat dia menghela napas seperti orang yang menyerah padaku, maka dari itu aku masih mencoba untuk mencari tahu. Namun, hasilnya tetap saja aku tidak mengetahui apapun yang dia maksudkan.
"Sumpah deh, kamu ini emang ga tau apa aja yang dipakai kekasih tercintamu ini? Baju, celana, tas, jam tangan, sepatu, apa kamu tau harga sebenarnya dari barang-barang mewah ini?"
"Mewah katamu? Apa kamu tidak salah melihat? Jaketnya saja aku yang belikan, harganya juga cuman seratus ribuan. Bukankah sudah pernah kuceritakan? Kondisi finansial Karen tidak jauh lebih baik dari keluargaku, mana mungkin dia mengenakan barang-barang mahal."
Sulit aku mengerti jalan pikiran Sri. Mengapa juga dia menyimpulkannya hanya dengan melihat dari foto? Memangnya dia tau harga dari semua barang-barang itu?
"Tapi, Al...."
"Sudahlah, Sri. Kita lanjut obrolan kita selepas liburan, aku sudah sampai pada pemberhentianku." Setelahnya aku mengucapkan salam kepadanya. Lalu, membayar ongkos bus itu dan segera turun.
Memang, kali ini Sri sudah melewati batasannya. Tidak seharusnya dia mencoba membuatku ragu pada Karen. Sudah jelas kekasihku itu tidak mungkin menyembunyikan sesuatu padaku, dia selalu terbuka tentang segala hal, sampai kondisi di dalam keluarganya yang buruk saja aku mengetahuinya. Lupakan, cukup sampai di sini dan aku tidak ingin memikirkannya lagi.
Hari libur yang telah kutunggu-tunggu akhirnya tiba. Pagi itu segala sesuatunya telah kupersiapkan, mulai dari jeruk yang sudah aku bersihkan dan kukemas dengan plastik, juga aku mempunyai hadiah lain yang ingin aku berikan padanya. Itu baju berwarna pink yang aku pilihkan sendiri, sengaja sehari sebelumnya aku pergi ke mall terdekat untuk mencari hadiah dan mendapati pakaian bagus itu. Lagipula, meski diskon lima puluh persen baju itu terlihat akan sangat bagus jika dikenakan Karen. Dan kebetulan uang yang aku bawakan masihlah cukup untuk membelinya.
"Aku sudah tidak sabar ingin melihatnya berteriak kegirangan dan datang memelukku."
Sungguh, dengan hati bersemangat aku menutup pintu apartemenku dan beranjak pergi meninggalkan bangunan tua itu. Sinar matahari masih terasa belum begitu terik, setidaknya itu masih menyehatkan mengingat waktu sekarang masih menunjukan pukul sembilan lebih lima belas menit. Udara pagi ini pun masih terbilang cukup sejuk, pas sekali untuk mengawali sesuatu yang baik.
Seperti yang sudah direncanakan, aku pergi menaiki bus antar kota dengan biaya tiket yang terbilang murah. Memang, berpergian menggunakan bus panas dan penuh sesak seperti ini tidaklah nyaman, belum ketika ada pendatang baru yang memaksa masuk dan harus berdiri di dalam bus. Yah, demi menghemat uang pengeluaran aku tidak punya pilihan lain. Lebih baik uang yang masih tersisa untuk mentraktir makan Karen, atau untuk mengajaknya ke tempat hiburan.
Butuh sekitar tiga jam perjalanan, aku tiba di pemberhentian sementara di kota itu. Bersama dengan penumpang lainnya yang bertujuan sama, kami turun dari bus bobrok itu. Sejenak aku menghela napas lega dan mengepakkan kaosku yang basah karena keringat. Kemudian aku beranjak mencari tempat duduk untuk meneduh, sembari bertanya-tanya tentang arah alamat tempat tinggal Karen ini.
Akhirnya, setelah beberapa kali bertanya sana sini kepada orang-orang yang berada di sekitar tempat itu, aku mendapatkan saran untuk mengunakan angkutan umum di kota itu. Selain bisa melewati jalan di dekat apartemen Karen, itu juga sangat terjangkau bagi keuanganku.
Singkat waktu aku tiba di persimpangan jalan dekat apartemen Karen. Siang itu aku merasa perutku begitu perih karena memang pagi tadi aku hanya sarapan roti sobek saja, sungguh aku merasakan lapar dan sedikit pusing. Kebetulan di dekat posisiku sekarang ada warung yang berjualan soto segar. Setelah aku mendatangi sang ibu penjual, aku bertanya berapa untuk satu porsinya? Sang ibu pun menjawab dengan ramah bahwa untuk satu porsi cukup membayar delapan ribuan saja dan sudah sama nasinya.
Yah, mungkin bagi sebagian orang bertanya tentang harga sebelum makan terasa sedikit memalukan, akan tetapi bagi orang sepertiku yang memiliki uang pas-pasan itu merupakan suatu kewajiban. Tidak ada yang tau, tempat yang aku datangi akan menjadi seperti apa. Bagaimana jika harga mereka sangatlah tinggi dan pada akhirnya aku tidak sanggup membayar?
"Terimakasih, Bu."
"Ya, sama-sama Mas, silahkan. Minumnya mau apa, Mas?" kata sang ibu penjual sembari menaruh satu mangkuk soto dan piring berisikan nasi.
"Apa boleh saya minta air putihnya saja, Bu?" Aku dengan ragu bertanya, soalnya di kotaku bekerja biasnya warung yang berada di pinggir jalan seperti ini menggratiskan segelas air bagi para pembelinya. Memang, aku tidak melihat pengunjung lain yang sedang meminum air putih, kebanyakan mereka minumnya es teh atau es jeruk. Tapi, ga ada salahnya kan aku bertanya? Untung-untung kalau si ibu penjual mau memberiku minuman air putih gratis.
"Oh, boleh Mas. Tunggu sebentar ya saya ambilkan."
Tuh kan, memang warung pinggir jalan adalah jalan ninjaku. Eh, maksudku tempat yang paling nyaman bagiku untuk makan, selain murah meriah, si ibu atau bapak penjualnya pun ramah-ramah. Terbukti, meski di kota yang berbeda, mereka sangat menyambut pembeli dengan baik. Berbeda dengan pengalaman pahitku saat mencoba makan di salah satu mall besar. Pernah aku bertanya karena memang tidak tau, tentang apa isi dari makan yang mereka jual sampai harganya bisa sebegitu mahalnya, tapi jawaban yang kudapat dari sang kasir malah sangat kasar dan tidak sopan.
"Bu, terimakasih. Ini bayarannya, semoga sotonya laris ya."
"Wah, makasih banyak doanya, Mas. Hati-hati juga ya di jalan." Sang ibu pun tersenyum merekah ketika mengembalikan uang sisa dari membeli soto yang rasanya nikmat itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!