NovelToon NovelToon

Kubuat Kau Bertekuk Lutut

KKBL Bab 1

Kiara memasuki kelas dan terkejut melihat bangkunya penuh coretan kapur yang isinya menghina gadis itu secara fisik. Ia juga menerima selembar kertas berisi daftar minuman dan makanan apa yang harus dipesannya saat istirahat nanti. Pelakunya? Siapa lagi kalau bukan Diska. Anak pengusaha kaya yang rela mengucurkan dana lebih besar untuk sekolah, semenjak putri mereka satu-satunya bersekolah di SMA itu.

Sebenarnya ini bukan kali pertama Kiara mendapatkan perlakukan seperti itu. Ia pernah melawan, tapi Kiara yang hanya rakyat jelata, tidak pernah bisa melawan Diska yang jauh lebih kuat. Apalagi teman-temannya tidak ada yang mau membela. Mereka tidak mau berurusan dengan Diska jika sampai membantu Kiara. Kiara semakin ciut dan berakhir menyedihkan, ia tidak bisa lagi melawan Diska yang menyakiti fisik dan mentalnya.

Saat istirahat tiba, Kiara memesan makanan dan minuman yang ada di daftar itu. Meski pada akhirnya Diska yang membayar, tapi Diska lebih suka memanfaatkan Kiara supaya tidak perlu mengantre.

Dengan tergopoh-gopoh Kiara membawa semua pesanan Diska. Kedua tangan gadis itu penuh, dan ia kesulitan membawa makanan Diska. Hingga tanpa sengaja, Kiara menumpahkan sedikit minuman itu dan mengenai ujung sepatu Diska yang malah membuat Diska murka.

"Punya mata nggak?" hardik Diska dengan suara lantangnya. Ia bangun dari tempat duduknya dan berkacak pinggang. Dua teman Diska, Lena dan Leni ikut berdiri dan bersiaga di belakang Diska.

Diska memiliki orang tua yang tidak mempermasalahkan kelakuan buruknya itu. Sebagai anak donatur tetap di sekolah itu, tidak ada siswa atau guru yang berani membantahnya.

"Ma-ma-maaf Dis," ucap Kiara dengan bergetar. Ia menunduk, mengambil tisu di meja, lalu bersimpuh di depan kaki Diska. Seluruh tubuhnya bergetar. Lagi-lagi ia melakukan kesalahan besar yang membuat Diska marah.

Diska yang masih memiliki dendam pribadi pada Kiara malah mendorong tubuh Kiara sampai terjatuh dan menabrak kursi.

"Hei! Jangan sentuh sepatu mahalku dengan tanganmu yang menjijikkan itu! Bukannya bersih malah semakin kotor!" Diska bersedekap setelah berhasil mendorong tubuh Kiara hingga terjatuh. Lalu, Diska melepas sepatunya dan melemparkannya pada Kiara.

Kiara hanya bisa menahan tangis. Mau minta tolong pun teman-temannya tidak ada yang mau membantu. Mereka semua takut pada Diska. 

"Ma-maafkan aku, Dis. Aku nggak sengaja numpahinnya," ucap Kiara lirih. Ia hanya menunduk, tidak berani menatap gadis cantik di hadapannya itu. Kali ini, entah apa lagi yang akan Diska perbuat padanya.

"Maaf kamu bilang?! Kamu pikir sepatuku itu murah? Orang miskin kayak kamu nggak akan bisa beli, KW-nya pun kamu pasti nggak bisa beli." Diska menendang kaki Kiara, membuat gadis itu mengaduh kesakitan.

Bukannya berbelas kasih, Diska justru menarik rambut Kiara. Kiara merasakan sakit yang teramat sampai rasanya rambutnya akan terlepas dari kepalanya. Diska menyeret Kiara sampai ke lapangan dekat gerbang.

Kiara seperti dilempar dengan keras saat Diska dan teman-temannya menghempaskannya ke lapangan yang keras itu. Punggungnya terasa sakit, tangan dan kakinya terasa perih. Darah segar mulai keluar dari luka itu. Kiara benar-benar terluka kali ini. Tidak hanya luka fisik, tapi hatinya juga terluka.

Diska menampar pipi Kiara dengan keras, sampai ujung bibirnya mengeluarkan darah.

"Dasar culun! Nggak tau diri!" hardik Diska dengan lantang.

Murid-murid mulai berkumpul mengerubungi Kiara. Semua guru sedang rapat, sehingga tidak ada yang mengetahui keributan itu. Kiara merasakan sakit yang luar biasa, ditambah cuaca yang terik membuatnya semakin tidak berdaya.

Di antara celah kaki siswa yang bergerombol di belakang Diska, Kiara melihat Xavier. Satu-satunya murid laki-laki yang tidak pernah takut pada Diska. Xavier memang idola di sekolah, dan Diska tunduk padanya. 

Melihat Xavier yang tengah melihatnya, Kiara mengucapkan permohonan melalui gerak bibirnya "Tolong aku, Xavier tolong aku, aku mohon." Gadis itu sangat berharap Xavier akan membantunya. Hanya dia satu-satunya orang yang Kiara pikir bisa menolongnya lepas dari Diska.

Diska melihat Kiara yang tengah menatap sesuatu dengan mulut yang berucap tanpa suara. Lalu, Diska menoleh ke belakang dan mendapati Xavier yang tengah melihat kelakuan jahatnya. Diska sedikit panik, tapi tidak lama kemudian, Xavier pergi bersama temannya. Kepergian Xavier membuat harapan Kiara hilang, lagi-lagi ia harus pasrah dengan apa pun yang Diska perbuat.

Diska menampar pipi Kiara lagi, kali ini jauh lebih keras dari sebelumnya. "Dasar ja.lang, lihat apa hah? Mimpi dapetin Xavier? Ngaca dong, sampah nggak akan mungkin bisa dapetin berlian!"

Diska tersenyum sinis. Tidak akan ada yang menolong Kiara. Ia merebut minuman dari salah satu murid lalu menumpahkan minuman itu ke baju, rambut dan wajah Kiara. 

"Itu balasan yang cocok buat kamu," ucap Diska sembari menendang lengan Kiara.

Kiara mulai merasakan pusing akibat tamparan keras itu. Tiba-tiba Lena dan Leni menendangnya secara bergantian hingga Kiara jatuh tersungkur.

Diska meninggalkan Kiara dan mengusir semua siswa yang bergerombol. Tidak berapa lama setelah kepergian Diska, Kiara merasakan pusing yang luar biasa. Terik matahari yang menyengat membuat pendengarannya memudar, pandangannya menjadi gelap, dan akhirnya Kiara pingsan.

🦄🦄🦄

Tinggalkan like dan komentarnya 😉

☕☕☕🌹🌹🌹

KKBL Bab 2

Kiara terbangun di ruang UKS yang sepi. Rasa sakit yang hampir membuatnya muntah karena mual menyambut kesadarannya. Telinganya terasa berdenging sesekali. Namun, dengan sedikit menguap, suara berdenging itu pun hilang, tapi rasa sakitnya tetap tertinggal hingga membuat Kiara mengerutkan kening. Ketika ia masih menyesuaikan diri sambil berpegangan pada ujung kasur, guru UKS datang menghampirinya.

"Kiara, kamu sudah bangun?" tanya guru tersebut.

"Iya Bu." Kiara duduk di hadapan gurunya.

"Sebaiknya kita periksa ke rumah sakit karena tadi telinga kamu berdarah. Takutnya gendang telinga kamu terluka," ucap guru tersebut.

Kiara diam sejenak, lalu ia menjawab, "Tidak perlu, Bu. Saya baik-baik saja, buktinya saya masih bisa mendengar jelas. Saya mau pulang saja kalau boleh." Kiara menolak usulan gurunya. Meski rasanya sangat sakit, tapi ia tidak mau menambah masalah yang mungkin akan timbul jika ia pergi ke rumah sakit.

Guru itu melihat bekas luka tamparan di wajah Kiara. Ia tahu siapa pelakunya karena dari desas desus yang beredar di kalangan guru, beberapa waktu terakhir Diska memang sedang mengincar Kiara. Akan tetapi, tidak ada yang bisa guru-guru itu lakukan karena mereka tahu, siapa orang tua Diska. Guru itu hanya bisa menelan rasa bersalahnya sendiri tanpa berani bertanya pada Kiara.

"Kamu yakin tidak perlu ke rumah sakit?" tanya guru UKS sekali lagi.

"Tidak, Bu. Terima kasih sudah menolong saya," ucap Kiara dengan sopan. 

"Terima kasihnya sama temen kamu. Dia tadi yang bawa kamu ke sini."

Kiara mengerutkan alisnya. Ternyata masih ada yang kasihan dengannya. "Siapa, Bu?"

"Aduh, ibu lupa namanya. Coba nanti tanya teman sekelas kamu, mereka pasti kenal."

Kiara hanya mengangguk dan tersenyum. Ia tidak mau mencari tahu sekarang, mungkin saja orang itu teman Diska yang tidak mau membuatnya mati di sekolah dan membuatnya terkena masalah.

"Kiara, ibu sudah siapkan es batu untuk mengompres luka kamu, pasti sakit sekali ya?" tanya guru itu sembari menyodorkan es batu dan kain dalam wadah kepada Kiara.

"Tidak apa-apa Bu."

Guru UKS membantu Kiara mengompres luka memarnya. Rasa bersalahnya semakin menjadi, seandainya Diska bukan anak orang kaya, pasti guru itu tidak akan tinggal diam.

"Kamu bisa pulang sendiri?" tanya Guru UKS setelah Kiara selesai mengompres lukanya.

Kiara mengangguk. "Bisa, Bu. Rumah saya tidak jauh."

"Baiklah, hati-hati dan langsung pulang ya." Guru itu mengusap kepala Kiara, kasihan melihat gadis muda sepertinya harus mengalami kejadian yang mengerikan itu.

***

Kiara naik bus kota dari sekolah ke rumah. Ia duduk sendirian karena teman-temannya belum pulang. Dalam kesendiriannya itu, Kiara memikirkan banyak hal. Otaknya mulai menyusun kata-kata jika orang tuanya bertanya. Akan tetapi, setelah ia pikir-pikir ulang, bukankah lebih baik orang tuanya tidak tahu?

Kalau aku bercerita pada Ayah dan Ibu kalau aku diperlakukan seperti ini, pasti Ayah dan Ibu akan sangat marah. Bisa saja Ayah datang ke sekolah dan malah mempermalukan diri kami. Keluarga Diska terlalu kaya untuk dilawan. Tidak, aku tidak mau membuat orang tuaku dipermalukan nantinya. Ayah, Ibu, maafkan aku.

Diska benar-benar jahat. Aku benci dia. Ini juga salah Xavier. Kalau saja dia mau membantuku, pasti Diska tidak akan sejahat itu. Padahal, Xavier sangat tahu bahwa aku adalah teman masa kecilnya, kenapa dia selalu berpura-pura seolah tidak mengenalku. Dia sangat berubah. Sejahat itukah Xavier? Aku benci Xavier, aku benci Diska. Aku benci mereka semua.

Kiara turun dari bus saat kendaraan besar dan panjang itu berhenti. Kiara kembali berjalan, menyusuri gang dengan hiasan bendera plastik bekas tujuh belasan. Sebisa mungkin, ia berusaha menutupi lukanya dengan jaket. Ia tidak mau membuat orang tuanya cemas jika melihat lukanya.

Sesampainya di rumah, ibu Kiara sudah menyambut kedatangan putri tercinta. "Tumben sudah pulang, Ra?" Ibu melihat jam yang menggantung di dinding ruang tengah. Pikir ibu, ini belum saatnya jam pulang, apa Kiara sedang ada masalah? Kiara yang merupakan anak tunggal selalu menjadi kesayangan dalam kesederhanaan orang tuanya.

"Iya, Bu. Gurunya rapat," jawab Kiara. "Bu, aku tadi udah makan, besok ada ulangan dadakan. Aku mau belajar dulu." Kiara menyalami ibunya lalu hendak meninggalkan ibu.

Ibu memegang bahu Kiara untuk menahannya. Gadis itu meringis kesakitan, tapi ia tetap berusaha menahannya di depan ibu.

"Wajah kamu kenapa, Nak?" tanya ibu khawatir.

"Oh, ini." Kiara memegang pipi dan ujung bibirnya yang masih terasa sakit. "Aku tadi nggak sengaja tersandung terus kena bangku, Bu. Tapi aku nggak apa-apa kok, beneran."

"Kamu yakin kamu baik-baik saja, Nak?" tanya ibu khawatir.

"Aku baik-baik saja kok, Bu. Aku capek mau istirahat sebentar terus belajar. Tolong jangan ganggu ya, Bu," jawab Kiara. Ia tersenyum, lalu melangkah meninggalkan ibunya.

Ibu merasa ada yang aneh dari sikap putrinya, tapi ibu tidak mau berburuk sangka. Mungkin saja, saat ini Kiara sedang kelelahan dan memang butuh waktu sendiri untuk istirahat.

Sesampainya di kamar, Kiara mengurung diri. Ia duduk bersandar di pintu dan menatap langit-langit kamarnya. Kiara hanya diam, tatapan matanya kosong, tapi buliran bening terus keluar dari sudut matanya. Tanpa isakan atau ekspresi apa pun. Air matanya sudah sangat menjelaskan perasaannya saat ini.

Kiara menatap pergelangan tangannya. Ia lalu mengacak-acak meja belajarnya, mencari cutter yang entah terselip di mana. Setelah membuat berantakan kamarnya dengan buku yang berserakan, Kiara akhirnya menemukan benda tajam itu.

Ia mendorong knop alat itu supaya pisau tajamnya keluar, lalu ia menempelkannya pada pergelangan tangan. Perlahan dan sambil memejamkan mata, ia menyayat tangannya sendiri. Seketika bayangan kedua orang tuanya datang menghampirinya. Betapa mereka sangat menyayangi putri mereka.

Dulu, sebelum berurusan dengan Diska, kehidupan Kiara sangat bahagia. Ia memiliki orang tua yang sangat menyayanginya. Dulu ia punya teman, walau tidak seberapa, tapi semenjak mengenal Diska semuanya berubah. Diska telah mengambil semua kebahagiaan Kiara.

Maafkan aku, Ayah, Ibu. Mungkin ini yang terbaik buatku.

Cutter itu terus menggores pergelangan tangan Kiara. Darah mulai keluar menembus kulitnya, rasa perih yang timbul nyatanya tidak bisa menghentikan tekadnya. Sampai akhirnya, bayangan masa kecilnya kembali muncul.

"Kiara, anak ayah paling cantik sedunia. Harta ayah satu-satunya." Ayah menggendong Kiara kecil dan menerbangkannya sambil berputar. Kiara kecil tertawa lepas.

"Ayah akan sekolahkan kamu di tempat yang bagus. Ayah akan lebih giat cari uang, kamu harus mendapatkan yang terbaik untuk masa depanmu. Kiara anak kesayangan ayah. Harta terbesar yang ayah punya."

Bayangan tentang masa kecilnya membuat Kiara semakin menangis. Tubuhnya lemas dan cutter itu pun terjatuh. Isakan tangisnya terdengar pilu dan menyayat, rasa sesak di dada mulai timbul.

Bodoh! Bodoh! Bodoh. Kiara memukul dadanya yang terasa sakit. Kenapa hidup sesulit ini? Bahkan mati pun sangat sulit.

Bayangan Diska yang tertawa, membuat hatinya terasa panas. Kalau ia mati sekarang, Diska tidak akan mendapatkan balasan atas perbuatan jahatnya. Lagi-lagi dia hanya bisa menahan diri. Kiara tertawa kecut. Menertawakan dirinya sendiri yang tidak bisa berbuat apa pun.

Jika saja dia bisa mengubah takdirnya, mungkin Kiara bisa membalas perbuatan Diska suatu hari nanti.

🦄🦄🦄

KKBL Bab 3

Kiara masih berdiam di kamarnya, bingung harus melakukan apa setelah ini. Bersekolah lagi sudah enggan, berhenti pun tidak mungkin. Pikiran gadis itu berkecamuk, begitu pun dengan perasaannya. Ia seperti mengarungi samudra yang luas tanpa kompas yang menunjukkan arahnya. Entah ke mana ia akan berlabuh.

Beberapa menit berlalu, Kiara mulai bergerak. Ia menghapus darah yang keluar dengan tisu, lalu membungkusnya dengan lengan jaket yang tadi ia kenakan.

Bibi Mita yang merupakan adik dari ibu Kiara tiba-tiba berkunjung. Bibi tinggal di luar kota dan sedang mengambil pesanan baju pengantin, lalu memutuskan untuk mampir menengok Kiara yang dirindukan.

"Kiara di mana, Kak?" tanya Bibi Mita pada ibu Kiara.

"Di kamar, lagi belajar. Katanya nggak mau diganggu," jawab ibu sembari menyajikan secangkir teh hangat di meja depan Bibi Mita.

"Aku lihat sebentar ya, Kak. Dia pasti senang aku mampir."

"Tapi Kiara bilang mau belajar loh, Mit. Nanti kalau kamu masuk dia marah gimana?"

"Mana mungkin dia marah sama aku." Bibi berdiri, lalu menghampiri Kiara di kamarnya.

Ibu tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kiara dan bibinya memang sangat dekat. Bibi Mita yang usianya hanya selisih lima tahun dengan Kiara, membuat hubungan mereka sangat akrab layaknya adik dan kakak. Setelah Bibi Mita menikah, mereka jadi jarang bertemu karena Bibi Mita mengikuti suaminya tinggal di luar kota dan membuka usaha rias pengantin di sana.

Tok tok tok.

Suara ketukan pintu tidak mampu menyadarkan Kiara dari lamunannya. Pikirannya yang kosong membuatnya hanya memikirkan pembulian yang dilakukan oleh Diska.

Karena Kiara tidak merespon, Bibi memanggil namanya, "Kiara, ini Bibi Mita, kamu di dalam, 'kan?" Bibi Mita mengetuk lagi pintu kamar Kiara. Sama seperti tadi, masih tidak ada balasan atau respon dari keponakannya itu. Dengan perasaan cemas Bibi Mita membuka pintu kamar Kiara yang lupa tidak dikunci.

"Kiara!?" pekik Bibi Mita yang terkejut melihat kamar Kiara sangat berantakan. Buku-buku berserakan, dan juga sebuah cutter tergeletak di dekatnya. Tisu yang terkena darah pun berserakan. Sementara itu, wajah Kiara yang sangat basah juga membuat Bibi Mita sangat khawatir. Apa yang terjadi dengan keponakannya itu?

"Bibi." Kiara sangat kaget melihat bibinya yang berdiri di ambang pintu. Ia langsung panik berusaha menghapus air matanya dan membereskan kekacauan di kamar.

Bibi Mita melihat kepanikan di mata Kiara. Bibi merasakan ada sesuatu yang aneh dengan Kiara. Lalu, Bibi Mita menutup pintu kamar dan menguncinya dari dalam.

"Bibi sejak kapan datang ke mari?" tanya Kiara. Dengan suaranya yang parau, ia berusaha terlihat tenang dengan berkali-kali menghela napas, tapi gadis itu tidak berani menatap wajah bibinya. Ia melirik ke bawah, jantungnya kembali berdebar keras saat melihat cutter di bawah kakinya. Kiara berusaha menendang cutter ke kolom meja, supaya Bibi Mita tidak melihat perbuatannya barusan.

"Kiara, ada apa sebenarnya?" tanya Bibi Mita khawatir. Ia mendekati Kiara dan membalik tubuh gadis itu. Bibi memegang lengan Kiara yang terluka, membuat gadis itu mengernyit menahan sakit.

"Nggak ada apa-apa kok, Bi." Kiara masih berusaha menahan sakit saat cengkraman Bibi Mita semakin kuat di lengannya. Namun, Bibi Mita bisa melihat jelas saat ekspresi wajah Kiara menahan sakitnya.

Bibi melihat bekas darah yang berceceran, Kiara pasti sedang tidak baik-baik saja, tapi apa yang membuatnya seperti ini?

"Cerita sama aku, kamu kenapa Kiara?" Bibi Mita menarik lembut tubuh Kiara untuk duduk di tepi ranjang.

"Tidak ada yang perlu diceritakan Bi, aku baik-baik saja." Kiara memaksakan senyum dengan bibir bergetar dan deru napas yang mulai memburu. Ia sangat takut jika orang tuanya sampai tahu tentang keadaannya saat ini.

"Kiara! Nggak mungkin kamu baik-baik saja. Lihat darah itu! Itu darah kamu, 'kan?" Bibi Mita bertanya dengan nada memaksa. Ia merasa geram karena Kiara masih berpura baik-baik saja tanpa mau mengakui apa yang sedang menimpanya.

"Aku … aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja." Suara Kiara terdengar semakin bergetar. Ia menggeleng pelan kepalanya, jangan sampai Bibi Mita tahu.

"Kamu bohong!" tuduh Bibi yang terus memaksa Kiara untuk jujur.

"Aku … aku nggak bohong, aku baik-baik saja, jangan bilang Ayah sama Ibu. Aku beneran baik-baik saja." Kiara terus menggelengkan kepalanya. Air bening kembali keluar lewat sudut matanya. Ia semakin ketakutan dan mulai menutup wajah dengan tangannya. Saat itulah jaket yang membungkus luka sayatnya terlepas.

Bibi Mita melihat luka itu dan sadar Kiara benar-benar memiliki masalah. Bibi Mita lalu memeriksa lengan Kiara, karena tadi Kiara sempat mengernyit menahan sakitnya. Bibi sangat syok saat melihat luka lebam di lengan tangan Kiara.

Dengan mata memerah menahan tangis, Bibi Mita bertanya, "Ini kenapa, Kiara?" Sebenarnya, tanpa bertanya pun Bibi Mita sudah bisa menebak Kiara menjadi korban perundungan di sekolahnya.

Bibi Mita merangkul Kiara dan itu membuat tangis Kiara pecah. Bibi Mita juga ikut menangis. "Nggak apa-apa, nangis aja kalau itu bisa mengurangi beban di hati kamu." Kiara semakin terisak dalam pelukan bibinya.

Cukup lama Kiara menangis sampai akhirnya ia berkata, "Bisakah Bibi membawaku pergi dari kota ini?" tanya kiara dengan serius.

Bibi Mita cukup terkejut, membuat bibi berpikir keras. Bisa saja Bibi Mita membawa Kiara, tapi apakah kedua orang tua Kiara nantinya akan setuju?

"Aku akan usahakan. Aku harus bicara dulu dengan suamiku dan tentunya orang tuamu."

Kiara mengangguk. Ia berdoa dalam hati semoga saja bibinya bisa membawanya pergi dari Diska.

***

Setelah perdebatan yang lumayan alot, akhirnya Bibi bisa membawa Kiara tinggal bersamanya. Tentu saja Kiara juga sangat meyakinkan orang tuanya. Ia beralasan ingin belajar merias sekaligus membantu bibinya.

Saat ini, Kiara sudah tinggal di rumah Bibi Mita. Ia sedang membereskan pakaiannya di kamar baru. Lalu, Bibi Mita masuk untuk menemuinya.

"Kamu suka kamarnya?" tanya Bibi Mita. Kamar yang ditempati Kiara saat ini tadinya tidak terpakai karena bibi dan suaminya hanya tinggal berdua di rumah yang cukup besar ini.

"Aku suka kok, Bi. Apalagi di sini nggak ada Diska," jawab Kiara.

"Kamu sebenarnya cantik Kiara. Kecantikan hati kamu sudah mengalahkan semuanya," ucap Bibi Mita yang ingin menghibur Kiara.

"Semua temanku melihatnya tidak seperti itu, Bi. Tidak ada yang bilang aku cantik, kenapa?" Kiara menunduk, terkadang ia berandai-andai. Seandainya saja, ia terlahir cantik, mungkin ia tidak harus mengalami ini semua.

Bibi Mita diam, merasakan kesedihan yang saat ini Kiara rasakan. Lalu, bibi berkata, "Kalau begitu, aku ubah perkataanku. Semua orang bisa cantik, termasuk kamu. Ayo kita buktikan sama-sama! Aku akan membantumu."

🦄🦄🦄

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!