Yuk, kenalan sama bintang utama 'Cinta Strata 1' 💌
Adinda Dewi Anjani
Adinda Dewi Anjani, berpostur tinggi kurus, kulit sawo matang, dan terbiasa menggunakan gaya rambut kepang satu. Dia terkenal jago berdebat. Bakat itu dia dapatkan karena sering berlatih dengan ibunya. Ya, biasalah, perdebatan ibu dan anak.
Adinda Dewi Anjani memiliki panggilan nama yang berbeda. Keluarganya memanggilnya dengan julukan Anjani. Sementara oleh warga desa, dia dipanggil Bunga. Padahal, sudah jelas tidak ada kata Bunga sama sekali pada namanya. Apa nama itu mendefinisikan wajahnya? Bukan, sama sekali bukan. Dia justru seorang gadis desa yang memiliki penampilan paling sederhana dibanding teman seusianya. Bahkan, ibu-ibu yang usianya jauh di atasnya, penampilannya lebih modis dibandingkan dengan dirinya.
Rupanya definisi sederhana yang ada di pikiran Anjani benar-benar sederhana. Dia jarang berhias muka. Pernah beberapa kali berhias muka, saat disuruh ibunya pergi ke undangan pernikahan tetangga. Itu pun hanya memakai lipstik tipis dan bedak tabur milik ibunya. Namun, penampilan yang seperti itu tidak terlalu dipermasalahkan oleh ibunya. Ada hal yang lebih meresahkan bagi ibunya. Apa itu? Yap, Anjani tidak pernah jatuh cinta.
Tentang asal-usul nama Bunga yang disematkan padanya, berawal dari kisah di pertengahan bangku SMA. Tepat setahun lalu, ada sosok yang memberi julukan Bunga padanya. Sosok itu adalah pengeran tertampan di desanya. Kangmas Juno, begitulah julukan warga desa. Juno merupakan anak semata wayang kepala desa. Pria yang kata orang paling tampan dan memesona.
Kala itu, usai pelaksanaan rapat umum warga di balai desa, tidak ada angin tidak ada hujan, Juno tiba-tiba menghampiri Anjani dan membuat julukan viral untuknya, bahkan tetap berlaku hingga saat ini.
"Hai, Bunga!" sapa Juno pada Anjani dengan penuh keyakinan diri.
Anjani menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan bahwa yang disapa bukan dirinya. Akan tetapi, sorot mata dan senyuman yang tersungging itu jelas mengarah padanya.
"Aku?" tanya Anjani sambil menunjuk diri sendiri.
"Iya, kamu!" Juno membenarkan.
Anjani sempat tertegun beberapa saat. Dia pun bertemu tatap dengan Juno. Barulah, dehem singkat dari seseorang berhasil menyadarkan dirinya. Tidak disangka, hanya beberapa kata sapaan dan tatapan singkat saja sudah membuat banyak pasang mata tersorot licik seperti mau menikamnya. Ya, mungkin karena yang menyapa adalah Juno, yang sudah memiliki penggemar di mana-mana. Juga, Juno memberinya julukan hangat yang tentu saja bisa membuat orang lain yang mendengar salah paham.
Sejak saat itu, julukan Bunga menjadi tidak asing di telinga warga. Jelas, itu sama sekali tidak menguntungkan, karena di balik julukan indah itu telah terbentuk komunitas para pembenci Anjani.
Nah, ibu Anjani yang mengetahui hal itu pun senang luar biasa. Bahkan, dia bergegas menemui kepala desa untuk menyusun rencana perjodohan. Rencana itu pun dilakukan secara terang-terangan. Tidak peduli hasilnya akan mulus atau malah membuat Anjani malu tak tertahankan. Bagi ibunya, saat ide muncul di benaknya, maka akan muncul beragam cara untuk meraihnya.
Anjani yang mengetahui hal itu pun tentu berusaha mencegah. Apalagi dia sama sekali tidak memiliki rasa pada Juno.
"Ma, sudah hentikan saja. Aku tidak mau dijodoh-jodohkan. Lagi pula, aku masih SMA." Anjani berusaha membujuk sang ibu.
"Juno itu paket lengkap. Rugi kalau kau lewatkan." Sang ibu menegaskan.
"Tapi aku tidak mencintai dia, Ma." Sekali lagi Anjani membujuk.
"He, tau apa kau tentang cinta. Jatuh cinta saja kau tak pernah. Sudah, tunggu saja di sini. Biar aku yang urus semuanya."
Rencana ibu Anjani berjalan mulus. Juno dan keluarganya setuju. Hari pernikahannya pun sudah ditentukan, yakni tujuh hari setelah kelulusan SMA.
Tersebarlah berita itu ke seluruh penjuru desa. Tentu saja, semakin banyak hati yang patah karena berita yang tidak terduga. Penggemar Juno memberi label Penjahat Cinta pada Anjani. Alhasil, selama setahun penuh Anjani menghadapi beragam teror yang justru membuat ibunya tertawa penuh kemenangan.
"Teror yang ada saat ini, besok lusa sudah menjadi masa lalu. Tak perlulah kau ambil pusing. Mereka itu hanya iri padamu. Lihat, kau sudah lulus SMA, seminggu lagi kau sudah menjadi istri orang. Betapa senang hati Ma kau ini."
"Tapi, aku masih tidak bisa mencintai Juno, Ma."
"Sudahlah, belajar cinta-cintaannya nanti saja kalau sudah menikah. Dijamin pasti cinta. Seperti Ma kau ini sama ayahmu dulu."
Setelah perdebatan singkat dengan ibunya, keesokan harinya Anjani menghilang. Dia meninggalkan tiga pucuk surat di atas kasurnya. Mengetahui hal itu, ibu Anjani pun bergegas menuju rumah kepala desa. Dengan tergopoh, ibu Anjani menyampaikan kabar kepergian Anjani sambil menunjukkan tiga pucuk surat yang ditinggalkan.
"Di amplop ini tertulis surat untuk saya. Isinya permohonan maaf tidak bisa melangsungkan perjodohan. Em, anak saya saat ini ada di kota, di rumah pamannya. Dia memutuskan untuk kuliah di sana. Bagaimana ini, Pak Kades?" Ibu Anjani terlihat kebingungan.
"Tenang dulu, Bu. Kalau surat yang ditujukan untuk saya hanya memuat satu kata saja. Maaf. Hanya itu saja isi suratnya. Bagaimana dengan isi surat untukmu itu, Juno. Cepat kau baca." Pak Kades menyuruh anaknya.
"Ayah, isinya di luar dugaan. Coba Ayah baca sendiri."
Jika kau merasa laki-laki, ikuti jejakku untuk kuliah. Jadikan dirimu lebih berguna untuk desa.
TTD
Aku yang tak pernah bisa menyerahkan hatiku pada lelaki manja.
"Hahaha. Ini baru menantu idaman. Juno, besok kamu kuliah. Susul Anjani, jangan kembali ke desa sebelum kau sukses meraih gelar sarjana." Pak Kades memberi perintah pada Juno.
Sejak saat itu, menjadi langkah baru bagi Anjani untuk memulai kisah baru di jenjang Strata 1. Masihkan Anjani sulit untuk jatuh cinta?
Mario Dana Putra
Mario Dana Putra, berpostur tinggi gagah, tampan, kulit sawo matang, dan memiliki gaya berpakaian yang modis. Dia anak orang kaya yang memiliki pabrik sepatu di tiga kota. Dia terlihat acuh dengan sekitar, tapi itu palsu. Dia memiliki sejuta perhatian yang terpendam.
Mario memiliki mobil, hadiah di ulang tahunnya yang ke-17. Meski memiliki mobil, dia hanya menggunakannya sesekali, dan lebih suka berkendara motor. Tampan dan kaya raya tidak membuatnya harus bertingkah dan bergaya mewah. Dia lebih senang dikatakan biasa-biasa saja.
Mario baru saja selesai berkunjung dari salah satu pabrik sepatu ayahnya. Dia parkir motornya di depan salah satu toko bunga. Sudah kesekian kali dia membeli bunga di toko itu, dan bunga yang dibeli selalu sama, setangkai bunga mawar putih. Selesai membayar, dia pun bergegas keluar. Akan tetapi ....
Brukk!
"Aaaaaa!" teriak seorang gadis.
Pintu yang Mario buka sukses mendarat di wajah seorang gadis. Dia benar-benar tidak menyadari ada gadis di depan pintu toko bunga.
"Maaf, mungkin aku mendorongnya terlalu keras." Mario berusaha meminta maaf.
"Itu bukan salahmu. Seharusnya aku tidak berdiri di sana."
"Baik, sebagai permintaan maaf, aku belikan buket bunga untukmu. Oh iya, bolehkah aku tau namamu? Akan kutuliskan pesan permintaan maafnya di buket itu." Mario tersenyum ramah.
"Boleh. Namaku Anjani. Dan ... terima kasih ..."
"Mario, namaku Mario. Ini buket bunga untukmu. Sekali lagi maaf, ya. Sampai jumpa."
"Daa ...."
***
Ups, sampai di sini dulu ya perkenalannya .... Buat yang penasaran sama cerita CINTA STRATA 1, tunggu update selanjutnya yaa. See You.
Pagi sedikit mendung, tapi tidak menciutkan semangat kawanan burung untuk bersenandung. Tidak terdengar pula kokok ayam yang biasanya bersahutan saling membangunkan tetangga. Ya, ini bukan desa. Nuansa kehidupan kota memang sedikit berbeda.
Anjani terbangun dari tidur lelapnya karena silau sinar matahari pagi yang menerobos dari celah tirai jendela. Sekian detik dia mengucek mata, mencoba untuk segera terjaga. Segera setelah sadar sepenuhnya, jemari tangannya lincah meraih smartphone yang sengaja diletakkan di samping tempat tidurnya.
"Anjani, bangun! Anak gadis bangun siang itu tak baik. Ayo, bangun!"
Terdengar suara gedoran pintu kamar tidur Anjani semakin keras. Sementara suara yang menyuruhnya untuk segera bangun juga semakin gigih meneriakinya. Tidak ada pilihan lagi selain segera bangkit dan membuka pintu kamar.
Seseorang yang membangunkan Anjani adalah Paman Sam. Dia adalah adik kandung dari ibu Anjani. Sudah lama dia hidup sebagai duda, lantaran ditinggal pergi oleh istrinya. Sementara putra Paman Sam satu-satunya tidak jelas di mana keberadaannya.
Paman Sam adalah pria yang gagah dan ramah. Satu-satunya yang membuat dia terlihat menakutkan adalah bekas tato di lengan kirinya. Paman Sam dulunya mantan preman yang memiliki banyak anak buah. Sejak ditinggal pergi anak dan istrinya, dia pun memilih menjalani hidup normal dengan membuka warung kelontong di depan rumahnya.
"Anjani, susah betul kau dibangunkan, ya!" Paman Sam sedikit menegur, meski tidak banyak berpengaruh bagi Anjani.
"Biasanya aku dibangunin sama ayam tetangga. Lupa kalau aku sedang di rumah Paman Sam." Anjani membela diri.
"Ya sudah, nanti sore kubelikan kau ayam jantan. Awas saja kalau bangunnya masih siang."
"Heee?"
Begitulah, suasana pagi Anjani. Sudah tiga hari berlalu semenjak dia meninggalkan desa. Pagi, siang, sore, ataupun malam, selama tiga hari ini ibunya di desa selalu menelepon, tapi sama sekali tidak diangkat olehnya.
Kring ... Kring ... Tulalit Tulalit ...
"Mau sampai kapan tak kau angkat telepon Mami kau." Paman Sam penasaran karena terlalu sering melihat Anjani mengabaikan telepon ibunya.
"Yang menelepon adalah Ma, bukan Mami. Julukan Mami hanya mengingatkanku pada masa lalu." Suara Anjani terdengar lirih.
"Oke oke. Sini biar aku yang angkat telepon dari Ma."
Paman Sam merebut smartphone dari tangan Anjani. Anjani sama sekali tidak keberatan dengan tindakan pamannya. Dia terlihat pasrah.
"Halo, Kak. Ini adikmu, Sam. Anjani tak mau mengangkat telepon dari kau. Masih ngambek dia. Lagian sih pakek ada acara perjodohan segala, mana aku tak kau undang lagi. Sudah-sudah, Kak. Kau tak perlu khawatir berlebihan, dijamin Anjani sehat di sini sama adik kau ini. Kalau rindu kemari saja kau. Adik kau ini juga rindu sama kau. Oke, aku tutup dulu teleponnya ya. Sampai jumpa!"
"Gimana kata Ma?" Anjani langsung bertanya sesaat setelah Paman Sam menutup teleponnya.
"Tuh, kepo kau! Ra-ha-si-a. Lain kali angkat sendiri teleponnya. Sekarang, bantu paman kau ini belanja kebutuhan warung di pasar sana. Ini daftarnya, dan ini uangnya. Oh iya, ada Meli yang akan menemani kau belanja." Paman Sam terdengar bijak.
"Meli?" Anjani masih mengingat nama yang tak asing terdengar di telinganya.
"Teman main kau dulu. Dia juga akan kuliah di jurusan yang sama seperti kau. Jurusan apa itu namanya?" Paman Sam mencoba mengingat nama jurusan yang diambil oleh Anjani.
"Jurusan Ekonomi, Paman. Oke deh, aku bersiap dulu."
"Nah, bagus. Sekalian kau beli make up sama baju baru. Biar keponakan paman yang mau kuliah ini terlihat sedikit cantik. Hahaha .... Jangan lupa beli lipstik kau ntar!" Paman masih bertutur sambil sedikit berteriak meski Anjani sudah pergi ke kamarnya.
***
Waktu menunjukkan pukul 08.00 WIB. Memang sedikit terik jika harus bepergian, apalagi harus berjalan kaki. Namun, teriknya matahari pagi tak menyurutkan langkah Anjani demi memenuhi perintah pamannya untuk belanja.
Pasar memang tidak terlalu jauh dari rumah Paman Sam. Jalan kaki ke sana tidak akan membuat kaki kebas, justru menyenangkan karena ada Meli yang sibuk mengoceh sepanjang jalan.
Meli adalah gadis mungil seusia Anjani. Dia dulu tinggal di desa yang sama seperti Anjani, tapi pindah saat usianya menginjak 7 tahun. Meli dan keluarganya pindah ke kota dengan alasan mengadu nasib demi kesejahteraan.
Kini takdir mempertemukan Anjani dan Meli setelah sekian tahun tak bersua. Meli yang sekarang lebih asyik diajak bicara dan bercanda. Wah, sungguh takdir yang indah.
"Mel, aku boleh tanya?" Anjani tiba-tiba mengubah topik bicara.
"Apa?"
"Kamu nggak sedang dipaksa Paman Sam buat ambil jurusan yang sama denganku, kan?" tanya Anjani.
"Nggak, kok!" jawab Meli singkat.
"Jujur, Mel."
"Ehm, sedikit sih. Tapi itu nggak masalah. Aku senang bisa kuliah sama kamu. Apalagi Paman Sam membiayai penuh. Yah, daripada aku dijodohin sama orang tuaku, mending aku kuliah." Meli mencoba menegaskan.
"Dijodohin? Hahaha, ternyata nasib kita tak jauh beda, Mel."
"Eh, malah diketawain. Sudah-sudah."
***
Perjalanan menuju pasar tidak kurang dari 10 menit. Bukan waktu yang lama bagi Anjani karena perjalanan begitu menyenangkan dengan hadirnya Meli, sahabat masa kecil yang telah kembali.
Setiba di pasar, Anjani ditemani Meli membeli semua bahan yang tertulis di daftar yang diberikan Paman Sam. Dipastikan tidak ada satu pun yang terlewatkan. Selesai semua, Anjani memanggil bentor langganan Paman Sam untuk mengangkut barang belanjaan.
"Bang, diantar ke rumah Paman Sam, ya. Tolong bilangin sekalian, Anjani pulangnya agak siang. Makasih, Bang!" Anjani berpesan pada pengemudi bentor langganan.
"Kita nggak langsung pulang, nih?" tanya Meli.
"Aku disuruh paman beli barang, buat persiapan kuliah bulan depan." Anjani menjelaskan.
"Barang apa?" tanya Meli. Dia jelas penasaran.
"Baju, lipstik ... biar aku cantik, Meli."
"Hahaha, aku setuju sama Paman Sam. Sahabatku ini memang perlu dipoles biar sedikit cantik. Yuk, kuantar." Meli langsung menyeret lengan Anjani
"Tunggu-tunggu. Sebaiknya aku beli tas ransel saja dulu. Gimana?" Anjani menawarkan.
"Tas ransel? Memang kamu mau balik sekolah TK lagi? Yang modis dikit dong, Anjani. Ayo, ikuti aku!" Meli kembali menarik lengan Anjani dan memutar arah tujuan. Akan tetapi ....
Brak!
Meli terlalu bersemangat menarik lengan Anjani, sementara Anjani pun terlihat pasrah saja dengan tingkah sahabatnya. Tanpa sadar, saat mereka berbalik arah, seseorang sukses tersenggol hingga menjatuhkan tumpukan kertas yang dibawa. Sebagian kertas terbang dan jatuh di atas kubangan.
"Aduh, maaf. Saya dan teman saya tidak sengaja. Bagaimana ini, Mel?" Anjani kebingungan sambil memungut kertas-kertas yang berjatuhan. Sementara Meli, dia melongo sambil menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya.
"Mel, ayo bantu!" Anjani mencoba menyikut lengan Meli.
"Tampan!" Meli berkata singkat.
Mendengar tuturan singkat dari Meli, Anjani langsung mendongakkan wajah ke arah lelaki di hadapannya. Kini, giliran Anjani yang melongo, lebih tepatnya kaget, karena sosok di hadapannya memakai sarung penutup kepala dan hanya terlihat kedua matanya saja.
"Mel, tampan dari mana? Kayak ninja." Anjani berbisik pada Meli sambil menahan tawa.
"Itu, pria yang di belakangnya!" Meli menarik-narik ujung baju Anjani.
Kaget. Reaksi itulah yang pertama kali ditunjukkan raut muka Anjani. Pria yang dimaksud oleh Meli adalah lelaki yang pernah memberinya buket bunga. Ya, dia adalah Mario.
"Nih, sebaiknya kamu bawa pulang brosur-brosur sepatumu. Hah, seharusnya aku tidak membantumu tadi." Lelaki yang memakai sarung penutup kepala terlihat menggerutu pada Mario.
"Mario, masih ingat aku?" Anjani mencoba memotong pembicaraan dua lelaki itu.
"Anjani. Ya, aku ingat." Mario menjawab sambil menampakkan senyuman.
"Tunggu, kalau brosur ini milikmu, berarti kamu sales sepatu, ya!" Anjani mencoba menebak profesi Mario.
Tebakan itu jelas membuat teman Mario yang memakai sarung penutup kepala sukses terbahak. Ya, Anjani memang tidak tahu tentang keluarga kaya Mario. Namun, entah kenapa tebakan itu justru dibenarkan oleh Mario.
"Ya, aku memang sales sepatu." Mario menegaskan.
"What?" Teman Mario terlihat kaget, tapi tidak berlangsung lama karena suasana tergantikan oleh hal lain yang tidak terduga.
"Anjani, ini bunga kedua untukmu." Mario terlihat menyodorkan setangkai mawar putih untuk Anjani.
"What?" tutur Meli dan teman Mario bersamaan.
"Terima kasih, Mario. Tapi, kali ini bunga untuk apa?" Anjani penasaran sambil tetap memasang wajah biasa saja.
"Ambil saja, sebagai permintaan maaf atas kebodohan temanku. Permisi."
Setelah berkata demikian, Mario pergi meninggalkan Anjani, Meli, juga temannya. Reaksi tidak terduga tersebut telah sukses membuat siapa pun dipenuhi tanda tanya.
***
Ups ... Ada yang penasaran sama lanjutan ceritanya? Siapa sih lelaki yang memakai sarung penutup kepala? Apakah setampan Mario? Atau mungkin ketampanannya seperti Juno (ep 1)? Lanjut ke episode selanjutnya, ya. See You.
Rumah bercat kombinasi putih dan mint yang terletak di sudut kompleks perumahan elit, terlihat mewah dibanding rumah-rumah lainnya. Pagar besi dominan cokelat menjulang tinggi dan terlihat kokoh. Di sekeliling rumah tertanam beberapa pohon palem, mangga, juga markisa. Tidak heran jika tumbuh beberapa tanaman di sana, karena halaman depan rumah tersebut memang luas.
Melangkah lebih dalam, kemewahan semakin melekat. Tampak dari depan, empat pilar besar berdiri menjulang. Tidak berhenti di sana, di samping rumah terdapat garasi besar yang bagian atapnya dibuat unik mirip bentuk piramida. Entah ada berapa kendaraan yang terparkir di dalam sana.
Dari semua kategori mewah yang tampak dari depan rumah, hanya satu pemandangan tidak biasa. Terparkir rapi dua motor yang terlihat kumuh karena berlumur lumpur.
Rumah mewah tersebut adalah rumah keluarga Mario. Juga ... kedua motor yang terparkir di sana adalah kendaraan Mario dan temannya, yang pagi tadi digunakan untuk membagikan brosur sepatu di pasar.
"Mario, pinjam kolam renangnya, ya. Gerah, nih!" pinta lelaki yang memakai sarung penutup kepala.
"Buka dulu topengmu!" sahut Mario sambil menuang minuman dingin ke gelas yang dipegangnya.
"Okeh."
Lelaki yang baru saja melepas sarung penutup kepala adalah sahabat baik Mario sejak di bangku Sekolah Menengah Pertama. Namanya adalah Ken. Dia memiliki postur tinggi yang hampir sama seperti Mario. Dia pun juga terlihat gagah dan tidak kalah tampan dari Mario. Bedanya, Ken berkacamata sementara Mario tidak.
Ken hobi berenang, lebih tepatnya meminjam kolam renang rumah Mario untuk berenang. Saat ini pun, usai kegagalan membagikan brosur di pasar tadi, dia memilih berenang lebih dulu dibanding aktivitas lainnya.
"Mario, kenapa juga kau repot-repot ikut bagi-bagi brosur. Karyawan ayahmu kan banyak." Ken membuka topik pembicaraan sambil bersandar di tepi kolam.
"Iseng aja," jawab Mario singkat.
"Yaelah. Terus lagi, nih. Kenapa juga kau pilih pasar buat tempat bagi-bagi brosur. Kan banyak tempat lain yang lebih oke. Duh, pakek acara brosur jatuh lagi. Tuh tuh, lihat tuh, motor kita kotor karena terjatuh di parkiran sana." Ken menggerutu.
"Sederhana saja, pasar itu ramai orang, penyebaran brosur juga akan lebih cepat. Akan lebih cepat tersebar andai tidak kau jatuhkan." Mario menjelaskan sambil sesekali meneguk minumannya.
"Haha, maaf. Itu kesalahanku karena maksain diri buat pakek penutup kepala dan lupa nggak pakai kacamata. Tunggu, jadi itu alasanmu ngasih bunga ke cewek tadi?" tanya Ken. Dia terlihat penasaran. Kali ini dia keluar dari kolam dan duduk di dekat Mario.
"Tepat sekali. Kau yang ceroboh, tapi membuat orang lain merasa bodoh."
Sejenak keduanya terdiam sambil tetap meneguk minuman dingin. Beberapa kue pukis yang sempat dibeli di pasar tadi tidak luput dari perhatian. Mereka menikmati kue sambil mencomot asal segala topik pembicaraan.
"Mario, boleh kepo nggak?" tanya Ken membuka topik pembicaraan baru.
"Apa?" tanya Mario singkat.
"Cewek yang bernama Anjani tadi itu siapa? Kayaknya sih bukan tipemu banget. Dari segi penampilan, cewek tadi itu jauh dari kata modis, nggak berkelas, je ...."
"Cukup, hentikan!" Mario memotong ucapan Ken.
"Ciee, kamu belain dia. Jangan-jangan kamu memang ada rasa. Ah, tapi mana mungkin. Dirimu mana mau kenal sama yang namanya jatuh cinta." Ken kembali menyerbu Mario dengan kata-katanya.
"Untuk saat ini, biasa saja. Tidak ada yang tahu kapan hati ini akan bertemu takdirnya."
"Hah? Sejak kapan sahabatku jadi puitis begini? Gawat, nih. Lebih baik aku berenang lagi biar nggak h ...."
Belum sempat Ken meneruskan kata-katanya, kue pukis potongan besar lebih dulu sukses menyumpal mulutnya.
***
Dua mangkuk bakso beberapa menit lalu telah terhidang. Anjani terlihat lahap menikmati bakso miliknya. Sesekali dia tampak menambahkan saos, kecap, juga sambal ke dalam mangkuknya. Tidak lupa, berkali-kali telah terseruput es teh pesanan.
Di seberang Anjani, Meli duduk diam sambil melihat tingkah lucu sahabatnya menikmati bakso pedas miliknya. Meli belum menyentuh bakso miliknya. Sedari tadi dia menunggu waktu yang tepat untuk berbincang.
"Mel, kalau ada yang mau disampaikan lebih baik segera sampaikan. Tuh, baksomu bentar lagi dingin karena dicuekin!" seru Anjani di sela-sela aktivitas menyantap bakso miliknya.
"Ehee ... kamu tahu rupanya. Satu pertanyaan, kau jawab, dan akan kumakan baksoku." Meli membujuk.
"Oke, akan kujawab singkat agar baksomu segera dimakan." Anjani setuju.
"Siapa nama lelaki tampan yang memberimu mawar di pasar tadi?" Meli cepat sekali melontarkan pertanyaannya.
"Namanya Mario," jawab Anjani.
"Siapa dia? Anak mana? Lalu apa hubunganmu dengan Mario?" Meli menyebutkan semua pertanyaan yang tadi disimpannya.
"Mel, itu lebih dari satu pertanyaan. Cepat makan saja baksomu!" tegas Anjani.
"Aku kepo," tutur Meli dengan wajah memelas.
Tak kuasa dengan rayuan sahabatnya, Anjani pun mengalah. Dia perbaiki posisi duduknya, lalu mendekatkan wajah ke arah sahabatnya itu. Meli yang mengetahui tanda dari Anjani pun terlihat senang. Sebentar lagi dia akan tahu siapa sebenarnya Mario. Akan tetapi, Anjani hanya memberikan satu kata saja.
"Rahasia!"
Meli terlihat kecewa dengan jawaban sahabatnya. Melampiaskan kekesalannya, dituangkan banyak-banyak saos sambal ke dalam mangkuk bakso miliknya.
"Aw! Pedas! Haah ...."
Anjani hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Meli. Selang beberapa saat setelahnya, hanya terdengar denting mangkuk dan suara pelayan warung yang lalu lalang. Ini pertama kalinya Anjani jalan-jalan dan makan di luar setelah 3 hari di rumah Paman Sam. Dan ... Anjani benar-benar menikmatinya.
Tidak perlu berlama-lama menghabiskan waktu di sana. Setelah mengosongkan isi mangkuk dan gelas, Anjani juga Meli bergegas membayar lalu keluar. Ada tempat lain yang harus dikunjungi. Toko kosmetik. Anjani harus membeli lipstik seperti yang paman bilang. Ya, daripada paman sendiri yang membelikan dan cerita macam-macam pada pemilik tokonya. Oh, itu tidak boleh terjadi ...!
"Mel, sepertinya aku terlalu awal ya datang ke kota? Kuliah dimulai masih bulan depan, lama." Anjani memulai topik.
"Terus? Mau balik ke desa?" tanya Meli sambil tetap berjalan santai.
"Ya enggaklah. Maksudku, emm ... Yuk cari kesibukan yang bisa dapat uang. Lumayan loh sebulan." Anjani bersemangat memberi ide.
"Yakin?"
"100℅, Mel."
"Ntar keasikan cari uang malah ogah-ogahan lanjut kuliah."
"Mel, kita coba dululah."
"Oke, besok kukenalkan dengan temanku. Aku yakin dia bisa bantu kita. Beberapa hari lalu dia bilang lagi butuh orang buat jaga toko bunganya. Ntar, coba kuhubungi dulu ya."
"Okeh!"
Langkah ringan kembali dilanjutkan. Kini, lipstik dan bedak pun sudah di genggaman. Tidak lupa pula Anjani membelikan 1 untuk Meli, sesuai permintaan pamannya melalui pesan singkat.
---- Anjani, belikan juga kosmetik buat sahabat kau, Meli. Ingat, pelit itu tak baik. Dan, sedekah itu lebih berharga. Kalau sudah selesai jalan-jalannya cepat kau pulang. Nih, ayam jagomu sudah datang. Cepat pulang dan kasih nama buat dia. ----
Meli terpingkal saat Anjani menunjukkan pesan Paman Sam beberapa menit sebelumnya. Sekarang, semua sudah terbeli. Anjani dan Meli pun bergegas untuk pulang.
Beberapa pertokoan mereka lalui. Sesekali ada pula karyawan toko yang membagikan brosur bagi pejalan kaki yang melintas di depan toko mereka. Lebih dari 3 lembar brosur, Anjani menerimanya. Kebanyakan dari mereka terlihat masih muda. Mungkin mereka adalah pekerja paruh waktu. Melihat hal itu Anjani semakin bersemangat menunggu waktu kuliah tiba. Sudah banyak sekali rencana-rencana yang akan segera diwujudkan olehnya.
Setibanya di persimpangan jalan, lampu lalu lintas pejalan kaki berwarna merah. Anjani dan Meli menunggu hingga tanda lampu berubah hijau. Akan tetapi, tiba-tiba ....
"Hai, Bunga!" sapa seorang lelaki yang suaranya datang dari belakang.
"Juno?" Anjani menoleh, memutar badan dan mencari sumber suara. Namun, rupanya sebutan 'Bunga' itu bukan untuknya. Melainkan untuk orang lain yang sepertinya memiliki nama Bunga. Anjani telah salah dengar, sekaligus salah paham.
Melihat gelagat Anjani, Meli tentu saja penasaran.
"Hei, siapa itu Juno?" tanya Meli penasaran.
"Bukan siapa-siapa, kok."
"Bohong, nih. Tadi Mario, sekarang Juno. Besok siapa lagi, hayoo. Ayo, cepat cerita!"
"Biarin aja kepo, wek ...! Hihi." Anjani semakin menggoda Meli. Dia pun seketika berlari menjauh sesaat setelah lampu pejalan kaki berwarna hijau.
"Hei, Anjani. Tungguin!"
***
Bersambung ....
Penasaran dengan lanjutannya. Tunggu update selanjutnya yaa. See You, Readers.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!