Perkenalan Tokoh
Nina Maharani Putri
18 tahun, siswa SMA Nusa Bangsa. Salah satu siswa yang ceria, supel, baik, manja & imut. Ngga terlalu terkenal, cuma karna dia salah satu musuh bebuyutan idola sekolah, secara tidak langsung dia jadi mulai terkenal.
Aldo Mahendra Saputra
18 tahun, sikapnya yang sedingin kutub utara, namun tak pernah mengurangi pesona tampannya. Meski sikap nya yang dingin itu, tetap saja banyak kaum hawa yang tergila-gila padanya.
Kala itu di SMA Nusa Bangsa tengah di adakan penerimaan siswa baru. Dan tak jauh dari gerbang, berdirilah seseorang yang keberadaanya cukup mencolok. Yaa, dia adalah Aldo Mahendra Saputra. Semua mata tertuju padanya, parasnya yang mampu mengalihkan dunia kaum hawa yang berandai andai bisa menjadi kekasihnya.
"Minggir ... Minggir!! Tolong semuanya minggir!"
Tiba-tiba dari arah gerbang muncul sepedah yang sudah tak bisa di kendalikan. Aldo yang saat itu telat menghindar, dan tiba-tiba saja.
Brukk.....
Suara seseorang yang jatuh, semua mata tertuju pada arah sumber suara. Terlihat seorang perempuan yang menindih tubuh Aldo yang sudah tersungkur di atas tanah. Nina yang kaget melihat seseorang yang tertindih olehnya dengan buru-buru ia menepuk-nepuk wajah Aldo.
"Hey, kau tak apa apa? Apa kau bisa mendengarku?" tanya Nina dengan nada yang khawatir. Namun, tiba-tiba saja sebuah tangan menepis tangan Nina yang sedang menepuk-nepuk wajah Aldo.
"Singkirkan tanganmu dari wajahku!" serunya dengan nada yang sangat ketus.
Nina yang menyadari bahwa pria yang telah ia tabrak membukakan mata, ia hanya menghela nafas. Ia merasa bersyukur karena ia tak perlu melibatkan orang tuanya jika sampai terjadi sesuatu pada Aldo.
"Syukurlah, apa kau baik-baik saja? Aku minta maaf, tiba-tiba saja rem sepedaku blong."
"Hey, sepeda bututmu itu sudah waktunya untuk di buang ke rongsok!" perintah Aldo dengan nada yang sangat dingin.
Nina yang mendengar hal itu menjadi geram, ia tak terima jika sepeda kesayangannya di katakan butut.
"Aku kan sudah meminta maaf, dan kau juga tak perlu menghina sepeda kesayanganku!"
"Terserah, pokonya sepeda bututmu bisa membahayakan orang lain tau!" jawab Aldo dingin sambil berlalu meninggalkan Nina yang sedang mamatung sambil memegangi sepeda kesayangannya.
Itulah awal mula pertemuan antara Aldo dan Nina. Setelah kejadian itu, mereka sering terlibat dalam hal hal yang tak terduga. Dan sialnya, mereka selalu berada di kelas yang sama selama 3 tahun berturut-turut. Seolah olah takdir pun terhibur oleh pertengkaran mereka berdua.
Di parkiran
Nina yang sedang mematung karena bingung di mana ia akan menyimpan sepedanya, namun tiba-tiba saja di kagetkan dengan suara klakson sebuah mobil.
Titt... Titt...
"Astaga!" Nina yang terperanjat kaget langsung menghindar dan memberi jalan kepada mobil itu untuk lewat.
Namun aura wajahnya tiba-tiba saja berubah saat melihat sosok yang keluar dari mobil tersebut. Ya, dia adalah Aldo. Musuh bebuyutan Nina yang mampu membuat Nina kehilangan kontrol karena sikap Aldo yang menurutnya sangat menjengkelkan.
"Ah sial, pagi pagi ada aja yaa yang bikin emosi!" keluh Nina dengan nada yang sangat jengkel karena pagi-pagi sudah ada hal yang membuatnya jengkel.
Aldo yang mendengar hal itu langsung menyipitkan matanya.
"Hey, yang ada juga elo tuh pagi-pagi udah ngalangin parkiran aja!" kata Aldo dengan nada yang tak kalah ketus.
"Hah, lagian parkiran masih luas tau! Noh liat, masih banyak yang kosong di sebelah sana, kan? Pengen aja yaa deket-deket sama gue tuh!" cibir Nina dengan nada meledek.
Aldo yang mendengar hal itu langsung mengepalkan tangannya, ia menahan emosinya agar tidak meluap-luap. Karena, bagaimanapun Aldo paling tidak mau sampai harus main kasar dengan seorang perempuan. Meski itu adalah musuh bebuyutannya sendiri.
Kala itu sinar mentari tampak malu malu menyelinap masuk melalui celah-celah gorden, dan menyapa Nina yang masih tertidur pulas dengan tubuh yang masih di balut bed cover.
"Nina, bangun Nak, sudah siang." Seorang wanita yang sedang membangunkan anaknya, tak lain adalah ibunya Nina, yaitu Ibu Mirna.
"Emm ... jam berapa ini, Ma?" tanya Nina dengan suara yang sedikit serak dan mata yang masih terpejam.
"Jam 6, bukankah hari ini adalah hari kelulusan mu?"
Nina yang mendengar hal itu langsung terperanjat kaget, dan langsung bergegas menuju kamar mandi. Tak butuh waktu lama, Nina sudah keluar dari kamarnya dan sudah siap untuk bergegas menuju sekolah.
"Nanti Pak Karto yang akan mengantar kamu ke sekolah, dan hari ini jangan pulang telat. Ada yang harus papa katakan padamu."
"Tidak usah Pa, Nina akan ke sekolah dengan naik sepeda aja," jawab Nina sambil memasukan roti ke dalam mulutnya, dan langsung bergegas menuju garasi untuk mengambil sepeda kesayangannya.
Di Sekolah
"Baik anak-anak, sekarang duduk di bangku masing-masing ya. Bagi yang namanya di panggil silakan maju kedepan, dan kita akan membuka amplop kelulusan ini bersama sama," ucap wali kelas itu dengan suara yang cukup kencang. Agar semua murid nya mendengar apa yang ia intruksikan.
"Sudah dapat semua amplop nya, kan? Nah, sekarang kalian boleh membukanya." Perintah wali kelas itu sambil tersenyum.
Dan tak butuh waktu lama, seisi kelas pun tiba tiba ramai oleh suara sorak sorai para murid karena tau bahwa mereka dinyatakan lulus.
Ada banyak yang menitikan air mata haru karena bahagia, bahwa perjuangan mereka selama tiga tahun tidak sia-sia. Ada juga yang menitikan air mata karena mau tak mau mau mereka berpisah dengan teman teman mereka, dan masa putih abu pun telah usai.
"Ibu pesan, tidak ada yang namanya acara coret-coret seragam. Mengerti?"
"Baik bu," jawab semua murid itu dengan kompak.
"Nah, kalian sudah boleh pulang."
Di Parkiran
"Nina!"
"Wahh Rina!! Uhh bakal kangen berat nihh sama kamu," ucap Nina sambil memeluk sahabat terdekatnya itu.
"Haha, jangan lebay deh. Kita masih bisa bertemu ko," kata Rina sambil membalas pelukan Nina.
Rina Aulia Rizka, sahabat terdekat Nina. Mereka sudah bersahabat sejak kelas satu SMA, dan hanya dia yang mampu menjadi penengah di saat Nina sedang ribut dengan Aldo.
"Makan baso yuk, hitung-hitung merayakan kelulusan kita." Ajak Rina kepada sahabatnya itu.
"Ahh maaf, aku eggak bisa. Aku di suruh pulang cepat sama papa," jawab Nina sambil menghela nafas. Jika bukan karena papahnya untuk menyuruhnya cepat-cepat pulang, ia akan menerima ajakan Rina.
"Yah sayang banget ya, yaudah deh. Kapan-kapan saja ya ...."
"Iya, aku pulang ya." Pamit Nina sambil melambaikan tangannya kepada sahabatnya itu.
Nina pun mulai mengayuhkan sepedanya menuju ke rumahnya. Dan 20 menit kemudian ia telah sampai di depan rumah nya, dan di lihatnya mobil papahnya sudah ada di dalam garasi.
"Papa udah pulang yaa? Tumben banget."
"Aku pulang Ma," sapa Nina saat sambil membuka pintu rumahnya.
Di lihatnya papa dan mamanya sedang duduk di ruang keluarga, ia pun bergegas menghampiri mereka dan duduk di atas sofa sebelah ibunya.
"Lulus?" tanya papanya Nina kepada anaknya.
"Iya, Pa, aku lulus hehe," jawab Nina sambil tersenyum bangga.
"Baguslah, berarti kita tak perlu menuda-nundanya lagi. Papa akan langsung ke intinya saja, satu minggu lagi kamu akan menikah. Dan besok kamu akan bertemu dengan calon suamimu."
Nina yang mendengar hal itu hanya membulatkan matanya, perkataan ayahnya bagaikan petir di siang bolong yang menyambarnya.
"A-apa maksud Papa? Ayolah, jika ingin bercanda jangan kelewatan seperti ini, ya?"
"Papa enggak bercanda, papa serius. Perjodohan ini sudah kami sepakati ketika kamu berumur 5 tahun sayang," ucap ibunya sambil merangkul pundak anaknya.
Namun Nina tiba tiba saja pergi menuju kamarnya, dan ia pun menangis tersedu sedu sampai kelelahan dan akhirnya tertidur.
Tokk.. Tokk..
Terdengar suara ketukan pintu, namun Nina masih enggan untuk berbicara. Hingga terdengar suara yang tak asing di balik pintu tersebut meminta izin untuk masuk ke dalam.
"Apa mamah boleh masuk?"
"Hmm, masuk aja. Ngga di kunci ko," jawab Nina datar.
"Kamu kenapa?" Ibu Mirna pun masuk dan duduk di tepi ranjang anaknya.
"Mamah yang harusnya kenapa? Nina masih terlalu muda Mah! Nina masih ingin kuliah, menikmati masa mudaku! Perjalanan Nina masih panjang, kenapa kalian menyuruh Nina untuk menikah?!" tanya Nina dengan nada yang sedikit meninggi dan air mata yang terus bercucuran.
Ibu Mirna hanya menghela nafas, sebenarnya apa yang di ucapkan anaknya memang benar.
"Sayang, maafkan Mamah dan Papah nak. Mamah tidak bisa membatalkan perjodohan ini. Karena ini adalah perjodohan yang di lakukan oleh Almarhum kakek mu nak. Dengan kata lain, ini adalah wasiat terakhirnya. Sebenarnya perjodohan ini di lakukan untuk anaknya, yaitu papahmu dan anak teman almarhum kakek. Mereka bersepakat akan menikahkan anak-anak mereka ketika berumur 18 tahun. Namun karena anak mereka sama laki-laki, jadi perjodohan ini di turunkan kepada cucunya mereka. Yaitu kepadamu dan calon suamimu sayang," jelas Ibu Mirna kepada anaknya sambil membelai kepala anak semata wayangnya itu.
Nina yang mendengar hal itu hanya bisa menangis tersedu sedu, Ibu Mirna hanya bisa menahan tangisnya karena ia tak bisa melakukan apa apa untuk anak semata wayangnya.
"Apa tidak ada cara lain untuk membatalkan perjodohan ini?" tanya Nina dengan air mata yang terus keluar dari kelopak matanya.
Ibu Mirna hanya menggelengkan kepalanya, "Tidak ada nak."
Nina hanya menangis mendengar hal itu, hingga akhirnya ia pun terlelap kembali.
* * * *
Kicauan burung dan sinar mentari pagi itu memaksa Nina untuk membuka matanya. Dan dengan berat, ia melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Ia pun terkejut dengan penampilannya, apa lagi matanya. Matanya semakin mengecil karena efek menangis seharian kemarin.
Dengan tubuh yang lunglai, ia pun menuju meja makan. Ia sudah melihat ayah dan ibunya sedang duduk di meja makan.
"Selamat pagi sayang," sapa Ibunya dengan senyuman secerah mentari.
"Iyaa selamat pagi," jawab Nina dengan nada yang sangat lemas.
"Ayoo sarapan dulu nak." pinta Ibu Mirna kepada anaknya.
"Hmm," jawab Nina singkat.
Di Ruang Keluarga
"Nanti siang kita akan bertemu calon suamimu. Dan dia bersekolah di SMA dengan mu."
Uhukk... Uhukk...
Nina yang saat itu sedang meminum teh nya tiba-tiba saja tersedak saat mendengar perkataan ayahnya karena terlalu kaget. Ia memang belum setuju atas perjodohan itu. Namun saat mendengar tak ada cara untuk membatalkannya, ia hanya bisa berpasrah.
"Apa tidak terlalu buru buru pah?" tanya Nina sambil menyeka mulutnya.
"Tidak, karena rencananya minggu depan akan kita akan melangsungkan repsesi."
Nina yang mendengar hal itu hanya diam, tatapan matanya kosong, fikirannya buyar. Wajar, karena
mengingat Nina yang masih terlalu muda untuk menikah.
"Tenang saja, kamu masih bisa kuliah kok." Hibur Pak Herman kepada putri semata wayangnya saat ia melihat ada kesedihan di raut wajah putrinya itu.
"Haa, benarkah pah?" tanya nya dengan antusias.
"Iyaa," jawab Pak Herman sambil tersenyum.
Nina yang mendengar hal itu bagaikan mendapat angin sejuk, ia pun akhirnya tersenyum. Karena setidaknya ia masih bisa menggapai apa yang ia cita citakan.
Di Hotel
"Mah pah, duluan aja. Nina mau ke toilet dulu." izin Nina kepada orang tuanya.
"Ohh baiklah. Hangan lupa, reservasinya di lantai 5 ya nak," jawab Ibu Mirna sambil melangkahkan kakinya menuju lift.
"Iyaa mah." lalu Nina pun menuju toilet, karena ia merasa sedikit gugup.
Setelah ia merasa sedikit tenang, ia pun keluar. Dan berjalan menuju lift. Namun saat ia akan menekan tombol nya, ia tak sengaja menyentuh tangan seseorang.
"Ahh maaf," ucap mereka serempak
Nina yang mendengar suara tak asing pria tersebut langsung menoleh ke arah sumber suara, dan benar saja. Pria tersebut adalah Aldo! Musuh bebuyutannya Nina!
"Lhoo, ko lo ada di sini?" tanya Nina dengan keheranan.
"Haa, harusnya gw yang nanya. Kenapa lo ada di hotel keluarga gw?"
Nina yang mendengar hal itu hanya menyipitkan matanya, ia jadi teringat kembali perkataan ayahnya. Yang katanya calon suaminya itu bersekolah di SMA yang sama dengan nya!
"Ahh, tak mungkin dia kan? Iyaa, tentu saja. Mana mungkin aku di jodohkan dengan bocah tengik itu! Iyaa, ini pasti kebetulan kan. Mungkin saja ia kemari karena ada urusan perusahaan." Nina pun menghela nafas untuk menenangkan dirinya, sampai ia tak sadar bahwa lift yang ia tunggu sudah tiba.
"Kau takkan naik?" tanya Aldo dengan nada dingin.
"Ahh iyaa, tunggu sebentar." Nina pun melangkahkan kakinya.
"Lantai berapa?" tanya Aldo dengan malas.
"Lima" sahut Nina dengan ketus.
"Kebetulankah?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!