Alula Farhah namanya, biasa dipanggil Lula, dia gadis berusia 20 tahun yang bekerja sebagai buruh cuci dari rumah ke rumah. Gadis baik hati dan gendut ini memiliki gangguan Bulimia Nervosa, yakni kebiasaan makan yang berlebihan tanpa ia sadari.
Selain memiliki wajah yang buruk, ternyata hidupnya pun sebelas dua belas dengan penampilannya. Lula hidup sebatang kara setelah ibunya meninggal tiga tahun lalu. Sedangkan ayahnya hidup mewah bersama anak istrinya.
Gadis dengan rambut berkepang dua ini baru saja selesai sarapan dan bergegas pergi keluar kamar kos yang berukuran 4 meter persegi. Meski minim dia bersyukur bisa punya tempat berteduh dari teriknya panas matahari dan hujan.
Menjelang magrib, Lula baru pulang bekerja, dia berkeinginan segera merebahkan tubuhnya di kasur. Namun niatnya terhenti setelah tahu pintu kamar kosnya sulit di buka.
"Kok sulit banget dibuka, apa aku salah ambil kunci ya," Lula memperhatikan kunci yang ada di tangan. Dia mencoba menggeledah tasnya dan menemukan beberapa kunci yang lain.
"Perasaan bener deh, ini kuncinya!" Lula ingat betul kalau kunci yang ia pegang adalah kunci kamar kosnya.
Suara berat sorang wanita paruh baya mengagetkan dia dari arah samping.
"Hei, Gendut! Kamu tidak aku izinkan masuk, sebelum melunasi uang sewa selama tiga bulan ini!" bentak Anita seraya menunjukkan tiga jari tangannya. Tangan satunya berkacak pinggang. Suara pemilik rumah kos ini terdengar menggelegar hingga membuat kunci di tangan Lula terjatuh.
Lula menoleh ke arah sumber suara.
"Tapi Bu, sebentar lagi gelap dan uang aku belum cukup untuk melunasi semua ini. Beri aku waktu satu minggu lagi ya," Lula mencoba bernegosiasi dengan Anita. Lula mengatupkan kedua tangannya memohon dengan wajah melas.
"Alasan melulu kamu, dasar Gendut! Mau cari pekerjaan apa kamu dengan penampilan kamu yang jelek itu! Sudah, aku tak percaya lagi! Ini ambil semua barang kamu dan tinggalkan tempat ini!" Anita ternyata sudah mengemasi semua barang Lula dan melemparkan sebuah tas ke arahnya.
Meski Lula merengek dan memohon pun, pemilik kos tetap tak mau mengindahkan suaranya. Dia tetap mengusir Lula.
"Dan bawa sepeda bututmu itu!" tunjuk Anita pada sebuah sepeda yang sudah karatan, tak jauh dari ia berdiri.
Akhirnya Lula memungut tas dan mengayuh sepedanya pergi tak tahu arah.
Hari semakin larut, Lula berhenti di sebuah rumah yang siang tadi ia kunjungi. Berharap majikannya berbesar hati mau menampungnya walau semalam.
Seorang wanita bertubuh langsing keluar setelah Lula berhasil mengetuk pintu rumahnya.
"Kamu, Lula, ada apa? Malam-malam begini keluar sambil membawa tas pula," tanya wanita bertubuh langsing itu dengan heran.
"Nyonya, saya diusir dari rumah kos, izinkan saya menginap semalam di rumah Nyonya," ujar Lula dengan berat mengatakannya namun harus, karena tidak ada tempat lain lagi yang harus ia tuju. Tidak mungkin juga ia tinggal di pinggir jalan.
Wanita itu menatap Lula dengan iba, "Baiklah, kasihan kamu, masuklah! Tapi, hanya semalam saja kamu boleh menginap."
"Terima kasih, Nyonya! Besok selesai bekerja saya akan mencari kos -kosan." Lula masuk dan majikannya menyuruh Lula untuk beristirahat.
Keesokan harinya.
Lula sudah mulai dengan rutinitasnya, mencuci baju kotor. Karena tidak banyak pakaian yang kotor jadinya, Lula lebih awal selesai dari pada hari biasanya.
Majikan di rumah itu sedang menyalakan televisi saat itu, Lula sedang melintas hendak meminta gajinya.
"Wah, tampan sekali pria itu!" gumam Lula dalam hati.
Lula tengah memperhatikan tayangan televisi. Seorang pria tampan dan kharismatik dalam tayangan itu membintangi iklan sampo, dia bernama Kevin Aluwi, 27 tahun. Pria itu berhasil mencuri perhatian Lula.
"Lula, ini gaji kamu!" suara majikannya berhasil membuat lamunan Lula buyar.
"Oh, iya Nyonya. Terima kasih Nyonya!" Lula menerima amplop. "Setelah ini, saya tidak akan bekerja lagi menjadi buruh cuci. Meski ijazah saya hanya lulusan SMA, saya akan mencoba melamar kerja di tempat lain." ujar Lula dengan percaya diri.
"Itu bagus Lula, gadis energik seperti kamu pantas mendapatkan penghasilan yang lebih, dari pada bekerja sebagai buruh di sini. Lantas, kamu akan pindah kemana?" majikannya terlihat sangat baik bahkan dia menambah pesangon untuk Lula, meski Lula menolaknya cukup keras.
"Belum tahu, Nyonya. Terima kasih, atas kebaikan Anda, saya permisi!" Lula meninggalkan rumah majikannya.
Lula membuka amplop yang terasa lebih tebal dari biasanya. Gaji hari ini dan yang kemarin ia kumpulkan untuk mencari tempat tinggal. Tentu dengan harga yang murah.
Sudah dua jam dan hari semakin sore, Lula baru menemukan kamar kos yang sesuai dengan uang yang ia miliki. Dengan penuh syukur Lula merebahkan diri di kamar kosnya yang meski tampak sesak itu.
"Besok aku akan mencari pekerjaan baru." ucapnya penuh keyakinan, karena terlalu lelah melakukan perjalanan jauh, Lula pun tertidur.
Melalui media sosial, Lula berhasil menemukan identitas pria yang telah mencuri hatinya. Kevin Aluwi, seorang CEO muda di sebuah PT. CAHAYA INDO LESTARI. Lula berniat melamar kerja di sana, selain mendapatkan penghasilan dia juga ingin lebih dekat dengan pujaan hatinya.
Dengan hanya membawa ijazah SMA, Lula sudah sampai di sebuah gedung yang sangat besar.
"Wow, besar sekali tempat ini! Semoga saja aku diterima bekerja di sini!" Lula mengedarkan pandangan lalu dengan percaya diri dia melangkahkan kaki menuju resepsionis.
Ternyata di tempat yang Lula tuju saat ini sedang kekurangan karyawan di bagian bersih-bersih . Karena Lula hanya lulusan SMA, dia diterima dan bekerja sebagai office girl.
"Alhamdulillah, aku diterima!" Lula tak hentinya bersyukur. Dia segera mengganti bajunya dengan seragam biru. Mulai hari itu juga dia bekerja. Karena badannya yang gemuk, membuat sesak baju yang ia kenakan hingga terlihat jelas lipatan di tubuhnya.
"Aku tak boleh menyerah, meski hanya tukang bersih-bersih, ini adalah pekerjaan mulia. Semua ruangan akan aku bersihkan. Aku suka kebersihan. Karena kebersihan sebagian dari pada iman." ujarnya penuh semangat. Meski terlihat energik Lula menutupi kegugupannya, terutama saat ia makan.
Lula mulai bekerja dari lantai bawah hingga lantai lima. Terlalu bersemangat membuat dia melewatkan jam makan siangnya.
Baru pukul 14.00 Lula makan siang dengan begitu lahap di sebuah kantin. Lula dengan cepat menghabiskan semua makanan yang ada di meja. Selesai makan dia melanjutkan pekerjaannya, membersihkan ruangan CEO.
"Baiklah, berkas ini akan aku bawa untuk aku pelajari terlebih dulu. Rapat siang ini selesai!" suara seorang CEO yang berada di ruangannya.
Baru mendengar suaranya saja, Lula benar -benar dibuatnya mabuk.
Semua orang keluar, tinggallah Kevin di dalam ruangan itu. Lula bingung, dan tampak berpikir.
"Aku tunggu di sini sampai bos keluar, atau aku langsung masuk saja?" gumamnya bermonolog.
Tak lama dari dia diam, Kevin keluar melewati Lula tanpa melihatnya.
Berdesir hatinya meski bisa melihat pujaan hatinya dari jauh.
"Ganteng banget!" sorak Lula dalam diam. Dia segera masuk dan membersihkan ruangan itu. Lula takkan membiarkan satu debu pun tertinggal di ruangan CEO. Lula begitu terobsesi dengan ketampanan Kevin, sehingga dia pun mencintai apa pun yang berhubungan dengan pria itu, termasuk ruangan ini.
Sudah hampir satu minggu, Alula bekerja di sana. Giat, disiplin dan semangat kerja yang tinggi, itulah etos kerja yang ia junjung sebagai prinsip hidupnya. Meski demikian, rencana untuk bisa lebih dekat dengan atasannya tak semulus yang ia bayangkan. Lula kerap kali melihat ke arah ruangan Kevin silih berganti wanita yang mengunjunginya. Ternyata pria berusia 7 tahun lebih tua darinya itu seorang cowok playboy. Walau demikian Lula tetap mengaguminya dalam diam.
"Ternyata bos seorang yang playboy ya, ah itu tak masalah bagiku. Suatu saat nanti bos pasti akan sadar dengan semua perbuatannya, karena itu adalah salah." ujar Lula yang mulai mengepel lantai.
"Hei, Gendut! Kalau ngepel tuh lihat-lihat, jalanan masih dipakai juga! Entar kalau ada orang yang terpeleset bagaimana, kamu mau tangung jawab, hah!" omel Kevin saat dia mau keluar bersama kekasihnya.
"Iya nih, kalau aku jadi bosnya bisa langsung ku pecat kamu!" celetuk gadis yang berada di samping Kevin seraya bergelanyut manja. Kevin pun membalas dengan mengusap bahu pacarnya.
"Maaf Bos, saya tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi!" Alula menundukkan kepala.
Setelah Kevin dan sang pacar berjalan menuju lift melewati dia untuk turun ke bawah, Lula menenteng ember dan alat pelnya menuruni tangga.
Lula akan memperhatikan pekerjaannya agar lebih baik lagi. Dia tidak ingin membuat kesalahan secuil pun, karena bisa bekerja di tempat ini
adalah hal yang luar biasa baginya, mengingat pendidikan yang ia tempuh hanya lulusan SMA.
Gadis dengan wajah berminyak itu tanpa sengaja menginjak sepatu teman seprofesinya, karena kebanyakan melamun tentang Kevin.
"Maaf Kak, aku tak sengaja!" ujar Lula penuh penyesalan. Dia tak berani menatap seniornya.
"Hei, Gendut ! Ini sepatu baru aku beli. Sini lap yang bersih!" ujar Kiki, 24 tahun. Kiki menunjukkan sepatunya.
"Baik, Kak!" sahut Lula tanpa berpikir panjang lagi, dia mulai membungkukkan badan dan berjongkok. Dia tak ingin melawan atau pun melakukan kesalahan yang berakibat dia dikeluarkan dari pekerjaan yang amat ia cintai.
"Tunggu!" suara Emi, 20 tahun. Dia teman Lula seprofesi juga, menghentikan pergerakan Lula.
"Kamu seharusnya tak memperlakukan teman sendiri seperti ini!" tegur Emi pada Kiki. Emi membantu Lula berdiri.
"Cih, teman dari Hongkong! Lagian siapa suruh jalan pakai mata!" Kiki ngegas tak terima seraya melipat kedua tangan di depan dada. Matanya berputar jengah.
"Di mana-mana itu mata untuk melihat, kalau jalan ya pakai kaki, begitu saja marah! Lagian sepatu kamu juga nggak kotor-kotor amat!" Emi masih membela Lula seraya memperhatikan sepatu Kiki.
"Sudah Em, lagian aku juga yang salah," Lula mencoba mencairkan suasana yang mulai tegang.
"Enggak, kamu jangan mudah direndahkan seperti ini dong! Lawan dia!" Emi memberikan saran.
Baru saja perdebatan itu mulai, asisten Kevin datang. Wanita bersepatu merah itu memberi pengumuman kepada seluruh karyawan termasuk office girl, kalau bos Kevin akan mengadakan acara syukuran dengan mengundang semua orang untuk hadir di acara tersebut.
Kiki yang membenci Lula pun mengakhiri perdebatan dan memilih pergi.
"Bagaimana sepulang kerja nanti kita beli baju?" tawar Emi.
Lula yang merasa tak punya uang merasa minder, jujur dari lubuk hatinya yang terdalam dia sama sekali tak memiliki baju bagus untuk acara nanti. Dan ingin memiliki baju bagus tapi tak ada uang.
"Aku antar kamu saja ya," Lula yang minder itu hanya mengulum senyum.
"Kamu enggak ingin beli baju?" tanya Emi.
Bukannya tak ingin, tapi aku tak punya uang. Bisa bayar uang sewa kos saja aku sudah bersyukur.
Lula hanya menggelengkan kepala.
Sepulang kerja sekitar pukul 16.00 kedua gadis itu memasuki mall. Mata Lula berkeliling, rasanya dia juga ingin memiliki baju yang baru dan bagus, tapi apa daya tangan tak sampai. Emi sudah memilih satu gaun yang baginya sangat cantik. Mata Lula menyorot tajam sepasang kekasih yang juga asyik memilih baju.
Ternyata itu Kevin dengan pacarnya yang lain. Alula merasa minder, dia bagaikan buih jika disandingkan dengan para kekasih Kevin yang cantik dan elegan.
Ketika Kevin mengadakan pesta makan di sebuah restoran, Lula ikut juga di sana.
"Em, aku sebaiknya tidak usah ikut aja ya," celetuk Lula tatkala berjalan di belakang Emi.
"Sttt ...! Diam kamu, Lula, kita takkan melewatkan kesempatan berharga ini. Coba bayangkan, kapan lagi kita makan gratis di tempat seperi ini!" ujar Emi.
"Tapi, aku malu dengan penampilanku seperti ini," Lula menghentikan langkahnya.
"Sudah, jangan cerewet, ayo kita masuk!" Emi tak mempedulikan kegelisahan sahabatnya itu dan menarik tangan Lula memasuki restoran mewah.
Kali pertama Lula datang ke tempat ini, dia tak henti -hentinya menatap semua makanan yang tersaji di meja. Sesekali dia juga mencuri pandang, melihat Kevin dari kejauhan, pria itu tampak berkarisma di depan semua orang.
Serangkaian acara sudah terlewati, kini saatnya semua tamu menyantap hidangan. Lula dapat mengkonsumsi makanan begitu cepat sehingga dia tak bisa merasakannya. Lula tak bisa mengendalikan perilaku itu. Hal itu ia lakukan tanpa rencana. Setelah makan dia merasakan rasa bersalah, malu, menyesal dan takut berat badannya bertambah. Semua orang yang ada di sana memperhatikan dia dengan jijik. Lula segera lari dari meja nya pergi ke toilet. Memuntahkan semua isinya.
Emi pun baru mengetahui hal buruk yang dialami sahabatnya itu.
Lula kembali dengan perasaan gugup.
"Gila, cewek gendut itu rakus amat makannya! Kayak nggak makan sepuluh tahun." tukas Kevin dari arah seberang. Gelak tawa pun memenuhi ruangan itu. Lula yang mendengar itu tertunduk malu, berjalan hingga menuju mejanya. Hatinya terasa sakit mendapatkan cemoohan dari pujaan hati.
"Lula, kamu nggak apa-apa kan?" tanya Emi penuh khawatir. Hanya Emi lah satu teman yang paling baik dari semua orang yang ada di sana.
Lula mengangkat wajahnya, "Aku baik kok!" sahutnya mencoba tersenyum, padahal sebenarnya sedang tak baik-baik saja.
Setelah acara itu, Lula menjadi bahan ejekan. Bahkan semua orang menganggap Lula adalah gadis yang rakus.
Keesokan harinya, teman -teman yang tak suka dengan perilaku Alula pun akhirnya mengerjai dia.
"Lula, tuh lihat airnya habis!" Kiki mendekati Lula yang tengah membereskan sampah di atas meja karyawan. Kiki menunjuk galon yang ada di samping duduknya.
"Baik Kak, aku akan segera menggantinya!" sahut Lula sambil berjalan ke arah galon itu.
"Cepet, dan enggak pakai lama!" sambung Kiki terdengar judes.
Lula tak mempermasalahkan pekerjaan ini, baginya membantu orang lain adalah sebuah ibadah. Tanpa berpikir panjang di tengah teriknya panas matahari, Lula mulai mengangkat galon dan membawanya keluar.
"Loh, air nya sudah habis ya!" seru Emi yang melihat Lula keluar sambil membawa galon.
"Iya, bentar ya, aku beli di toko seberang sana!" ucap Lula sambil menuju ke tempat parkir.
"Masih panas, Lula, nanti kulit kamu terbakar!" Emi mencoba mencegah Lula. Namun Lula tak mengindahkan teriakan Emi. Dia sudah melesat dengan sepedanya.
Lula sudah terbiasa pergi ke mana pun dengan bersepeda. Selain transportasi ini ramah lingkungan juga hemat biaya. Lula tak perlu mengeluarkan ongkos untuk memanggil taksi atau ojek. Uangnya bisa dia gunakan untuk kebutuhan lain yang lebih penting. Jika lokasi yang ia tuju cukup jauh dari kos, Lula akan memperkirakan waktu tempuh, jadi dia bisa berangkat lebih awal. Meski Lula sering bersepeda tak membuat berat badannya turun. Terkadang Lula minder juga ingin memiliki tubuh yang langsing.
Selesai membeli galon, Alula segera mengayuh sepedanya agar cepat sampai dan tak kena omel teman -temannya yang sudah kehausan. Saat sudah sampai di seberang, Lula mendengar suara tabrakan. Dia cepat menuju ke tempat kejadian perkara. Alula menghentikan sepedanya karena ada kerumunan.
"Ada apa Pak?" tanya Lula penasaran. Seorang pria paruh baya menerangkan kronologi kejadiannya.
"Seorang pengendara motor telah melarikan diri setelah menabrak ibu ini." tetang pria paruh baya itu.
Merasa jiwa sosialnya terpanggil Alula berniat untuk menolong korban kecelakaan itu.
"Lukanya cukup parah dan harus dilarikan ke rumah sakit." terang Lula setelah mengamati seorang ibu yang berusia sekitar 50 tahunan, namun wajahnya terlihat sepuluh tahun lebih muda. Ibu itu terkulai lemas, namun masih sadar.
"Mbak kenal dengan ibu ini?" tanya pria paruh baya itu sambil menunjuk ke arah ibu itu yang terlihat meringis menahan sakit.
"Walau pun kita tak saling kenal, tolong menolong itu wajib hukumnya. Cepat Pak, saya akan menemani ibu ini berobat ke rumah sakit!" tegas Lula seraya meminta beberapa orang untuk mengangkat ibu itu ke dalam mobil milik pria paruh baya.
Hampir setengah jam mobil itu menempuh perjalanan hingga sampai di rumah sakit. Ibu itu segera mendapatkan penanganan yang serius.
"Bagaimana Dok?" tanya Lula yang cukup khawatir.
"Ibu Anda mengalami luka yang cukup serius, beliau banyak kehilangan darah." terang dokter setelah keluar dari ruangan ICU.
"Maaf Dokter, dia bukan ibu saya. Saya hanya orang yang mengantarnya saja." Lula mencoba menerangkan agar dokter itu tak salah sangka.
"Oh, kalau begitu kabari pihak keluarganya agar secepatnya datang ke sini!"
"Maaf Dokter, saya tidak kenal ibu itu maupun keluarganya. Untuk masalah administrasi, saya cukup uang untuk membayarnya." Lula hendak memperlihatkan dompetnya.
"Bukan itu masalahnya, stok darah di rumah sakit ini sedang kosong. Beberapa hari lalu PMI sudah menyumbang banyak darah ke rumah sakit ini, namun seiring banyaknya kecelakaan yang terjadi semua kantung darah sudah habis." terang dokter.
"Oh, kalau masalah itu jangan kuatir Dokter. Saya rajin makan sayur dan rajin bersepeda, pastinya darah yang saya miliki banyak dan dijamin bersih." Lula dengan polosnya menawarkan untuk donor darah.
Dokter itu tertawa renyah.
"Baiklah, tidak ada waktu lagi. Silahkan Anda pergi ke ruangan yang ada di sebelah sana. Anda akan melewati berbagai tes untuk kecocokan golongan darah dengan ibu itu!" Lula pun segera melangkah cepat menuju ruangan yang dimaksud dokter. Awalnya Lula takut sekali melihat jarum, meski kulitnya setebal badak namun hatinya sungguh halus selembut sutra.
Tak lama kemudian, ternyata golongan darah Lula cocok dan pihak medis segera melakukan transfusi darah.
Setelah serangkaian kegiatan medis ia lalui, Lula yang kondisinya sudah membaik berkeinginan segera pergi dari rumah sakit itu.
"Aw, sakit!" seru Lula tatkala seorang gadis muda menabraknya. Gadis itu terlihat sedang buru-buru dan masuk ke dalam kamar pasien.
Lula sedikit merasakan nyeri di lengannya, bekas jarum itu terasa berdenyut.
Selesai dari rumah sakit dengan usahanya yang payah Alula membawa galon ke kantor. Jam sudah menunjukkan pukul 15.00. Bukannya kebaikan dan belas kasih yang ia dapatkan malah amukan teman-temannya yang ia dapatkan. Mereka marah lantaran Alula terlalu lama pergi. Salah satu dari mereka bernama Kiki mendorong tubuh Alula hingga jatuh. Hanya Emi, teman kerja yang baik padanya. Emi membantunya berdiri.
"Dari mana saja kamu!" bentak Kiki yang membuat Lula kaget. Matanya melotot sambil berkacak pinggang.
"Maaf Kak, saya pasang dulu galon nya!" sahut Lula seraya beranjak namun karena kelelahan ia pun mengalami kesulitan untuk berdiri, dia tak langsung menceritakan serangkaian peristiwa yang baru saja ia alami.
Tak hanya Kiki yang mengomelinya habis-habisan, bahkan teman yang lain ikut turut juga. Lula tak menggubris, malah Emi yang turun tangan untuk membela sahabatnya itu.
"Kalau kalian merasa hebat, sana pergi saja beli sendiri, sudah bagus Lula membelikannya untuk kalian malah kalian maki. Ayo, Lula, kita pulang saja!" Emi menarik tangan Lula menjauhi mereka. Namun Lula menahan tangan Emi.
"Bentar, Em, aku pasang dulu galon ini!"
Setelah berhasil berdiri, Lula memindahkan galon itu ke atas dispenser. Dan mereka berdua pergi.
Sempat itu juga Lula meringis menahan sakit yang membuat Emi khawatir.
"Ada apa denganmu, Lula, ceritakan padaku!" desak Emi yang menangkap kesakitan Lula.
"Aku baru saja donor darah." sahut Lula datar.
"What, kok bisa?"
Lula pun menceritakan pengalaman nya yang luar biasa tadi. Emi sungguh mengagumi pribadi Lula yang begitu energik dan baik hati.
Mereka berdua harus berpisah di tempat parkir. Emi sudah pergi dengan ojek, sementara Lula masih membenahi rambut kepangnya yang sedikit kusut.
"Kapan kamu akan melamar ku, sayang?" suara wanita manja berhasil membuat Lula menoleh ke arahnya.
"Sabar, sebentar lagi papaku akan pulang dari Meksiko, aku akan meminta tanda tangan papa dulu untuk menyetujui proposal yang aku ajukan. Setelah semua berada dalam genggaman ku, kita akan segera menikah." ujar sang pria yang tidak lain adalah pria pujaan hati seorang Lula.
Pasangan kekasih itu baru saja tiba dan melewati Lula.
"Vivi!" seru Lula yang berhasil membuat kekasih Kevin menoleh. Vivi adalah teman Alula saat SMP dulu. Meski mereka berdua tak akur, Alula tetap menganggapnya sebagai teman.
"Siapa ya?" Vivi membalikkan badan begitu pula Kevin.
Alula menyodorkan tangannya, namun Vivi tak mengindahkan sambutan hangat dari Lula, Lula pun menurunkan tangannya kembali.
"Aku Alula, kita pernah satu kelas saat SMP di SMP MERDEKA." terang Lula, gadis berpenampilan kusut ini menatap Vivi dengan pandangan kagum akan pesona nya yang cantik.
"Oh, cewek gendut dan dekil itu rupanya, ya aku ingat siapa kamu. Oh, ternyata hidupmu masih sama ya seperti dulu, tak berubah sedikit pun." ledek Vivi.
"Kamu kenal dengan Office Girl ini, sayang ?" tanya Kevin seraya merangkul pundak wanita yang memakai pakaian kurang bahan itu.
"Yah, dia hanya seorang sampah yang hidupnya nggak jelas." ledek Vivi lagi, mendengar perkataan Vivi, Lula merasa bergemuruh dadanya.
"Kamu punya teman seperti dia?" tanya Kevin lagi, seolah tak percaya.
"Yah dulu, tapi sekarang kan aku model, nggak level lah berteman dengan gadis gendut dan jelek seperti dia, yuk kita pergi!" Vivi kembali melontarkan kalimat yang begitu pedas.
Setelah pasangan kekasih itu hilang dari pandangan, Lula dengan berkecil hati mengayuh sepedanya menuju ke tempat yang membuatnya lebih nyaman. Ya, kemana lagi kalau bukan ke tempat kos. Rentetan kejadian hari ini, bukan keinginan Lula. Jika bisa, dia ingin membalas perkataan orang -orang yang menghinanya. Namun apalah daya, dia bagaikan buih diantara semua yang ada.
Alula merasa kesal atas semua yang menimpanya hari ini. Namun ia tak patah semangat menjalani hari -harinya.
***
Di waktu libur, Alula pergi dari kos sekedar jalan -jalan untuk membeli es krim di pinggir jalan. Tanpa sengaja dia bertemu ibu-ibu dan membantunya menyeberang jalan.
"Mari Bu, saya bantu!" tawar Lula yang langsung mendapat anggukan dari wanita paruh baya itu.
Setelah sampai di seberang jalan, ibu itu memanggil putrinya yang masih sibuk dengan ponselnya.
"Viona, kok kamu ninggalin ibu sih!" omel wanita itu. Viona menoleh sambil menyengir kuda.
"Terima kasih, Mbak!" seru ibu itu saat Lula permisi.
"Sama-sama, Bu!" sahut Lula dan bergegas pergi untuk membeli es krim, rasa haus siang ini tak tertahankan.
Ibu itu teringat kalau Alula lah yang mendonorkan darahnya di rumah sakit. Ibu itu bernama Santi.
"Mbak, tunggu!" teriak Santi sambil melambaikan tangan. Alula membalikkan badan, Santi menghampirinya.
"Ada apa ya, Bu?" tanya Lula setelah Santi mendekat.
"Mbak 'kan yang waktu itu membawa saya ke rumah sakit?" Santi ingat betul wajah Alula, meski yang ditanya tak begitu mengingatnya.
"Kapan ya Bu, saya sudah sering bolak balik ke rumah sakit, jadi lupa yang mana, hehehe ...." Lula memainkan rambutnya yang sebelah.
"Yang mendonorkan darah untuk saya, pasti Mbak ingat ' kan!" Santi menunjukkan luka di pelipisnya.
"Oh, yang terluka akibat tabrak lari itu ya!" Lula pun berhasil mengingatnya.
Santi mengangguk.
"Ibu belum sempat mengucapkan terima kasih padamu, bahkan kamu sudah menolong ibu untuk yang kedua kalinya."
"Tidak usah merasa sungkan begitu, Bu. Kita sesama manusia bukankah sudah dianjurkan untuk saling tolong menolong. Bagaimana keadaan Ibu, sudah baikkah?"
"Alhamdulillah, kamu sangat baik. Seperti yang kamu lihat sekarang. Berkat bantuan darimu, nyawa ibu bisa tertolong. Coba saja jika tak ada kamu, entah bagaimana nasib ibu."
"Jangan bicara seperti itu, Bu. Allah lah yang menolong Anda. Saya hanya perantara saja. Kalau begitu saya permisi." Alula hendak mengakhiri perjumpaan dengan Santi. Namun Santi sudah jatuh hati padanya. Dia memanggil Viona.
"Ada apa, Ma?" Viona datang mendekat setelah memasukkan ponsel ke sakunya.
"Vi, ini mbak-mbak yang tempo hari mama ceritakan ke kamu dan kakak kamu." Santi berusaha memperkenalkan putrinya.
Lula yang merasa tak enak untuk pergi, lebih memilih untuk menundanya sementara waktu.
"Saya Alula!" Alula mengulurkan tangan.
"Viona, terima kasih, Mbak Alula sudah menolong mamaku!" ujar Viona seraya menerima uluran tangannya.
"Oh, nama kamu Alula, saya Santi!" Santi juga ikut mengulurkan tangan.
Setelah perbincangan singkat usai, niat Alula pun masih tetap sama. Ingin membeli es krim.
Rasa dahaga sudah hilang, Alula pun memutuskan untuk pulang ke tempat kos. Kejadian yang sama terulang kembali. Dan karena telat membayar uang sewa, Alula diusir lagi oleh pemilik kos.
"Pergi kamu, Gendut! Bisa rugi aku menampung orang sepertimu. Masih banyak yang mengantre ingin tinggal di sini." pemilik kos mendorong tubuh Lula yang berat hingga tersungkur. Selain perkataan ibu kos, perlakuannya pun membuat Lula sakit hati. Dia tak tahu setelah ini pergi ke mana. Sementara uangnya habis untuk keperluan sehari -hari.
"Jangan perlakukan dia dengan kasar!" hardik seorang wanita cantik yang baru saja ia temui beberapa menit yang lalu.
"Bu Santi," gumam Lula yang tak tahu kalau sejak tadi Santi menyuruh Viona untuk membuntutinya.
"Berapa uang yang harus gadis ini berikan pada kamu!" Santi mengeluarkan uangnya dari dompet dengan rasa yang kesal, ia tak terima Lula yang ia anggap bidadari nya diperlakukan dengan kasar.
"Satu juta."
"Nih!" Santi menyerahkan sepuluh lembar uang seratus ribuan.
Viona dan Santi membantu Lula berdiri.
"Kalian berdua, bagaimana bisa tahu aku di sini?" Lula menoleh ke kanan dan ke kiri, menatap sekilas malaikat penolongnya.
"Maaf, mamaku menyuruhku untuk mengikuti Mbak Lula hingga sampai ke sini." ujar Viona.
Alula seakan pedas matanya, dia mulai menjatuhkan bulir air mata.
"Terima kasih, sudah membantuku."
"Bukankah, kita sebagai manusia diajarkan untuk saling tolong menolong?" Santi mengulangi perkataan Lula hingga membuat gadis berkepang dua itu tersenyum.
"Mbak Alula, enggak apa-apa 'kan?" meski Viona terlahir dari kalangan orang kaya dia tak terlalu sombong untuk gadis baru berusia 17 tahun itu.
Lula menampilkan senyuman yang menandakan dia baik-baik saja.
"Ayo, kita pulang!" ajak Santi yang mendapat tatapan aneh dari Alula Farhah.
"Pu-pulang ke mana? Bahkan tempat tinggal saja aku tak punya." Alula begitu kikuk.
"Tentu saja pulang ke rumah kami!" tukas Viona yang disahut anggukan dari Santi.
Alula sempat menolak juga karena merasa tak enak. Santi pun terus mendesak hingga akhirnya Alula pun berhasil duduk manis di dalam mobil mewah.
***
"Kamu, Gendut, ngapain ada di rumah ku!" pekik seorang pria yang tak lain adalah bosnya yang playboy. Pria itu tengah telanjang dada baru selesai mandi sore.
"Bo-Bos, jadi ini rumah Bos!" Alula tak kalah paniknya.
Alula segera menutup wajah dengan sepuluh jarinya dan memilih berjalan mundur, tanpa sengaja dia menjatuhkan vas bunga.
"Mati aku," gumam Lula seraya mengintip ke arah jatuhnya benda itu.
Pria yang tengah telanjang dada itu bernama Kevin. Kevin berteriak memanggil mamanya. Santi yang mendengar teriakan pun keluar dari kamar dan menghampiri putra sulungnya.
"Ada apa teriak -teriak?" tanya Santi kesal, padahal wanita itu baru saja memejamkan matanya.
"Mama nambah pembantu baru di rumah ini?" tanya Kevin seraya menyoroti tajam Alula yang kini sudah tak menutupi wajahnya.
Alula hanya nyengir kuda seraya menunjukkan dua jari tanda damai.
"Siapa yang kamu maksud pembantu? Alula? Dia adalah tamu mama, Kevin ...." ujar Santi seraya berjalan ke arah Lula.
"Awas Bu, ada pecahan vas!" pekik Lula yang tak mau kaki Santi terkena pecahan vas. Santi pun berhati -hati saat berjalan ke arahnya .
"Maaf Bu, tadi saya tak sengaja menyenggolnya!" ujar Lula setelah jarak keduanya begitu dekat.
"Kamu enggak apa-apa kan, apa ada yang terluka?" Santi tampak peduli hingga membuat Kevin cemburu dengan sikap mamanya. Lula hanya menggeleng.
"Tamu? Tamu dari mana? Tunggu deh Ma, aku tahu betul dia," Kevin menunjuk Alula.
"Kamu yang mengepel lantai di kantor pada waktu itu 'kan?" terka Kevin sambil mengernyitkan dahi, dia tak habis pikir seorang office girl bisa menjadi tamu dari mamanya. Lula mengangguk cepat.
"Jadi, kalian berdua satu lokasi tempat kerjanya," sarkas Santi.
"Kok bisa Mama bawa dia ke rumah ini?" tanya Kevin yang sepertinya tak menyukai kehadiran Lula di rumah itu.
"Ini gadis yang mama ceritakan tempo hari lalu, yang membawa mama ke rumah sakit dan sudah mendonorkan darahnya," terang Santi.
"Alah Ma, itu pasti akal-akalan dia saja yang ingin memperoleh untung dari perbuatannya." Kevin menyudutkan Lula agar pergi dari rumah itu.
"Enggak kok, aku tulus melakukan itu." Lula yang merasa tersinggung pun angkat bicara. Dia melambaikan tangan dan menggeleng cepat.
"Sudahlah Kevin, mama baru saja menjalani masa pemulihan dan tak mau mendengar kamu ribut hanya masalah sepele seperti ini. Dan kamu Alula, sudah sore, segeralah mandi!" titah Santi yang segera meninggalkan mereka berdua masuk ke kamar.
Alula bagaikan mimpi di sore hari. Bagaimana tidak, bisa tinggal serumah dengan pujaan hati. Sungguh hal yang tak ia sangka sebelumnya. Alula menatap punggung pria yang bertubuh atletis itu hingga hilang dari pandangannya. Seorang pembantu datang ingin membersihkan pecahan vas.
"Biar saya saja, eum Bu, Tante ...." Lula yang merasa bingung harus memanggil apa pada pembantu itu.
"Kok tante? Panggil bibi saja!" lantas pembantu itu tak membiarkan Lula membersihkan pecahan vas. Dia sudah menerima perintah dari sang nyonya rumah untuk memperlakukan Alula dengan baik.
Sementara itu, Kevin masuk ke kamar dan memilih baju.
"Ada yang tak beres dengan si gendut itu, dia pasti pakai pelet ke mama. Aku tahu betul sifat mama seperti apa, tak mudah terpengaruh orang asing. Tapi, perlakuan mama ke dia sangat berlebihan, masa hanya mendapatkan transfusi darah saja baiknya selangit. Pakai acara bawa dia segala ke rumah ini." Kevin mengeluh kesal seraya meraih kunci mobil.
Sore ini dia sudah ada janji, ya siapa lagi kalau bukan dengan pacarnya. Kevin membawa mobilnya ke sebuah cafe, di sana dia sudah ada yang menunggu.
"Sudah lama kamu menunggu ku, Sayang?" Kevin mengusap lembut rambut seorang cewek bernama Siska, dia pacar ke tiga setelah Intan dan Vivi.
"Baru saja aku sampai, duduklah ada yang ingin aku sampaikan padamu!" ujar Siska yang membuat mata sang pasangan membulat.
"Apa yang ingin kamu katakan?"
"Kedua orang tuaku tentu sudah tahu hubungan kita sejauh mana, mereka meminta kamu untuk segera melamar ku."
"Melamar?" Kevin tertawa renyah. "Ku pikir tidak secepat itu Sayang," sambungnya lagi.
"Kenapa, bukankah kita saling mencintai dan sudah melakukan hal yang lebih intim? Ku rasa setelah kamu menikmati semua yang aku punya, kamu bakal menikahiku." Siska tak terima dengan penolakan Kevin meski pria itu tak mengatakannya secara langsung.
"Aku harus menyelesaikan proyek ku dulu, papa sebentar lagi akan pulang dari Meksiko, jadi aku akan terlihat sibuk beberapa hari ke depan." seolah Kevin menghindar, walaupun pria playboy ini banyak pacar tapi dia tahu batasan. Terkadang juga ia melakukan hal yang haram, karena godaan sang pacar yang bisa memberikan kenikmatan surgawi. Bagi Kevin itu hal yang luar biasa menyenangkan, tapi ia tak bodoh. Dia memakai alat kontrasepsi selama melakukan hal haram itu. Ini semua sudah ia rencanakan, agar tak menempatkan benihnya di sembarang tempat.
Siska merasa Kevin sudah bosan dengannya, "Bagaimana kalau malam ini kita ke hotel?" tawarnya tanpa ragu.
Belum sempat dia membalas penawaran Siska, mendadak ponselnya berdering. Tertera nama Santi di layar ponselnya.
Santi meminta Kevin untuk membelikan es krim. Permintaan yang nyeleneh dari sang mama awalnya ia enggan untuk melaksanakan perintah. Namun karena sang mama adakah ratu di hatinya, ia pun segera undur diri dari cafe.
"Sejak kapan mama suka es krim, aneh," Kevin kini sudah dalam perjalanan pulang.
Sesampainya di rumah, Kevin mencari sosok Santi yang ternyata, mamanya itu sedang duduk santai di halaman belakang. Di sana Santi tak sendiri, ada Alula dan Viona. Mereka bertiga terlihat akrab dan sedang bercengkrama.
"Ini Ma, es krimnya! Masa seorang CEO disuruh beli es krim, seperti kurir saja," omelnya seraya menyerahkan tiga bungkus es krim.
"Terima kasih, masa seorang CEO menolak perintah mamanya," sahut Santi seraya menerima pemberian Kevin.
"Aku baru tahu Mama suka es krim," Kevin melirik sekilas Alula yang duduk di sebelah mamanya. Santi memberikan semua es krim itu pada Lula. Gadis itu, 360 derajat berhasil merebut mamanya. Kevin semakin benci melihatnya.
"Terima kasih Bu, padahal saya tak meminta ini, tapi Ibu sungguh baik hati membelikan ini untuk saya." ujar Alula, ternyata es krim itu untuk gadis gendut.
"Kevin yang beli loh ...." ujar Santi yang membuat Kevin tersenyum kecut.
"Kalau tau itu es krim buat si gendut, aku enggak sudi membelikannya." ucap Kevin dengan kasarnya.
"Simpan ucapanmu itu, Kevin! Apa pantas seorang CEO menjelekkan bawahannya, dia punya nama, Alula." Santi mengeja nama Alula agar Kevin paham.
"Akh, sudahlah aku malas berdebat sama Mama." Kevin memilih pergi ke kamarnya.
"Kalau tahu es krim itu untuk siapa, sudah aku buang tadi di jalan." Gerutunya tetap tak terima.
Santi dan Viona begitu hangat dan mau menerima Alula tinggal di sana. Alula serba salah, dia sungguh merasa sungkan bisa bertemu orang sebaik Santi. Alula dalam hatinya akan menebus kebaikan Santi, dia tak mau diperlakukan menjadi tamu di rumah itu, dia akan membantu bi Hanum untuk membersihkan rumah atau pun melakukan pekerjaan rumah.
Makan malam pun tiba. Ini lah hal yang Alula takut kan jika makan bersama dengan orang-orang. Mereka pasti akan merasa jijik melihat cara makannya. Alula menghindar tatkala bi Hanum memanggilnya untuk makan malam bersama.
"Aku belum lapar, Bi!" Hanum kembali ke meja makan untuk menyampaikan itu.
"Mbak Lula belum lapar, Nyonya," ujar bi Hanum.
"Ya sudah, nanti Bibi antar makanan ini ke kamarnya ya," ujar Santi yang berhasil membuat Kevin jengah.
"Ma, dia itu hanya office girl di kantor aku, jadi stop memperlakukan dia layaknya putri di rumah ini." Kevin sungguh berhati-hati, sempat saja dia menyebut Lula si gendut.
"Apa pun pekerjaan seseorang itu, sesekali kamu jangan pernah meremehkan. Karena semua itu pasti ada baiknya." terang Santi dengan bijak.
"Iya, Kak Kevin ini bagaimana sih, katanya bos, masa sama bawahan kasar banget sikap nya. Kak Kevin harus ingat, kalau enggak ada mbak Alula waktu itu, pasti mama enggak akan bersama kita sekarang. Kak Kevin mau kehilangan mama, enggak kan. Nah, justru itu untuk membalas kebaikan mbak Alula yang tiada tara, Kak Kevin juga perlu memperlakukan mbak Alula dengan baik." Viona perlu diacungi jempol, tutur bahasanya sudah sangat bagus menjadi seorang putri dari pasangan Santi dan Satria.
"Gaya kamu kayak orang tua saja, kamu membela OG itu ketimbang aku kakak kamu?" Kevin tersulut emosi.
"Sudah-sudah, perdebatan ini tidak perlu diteruskan. Kita makan sekarang!" titah Santi pada kedua anaknya.
Kevin kali ini kalah, dia cukup ciut kekuasaannya jika dihadapkan dengan sang mama.
Keesokan harinya. Alula sudah mandi dan rapi. Dia memasuki ruang tamu untuk bersih -bersih sebelum berangkat bekerja. Matanya berkeliling mengamati dekorasi rumah yang indah dan mewah.
"Kapan ya, aku bisa beli rumah sendiri sebagus dan semewah rumah ini?"gumamnya sambil mulai mengelap kaca.
Seperti hal sebelumnya, Lula takkan membiarkan debu sedikit pun menempel di ruangan ini. Lula bekerja dengan baik hingga terlihat kinclong.
"Bu, saya berangkat dulu!" sapa Alula ketika Santi dan kedua anaknya sarapan.
"Loh, kamu nggak sarapan dulu," cegah Santi.
"Sudah Bu, tadi sama bi Hanum di belakang,"
"Mbak Alula berangkat bareng kak Kevin aja!" celetuk Viona yang berhasil membuat Kevin melotot ke arahnya.
"Viona benar, kan kalian berdua satu lokasi," imbuh Santi.
"Apaan sih kalian berdua ini, ogah ah!" tolak Kevin.
"Saya bisa berangkat sendiri Bu, permisi!" Lula bergegas meninggalkan ruang makan.
Kali ini Alula harus rela mengeluarkan ongkos untuk sampai ke kantor, selain jarak tempuh yang cukup jauh, Alula lupa kini dia tak memiliki sepeda. Ada di garasi, namun Lula sungkan untuk menggunakannya.
Hari demi hari terus ia lewati seperti itu.
Suatu ketika saat makan malam tiba, Santi memaksa Lula untuk bergabung makan. Alula terpaksa ikut. Dalam acara makan malam itu, dia melahap cepat semua makanan yang tersaji. Karena gangguan Bulimia Nervosa membuat ia tak sadar akan hal itu. Setelah makanan habis, dia segera berdiri dan lari ke belakang. Memuntahkan semua isi perutnya. Santi menjadi khawatir dan ingin mengajaknya pergi ke dokter, namun Alula menolak.
Kevin sendiri merasa jijik dengan kehadiran Alula, namun karena ancaman Santi akan mencoret namanya dari daftar keluarga jika ia tak setuju Alula tinggal di sana, akhirnya terpaksa serumah dengan Alula.
Seperti biasa, Alula sudah rapi dan mulai menyapu dan mengepel lantai sebelum berangkat kerja. Mengetahui kebiasaan ini, Santi semakin jatuh hati pada Alula. Dia yakin pada gadis itu bahwa bisa mengubah perilaku negatif Kevin yang sering gonta-ganti pasangan. Santi ingin punya menantu seperti Alula, berjiwa baik secara pribadi dan kemanusiaan. Santi pun menjodohkan Alula dengan Kevin. Tentu hal ini membuat Kevin tercekik. Kevin menolak. Namun tak ada yang bisa membantah perintahnya, tentu dengan ancaman dicoret dari ahli waris, sebagai ancaman yang maha dahsyat.
Pernikahan rahasia antara Alula dan Kevin pun terjadi.
Mereka berdua tinggal di sebuah apartemen, tentu hal ini agar lebih mudah bagi Kevin untuk melancarkan aksinya. Ia sebelumnya telah membuat janji hitam di atas putih.
"Senang kamu sekarang, hah! Mulai sekarang sesuai perjanjian kita kamu tak boleh menyentuhku, tak boleh mengusik hidupku dan tak boleh melarang apa pun yang aku kerjakan. Paham!" bentak Kevin. Alula hanya mengangguk. Jiwanya senang bisa mendapatkan pujaan hati. Tapi nyatanya tak sesuai dengan apa yang ia mimpikan.
"Kamu hanya sebuah buih dalam hidupku, jadi jangan berharap lebih dari pernikahan yang konyol ini!" sambung Kevin, lagi-lagi Alula terdiam.
"Lantas aku sebagai istri kamu, aku harus apa?" tanya Lula dengan polosnya setelah mencoba berpikir.
"Kamu lebih baik jadi pembantu saja. Aku akan menerima kamu jika kamu berhasil mengubah dirimu menjadi permadani." ujar Kevin, tentu hal itu tidak mungkin bagi Alula. Alula menyetujui perjanjian itu.
Kevin memutuskan pergi keluar dari apartemen, dia memilih begadang di cafe bersama teman -temannya. Tentu di saat malam pengantin membuat Alula gelisah tinggal sendirian di apartemen. Kevin pulang dengan keadaan mabuk di antar kedua temannya, Andho dan Nabil. Kedua temannya berotak kotor karena pengaruh alkohol melihat Alula tertidur di sofa, hingga timbul niat agar Alula melayaninya. Kevin pun menyetujui niat jahat kedua temannya. Alula yang hampir tertidur pun merasa terusik dengan kedatangan dua pria itu. Dengan kekuatannya, Alula berhasil memukul mundur dua pria berotak kotor itu.
Alula sangat membenci Kevin mulai detik itu juga, tapi ia tak bisa lepas dari tali pernikahan itu karena Santi.
Kevin mempunyai cara agar Alula bisa pergi dari hidupnya tanpa ia suruh. Suatu ketika Kevin membawa Vivi ke apartemen dan memamerkan kemesraan dengannya.
Alula yang dianggapnya pembantu di apartemen itu, tak menggubris sedikit pun dengan perilaku suaminya yang buruk. Awalnya sudah terbiasa, tapi lama-lama Alula terasa teriris hatinya. Istri mana yang rela diperlakukan seperti itu.
Hari demi hari sudah ia lewati, rasa kesal ditambah darahnya semakin mendidih dengan kelakuan suaminya yang playboy membuat Alula pergi dari apartemen tanpa sepengetahuan suaminya.
Alula dikejutkan dengan kehadiran Arjun, temannya waktu kecil. Alula mulai menceritakan kisah pilunya.
"Aku akan mengubah takdir hidupmu, ayo ikut aku!" ajak Arjun.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!