NovelToon NovelToon

Agents : The Price Of Duty

Prologue

Malam semakin larut, semilir angin terasa lebih dingin, sementara hujan pun telah berhenti. Meninggalkan jejak basah di semua tempat yang ia lalui. Seorang gadis memacu kaki telanjangnya untuk terus berlari. Keringat membasahi tubuh, surainya yang panjang tampak lepek, namun tetap berkibar karena langkah lebar yang dipaksakan.

Deru napasnya memburu, kelerengnya bergerak ke berbagai arah. Ketakutan merayapi setiap inci jiwanya. Kakinya terseok, ia kehilangan keseimbangan dan terjatuh menghantam kerasnya jalanan.

Sakit. Seluruh tubuhnya terasa remuk. Ia seakan tak mampu bergerak. Bahkan hanya untuk sekadar berteriak. Tubuhnya seperti membeku, terpancang di jalanan basah yang temaram.

Tubuhnya meremang dan menggigil karena rasa dingin dan ketakutan. Kelerengnya kehilangan harapan saat bayang-bayang hitam yang melumpuhkan keberanian merambati tubuhnya. Seiring dengan suara-suara mengerikan yang mulai memenuhi kepalanya. Gelap, dingin, dan sendirian. Sejurus kemudian, cahaya menyilaukan menyeruak.

Seorang gadis tersentak di atas ranjang. Kaos yang dikenakannya lepek oleh keringat. Bahunya gemetaran hebat dengan mata tak fokus. Tangan gadis itu meraih rambutnya yang kusut. Meremasnya kuat-kuat. Berharap bisa mengusir kengerian yang memenuhi kepalanya.

Gelap, dingin, dan sendirian.

***

Mentari di musim semi memang begitu hangat. Menebar kecerian bagi semua orang. Seorang anak lelaki tersenyum lebar dengan sekuntum rapeseed di tangannya. Ia menatap dua sosok di hadapannya dengan penuh kegembiraan.

Tetapi, mendadak senyumannya luntur. Langit menggelap dan dunianya seakan berputar. Dua sosok itu melangkah, tangannya terulur, berniat meraih si bocah. Ia terperanjat dan memundurkan langkah ketika darah menetes dari tangan sosok tersebut.

Anak lelaki itu mendongak, dua sosok itu meluruh dalam genangan darah. Sekelilingnya menggelap, semilir angin dan hangatnya mentari telah lenyap. Bocah itu terisak, ia meringkuk di atas genangan anyir. Tepat di antara dua jasad yang mulai meluruh dan menghilang. Meninggalkan dirinya seorang dalam kegelapan. Hawa dingin mulai merambat dan ia menyadari kesendiriannya dalam kegelapan.

"Sir, Sir, Anda baik-baik saja?"

Suara itu menyentaknya. Menariknya kembali dari tidur singkat yang mengerikan. Ia terengah dengan gemetar yang tak terkendali. Seperti biasa. Tidur adalah hal terburuk yang seharusnya tak ia lakukan. Namun, ia tak punya pilihan. Manusia memang memerlukannya, bukan?

"Sir, apa saya perlu menyiapkan obat?" Lelaki itu bergegas menahan sang asisten. Ia memberikan gelengan pelan dan membenarkan posisi duduknya. Berusaha mengabaikan perasaan mengerikan yang tertanam jelas dalam benaknya. Sejak malam itu, hingga saat ini dan mungkin selamanya.

Gelap, dingin, dan sendirian.

****

"Red-Lotus 819 799, melapor. Target dalam jangkauan. Sebelas anggota Blood Diamond ditembak mati." Seseorang dengan balutan seragam lengkap, berhelm, dan penutup wajah mulai melapor.

Di hadapannya, duduk seorang pria dengan balutan kemeja kusut berdebu yang terikat pada kursi besi. Bercak darah tersebar di area bahu dan kerah bajunya. Ia tergelak dengan senyum sinis di wajahnya yang babak belur. Sementara itu, di sekeliling keduanya, beberapa pria tergeletak bersimbah darah dengan lubang peluru di dahi.

"Tim Satu akan tiba dalam tiga menit." Sosok berseragam itu mengakhiri laporannya dan berkacak pinggang. Menghela napas jengkel seraya melepas helm serta penutup wajahnya. Dalam sekejap, rambut cokelatnya terurai bebas. Menjuntai melewati kedua bahunya.

Pria berkemeja itu tampak terkejut. Mungkin tak menyangka akan mendapati wajah rupawan di balik penutup wajah yang dikenakannya. Tubuh rampingnya tersembunyi di balik balutan seragam lengkap tebal dan terlihat menyesakkan.

"Jangan terlalu terkejut. Bersiaplah, negaramu akan segera menghukummu!" Gadis dengan kode nama Red-Lotus itu membungkuk. Membuat wajahnya sejajar dengan pria di hadapannya. "Dasar pengkhianat busuk menjijikkan."

"Mulut indahmu ternyata sangat liar, sayang. Apa yang kau lakukan di dunia kejam ini? Dengan balutan seragam berat yang menyiksamu sepanjang hari." Pria itu menyeringai. Menatap raut dingin yang kini tercetak jelas di wajah gadis muda itu.

"Kau tak tahu apa yang sedang kaubicarakan, sialan."

"Easy, Darling!" Ia tergelak saat gadis itu meremat kuat kerah kemejanya. Melemparinya tatapan tajam seperti pedang pembunuh. Raut yang membuat rasa penasarannya semakin menjadi.

"Memang apa yang kubicarakan?" sambungnya dengan tawa.

Buagh

Satu hantaman mendarat di pipi tirusnya. Kursi tempatnya terikat tersentak ke samping. Pria itu jatuh berdebum di lantai yang berdebu. Ia meringis, menatap penuh minat pada gadis yang kini berdiri menjulang. Tanpa gadis itu sadari, guncangan karena pukulannya membuat ikatan di tangan pria itu semakin melonggar. Ia menggerakkan jari-jari untuk mengeluarkan pisau tipis yang terselip di pergelangan kemejanya.

"Nona, keluarlah selagi bisa. Ini bukan duniamu. Kau tak harus bekerja untuk orang-orang busuk di gedung sana!"

Gadis itu berusaha melayangkan pukulan yang kedua saat tangan pria itu melayang mengangkisnya. Merobek sebagian sarung tangan yang ia kenakan menggunakan sebuah pisau lipat. Meninggalkan rasa perih yang menyengat. Pria itu menyentak ikatan di kakinya dan melayangkan tendangan. Merobohkan tubuh gadis cantik itu dengan mudah.

Si gadis mendecih dan bangkit dengan cepat, menyusul sang pria. Beberapa orang dengan seragam dan helm serupa, tiba dengan senapan yang siap diledakkan.

"Mereka menginginkannya hidup-hidup, Red-Lotus!" Sebuah suara tertangkap pendengaran si gadis. Ia berbelok dan memacu langkahnya lebih cepat. Dia tak boleh kehilangan mangsanya. Tidak boleh!

Ia bertumpu pada susuran tangga dan meloncat ke bawah. Mendaratkan lututnya di bahu pria yang ia kejar. Pria itu tersungkur keras dari beberapa anak tangga terakhir. Ia menggeram jengkel seraya berusaha melepaskan diri. Tak butuh waktu lama, anggota tim lain berdatangan. Mengarahkan senjata mereka masing-masing.

"Jika negaramu tak menginginkan nyawamu, aku pasti dengan senang hati akan merampasanya!" bisik si gadis dengan nada dingin dan amarah tertahan.

"Bawa dia!"

Si gadis beranjak menjauh, membiarkan anggota tim-nya membawa pria itu. Ia menoleh pada kepala tim-nya, seorang pria muda dengan kelereng biru gelap. Delta Blue.

"Kau harus belajar mengontrol emosimu. Atau kau akan mengulang masa percobaan satu tahun kembali." Pria itu menenteng helmnya seraya melangkah meninggalkan gedung.

"Aku tidak akan mengulang. Aku kan tidak membunuhnya!"

"Kau hampir membunuhnya."

"Hampir."

"Misimu yang sesungguhnya belum benar-benar dimulai. Jika kau terus-terusan emosional seperti ini, kau takkan pergi ke kantor pusat!"

"Mustahil!"

"Serahkan laporannya besok pagi!" Pria itu mengakhiri kalimatnya dengan tatapan tajam dan benar-benar berlalu. Meninggalkan si gadis dengan umpatan tertahan.

***

"Red-Lotus 819 799, alias Ms. Aguero. Bisakah kita berbicara sebentar?" Si pemilik nama menghentikan langkahnya dan berbalik. Menatap dua orang pria bersetelan resmi di hadapannya. Ia melirik ke sekeliling sebelum mengangguk kecil.

"Ada apa? Kalian bukan anggota ISA, bukan? Bagaimana kalian masuk kemari?" Gadis itu mengangkat sebelah alis dengan curiga.

"Mr. Jannivarsh ingin bertemu."

"A-apa?"

Gadis itu tergagap sejenak. Sudah dua tahun semenjak pertemuan terakhirnya dengan pria itu. Sosok yang telah manjadi ayah untuknya. Pria yang merawatnya selama ini. Gadis itu melangkah mengikuti dua pria tadi menuju kafetaria yang ternyata begitu sepi. Hanya ada seorang pria yang duduk di sudut ruangan. Tepat di samping dinding kaca yang mengarah ke lapangan utama.

Pria itu tersenyum setelah meletakkan cangkir minumannya. Menunggu si gadis hingga duduk berhadapan. Senyum hangatnya tak kunjung luntur. Ia pun berujar dengan suara berat yang terasa menenangkan.

"Sudah lama tak berjumpa, Yonesha."

****

Chapter 1 : Before the Encounter

"Ms. Aguero, kau bisa tidur di rumah dengan nyaman. Bukan di sini!" seluruh atensi kelas tertuju pada seorang gadis yang baru saja mendongak setelah mendengar namanya disebut. Dengan mata setengah terpejam, ia mengemas buku-buku tebal di meja dan memasukkannya ke dalam ransel.

Gadis bersurai cokelat itu menguap tanpa malu dan melampirkan tasnya ke pundak. Mengabaikan tatapan seluruh orang di kelas, ia melenggang santai menuju ke depan. "Kau memang sangat pengertian, Mr. Jones. Terimakasih atas perhatianmu." Gadis itu memasang senyum manis dan berjalan ke pintu keluar, meninggalkan sang dosen yang mengeluarkan sumpah serapah. Serta suara gaduh dari mahasiswa lain.

Gadis itu tak peduli akan pemikiran orang-orang di sekitarnya. Terserah jika mereka menganggapnya gadis kurang ajar, gadis urakan, tak beradab, tak beretika, atau apapun sejenisnya. Tidak ada yang benar-benar tahu tujuannya berada di sini. Terjebak di bangku universitas dan menyimak pelajaran tentang hukum bukanlah pilihannya.

Tanpa membuang waktu, gadis ramping itu segera meninggalkan bangunan utama. Ia menghirup udara Singapura di sore hari begitu tiba di pelataran universitas. Helaan napas keluar dari mulutnya, ia menghempaskan tubuh di bangku halte. Memandang lalu lintas yang ramai lancar. Sepuluh menit bergulir saat sebuah bis berhenti di depan halte, membuat gadis itu segera beranjak dari bangku dan memasuki bis.

Dering ponsel pintar menginterupsinya, ia segera mendudukkan diri dan meraih benda tipis tersebut dari saku celana.

"Halo, Lya?"

"Yonesha, ini gawat, Mr. Jones mengacam bahwa ia takkan memberikan nilai yang layak untuk tugas-tugasmu!"

Gadis bernama Yonesha itu hanya terdiam, wajahnya tampak tak acuh setelah mendengar berita dari rekannya tersebut. Pandangannya sibuk mengamati jalanan yang dipenuhi gedung-gedung bertingkat.

"Yo, kau tak mungkin diam saja, 'kan? Kelulusanmu bisa terancam!"

"Terus, kau mau memintaku berbuat apa?"

"Astaga, kau bisa meminta maaf atau apapun untuk menyelamatkan nilaimu!"

"Akan kupikirkan, sudah dulu, ya. Aku ingin tidur." Yonesha memutus sambungan secara sepihak saat bis yang ia tumpangi berhenti. Gadis itu segera melangkah turun dan menuju sebuah apartemen di seberang jalan.

***

Yonesha melempar tasnya ke atas meja yang dipenuhi tumpukan buku. Mengikat rambut dan mengganti kemejanya dengan tanktop hitam. Kemudian, menghempaskan tubuh ke ranjang. Erangan lirih terdengar saat kepalanya terantuk sesuatu yang keras. Yoonesha meringis sembari bangkit untuk duduk, tangannya menyingkap selimut dan mendapati sebuah pistol hitam tergeletak di sana.

Gadis itu berdecak dan meraih pistol tersebut. Sudah lebih dari dua bulan ia tak berlatih. Namun, ia sama sekali tak lupa cara menggunakan benda mematikan tersebut. Jangan tanya bagaimana gadis berusia 18 tahun itu bisa mengoperasikan senjata.

Enam tahun lalu, ia hanya seorang bocah manja yang kehilangan ayahnya dengan tragis. Ia hanya gadis lemah yang meringkuk di tepian jalan suram setelah berhasil lolos dari para pembunuh dengan sedikit keberuntungan. Segalanya takkan berubah dan ia tak mungkin bisa berdiri dengan tegak seperti sekarang jika tanpa bantuan Mr. Jannivarsh.

Pria itu yang memungutnya dari jalanan. Memberinya tepukan hangat dan kalimat lembut yang menenangkan. Ia berjanji pada gadis itu untuk membantunya mendapatkan keadilan atas kematian sang ayah. Yoonesha pun dibawa ke Inggris. Ia menempuh pendidikan berbasis militer dan menjadi bagian dari ISA atau Internasional Secret Agency.

Bukan tanpa alasan ia terjun begitu jauh hanya untuk mendapatkan keadilan bagi sang ayah. Tetapi, pembunuh sang ayah bukanlah kriminal biasa. Ia harus bernasib sial karena berurusan dengan pemimpin oraganisasi kejahatan skala internasional. Sampai saat ini, Yonesha masih tak mengerti, kesalahan apa yang ayahnya perbuat hingga harus berurusan dengan penjahat itu.

Setelah menyelesaikan masa percobaan selama dua tahun, akhirnya tiba bagi Yonesha untuk mengambil misi yang telah menjadi tujuan hidupnya selama ini. ******** bernama Qasim Al-Azhar itu akan menerima penghukuman atas seluruh kejahatan yang ia perbuat. Termasuk pembunuhan keji yang dilakukannya pada sang ayah.

Tetapi, Yoonesha tetap takkan mampu jika bergerak sendirian. Mr. Jannivarsh telah menyiapkan seorang agen profesional yang akan membantunya menjalankan misi. Kini, Yoonesha hanya tinggal menunggu panggilan dari kantor pusat. Sembari menunggu itulah, Mr. Jannivarsh membuat keputusan untuk menyekolahkannya.

Yoonesha menyimpan kembali pistol hitam di tangannya ke balik bantal. Ia menjatuhkan diri ke ranjang empuk seraya memandang langit-langit kamar. "Kapan Mr. Jannivarsh akan mengirimkan agen itu, waktuku semakin banyak terbuang."

Pikirannya melanglang buana. Menerka, hal seperti apa yang akan ia lalui saat misi benar-benar dimulai. Tanpa sadar, ada gejolak semangat dalam dirinya begitu memikirkan misi tersebut. Darahnya haus akan tantangan, enam tahun bergabung dengan militer dan dunia intelijen membuatnya lebih membuka mata. Hidup sangatlah singkat, akan sia-sia bila masalah yang kau temui tak dapat terselesaikan hingga tuntas. Yoonesha hanya ingin keadilan untuk sang ayah, setelah hal itu tercapai, mungkin ia akan mencoba untuk menikmati dunia.

***

"Sir, Mr. Jannivarsh meminta Ms. Aguero untuk bersekolah sembari menunggu Anda." Seorang pria bersetelan jas rapi membungkuk hormat sembari berujar. Sang tuan tampak diam dengan sorot kosong, memandang hamparan daratan yang terlihat begitu jauh dari jendela pesawat. Ia mendongak, menatap tangan kanannya sesaat, sebelum mengangguk kecil.

"Ayah sangat menyayanginya ternyata," pria itu menggumam, ia menilik jam tangan mewah yang melingkar di pergelangannya sebelum mendesah pelan, "semuanya akan segera dimulai, ya?"

"Ya. Ada yang bisa saya lakukan untuk, Anda, Sir?"

"Terimakasih, kau bisa kembali, Andrew." Pria bernama Andrew itu membungkuk dan pamit untuk kembali duduk di tempatnya. Sementara itu, sang tuan tampak hanyut dalam pemikirannya. Kelereng keemasannya beradu dengan warna hijau sejuk, membentuk perpaduan cantik yang memesona. Kelopaknya terpejam perlahan, berusaha mengistirahatkan diri walau hanya sesaat.

Rangkaian kegiatan dalam misi cukup menguras tenaga dan pikirannya selama empat bulan terakhir. Ia hanya tidur jika benar-benar telah mencapai ambang batas lelahnya. Selanjutnya, ia akan kembali disibukkan dengan misi. Semenjak ia keluar dari militer dan bergabung dengan intelijen internasional, pekerjaan menjadi semakin banyak. Baru siang tadi, ia menyerahkan laporan misinya, dan sekarang ia harus terbang ke Asia demi mengambil semua berkas untuk misi selanjutnya.

Hanya setengah jam berlalu saat sang tuan terlelap, Andrew tampak tergopoh-gopoh menghampirinya. Ia menepuk bahu sang tuan dengan perlahan. Berusaha membangunkannya. Beginilah yang sering terjadi saat sang tuan berusaha untuk tidur. Sesuatu yang mengerikan selalu mengusik tidurnya, Andrew tahu pasti apa yang menimpa sang tuan hingga membuatnya demikian. Namun, ia tak mampu berbuat apupun.

Napas pria itu tersengal hebat, keringat dingin mengalir membasahi pelipisnya yang pucat. Bibirnya sedikit terbuka dan meracau tak jelas. Wajahnya semakin pucat dengan gurat lelah yang cukup jelas.

"Sir, Sir, Anda baik-baik saja?" tanya Andrew luar biasa khawatir. Ditatapnya sang tuan muda yang kini tengah meraup udara sebanyak-banyaknya. Pria itu menggeleng pelan dan menarik kedua kakinya. Memeluknya dengan tangan gemetar.

"Tinggalkan aku, Drew."

Andrew hanya bisa menghela napas dan menurut. Ia pun beranjak pergi, meninggalkan tuannya yang meringkuk sendirian di kursi pesawat. Untunglah, mereka selalu memakai pesawat pribadi. Dimana sang tuan tidak perlu berbagi ruang dengan orang asing.

Pria beriris keemasan itu menunduk, berusaha keras mengendalikan gemetar dalam dirinya. Ia selalu saja berakhir mimpi buruk saat mencoba terlelap. Mimpi itu mengulang rangkaian kejadian mengerikan yang selalu sukses mengusiknya. Ia tak tahu, sampai kapan hal ini akan terus berlangsung. Ia bahkan tak ingat, kapan terakhir kali ia terlelap tanpa mimpi.

****

pictures source - Pinterest

Chapter 2 : Our Encounter

Yonesha mengeliat dan mendapati jam telah menunjuk pukul sepuluh malam. Ia beranjak dari kasurnya dan melesat ke kamar mandi. Tiba waktu untuk menghibur diri, batinnya. Ia mengenakan kaus longgar tak berlengan yang memperlihatkan perut rampingnya, hotpants jeans membalut seperempat paha dan sebuah angkle boot berwarna cokelat terpasang di kakinya yang jenjang. Terakhir, ia meraih jaket kulit berwarna hitam dan melenggang keluar dari apartemen.

Gadis itu memilih menyusuri trotoar yang tampak ramai di malam hari. Melangkah dengan ringan menuju sebuah kelab malam yang menjadi salah satu tempat favoritnya untuk mengusir sepi. Hanya butuh berjalan sekitar sepuluh menit, ia tiba di pelataran kelab. Banyak pasangan tampak hilir mudik di pintu masuk. Beberapa sudah melangkah keluar dengan tubuh sempoyongan, tapi tak sedikit yang baru saja tiba seperti dirinya.

Sebuah meja bar panjang menjadi tujuan Yonesha, ia menyamankan diri di atas kursi tinggi. Berusaha menikmati irama musik yang mengentak cepat. Segala hiruk pikuk di sana seakan tak mampu menariknya dari rasa sepi. Ya, rasa sepi dalam hatinya sudah telanjur parah. Dunia malam sama sekali tak membantu. Yonesha sudah tahu, namun ia tak ingin berhenti. Ia hanya ingin mengusir bayangan-bayangan mengerikan dalam benaknya itu walau sesaat. Meskipun harus mengandalkan alkohol sekalipun.

"Hai, manis. Kau sendirian? Aku bisa menemani malammu, Sayang!" Yonesha mendongak sembari menyugar rambut bergelombang yang sempat menutupi wajahnya. Ia meringis tanpa dosa seraya menopang wajah. Ia memang sudah terlalu banyak minum. Wajahnya tampak memerah dengan pandangan yang tak fokus.

"Aku kesepian, kau tahu?" suara Yonesha terdengar parau, tapi bibirnya terangkat membentuk seringaian.

"Tepat sekali. Aku bisa membuatmu tak lagi kesepian. Ayo, menarilah denganku!" Yonesha terkikik dan membiarkan pemuda asing itu meraih tangannya. Menariknya menuju lantai dansa yang dipenuhi lautan manusia. Gadis itu menggila, darahnya berdesir hebat akibat pengaruh alkohol. Ia meliukkan tubuh, mengikuti irama yang mengalun di telinganya. Beberapa pria mendekat, berusaha menjamahnya. Namun, Yonesha tak bodoh. Tidak ada tangan yang berhasil menyentuhnya. Gadis itu selalu bisa menepis dan menghindar. Membuat beberapa lelaki menjadi semakin gemas.

Seakan tak peduli dengan sekitar, Yonesha masih terus menari. Tawanya tenggelam oleh musik yang membahana. Ia sama sekali tak sadar jika telah menjadi perhatian banyak pria. Pemuda asing tadi mendekat dengan dua gelas minuman. Ia memberikan salah satunya pada Yonesha. Gadis itu meraihnya tanpa ragu dan menenggak cairan keemasan tersebut hingga tandas.

Hanya beberapa menit berlalu, Yonesha merasa tubuhnya begitu panas. Ia meliukkan dirinya sembari menyentuh miliknya tanpa malu. Membuat beberapa pria terbahak dan mendekat. Mereka merengkuh Yonesha, tapi gadis itu tak menepis tangan mereka seperti tadi. Ada gejolak liar dalam dirinya saat tangan-tangan itu menyentuh kulitnya. Ia menggeram dan melangkah sempoyongan saat dua pria menuntunnya meninggalkan lantai dansa.

Ia melenguh merasakan tubuhnya yang seperti tak dapat dikendalikan. Yonesha merasa ada sesuatu yang salah. Tapi ia tak tahu apa. Ia hanya menurut saat dua pria membawanya ke sebuah bilik. Menghempasnya ke ranjang. Panas, itulah yang ia rasakan. Darahnya seperti mendesir lebih cepat dari biasanya. Napasnya pendek-pendek saat merasakan tangan dua pria itu menyentuh kulitnya yang terasa lebih sensitif.

Yonesha pasrah saat mereka melepas jaket dan sepatunya. Kemudian mencium kaki jenjangnya. Gadis itu kehilangan kendali atas dirinya. Hanya ada hasrat dan napsu yang memenuhi pikirannya. Ia merasakan udara dingin menyentuh kulit tubuh atasnya. Baru ia sadari, hanya hotpants dan bra-nya saja yang tersisa. Gadis itu mengerang saat mereka mencium kedua pahanya. Nyaris menyentuh inti tubuhnya sebelum suara yang keras menginterupsi mereka.

Gadis itu tak kuasa menahan gejolak dalam dirinya. Ia mengerang dan berusaha menyentuh dirinya sendiri saat tak lagi merasakan sentuhan dari dua pria tadi. Tangannya begitu gatal ingin menyentuh miliknya, saat tiba-tiba seseorang mencekal lengannya. Ia menarik tubuh Yonesha hingga terduduk dan memakaikannya sebuah mantel panjang.

Yonesha terpekik saat merasakan tubuhnya melayang. Seseorang membopongnya dan membawanya keluar dari kelab. Ia meracau tak jelas sembari menyurukkan kepalanya. Menghidu aroma maskulin mewah yang anehnya terasa tak asing. Ia mengulas senyum dengan mata setengah terpejam. Merasakan nyaman yang tak pernah ia rasakan akhir-akhir ini. Yonesha mengalungkan dua tangannya ke leher pria asing yang membawanya itu. Ia masih memejamkan mata, mendengarkan detak jantung yang begitu kuat di telinganya.

"Sir, apa kita akan langsung lepas landas?"

"Ya."

"Baik, Sir."

Mobil yang membawa Yonesha melaju cepat meninggalkan pelataran kelab. Membelah jalanan Singapura yang ramai. Gadis itu semakin merapatkan tubuhnya. Bibirnya meracau tak jelas sebelum mendaratkan kecupan-kecupan ringan di dada pria asing yang masih berbalut kemeja. Pria itu hanya diam, kelereng emasnya menatap Yonesha dengan pandangan berkabut. Berusaha keras mengendalikan dirinya. Gadis muda itu benar-benar menggodanya.

"Kurasa mereka meminumnya obat perangsang, Sir."

"Sialan, aku tahu itu!"

"Lalu, sampai kapan Anda akan membiarkannya demikian?"

"Apa maksudmu? Kau tentu tak berniat memintaku memenuhi keinginan gadis ini, bukan!?"

"Maaf, Sir."

Sang tuan terdiam, berusaha mengabaikan Yonesha yang terus mencium dadanya. Gadis itu masih saja mengeratkan rengkuhannya sembari menggeram dan meracau. Bukan hal mudah bagi pria untuk menahan diri saat dihadapkan gadis seliar ini. Walaupun ia tahu, gadis itu bergerak karena pengaruh obat. Persetan dengan pemuda yang meminumi Yonesha obat perangsang. Pria itu hanya diam, berharap bisa menahan diri hingga penerbangan selesai.

***

Yonesha mengerjap, menyadari sinar matahari menyusup masuk ke dalam ruangan. Ia mengernyit saat merasakan kepalanya berdentam hebat. Ia mengedarkan pandangan dengan panik saat mendengar suara debur ombak yang lembut. Baru ia sadari, ia berada di atas sebuah ranjang besar di dalam kamar yang asing. Sebuah jendela kaca luas berada di sisi kiri ruangan. Menampilkan hamparan lautan dengan ombak yang membentur cadas. Sebuah balkon tampak berada di balik dinding kaca, terhubung dengan pintu kaca geser di sampingnya.

Yonesha berusaha menuruni ranjang, saat itulah kepalanya kembali berdenyut. Ia pun berusaha mengingat kembali kejadian kemarin. Kelab, wiski, menari, dan beberapa pria. Gadis itu mengerang tertahan. Terakhir kali yang ia ingat adalah dua orang pria yang mengajaknya ke sebuah kamar. Seketika, ia terbelalak dan menyadari pakaian yang dikenakannya. Sebuah kemeja kebesaran terlampir longgar di tubuh mungilnya. Aroma maskulin memenuhi ruangan berdominasi putih yang ia tempati. Ia berjingkat kaget saat pintu kamar tiba-tiba terbuka.

"Kau, sudah bangun rupanya." Seorang pria melangkah memasuki kamar, tubuh tinggi tegapnya berbalut kaus kelabu ketat. Mencetak otot-ototnya yang terbentuk sempurna. Yonesha melangkah mundur, walau pandangannya terpancang pada sosok di hadapannya itu. Kelereng emas pria itu menatapnya tanpa ekspresi. Wajah tegasnya tampak begitu tenang. Ia memegang sebotol Tylenol dan segelas air yang mungkin gadis itu perlukan.

"S-siapa kau? Kau yang mengganti bajuku!?" Yonesha beringsut mundur saat pria itu melangkah semakin dekat. Tangannya terulur membuat Yonesha refleks memejamkan mata.

"Hei, kau mungkin memerlukan ini." Ia mendongak dan mendapati pria itu mengulurkan sebotol obat dan air minum. Yonesha menerima keduanya ragu-ragu.

"Kau mabuk berat kemarin, seseorang memberimu obat perangsang. Aku tak sempat mengambil baju yang mereka lepas. Kau masih mengenakan pakaian dalammu, aku hanya menutupnya saja."

Yonesha melotot mendengarnya. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan menimpanya jika pria di hadapannya ini tak menolongnya. Gadis itu meremat ujung kemeja yang menutup lebih dari setengah pahanya, dengan kikuk ia berujar, "Terimakasih." Pria itu hanya mengangguk dan berjalan ke arah almari. Ia mengeluarkan sebuah paper bag dan menyerahkannya pada Yonesha.

"Mandi dan sarapan bersamaku, ada yang ingin kubicarakan." Yonesha hanya diam dan menerima tas tersebut. Membiarkan pria itu berlalu keluar meninggalkannya. Gadis itu menghela napas. Tanpa sadar, ia terus menahan napas saat pria bermanik emas itu menatapnya.

Yonesha membersihkan dirinya secepat mungkin dan mengenakan kaus berlengan pendek serta celana jeans yang pria itu berikan. "Bagaimana dia bisa tahu nomor dalamanku?" batinnya sambil lalu.

Ia pun melangkah keluar dari kamar dan mendapati suasana ruangan yang mewah menyambutnya. Sebuah dinding kaca memanjang terhampar membuat ruangan menjadi terang benderang. Terdapat satu set sofa besar berwarna gading berada di tengah-tengah. Lengkap dengan perapian dan televisi besar.

Gadis itu melangkah menyusuri lantai kayu mengilap menuju ruang makan yang hanya dibatasi dinding transparan. Pria misterius itu tampak sibuk dengan beberapa piring. Ia sempat menoleh saat menyadari kehadiran Yonesha. "Duduklah," ujarnya.

Gadis itu mengangguk dan menarik sebuah kursi kayu yang dibentuk sempurna. Ia menatap sepiring pancake yang baru saja pria itu letakkan. Segelas susu putih teronggok di sampingnya. Perutnya protes meminta diisi begitu melihat aroma dari sarapan di hadapannya itu.

"Makanlah, Yonesha." si pemilik nama sontak mendongak, bukan untuk melirik semangkuk salad sayur milik pria itu, namun berusaha memastikan pendengarannya.

"Bagaimana kau mengetahui namaku?" gadis itu mengernyit curiga. Menatap pria yang kini tampak sibuk dengan sarapannya. Pria itu menelan kunyahan di mulutnya dan meraih sebuah ponsel pintar, ia menggerakkan jarinya di sana sesaat dan menunjukkannya pada Yonesha.

Yonesha masih mengerutkan dahinya saat menerima ponsel itu. Tetapi, sejurus kemudian, matanya terbelalak ketika melihat laman ISA terpampang di sana. Menampilkan biodata lengkap miliknya.

"Kau!?" Yonesha menatap dengan mata nyaris tak berkedip. Sementara pria itu hanya diam memandangnya. Asyik mengunyah sayuran di mulut.

"Misi kita akan segera dimulai."

Kelereng Yonesha seakan nyaris menggelinding keluar dari tempatnya. Gadis itu tercekat, memandang pria bersurai cokelat cerah di hadapannya itu. Baru kemarin ia mengeluh karena Mr. Jannivarsh tak kunjung menghubunginya terkait misi perburuan Qasim. Kini, agen yang akan bekerjasama dengannya malah menemuinya secara langsung. Menolongnya dari peristiwa yang sungguh memalukan.

"Kau benar-benar orang yang akan menjadi partnerku?"

"Ya."

"A-aku ... aku sungguh berterimakasih untuk yang kemarin, Mr.-"

"Zhayn. Kau bisa memanggilku begitu."

"Ah, baiklah, Zhayn. Nice to meet you."

"Nice to meet you too."

Selanjutnya, mereka pun melahap sarapan dalam hening. Beberapa kali Yonesha sempat mencuri pandang. Pria itu tak banyak berekspresi dan memilih menyibukkan diri dengan mangkoknya. Ia juga tak memulai percakapan apapun tentang misi apalagi mengenalkan dirinya sendiri.

Pria bernama Zhayn itu merapikan peralatan makan yang ia pakai dan mencucinya di wastafel dalam diam. Yoonesha bergegas memasukkan potongan terakhir makanannya dan mengikuti pria itu.

"Mm, jadi ... kapan kita bisa memulainya?" Yonesha melihat pria itu meliriknya sesaat dan meraih piring kotor di tangan Yoonesha untuk ia cuci. "Eh~"

"Kita tak bisa terburu-buru." Zhayn memutar keran setelah membersihkan tangannya. Ia mengeringkannya menggunakan handuk yang ada di dekat wastafel dan menoleh ke arah Yoonesha.

Ia berlalu begitu saja ke sebuah ruangan, pria itu memberi isyarat pada Yonesha supaya mengikutinya. Gadis itu tak membuang waktu dan melangkah dengan cepat. Zhayn membawanya ke sebuah ruangan luas tak berjendela. Dinding putihnya dipenuhi rak-rak senjata berbagai jenis. Sisi lainnya terdapat lapisan kaca yang penuh tempelan beragam foto dan kertas. Gadis itu melirik jajaran komputer yang begitu lengkap di sana. Serta sebuah pintu geser berkaca gelap yang menghubungkan ke ruangan lain.

"Aku ingin memastikan kemampuanmu." Zhayn berbalik, bersedekap membuat otot-otot lengannya terlihat sangat jelas. Tanpa sadar, Yonesha mengigit bibirnya. Sejatinya ia tak menyangka jika ia akan mendapatkan partner yang masih begitu muda. Ya, Zhayn sepertinya masih berusia pertengahan atau akhir dua puluh. Ia pikir ia akan mendapat partner berusia empat puluh atau seusia Mr. Jannivarsh.

Zhayn memiliki tubuh menjulang, atletis, namun tetap proporsional. Otot-ototnya terbentuk sempurna, namun tidak berlebihan. Rambutnya cokelat terang dengan potongan yang rapi. Ia memiliki sepasang alis lebat rapi, hidung ramping yang tajam, serta bibir bawah yang penuh. Ah, Yonesha menggeleng saat menyadari pikirannya yang mulai melayang kemana-mana.

"Jadi?" Yonesha mengangkat alis, menunggu kalimat sang partner selanjutnya.

"Kita akan berlatih kembali. Kupikir dua bulanmu terbuang tanpa latihan, bukan?" Yonesha mengulas senyum tipis. Pria dihadapannya ini benar-benar mengetahui segalanya. Ia sukses membuat Yonesha semakin penasaran.

****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!