Sidang putusan...
langit mendung mulai menjatuhkan bulir-bulir airnya di depan.
Menyambut kesedihan yang sejatinya tidak ingin ia tunjukkan kepada siapapun. Selain pada Rabb yang maha menggenggam hati manusia.
Nampak tegar Keduanya tertunduk mengikuti setiap apa yang di sampaikan hakim dihadapan mereka. Segala aturan serta rentetan prosedur sudah dilalui. Dan tibalah waktu putusan itu.
Si wanita yang menggunakan hijab syar'i tahu. Pria di samping sesekali memandang kearahnya. Pandangan sedih juga pertanyaan; mengapa harus berujung seperti ini?
Nampak dengan jelas dipancarkannya. Istighfar lirih pun terucap di bibir. Bersamaan dengan hantaman dihatinya, yang memaksa diri untuk mengikhlaskan wanita yang amat dicintainya.
Namun wanita yang akrab di sapa Merr itu sama sekali tak ingin menoleh. Tidak ingin melihat tatapan sendu dari sang suami lagi.
Seirama dengan tekadnya yang kuat, Dia sudah tidak bisa lagi bertahan. Perceraian adalah pilihan terakhir, sebelum kembali tergores luka baru. Sementara hatinya sudah penuh dengan bilur-bilur luka, yang entah kapan akan sembuh.
Sebuah pernikahan yang sudah di jalaninya selama lima tahun, hanya menyisakan hal indah ditiga tahun awal. Sisanya, hanya air mata dan luka yang tak pernah bisa mengering. Justru sebaliknya, bertambah dan bertambah lagi.
Terlepas dari semua itu, memang ini bukan seluruhnya kesalahan sang suami. Yang memilih untuk berpoligami.
Satu penyakit yang Dia sendiri pun tak pernah ingin ada di tubuhnya. Membuat Dia sadar, bahwa Ia bukanlah wanita sempurna. Lantas, mencarikan istri baru untuk sang suami adalah keputusan mutlak sebagai jalan memberikannya hak keturunan.
Namun, dari keputusannya itu? Tidak pernah sekalipun ia berpikir, akan menempuh perjalanan lebih berat dari pada ujiannya yang tidak bisa memberikan keturunan.
Kesedihan yang tidak bisa ia tunjukkan, membuatnya terus dicambuki rasa ketidakadilan.
Ya, aku yang terluka. Kenapa aku yang selalu berusaha menutupi kesedihan ku? Aku yang pertama, kenapa harus aku yang diposisikan, di belakang?
Di sini bukan perkara siapa yang kalah, ataupun siapa yang menang. Bukan pula siapa yang harus di depan ataupun yang dibelakang.
Bukankah dalam hukum berpoligami, baik istri pertama dan kedua itu memiliki hak yang sama.
Sekurang apapun seorang istri pertama yang tidak bisa memberikan hak keturunan untuk suaminya. Apa lantas harus selalu memahami, dan di kesampingkan demi bisa membahagiakan anak dari istri kedua?
Kini Ikrar cerai sudah di ucapkan oleh Akhri, di depan para saksi dan hakim. pertanda mereka benar-benar berpisah sekarang.
Berat rasanya, terlihat jelas dari setiap kata yang di lantangkan pria itu. Bahkan setelah selesai persidangan, Akhri hanya mengucap salam dan kata maaf berkali-kali.
Tatapannya seperti menolak untuk saling bertemu dengan mata indah milik Merr. Seorang wanita beretnis Tionghoa. Mualaf yang memilih untuk menjadi wanita Solehah setelah perjalanan panjangnya mencari keridhoan Allah.
Bukankah setiap, jalan yang di tempuh tidak pernah mulus?
Bukankah, setiap seorang hamba Allah berhak mendapatkan sebuah ujian. Sesuai kadar keimanannya?
Seperti itu pula kehidupan. Sesiapapun yang berikrar kepada Allah bahwa ia akan beriman? Maka harus menempuh ujiannya lebih dulu. Sesuai porsinya masing-masing.
🍂
🍂
🍂
Di bawah payung yang menaungi tubuhnya. Ia menapaki langkah yang tak pasti. Di tengah riuhnya hujan, juga hiruk-pikuk manusia yang sama-sama berjalan menyusuri trotoar dengan payung masing-masing.
Jiwanya dihinggapi kekosongan, serta sepi.
Terombang-ambing dalam lamunan panjang. Mengingat impian indah yang pernah ia susun dalam kehidupannya bersama sang suami, dan juga anak-anak mereka. Tanpa pernah terbayang akan sampai pada titik perceraian.
Kini Dia sudah seperti mahluk paling kerdil. Tergilas benda-benda besar di sekeliling yang tak melihat kenestapaannya.
Bukan hanya kehilangan keseimbangan, tapi seketika hancur berkeping-keping.
Hingga membuatnya berpikir, bahwa ini adalah akhir dari segalanya. Jalan buntu yang ia lihat di depan. Sebagai tanda ia telah kalah.
Kenapa kehidupan seolah tak memberikan pilihan?
Rasanya begitu sakit, dan menyesakkan.
helaan nafas panjang adalah tanda ia sudah benar-benar lelah. Bahkan air matanya tak mampu lagi mewakili dalamnya luka. Senyumnya terenggut. Kebahagiaan sirna seketika.
Tatkala dirinya kini tak hanya harus dikucilkan dari keluarga besar. Namun kini bertambah. Berpisah dengan sang suami. Pria yang menjanjikan tubuhnya sebagai perisai pelindung.
Semua omong kosong. Nyatanya, sekarang aku benar-benar sudah menjadi sebatang kara.
Ia masih menapaki jalan, hingga seruan adzan pun terdengar.
Merr menghentikan langkahnya, lantas menoleh kearah kubah masjid yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Setitik air mata menetes dari salah satu sudut matanya.
Allah...
Ia menyebut nama Allah dalam benaknya yang tengah kalut. Seolah ajakan shalat membuatnya ingin menumpahkan air matanya saat itu juga.
Kakinya masih membeku, mengingat akan ayat Allah yang pernah ia baca sebagai penguat hatinya selama ini.
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Qs. Al Baqarah ayat 286)
Wanita itu menunduk, karena sempat meraksakan putus asa dengan takdirnya.
~ Hayya ‘alash shalaah ...
Hayya ‘alash shalaah ~
Kembali Dia mengangkat kepalanya. Bersamaan dengan air mata yang kembali menetes.
Ya, aku tidak sendirian. Allah telah memanggilku untuk mengadu.
Merr mengusap air matanya lembut. Mengeringkan pipinya yang basah bukan karena air hujan melainkan berasal dari netral indahnya.
~ Hayya ‘alal falaah ~
Allah...
Gumamnya lagi. Semakin menderas pula air matanya. Seolah kembali di ingatkan ayat Allah.
jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir (Qs. Yusuf ayat 87)
Merr mengusapnya lagi. Menghapus jejak-jejak kesakitan hatinya saat ini.
Benar, tempat terbaik untuk mengadu adalah alas sujud.
Karena Allah tak pernah lelah mendengar rintihan hambaNya. Tak pernah pula membiarkan setiap hamba yang menengadahkan kedua tangannya ke langit, pulang dengan tangan kosong.
Merr melangkahkan kaki, mendekati masjid besar di pinggir jalan. Sebelum pulang ke rumah barunya.
Ia harus sudah dalam keadaan kuat. Bertemu dengan Allah lebih dulu, lepaskan segala sedu-sedannya di atas alas sujud.
Setelah itu, ia pasti akan bisa menjalani semuanya dengan baik. Jaminan cinta Allah yang tak akan pernah meninggalkan hambaNya yang bersabar, akan menjadi kekuatan baru untuknya.
.
.
.
Assalamualaikum teman-teman yang di rahmati Allah. semoga senantiasa dalam keadaan baik.
Alhamdulillah hari ini aku bisa update Novelnya Maryam. walaupun sejatinya aku nggak ada niat buat nulis novel ini, karena aku khawatir nggak ada yang baca 😅.
tapi, ya sudahlah. Ku serahkan semuanya sama Allah. Semoga Allah mudahkan, bisa lancar update sampai tamat. Serta pembaca yang berkenaan mengikuti sampai akhir.
ku ucapankan Marhaban ya Ramadhan. selamat menjalankan ibadah puasa untuk semuanya yang menjalankan. saya rasa yang baca semuanya muslim ya hehehe. kalau pun belum karena terkendala sakit mudah-mudahan bisa segera di beri kesembuhan. kalau yang sedang haid mudah-mudahan Allah kasih kesempatan untuk menggantinya di bulan Syawal Aamiin.
🌸🌸🌸
okay ku kasih visual versi aku ya.
.
.
(Merry Angela Chwa - Maryam Chwa.)👇
.
.
.
(Ustadz Akhri Mumtaz Zulkarnain) 👇
.
.
.
(Habib Bilal Lutfi Asegaf) 👇
🌸🌸 Semoga suka dengan Visualnya. Maaf bagi yang nggak cocok, ya. Selamat membaca.... 🥰🥰
Katakanlah pada hati. Hujan bukanlah sarana untuk bermuram durja.
Bukan sarana menempatkan hati pada kenestapaan. Bukan tempat menyembunyikan air mata, sebab guyuran air dari langit.
Namun, hujan adalah Rahmat. Yang senantiasa membuat kita yakin bahwasanya Allah tengah membukakan pintu-pintu langit. Bagi kita untuk berdoa. Salah satu waktu paling mustajab untuk melangitkan harapan dalam doa. Adalah ketika deras-derasnya air menitik dari langit, juga dari mata.
🌼
🌼
🌼
Kisah berawal disini.
Merry mendatangi temannya, di rumah seorang wanita muslim yang tempat tinggalnya dekat dengan salah satu Pondok pesantren.
Gadis dengan rambut terurai panjang sebatas punggung bahkan hampir ke-pinggang itu melambaikan tangan dengan ceria, saat turun dari taksi warna biru. Tepat di depan rumah.
"Arshila!" ceria ia berseru. Memanggil nama temannya. Lalu berjalan mendekati.
"Merry, datang kok nggak ngomong-ngomong dulu?" Tersenyum senang. Ia memegangi kedua tangan Merr yang sudah terkekeh-kekeh.
"Hihihi ... aku sengaja. Kan kejutan."
"Huh, pas sekali aku mau ke kajian."
"Woaaah. Aku ikut ya?" Merr sedikit terdiam setelah menerima anggukan kepala dari Temannya itu. "Yaaah, tapi aku pakai jeans ketat. Gimana dong?"
"Mau pakai gamis, ku?" Arshila menawarkan.
Tanpa berpikir panjang, gadis itu mengangguk senang.
"Yuk, masuk dulu. Ganti baju dan pakai hijabnya."
"Yooo..." Bersemangat, mereka pun tertawa. Memasuki rumah yang tak bisa di bilang sederhana namun tidak mewah juga, milik orang tua Arshila.
–––
Di sebuah masjid yang masih dalam kawasan pondok pesantren. Keduanya duduk di sudut yang tertutup tabir. Sebagai penyekat Antara saf perempuan dan saf laki-laki.
Acara awal yaitu tilawah Al-Quran, yang di bacakan oleh ustadz Akhri. Bisik-bisik di belakang membuat Merr merasa risih bercampur penasaran.
"Pssst ... mereka yang di belakang berisik banget, lagi ngomongin siapa, sih?" Bisik Merr pada Arshila.
"Ustadz Akhri. Pria yang sedang ngaji di depan. Dia memang agak tenar. Maklum, masih muda dan tampan pula. Masih sepupu ku," jawabnya berbisik juga.
"Ooo..." Merr membulatkan bibirnya.
Pantas mereka seperti itu, rupanya yang ngaji ustadz yang masih bujangan. Hehehe. Suaranya indah.
Tilawah sudah usai. Berganti dengan kajian yang di bawakan oleh pak Kyai, cucu dari seorang pendiri ponpes Abdul Aziz.
Satu kajian yang menurutnya mampu membuat Merr bergetar.
Memang, semenjak kenal Arshila dia jadi semakin tertarik dengan Islam. Niatannya untuk datang pun juga, karena ini. Bisa mendatangi kajian sekaligus belajar agama lebih dalam lagi.
Sekitar hampir satu jam dilaluinya. Mencermati setiap ilmu yang di sampaikan pak Kyai dengan bahasa yang mudah ia pahami. Mencatat bait demi bait kata yang membuatnya bergetar, sebagai simpanan ilmu yang akan ia kaji kembali setelah sampai di rumah.
Kajian telah usai. Semua jamaah berhamburan. Tersisa suara Genjring anak-anak Hadroh. Merr dan Arshila keluar, sembari bercerita kesana-kemari.
"Shila, aku kan sudah solat nih? Puasa juga, sama ngaji. Berarti aku sudah masuk Islam dong?" Tanya Merr dengan nada menggebu-gebu bahagia. Berbeda dengan Arshila yang menanggapi ucapannya dengan kekehan kecil. "Kok ketawa, sih! Ada yang salah?"
"Astagfirullah al'azim ... maaf Merr." Arshila meredam kekehanya, "bukan gitu. Seorang muslim itu baru bisa di katakan muslim kalau dia sudah bersyahadat."
"Syahadat! Aku bisa, aku sudah hafal. Nih dengar, ya? Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasuulullah. Tuh, kan? Berati aku sudah muslim sekarang."
Arshila geleng-geleng kepala. "Nggak gitu juga Merr. Masih ada ketentuannya. Harus ada saksi, dan syarat-syarat lainnya."
"Ya ampun ... terus syaratnya apa saja. Kasih tahu?" Menggoyangkan tangan Shila.
"Iya–iya. Nanti aku?"
"Assalamualaikum!" Sapa seorang pria dibelakang. Menyela pembicara mereka yang berdiri di tengah jalan setapak.
"Eh ... walaikumsalam warahmatullah. Maaf Bang Akhri, silahkan." Arshila menarik sedikit tangan Merr, agar mau menyingkir sejenak. Membiarkan ustadz muda itu lewat lebih dulu.
"Permisi, ya–" tersenyum ramah, sembari menunduk sopan lalu melewati mereka berdua, dan belok ke arah kanan.
"Eh ... itu loh orangnya. Ustadz yang ngaji tadi," bisik Arshila.
Merry manggut-manggut. Pandangannya masih terarah sejenak. Pria jangkung yang sama sekali tak menoleh kearah mereka sebelum belok tadi, setelah itu kembali fokus pada Arshila. Menggoyangkan kedua tangannya.
"Ayo jelaskan lagi, gimana caranya."
"Ya nanti ... kita harus ketemu dengan Uwa ku dulu. Kita bahas gimana caranya, soalnya ilmu ku juga masih cetek." Terkekeh.
Mereka bergegas melanjutkan langkahnya. Melewati gang tadi saat ustadz Akhri belok ke kanan sementara mereka belok ke arah kiri. Menuju pintu keluar.
Pria yang menggunakan Koko putih serta sarung berwarna putih juga menyempatkan untuk menoleh sesaat sebelum masuk ke salah satu ruangan. Tersenyum tipis karena ia mendengar sekilas percakapan Arshila dan temanya itu. Lalu kembali pada tujuan, untuk masuk kedalam ruangan setelah mengucap salam.
***
Sesuai dengan perjanjian.
Setelah pulang ngampus Merr segera mendatangi pondok pesantren Abdul Aziz.
Ia yang baru turun dari taksi berlari pelan. Sembari memegangi hijab yang belum sempat ia sematkan jarum di bawah dagunya. Yang penting menutupi kepala, begitu pikirnya.
Sebenarnya tak perlu ia berlari. Karena mereka semua pasti akan menunggu. Sebab rasa semangat untuk bertanya tentang kapan waktunya bisa Dia bersyahadat. Membuat langkahnya tidak bisa melambat.
Sementara itu di lorong koridor pondok yang sepi. Nampak dari kejauhan pria yang menggunakan Koko gamis berwarna putih terdiam. Menghentikan langkahnya yang tiba-tiba membeku. Memeluk erat buku kitab di dadanya.
Ini sudah ke tiga kalinya. Melihat wanita yang membuatnya tak bisa melupakan percakapan lucunya dengan Arshila tempo hari. Sedang berlari semakin mendekat.
Bibir Akhri mengembang tipis, matanya seolah terpaku memandanginya yang semakin mendekat.
Seperti gerakan yang di perlambatan. Wanita itu membawa aura indah yang membuat jantung Akhri berdebar kuat. Kerudungnya yang masih memperlihatkan poninya itu berkibar-kibar searah angin akibat laju larinya.
Manusiawi, bukan?
Setiap seorang mahluk ketika bertemu dengan lawan jenis yang di kagumi, pasti akan lupa sejenak dengan syari'at serta larangannya. Bukan karena lemahnya iman seorang Ustadz. Namun lebih ke ujian di dada. Yang di permainkan oleh setan.
MashaAllah ...
Gumam lembut bibirnya, menandakan kekagumannya pada wanita yang bahkan tak pernah sama sekali memperhatikannya, balik.
Setelah itu tersadar, beliau segera memutar tubuhnya sedikit kesamping. Menatap tembok. Membelakangi Dia yang hampir mendekatinya. Sembari memegangi dadanya, ia beristighfar.
Menunggu Merr melewati.
Tplaaaaak ... tplaaaaak ... tplaaaaak ...
Suara langkahnya membuat Akhri semakin merasakan getaran tak biasa. Ia memejamkan matanya. Bibirnya terus bergumam.
Astagfirullah al'azim ... aroma parfumnya. Membuatku semakin berdebar.
Akhri belum berani menoleh. Ia sendiri kini menutup area hidungnya. Menolak aroma harum dari parfum yang di kenakan Merr.
Setelah suara tepak kakinya terdengar menjauh. Akhri baru berani menoleh ke arah kanan.
Ia kembali tersenyum. Helaan nafasnya membawa Dia buru-buru untuk memalingkan wajah. Menghindari tatapan yang berujung menjadi zinah mata.
Di ruangan Pak kyai. Arshila mempersilahkan temannya untuk duduk di sisinya.
Mereka mulai mendengarkan setiap wejangan yang keluar dari pria yang usianya sudah lebih dari enam puluh tahun bahkan hampir menginjak kepala tujuh.
"Kalau boleh jujur. Saya senang mendengar keinginan baik, Dik Merry. Hanya saja, harus ada beberapa saksi, dan juga keteguhan hati. Tidak bisa asal mengislamkan seseorang."
"Tapi, saya sudah yakin kok, untuk masuk Islam."
Kyai Mukhlis tersenyum. "Apa sebenarnya yang membuatmu ingin masuk Islam?"
"Ummmm ... banyak hal sih. Yang jelas, saya senang mendengar adzan. Mungkin nggak, sih? itu salah satu alasan klise? Tapi pada kenyataannya, saya bisa menangis setiap kali mendengar adzan."
"MashaAllah..." Beliau bergumam lirih, bersamaan dengan dua orang pria Pengajar disana, juga ibu Karimah dan Arshila.
Kyai Mukhlis melepaskan kacamatanya. Ia mengusap lembut matanya yang basah.
"Istilah, hidayah itu mahal. Memang benar." Kyai Mukhlis memakai lagi kacamata tersebut. "Tidak semua orang bisa mendapatkan itu dengan mudah. Walaupun berusaha seperti apapun kita mencari Hidayah. Ikut kajian sana-sini, membaca Alquran, dan lain sebagainya. Kalau Allah belum merahmatinya, maka Dia tidak akan mendapatkannya. Namun bukan berarti, hal itu membuat kita lantas menyerah dari rahmat Allah. Kamu beruntung, Dik Merry. Bisa merasakan hatimu terenyuh saat mendengar seruan Allah."
Arshila menoleh kearah temannya. Menggenggam tangan itu kuat. Sementara Merry hanya tersenyum.
"Jadi bagaimana, pak Kyai?"
Kyai Mukhlis tersenyum, beliau mengangguk. "in sha Allah ... bisa."
Wajah Merr sumringah. "Kapan, kapan Kyai...!"
Ibunda Arshila yang duduk tak jauh dari kakaknya menggerakkan tangannya pelan. Namun bibirnya tersenyum, meminta Dia untuk lebih tenang. Berbeda dengan pak kyai yang justru terkekeh. Beliau paham. Merry belum tau caranya bersikap pada seorang ulama besar.
"Secepatnya. Besok atau mungkin hari ini juga boleh."
"Allahu Akbar–" Merr bertakbir seketika, lantas berpelukan dengan Arshila.
"Sebelum itu, apakah orang tua sudah di beri tahu?"
Pertanyaan itu membuat Merr lantas terdiam. Ia melepaskan pelukannya, lalu menoleh pelan kearah pak Kyai Mukhlis. Menggeleng kemudian.
"Loh, kok belum di kasih tahu. Adik itu masih harus bermusyawarah dulu dengan orang tua."
"Tapi ... apa harus, ya?" Lirihnya.
"Harus! Karena memang, ini kan keputusan besar. Wajib di bicarakan dulu dengan orang tua atau wali," jawab Beliau.
Keduanya saling tatap. Antara Arshila dan Merr. Setelah itu Arshila menganggukkan kepalanya pada gadis di sampingnya.
"Nanti saya coba bicara dulu ya, pak kyai. Tapi bisa kan?"
"Bisa, inshaAllah."
***
Setelah beberapa bulan lulus dan menjadi sarjana. Merr kini bekerja di salah satu kantor broadcast media. Sebagai karyawan magang. Gaji yang belum banyak membuat Dia tetap bersyukur.
Di tambah dengan pendapatan tambahan dari hasil menulis cerpen-cerpen remaja di media cetak. Sebagai penyalur hobi menulisnya.
Cukup lah untuk uang jajannya, serta bertahan hidup di Jakarta. Lebih-lebih Papi yang notabene memiliki toko bahan bangunan di Bandung. Serta toko emas yang di pegang Mami, dan juga Ce Margaretha tidak pernah surut mengaliri dana untuk kehidupannya di ibukota.
Cibiran memang kerap datang dari bibir Cecenya. Menyayangkan sikap Marry yang lebih senang hidup mandiri di Jakarta. Padahal ada salah satu cabang toko emas mereka, yang di siapkan khusus untuk di pegang Merry. Namun gadis itu tidak mau. Jiwa petualangnya, membuat dia tidak ingin terus bergantung pada orang tua.
Hidup mandiri lebih nikmat. Aku jadi bisa lebih dewasa. Karena selama ini, aku anak bungsu yang paling dimanja Mami dan Koh Yohanes. Juga Papi...
Merry yang sedang duduk menyandar di kursinya tersenyum tipis. Ia Memeluk map file. Menampar pandangannya kedinding kaca.
Menghitung bulan, karena sebentar lagi malam Natal tiba. Biasanya keluarga besar akan datang. Mengadakan acara makan-makan selepas pulang dari gereja.
Ia berpikir bagaimana caranya, mengatakan tentang niatnya untuk berpindah keyakinan.
Jika izin hanya di depan orangtuanya mungkin tidak mudah. Menunggu saja semuanya berkumpul.
Terlintas nama Koh Yohanes lagi. Kakak pertamanya. Beliau adalah kakak laki-laki yang paling bijak. Tidak seperti Koh Antoni Apalagi Ce Margaretha.
Cuman, apakah Dia berani berkata di depan mereka?
Tapi aku sudah sangat ingin memeluk agama Islam.
Pandangannya bergeser pada langit. Yang cahaya mampu menembus dinding kaca di ruangannya bekerja.
Karena beberapa orang sedang keluar untuk makan siang. Jadi hanya tinggal ia sendiri, yang baru saja selesai membereskan file.
Merry mengangkat sedikit lengannya, memandangi angka digital di jam tangan yang melingkar.
"Sudah masuk waktu Dzuhur, bahkan sudah lewat dua puluh menit. Aku harus bergegas." Merr menyambar tas juga ponselnya. Buru-buru menuju musholla kantor untuk menjalankan ibadah sholat.
Walaupun beberapa pasang mata seolah melemparkan banyak keheranan serta pertanyaan tentang agama yang dianutnya. Namun tak sedikit yang memberikan support serta doa yang baik untuk gadis bernama lengkap Merry Angela Chwa.
Gadis itu menjalani empat raka'atnya dengan khusyuk. Dia sudah hafal beberapa surat pendek dan juga bacaan sholat.
Dzikir singkat yang masih ia contek sedikit dari buku kecilnya. Namun secara keseluruhan, Dia memang sudah pandai. Bahkan lancar membaca ayat suci Al-Quran.
Merry menengadahkan kedua tangannya. Bermunajat. Memohon pertolongan serta bantuan agar apa yang ia inginkan bisa berjalan lancar.
Allah maha pendengar, serta pengkabul doa' ... tidak ada yang sia-sia jika menaruh harapan pada Dzat yang maha segalanya. Segala apa yang di kerjakan sebab karena ingin mendapatkan ridho Allah. Pasti akan Allah lancarkan jalannya.
Merr mengusap wajahnya lembut, setelah selesai berdoa. Ia sudah bertekad akan mengatakan ini pada Mami, Papi, Koh Yohanes, Koh Antoni, dan Ce Margaretha. Di malam Natal, tahun ini.
.
.
.
Perayaan berjalan khidmat, membawa mereka larut dalam doa bersama. Merr yang berdiri di deretan kursi-kursi panjang sembari memegangi lilin yang menyala tak turut menyanyikan lagu doa.
Ia hanya bisa terdiam. Mengucapkan istighfar dan meminta ampun pada Allah SWT. Tentang dirinya yang masih masuk ke gereja. Serta merayakan Natal.
Kepalanya tertunduk. Gadis itu menitikkan air mata merasa bersalah.
Hingga selesai melakukan peribadatan. Mereka kembali ke rumah.
Riuh suara nyanyian suka cita Natal didendangkan lagi oleh mereka.
Rasa sepi menghinggapi gadis itu, memandangi semuanya yang nampak bahagia namun tidak dengan dirinya. Yang justru tengah duduk sembari meremas tangannya sendiri di sudut ruangan. Rasa takut juga bimbang, akankah Dia benar-benar berani? Atau lebih baik nanti saja.
Tapi, bukankah satu kebaikan harus segera di tunaikan. Dia sudah menunda lebih dari tujuh bulan lamanya. Ini saat yang tepat. Untuk mengatakan keinginannya. Keinginan untuk berpindah keyakinan.
Saat ini mereka pun bergiliran, berbicara di bawah pohon Natal. Meminta maaf serta doa dan juga harapan masing-masing.
Tiba giliran si bungsu dalam keluarga itu.
Semua mata tertuju pada gadis, dengan dress berwarna hijau juga bando berwarna kuning emasnya. Di bidiknya satu persatu mata mereka. Senyum yang mengembang dari Mami, Papih, kakak kandung ataupun ipar. Serta para keponakan membuatnya merasakan sedih.
Haruskah aku mematahkan kebahagiaan mereka? Merr bertanya-tanya dalam kebimbangannya. Namun, ia sudah yakin dengan apa yang akan ia katakan.
Bismillahirrahmanirrahim ... lahaula walakuata illabillaah.
Merry menghela nafas panjang, ia pun mulai membuka suara.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!