NovelToon NovelToon

Kekasih Palsu Si Culun

Bab 1. Roda kehidupan

Hidup tidak selalu berjalan sesuai apa yang kamu kehendaki.

Saat semesta menjatuhkan jangan mencari penyebabnya, tapi carilah cara agar bisa bangkit segera.

⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘

Namaku Sherina Kanza dan aku adalah gadis kecil yang sebentar lagi akan berusia 6 tahun. Aku adalah putri tunggal dari pasangan Bapak Efendi dan Ibu Yasmin.

Ayah dan bundaku berprofesi sebagai guru pada Al-Fatih Insan Unggul. Ayah adalah guru Bahasa Indonesia di Al-Fatih Junior High Schooll, sedang Ibuku adalah guru di Al-Fatih Kindergarten.

Aku berdiri dengan penuh percaya diri di atas panggung, dengan lampu yang menyorot ke tengah, tepat dimana tempatku berdiri.

“Sekarang, aku akan memberitahu kalian beberapa hal mengenai Al-Fatih Insan Unggul,” ucapku dalam bahasa Inggris.

"Di Al-Fatih Insan Unggul, kalian bisa memulai dari jenjang pendidikan terendah hingga tertinggai, diawali dengan Kindergarten (TK), Elementary School (SD), Junior High School (SMP), Senior High School (SMA), dan terakhir University (Perguruan Tinggi).”

Dari atas panggung, aku sesekali mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan yang di isi oleh kebanyakan anak-anak dari luar negeri.

Aku diminta untuk memukau para tamu sekolah yang berasal dari luar negeri tetapi saat ini tinggal di Indonesia.

Dengan fasih, dalam bahasa Inggris aku menjelaskan semua hal-hal penting mengenai Al-Fatih Insan Unggul. Dan ternyata rencana pihak sekolah untuk memukau mereka dengan kecerdasanku berhasil.

Banyak tamu yang memujiku, dan akhirnya mendaftarkan putra putrinya berharap putra putri mereka kelak sama sepertiku.

Tepukan tangan dan seruan dari para hadirin mengiringi langkah kaki kecilku menuruni panggung.

Di sana, ku lihat sudah ada Mr. Sam dan Ms Naura yang menantiku.

“Sherina, My Baby......” Seru Mr. Sam ketika melihatku berjalan ke arahnya.

“Kamu itu, memang hebat. Sangat membanggakan, Du siehst heute toll aus,” ucapnya dengan bersemangat padaku.

“Du siehst heute toll aus,” ulangku membenarkan pengucapan bahasa Jerman yang Mr. Sam gunakan untuk memujiku yang berarti, “Kamu keren banget hari ini,” namun entah mengapa terdengar aneh di telingaku.

Mr. Sam dan Ms. Naura adalah teman Bundaku, dan keduanya juga adalah seorang guru TK.

Al-Fatih Kindergarten hingga Al-Fatih University memanglah sekolah swasta bertaraf intensional.

Murid-muridnya terkenal cerdas dan juga berasal dari golongan keluarga menengah ke atas.

Dan beruntunglah aku, karena meski hanya berasal dari keluarga sederhana, namun Ayah dan Bunda berusaha sekuat tenaga untuk tetap menyekolahkanku di sini. Sekolah swasta terbaik di Ibu Kota.

“Wah lihatlah Ms. Naura, Sherina bahkan kini yang mengajariku bahasa Jerman,” candanya.

“Sherina memang hebat, Mr. Effendi dan Mrs. Yasmin sangat beruntung memiliki anak jenius sepertinya,” ucap Ms.Naura ikut menimpali.

Sedangkan aku hanya bungkam mendengarkan keduanya terus berdebat.

Aku sering mendengar, banyak orang yang mengatakan jika kedua orang tuaku beruntung memiliki anak sepertiku.

“Anak sepertiku? Memangnya ada apa denganku?” pertanyaan yang akan muncul saat itu.

Entahlah, aku tak mengerti. Mungkin karena aku masih anak-anak, dan aku belum diharuskan untuk mengerti pembicaraan orang dewasa.

Akan tetapi semakin sering mendengar pernyataan itu, aku menjadi penasaran dan akhirnya bertanya pada Bunda, “Bunda, kenapa orang lain selalu mengatakan jika Bunda dan Ayah beruntung memilikiku?” pertanyaan polos dariku.

Bunda lantas memelukku dengan hangat, “Sherina sayang, setiap orang tua beruntung memiliki putra dan putrinya,” ucap Bunda Yasmin.

“Begitu juga dengan ayah dan bunda. Kami sungguh beruntung memiliki putri yang sangat cantik dan cerdas sepertimu,” sambungnya.

Cantik dan menggemaskan, yah.... aku sering mendapatkan pujian seperti itu. Banyak di antara mereka yang mengagumi keindahan bola mataku yang berwarna abu kebiruan, kontras dengan kebanyakan anak Indonesia lainnya yang memiliki warna bola mata hitam. Sedangkan aku pribadi sangat menyukai rambut panjangku yang selalu ku biarkan tergerai.

Rambutku berwarna sedikit kecokelatan, sehingga banyak orang yang tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang asal usul orang tuaku.

Ayahku salah satu pria beruntung yang berhasil merebut hati seorang wanita berdarah campuran Indonesia-Rusia bernama Yasmin saat program pertukaran pelajar. Keduanya akhirnya memutuskan menikah, dan dikarunia buah hati yang tak lain adalah aku. Hampir seluruh wajahku mirip dengan Bunda yang memang berdarah campuran.

Tak hanya dipuji cantik, mereka juga akan memujiku dengan sebutan si jenius, pasalnya di usia yang sebentar lagi 6 tahun, aku sudah menguasai 4 bahasa, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Jerman, dan bahasa Mandarin. Saat ini Ayah baru saja mulai mengajariku bahasa Arab. Tidak hanya menguasai bahasa, aku juga sudah tak asing dengan berbagai pembahasan pelajaran untuk siswa SD maupun SMP. Aljabar, bilangan, himpunan, hingga aritmetika sudah tak asing bagiku.

Aku juga tak hanya tertarik dengan pengetahuan di bidang akademik. Aku juga memiliki ketertarikan pada dunia tari, khusunya tari balet yang sudah mulai ku tekuni sejak setahun terakhir.

Di bidang musik aku tertarik pada biola. Aku bahkan sempat memasukkan violis kedalam daftar cita-citaku saat dewasa nanti.

⚘⚘⚘⚘⚘

Dari dalam kamarku yang didominasi warna pink, aku terbangun dari tidur siangku yang baru 30 menit ku nikmati.

Pasalnya dari depan pintu kamarku, sayup sayup aku mendengar suara ayah dan bunda yang tengah kegirangan.

Sesekali bisa ku dengar ucapan syukur mereka pada Tuhan, dan berselang beberapa detik kemudian, keduanya akan saling berterimakasih satu sama lain.

Aku yang menjadi penasaran segera beranjak keluar dari kamarku.

“Ayah, bunda,” ucapku lirih.

Aku sedikit terkejut saat aku melihat ayah yang sedang menggendong bunda. Ayah bahkan berputar-putar, mengikuti adegan dari film Bollywood yang sering ayah tonton.

Ayah yang menyadari kehadiranku, segera menurunkan bunda dengan perlahan kemudian beralih menggendongku. Tak lupa Ia menggendongku dengan gerakan memutar andalannya yang membuatku sedikit pusing.

“Ayah, ayah, hentikan. Lihatlah, Sherina jadi pusing karenamu.” Ucap bunda untuk menolongku lepas dari jerat obsesi ayah yang ingin jadi artis Bollywood.

Bunda menurunkan tubuhnya, berdiri dengan tumpuan kedua lututnya agar bisa sejajar dengan tinggiku.

“Sherina, sayangnya bunda, apa Sherina suka sama adik bayi? Tanya bunda.

Tentu saja aku mengangguk dengan bersemangat.

Siapa yang tidak suka dengan bayi? Begitu kecil, mungil, sangat menggemaskan.

“Sherina mau punya adik bayi?” tanya bunda lagi.

Aku yang sudah pernah membaca buku yang membahas mengenai hal ini langsung saja bertanya intinya.

“Apa bunda hamil?” Tanyaku membuat ayah dan bunda saling tatap.

Bunda hanya mengangguk, sementara aku sudah berteriak kegirangan.

“Ye..Ye.. aku jadi kakak, Ye...Ye.. aku punya adik.”

Akupun menundukkan kepalaku tepat di bagian depan perut bunda lalu berbisik, “Halo adik, ini aku kakak Sherina. Baik-baik di dalam sana yah, 9 bulan lagi kita bertemu, aku pasti tak akan sabar menanti saat itu tiba.”

Setelah selesai menyapa calon adikku, aku melihat ayah dan bunda menatap kearahku dengan bingung.

“Sherina, kamu, kamu paham semuanya...... “ Rasanya bunda masih tak menyangka jika aku yang 2 bulan lalu merayakan ulang tahun ke enam, mengetahui tentang kehamilan.

“Sherina baca di buku bunda.” Jawab ku dengan senyum mengembang.

⚘⚘⚘⚘⚘

Tujuh bulan sudah usia kehamilan bunda. Setiap bulan aku selalu antusias saat kami pergi memeriksa kondisi kesehatan bunda dan calon adik bayi.

Namun suatu pagi, saat tengah menyiapkan sarapan tiba-tiba saja bunda merasakan sakit yang luar biasa pada perutnya, Ia mengerang saat menahan rasa sakit.

“Bunda!” Suara ayah membuat aku mempercepat langkahku yang memang hendak turun untuk sarapan.

“Ayah, bunda kenapa?” tanyaku.

Kurasakan seperti ada cairan yang seketika memenuhi pelupuk mataku. Pertanyaanku tadi belum mendapat jawaban pasti dari ayah, namun dari apa yang kulihat, saat ini bunda sedang tidak baik-baik saja. Bunda berusa sekuat tenaga untuk menahan rasa sakit yang menderanya. Dan hal ini sepertinya berkaitan dengan adik bayi di dalam perut bunda.

Sesampainya kami di rumah sakit, bunda segera di tangani oleh dokter. Aku hanya menuruti ucapan ayah yang memintaku untuk duduk dengan tenang di sebuah kursi panjang.

Aku bingung karena kini aku ditinggal sendirian. Aku juga terus dihantui rasa takut, jika terjadi sesuatu yang buruk pada bunda dan calon adikku. Lama kelamaan aku akhirnya menangis sesenggukan.

“Hei... kenapa kamu menangis?” tanya seorang anak laki-laki yang tiba-tiba saja duduk di sampingku.

Aku menghapus jejak air mata pada wajahku. “Aku takut, tadi bundaku tiba-tiba saja kesakitan dan dibawa masuk kesana. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk pada bunda dan adik bayi.” Ucapku sambil sesekali sesenggukan.

Anak laki-laki itu melihat ke mana jari telunjukku mengarah.

“Oh... Tak perlu khawatir, mereka pasti akan baik-baik saja.” Ucapnya.

Aku melihat keyakinan dari tatapannya, “Kenapa kamu sangat yakin?” tanyaku.

“Karena dokter yang tengah bersama bundamu di dalam sana, adalah dokter yang sangat hebat.” Jawabnya dengan keyakinan yang lebih dari sebelumnya.

“Aku tahu, karena dokter itu adalah Mamiku.” Sambungnya.

Tak lama setelah itu, Ia menatap pada sosok dokter pria yang berdiri tak jauh dari tempat kami duduk. Setelah itu Ia pamit padaku untuk pergi lebih dulu.

“Hei namamu siapa?” teriaknya dengan langkah yang terus menjauh.

“She ri na.” Jawabku singkat namun perlahan agar dia bisa mendengarnya. Aku pernah membaca jika di rumah sakit tak boleh membuat keributan, akan mengganggu ketenangan pasien yang sedang sakit.

Setelah anak laki-laki itu menghilang dari pandanganku, aku baru sadar, jika aku belum menanyakan namanya.

“Jika aku tak salah dengar, sepertinya tadi dokter memanggilnya, Pasha.” Gumamku.

Tapi siapapun namanya, yang terpenting kini aku sudah bisa menghentikan tangisku berkat ucapannya yang menenangkan.

⚘⚘⚘⚘⚘

Bunda dan adikku berhasil diselamatkan. Aku tersenyum bahagia ketika mendapat kabar itu dari ayah. Meski, ada satu kenyataan pahit yang hadir di tengah-tengah rasa syukur kami.

Adikku, terlahir dengan cacat bawaan yang disebut Gastroschisis. Adikku lahir dengan kondisi dimana terdapat kelainan yang membuat Ia lahir dengan usus berada di luar tubuhnhya, melewati lubang yang terbentuk di dekat pusarnya.

Tapi hal itu tidak menyurutkan tekad Ayah dan bunda. Keduanya berusaha apapun untuk menyelamatkan adikku yang diberi nama Shafiyyah Ulfa.

Meski adik kecilku harus melewati berkali-kali operasi hingga akhirnya lubang di perutnya tertutup. Dan hal itu tentu saja membuat kami semua bahagia dan sungguh bersyukur.

Namun di balik itu semua satu per satu aset berharga milik keluarga kami terpaksa harus di jual. Rumah, mobil, perhiasaan, dan beberapa investasi ayah di desa harus rela dijual untuk membiayai pembedahan demi pembedahan untuk menyelamatkan Shafiyyah.

Meski harus kehilangan itu semua, tapi akhirnya kami bisa berkumpul bersama.

Satu hal yang bisa kupelajari saat melihat apa yang dilakukan ayah dan bundaku, semua yang kita miliki saat ini hanyalah titipan dari Tuhan dan Ia berhak mengambilnya kembali kapan saja dan dengan cara apapun.

Kehilangan sebagian besar harta yang kami miliki tentu membawa perubahan bagi kehidupan keluargaku. Kami harus bersabar tinggal di rumah kontrakan kecil yang hanya memiliki 1 kamar untuk kami tempati berempat. Tak ada lagi mobil yang akan melindungi dari terik matahari atau hujan ketika diperjalanan. Serta bunda harus merelakan pekerjaannya untuk fokus mengurus adikku, Shafiyyah.

Satu hal yang luput dari perkiraanku, ternyata sebentar lagi aku juga akan merasakan dampak dari perubahan ini secara langsung.

Dunia sebentar lagi akan menampakkan dirinya yang sebenarnya padaku.

⚘⚘⚘⚘⚘ To be continue ⚘⚘⚘⚘⚘

Setiap hari dunia ini akan terus berubah, dunia akan terus bergerak tanpa peduli apakah kau bisa mengimbanginya atau tidak.

Bab 2. Bukan lagi Sherina

Dalam menjalani hidup, fisik dan mental akan menjadi taruhannya.

Sebab kau tidak hanya akan dihadapkan pada keadaan mudah dan menyenangkan saja.

Tuntutan hidup yang berat juga banyak yang harus kau hadapi dan membebani jalanmu.

Cukup pahami setiap makna dari apa yang kau lakukan, meski tidak membantu setidaknya dengan begini kau akan sedikit mengurangi bebanmu.

⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘

Kehilangan sebagian besar harta yang kami miliki tentu membawa perubahan besar bagi kehidupan keluargaku.

Kami harus bersabar tinggal di sepetak rumah kontrakan kecil yang hanya memiliki 1 kamar untuk kami tempati berempat.

Tak ada lagi kendaraan beroda empat yang akan melindungi dari terik matahari atau derasnya air hujan ketika diperjalanan.

Serta bunda harus merelakan pekerjaan yang sangat Ia cintai untuk fokus mengurus adik kecilku, Shafiyyah.

Waktu berlalu dengan sangat cepat, tak terasa sudah setahun berlalu, dan kami bersyukur karena masih bisa bertahan melewati kerasnya kehidupan.

Ditengah-tengah segala usaha kami untuk beradaptasi dengan hidup kami yang baru, aku bersyukur karena kehangatan, cinta, dan kasih sayang di keluarga kami tidak berubah.

Tidak bisa ku pungkiri, meski aku masihlah anak kecil, namun aku sungguh merasa prihatin dengan kondisi keluargaku saat ini, bersamaan dengan prihatin pada diriku sendiri yang tidak bisa membantu apapun.

Bunda yang tak lagi mengajar sebagai guru, setiap harinya harus rela terbangun pukul 2 dini hari untuk membuat kue yang nantinya akan aku jajakan dengan berkeliling di sekitar wilayah tempat tinggal kami yang baru.

Saat ini aku sedang menikmati masa libur sekolah.

Ya.... Sebelum nantinya dalam beberapa hari ke depan aku akan kembali bersekolah, “Ahh, aku sudah tak sabar ingin kembali bersekolah dan bertemu dengan teman-temanku,” batinku.

“Kue.... Kue.... Kue....”

Aku kembali berteriak, berjalan memasuki gang satu dan gang yang lainnya untuk membantu Bunda menjajakan kue jualannya.

Sepertinya aku sudah berjalan cukup jauh, karena kini aku sudah tiba di area taman yang berada di kawasan perumahan tempat tinggalku yang dulu.

Senyum di wajahku mengembang, ketika melihat teman-temanku di perumahan yang lama sedang bermain dengan riangnya di taman.

Ku lihat mereka ada yang berlarian, ada juga yang kejar-kejaran, bermain seluncuran, ayunan, dan papan jungkat-jungkit.

Senyumku terbit tanpa ada perintah saat membayangkan masa-masa dulu juga aku paling suka bermain ayunan.

"Hai, teman-teman...." Sapaku dengan ceria seperti Sherina yang dulu, tanpa beban.

Namun aku harus menelan kekecewaan saat mereka menolak bermain denganku

"Apa salahki?" batinku.

“Maaf yah, kami gak mau tuh bermain sama gembel. Mending kamu pergi sana, dan jangan datang lagi ke taman ini karena kamu tidak lagi tinggal di sini, pergi sana!”ucap!! Siska!.

“Dasar gembel, husss....husss,” sambungnya diikuti oleh anak lainnya.

Meski hatiku sakit karena diusir oleh mereka yang dulunya mengaku sebagai temanku, tapi rasa syukurku jauh lebih besar dari itu.

Aku jadi tahu jika mereka tidak benar-benar ingin berteman denganku.

⚘⚘⚘⚘⚘

Dengan kondisi perekonomian keluarga kami yang terus menerus menipis, mengharuskan Ayah untuk bekerja lebih ekstra lagi.

Ayah harus pulang lebih lama dari biasanya, karena setelah mengajar di sekolah, beliau masih harus mengajar lagi di beberapa tempat kursus, juga memberikan bimbingan belajar secara privat.

Namun semua hal itu tidak serta merta membuatku dan Bunda mengubah kebiasaan kami. Aku dan bunda akan selalu bersemangat menanti kedatangan pria yang kami cintai.

Pria yang menjadi cinta terakhir bagi bunda, dan pria yang menjadi cinta pertama untukku.

Ayah dan Bunda mengajariku untuk mensyukuri apapun yang terjadi dalam hidupku.

Tiap malam sebelum aku terlelap di atas kasur tipis beralaskan tikar, tak akan pernah lupa untuk berdoa pada sang pencipta,

“Ya Tuhan, aku selalu mensyukuri semua nikmat yang Engkau berikan. Tapi jika masih boleh meminta, aku mohon pada-Mu, wahai Tuhan Yang Maha Esa, berilah perlindungan-Mu pada kedua orang tuaku,” pintaku.

“Saat ini aku belum bisa melakukan apapun untuk membahagiakan keduanya, jadi ku mohon lindungilah mereka hingga nanti tiba saatnya aku bisa membalas jasa-jasa ayah dan bundaku,” lanjutku masih dengan kedua tangan yang menengadah.

Aku tak ingin meminta apapun lagi saat ini, aku takut Tuhan marah jika aku meminta terlalu banyak pada-Nya, Tuhan Yang Maha Baýik.

⚘⚘⚘⚘⚘

Hari ini adalah hari pertama aku mulai bersekolah kembali sebagai murid di Al-Fatih Elementary School.

Dengan menaiki motor dinasnya, ayah mengangarkanku ke sekolah.

Senyumku mengembang tatkala kini aku berada di depan kelasku yang baru.

“Selamat pagi....” Sapaku ceria seperti sebelumnya.

Deg!

Tiba-tiba saja aku merasa ada yang berbeda, ketika teman-temanku tak membalas sapaanku seperti biasanya.

Bahkan tak sedikit dari mereka yang berbisik-bisik sambil melihat kedatanganku. Kupindai wajah temanku satu per satu, meski tak banyak tapi ada beberapa wajah yang baru pertama kali ku lihat.

“Hei, berani sekali kau sekolah di sini? Di sini bukan sekolah untuk gembel sepertimu,” suara seorang anak perempuan berteriak padaku.

“Soraya dan Elena,” lirihku.

Mereka berdua adalah temanku sejak di Kindergarten. Entah mengapa, sejak dulu mereka selalu saja bersikap ketus padaku.

Tak ingin membuat keributan, aku memilih untuk mengacuhkannya saja dan terus melangkah tanpa menghiraukan ucapan keduanya

“Dasar gembel, miskin, jangan duduk sini,” bentak Soraya padaku.

Bahkan Soraya menarik rambut panjangku yang pagi tadi telah ditata oleh Bunda.

Aku segera meremas kuat tangan Soraya hingga Ia mengaduh dan menjauhkan tanganya dari rambutku.

Apalagi samar-samar aku mendengar jika Soraya menghina adikku, Shafiyyah.

“Kenapa hanya adikmu saja yang cacat, harusnya kamu juga cacat, biar kalian sekeluarga menjadi keluarga cacat yang miskin,” hinaan Soraya yang emosi.

Teman-teman mulai berdatangan mengerubungi kami bertiga, mengundang perhatian guru.

Dan hari itu adalah pertama kalinya ayah menemui guruku karena alasan aku bertengkar dengan temanku.

Keanehan kembali terjadi, yang seharusnya dihukum adalah aku sebab aku yang bertengkar. Namun pada kenyataannya yang mendapat teguran tertulis adalah ayah. Lucu bukan?

Dan hal itu terus terjadi keesokan harinya, saat Soraya memfitnahku, mengatakan jika aku mengganggunya. Teman-teman lain yang harusnya menjadi saksi memilih bungkam. Dan berakhir kembali ayah mendapat teguran lisan. Kejadian itu terus berulang hingga akhirnya aku memilih untuk mengalah.

Aku, diusiaku yang baru 7 tahun, kini mulai paham jika kekuasaan ternyata bisa membeli sebuah kebenaran.

⚘⚘⚘⚘⚘⚘

Sejak saat itu, aku akhirnya setuju untuk mengikuti semua perintah Soraya. Aku menjadi korban bullying baik secara verbal atapun fisik olehnya

Aku mengerjakan semua tugas sekolah Soraya dan Elena tanpa mengeluh.

Keduanya juga kerap kali dengan sengaja melukai fisikku, seperti memintaku menjambak rambutku ketika tanpa sengaja Bunda menatanya dengam model yang sama seperti milik Soraya.

Aku juga sering dipermalukan oleh Soraya. Suatu hari dia dengan sengaja mencoret-coret wajahku dengan spidol hingga seharian itu aku terus ditertawakan oleh teman-teman yang lain. Bahkam aku harus telat pulang ke rumah sebab harus membersihkan wajahku di sebuah mesjid yang tak jauh dari rumah kontakan kami sekeluarga.

Hingga pada saat hari kelulusan tiba, selama 6 tahun aku diam dan menyembunyikan semuanya. Tapi aku sudah bertekad jika hari ini aku akan jujur pada Bunda dan Ayah. Aku tak sanggup lagi jika terus bersekolah di Al-Fatih.

Belum saja niatku kulakukan, kini aku sudah berada di dalam toilet dengan pintu terkunci. Aku yakin jika Soraya yang melakukannya. Sudah beberapa jam tapi tak ada yang menolongku, suaraku sudah serak karena terus berteriak meminta tolong. Perutku lapar dan tenggorokanku kering.

Lalu tiba-tiba,

Ceklek!

Pintu terbuka.

Aku ditolong oleh seorang anak laki-laki yang tak ku kenali. Ia membatuku bejalan ke sebuah kursi yang tak jauh dari toilet.

Ia segera memberiku botol minum miliknya, botol berwarna biru dengan gambar robot warna merah.

“Minumlah,” ucapnya.

Aku mengangguk dan langsung meneguk untuk menghilangkan dahagaku.

Mungkin karena tanganku bergetar, hingga anak itu lagi- lagi membuka tasnya dan kini mengeluarkan kotak bekal dengan motif yang sama.

“Makanlah,” ucapnya singkat.

Kali ini aku ragu, tapi anak itu mengambil sepotong sandwich dan menyuapkannya ke mulutku.

Mau tak mau aku akhirnya mulai memakan sandwich itu.

“Terimakasih, namaku Sherina,” ucapku.

“Sama-sama. Aku tahu namamu Sherina, tapi aku lebih suka memanggilmu nana,” balasnya.

“Kamu mengenalku? Aku bahkan merasa baru pertama kali melihatmu,” ucapku jujur.

“Mungkin kamu tidak pernah melihatku, tapi aku sudah bosan melihatmu terus di bully. Aku harus pergi,” ucap anak itu lalu Ia berdiri dan memakai membali tasnya.

“Ingat pesanku yah nana, jika tak ingi terus di bully maka kamu harus hilangkan apa penyebabnya mereka bertingkah semaunya padamu,” ucapnya kemudian melangkah pergi tanpa menjelaskan apa maksudnya.

⚘⚘⚘⚘⚘

Bagai takdir yang memang mengizinkanku hidup untuk terus menerima penyiksaan dan penghinaan, aku terpaksa mengurungkan niat untuk jujur pada ayah dan bunda mengenai pembullyan yang aku terima di sekolah.

Pasalnya saat pulang ke rumah sore itu, Bunda dengan wajah berseri-seri menyambutku dan mengabarkan jika aku kembali diterima untuk bersekolah di Al-Fatih Junior High School.

Tak ingin mengecewakan bunda, aku terpaksa menerimanya.

“Aku pasti kuat, 6 tahun sudah kulalui, kali ini aku juga pasti bisa,” tekadku.

Semalaman aku sudah memikirkan apa maksud anak laki-laki itu.

Dan setelah berpikir keras, di sinilah aku sekarang.

Di depan cermin aku mulai mengubah penampilanku.

Soraya seringkali menghinaku jelek, meski kenyataannya aku lebih cantik darinya. Hingga akhirnya Aku memutuskan untuk bersembunyi di balik pakaiaan kebesaran, kacamata tebal, dan rambutku yang tak akan pernah ku gerai lagi.

Inilah aku yang baru, aku bukan lagi Sherina, tapi aku adalah Nana.

⚘⚘⚘⚘⚘ to be continue ⚘⚘⚘⚘⚘

...Dunia tidak akan pernah dan tidak butuh izin untuk bergerak maju, jadi jangan sampai mengucapkan selamat tinggal pada dunia tanpa pernah berhasil mendapatkan hal berharga darinya....

Bab 3. Petaka

Aku tahu tak ada yang bisa ku kontrol semauku. Seharusnya yang kulakukan adalah mengontrol diriku.

Yang mereka tak sukai adalah diriku, lantas haruskah aku kehilangan diriku yang sebenarnya?

⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘

Ini adalah hari pertamaku berubah menjadi Nana, ini bukan berarti aku tak akan lagi mengakui jika diriku adalah Sherina. Melainkan aku hanya akan mulai membiasakan diriku dengan karakter seorang Nana, karakter yang sengaja kubuat dan bukan dari diriku sendiri.

“Kakak? Ini beneran kakak?”

Begitulah respon Ayah, Bunda, dan Shafiyyah yang kini berusia 6 tahun.

Aku hanya menggeleng, “Aku bosan menjadi gadis cantik. Aku ingin sekali-kali menjadi gadis jelek,” jawabku.

“Percayalah padaku, aku sungguh hanya ingin memahami bagaimana cara kerja dunia. Menjadi sosok yang sempurna dengan wajah cantik, aku sudah pernah dan rasanya semua hal patut ku syukuri. Sekarang aku hanya ingin melihat bagaimana dengan kehidupan gadis jelek,” jelasku menenangkan keluargaku.

Terutama Ayah, entah apa ayah telah tahu atau tidak apa yang terjadi padaku selama ini.

Hingga tibalah aku di depan gedung Al-Fatih Junior High School.

Aku melangkahkan kakiku menuju aula tempat semua murid baru berkumpul, “Apa aku terlambat?” batinku bertanya-tanya saat melihat sudah banyak murid yang berkumpul.

Dua gadis dengan sengaja mencegat langkahku, “Minggir lu!” bentaknya.

“Menghalangi jalan gue aja,” lanjutnya menggerutu.

Saat aku akan pergi, salah seorang dari mereka menghentikanku, “Sherina? Lu Sherina Kanza kan? Ngapain lu dandan seperti ini? Gila... rugi banget wajah cantik lu,” celoteh Elena.

Mereka adalah Soraya dan Elena. Orang yang menyebabkan aku bertindak sejauh ini.

Lalu tiba-tiba saja, “Eh.. Sherina, mulai sekarang lu anggota geng kita. Sekarang lu anggota Cryla. Dan lu tau, peraturan di Cyrla kalau omongan gue adalah keharusan yang wajib lu patuhi. Oke?” desak Soraya.

Sedangkan aku hanya diam membisu. Kulihat Elena sudah siap-siap protes, tapi segera dicegah oleh Soraya saat 3 orang anak laki-laki menghampiri kami.

“Hai Aya, Hai Len,” sapa seseorang yang akhirnya kuketahui bernama Bara.

“Siapa dia? Kacung baru?” tanya pria bernama Kaif.

“Yoi, princess gak bisa tanpa pelayan,” celetuk Soraya.

Soraya dan Elena sukses mempermalukanku di hari pertama aku sebagai Nana.

Dan benar saja sejak saat itu mereka tidak pernah menganggap kehadiranku.

Dugaanku salah, ku pikir dengan menjadi jelek mereka akan berhenti merundungku, namun kenyataannya mereka tak akan pernah berhenti, mungkin hingga aku tak bernyawa lagi barulah semua penderitaan ini usai.

Aku kini bukan lagi Sherina, si cantik dan pintar tapi Sherina si buruk rupa, pelayan Soraya, Elena, dan ditambah lagi Bara dan Kaif.

Yah hanya mereka, karena Faqih, meski tak pernah bicara padaku, tapi dia tak perah menyiksaku seperti yang lainnya.

⚘⚘⚘⚘⚘

Tak terasa waktu berlalu begitu cepat hingga 3 tahun telah berlalu. Dan aku masih tetap bersembunyi di balik Nana si culun.

Aku mulai merasa nyaman menjadi si culun, orang-orang tidak lagi tertarik pada hidupku yang malang.

Kini kami sudah berhasil naik satu tingkatan lagi dari Junior High School kini menjadi Senior High School.

Masa-masa paling indah kalau yang aku dengar dari cerita orang-orang.

Bunda juga kini mulai kembali membantu Ayah dengan berjualan di kantin sekolah.

Terkadang aku malu pada Bunda, beliau melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Soraya dan yang lainnya memperlakukanku bagai seorang pelayan, mencaciku bagai seorang yang hina.

Hatiku semakin perih tatkala menatap Bunda yang memalingkan wajahnya ketika aku diperlakukan seperti itu.

Ku pikir Bunda akan membelaku, nyatanya Bunda bersikap acuh.

Hanya sekali Bunda pernah menasihatiku, namun kala itu Bunda pikir aku sudah tertidur.

“Bertahanlah Nak, bunda yakin suatu saat mereka yang kini menindasmu akan malu untuk menyapamu kembali,” begitulah nasihat Bunda.

⚘⚘⚘⚘⚘

Hingga suatu hari seorang gadis pindahan dari Negeri Jiran datang. Namanya Naila. Cantik, ramah, meski sedikit Laload (lambat loading) kata kami saat ini, yang sama saja artinya dengan telmi (telat mikir).

Naila adalah putri pemilik bioskop terbesar di Indonesia, dan kenyataan itu yang akhirnya membuat Naila terpaksa ikut bergabung dengan geng yang penuh kepalsuan ini, begitu kata Naila padaku.

Yah, akhirnya aku memiliki teman. Naila teman pertama yang tulus padaku. Naila bak seorang dewi yang datang untuk menolongku.

Sejak kehadiran Naila, aku akhirnya bisa memiliki sedikit kenangan menyenangkan selama 2 tahun sebagai siswi SMA.

Tidak lagi hanya mengerjakan tugas Aya dan Lena saat di kelas tapi kini aku juga punya teman untuk berdiskusi saat mengerjakan tugas.

Tidak lagi berjalan sendiri di belakang Aya dan Lena, tapi kini ada Naila yang turut menemaniku berjalan sembari menggandeng lenganku tanpa malu atau jijik.

Tidak lagi menyediakan makanan sendirian untuk Aya dan yang lainnya saat kami sedang istirahat di kantin, karena Naila dengan senang hati membantuku.

⚘⚘⚘⚘⚘

Suatu hari tanpa sengaja aku mendengar suara aneh dari salah satu bilik toilet. Memang biasanya pada jam-jam seperti ini toilet sedang sepi.

“Faster beb,” racau seorang gadis.

“As you wish baby,” sahut seorang pria.

Lalu terdengar kembali suara aneh, lebih seperti erangan.

Aku mungkin berpenampilan culun, tapi untuk hal seperti itu aku juga sudah bisa menebak apa yang dilakukan orang itu. Hanya saja, siapa mereka aku tak ingin berburuk sangka.

Asik dengan pikiranku, hingga tak ku sadari jika pintu bilik terbuka, lalu keluarlah 2 orang dengan peluh dan raut wajah yang lelah, namun tak menyurutkan senyum mengembang sempurna di wajah keduanya.

Aku mematung di tempatku.

“Eh, cupu sejak kapan lu di situ? Atau jangan-jangan lu dengar lagi? Iya?” bentak Soraya.

Tingkahku yang gugup dan gelagapan membenarkan semua tuduhan Soraya.

“Eh, sini lu!” panggil Bara.

Dengan langkah ragu, aku mendekat ke arah Bara. Satu tangan Bara langsung saja mencengkram kuat lenganku hingga aku meringis kesakitan.

“Lu pasti tahukan apa yang gue dan Aya lakuin di dalam sana,” ucapnya.

Satu tangannya kini mengelus pipiku, membuat tubuhku bergetar ketakutan.

“Jangan sampai hal tadi bocor ke siapapun, paham!” Bentaknya.

Aku mengangguk, sebulir air mata mengalir di pipiku membuat Bara menatap lekat padaku.

"Cantik juga si culun," batinnya.

Tangisanku semakin menjadi ketika tangan Bara dengan lancangnya mengelus pahaku, hingga aku sontak bereaksi mundur beberapa langkah.

Namun aku kalah cepat dan tenaga dari Bara, tak peduli akan tangisanku Bara menarik rambutku hingga aku sedikit memekik, lalu Aya memegangi kedua tanganku.

Hingga tangan Bara sekali lagi dengan lancangnya menggapai pangkal pahaku.

“Awas saja kalau kamu berani melawanku, atau aku tak segan-segan membuatmu menjerit kesakitan,” ucapnya dengan menekan milikku.

Aku segera berlari dengan air mata yang tak kunjung berhenti. Tak tahu harus berlari kemana dan mengadu pada siapa atas pelecehan Bara. Hingga aku sampai pada taman belakang sekolah, dan menumpahkan semua isi hatiku lewat tangisan.

“Tuhan, apa yang harus ku lakukan untuk mengakhiri ketidak berdayakanku?” Rintihku, berharap bisa mengetuk hati Yang Maha Kuasa dan memberi pertolongan bagiku.

⚘⚘⚘⚘⚘

Hingga pada tahun terakhir masa SMA, seorang Gibran datang dan menambah kekacauan hidupku.

Suatu hari, sekolah sedang dihebohkan oleh berita jika putra pemilik sekolah akan bersekolah di sana mulai hari ini.

Aku menatap pada Naila, bertanya apa yang terjadi hingga pagi ini dirinya lolos dari kata-kata mutiara berisi hinaan untuknya dari Aya.

Hingga jam istirahat tiba, kantin sangat ramai, ku percepat langkahku, berharap semoga kantin yang ramai membawa berkah rejeki yang lebih untuk Bundaku.

“Hai Gibran,” sapa Aya dengan manja.

“Heh, Gibran? Pria mana yang berhasil disapa lebih dulu oleh Aya selain Bara?” Pikirku.

Namun tanpa sengaja kedua netra kami bertemu, netraku dan netra pria bernama Gibran.

“Sherina... makanan gue mana beg*!” bentak Aya mengejutkanku.

Aku mengangguk dan segera berlari menyiapkan makanan untuk Aya dan Lena. Tentu Naila senantiasa membantuku.

Dari Naila, Sherina akhirnya mengetahui jika Gibran pindah ke London 5 tahun yang lalu. Gibran, Bara, dan yang lainnya sudah berteman sejak kecil.

⚘⚘⚘⚘⚘

Sejak kehadiran Gibran, Aya tidak lagi terlihat mendekati Bara secara terang-terangan. Namun hari ini sepertinya nasib buruk sedang mengikuti kemana aku pergi.

Setelah tadi Aya dan Lena mempermalukanku dengan menyuruhku memunguti uang koin di sepanjang koridor kelas, kini aku kembali dihadapkan pada situasi yang sama seperti beberapa bulan lalu.

Aku kembali mendengar suara aneh yang sama dari balik bilik toilet. Seketika tubuhku menegang, tiba-tiba saja tubuhku kaku, aku mengingat kembali kejadian beberapa bulan lalu saat Bara melecehkanku.

Beruntung, seseorang menarikku keluar dari sana, tepat sebelum dua orang yang sedang berbuat dosa menyadari kehadiranku.

Gibran, orang itu adalah Gibran. Dia yang menolongku pergi dari tempat itu, namun tanpa ku sadari Gibran membawaku ke dalam mobilnya, lalu melajukannya entah kemana.

Sedang aku hanya bungkam dan sesekali mengusap pipiku yang dilinangi air mata. Aku bahkan tak sadar ketika Gibran melepas kacamataku, dan mengusap lembut air mataku dengan sapu tangannya.

“Ternyata dugaanku benar, kamu adalah dia. Apa yang terjadi hingga kamu menjadi seperti ini,” batin Gibran saat Ia akhirnya berhasil membuktikan sesuatu yang menjadi tanda tanya besar baginya.

“Ada apa? Kenapa lu menangis seperti ini? Apa lu suka sama pria itu hingga menangisinya seperti ini?” tanya Gibran.

Aku segera menggeleng, menepis semua dugaan Gibran. Lalu mengalirlah ceritaku tentang apa yang dilakukan Bara dan Aya padanya.

“Bangs*t, gue akan menghajarnya,” ucap Gibran dengan emosi.

Semakin emosi ketika aku menghalanginya.

“Oke, gue gak akan meributkan hal itu. Tapi mulai dari sekarang Lu adalah pacar gue, dan gue gak nerima penolakan,” tegas Gibran.

“Sekali lu nolak, gue pastiin hidup lu dan keluarga lu bakalan hancur. Mulai sekarang hanya omongan yang keluar dari mulut gue yang harus lu patuhi. Gue pastiin gak ada lagi orang yang berani ngebully lu,” jelas Gibran sekali lagi.

⚘⚘⚘⚘⚘

Tak bisa menolak, kini kehidupanku bagai keluar dari kandang macan dan masuk ke mulut buaya.

Kehebohan terjadi ketika seantero sekolah melihat seorang Gibran Al-Fatih membuka pintu mobil untuk seorang gadis culun sepertiku.

Di tambah Gibran yang selalu menggenggam tanganku dengan posesifnya.

Kemesraanku dan Gibran membuat berbagai kutukan, hinaan, sumpah serapah untukku dari seluruh siswi di sekolah sudah bisa dipastikan. Namun yang pasti mereka melakukan hal itu di belakangku, tak ada yang cukup berani mengusik kekasih seorang Gibran termasuk Bara, Aya, maupun Elena.

Meski awalnya ragu tapi akhirnya Naila percaya jika Gibran benar-benar serius denganku setelah melihat betapa posesif dan perhatiannya Gibran padaku ketika kami sedang berkumpul di sebuah club malam.

Namun, dibalik semua sikap malaikat yang ditunjukkan Gibran di hadapan orang lain, Gibran tak ubahnya seorang iblis yang menyamar dalam sosok manusia.

Gibran yang tinggal seorang diri di apartemen menjadikanku pembantu di sana.

Jika orang lain memuji Gibran karena perhatiannya yang mengantar-jemput kekasihnya, hal itu palsu. Faktanya aku harus rela berlari dari rumahku ke apartemen Gibran saat langit bahkan masih gelap agar kami tidak terlambat ke sekolah. Semua sarapan dan pakaian disiapkan olehku.

Jika orang lain memuji Gibran karena selalu menemaniku dimanapun, hal itu palsu. Faktanya kakiku yang harus mengikuti kemana langkahnya, mataku hanya boleh menatap padanya, dan waktuku hanya untuknya.

Jika orang lain memuji kesabaran Gibran sebab tak pernah melihatnya marah padaku, percayalah hal ini juga palsu. Faktanya, ketika marah pria itu bahkan bisa menghancurkan seluruh barang-barang di apartemennya saat menuduhku berbohong dan pergi bersama teman pria lain.

Begitulah aku menjalani hubungan palsu ini. Yang terparah adalah ketika malam pesta promnight.

Gibran memaksaku untuk tampil sebagai diriku yang sebenarnya. Sherina yang memiliki paras jelita dengaan bola mata berwarna abu kebiruan.

Penampilanku mengundang kagum semua orang, dan tak sedikit dari teman pria kami mendekatiku, termasuk Bara.

Hal ini mengundang kesempatan bagi Aya untuk memfitnahku pada Gibran dan rencananya berhasil.

Malam itu, di apartemen yang selama 10 bulan ini menjadi rumah keduaku, tempat tawa, tangis, cemburu, bahkan mungkin cinta akan menjadi kenangan yang terjadi di apartemen itu.

Dan saat ini, untuk pertama kalinya Gibran melampiaskan kemarahannya padaku.

Melampiaskan kemarahan yang biasanya Ia luapkan pada benda mati di sekitarnya, kini semua beralih ke tubuhku.

Entah sudah berapa helai rambutku yang rontok karena dijambak olehnya, entah bagaimana bentuk gaun yang sempat mengubahku menjadi cinderella dalam beberapa jam, dan sudah bisa ku pastikan wajahku kini penuh lebam dengan bibir yang mengeluarkan darah di sudutnya.

Itulah yang kudapatkan setelah menjadi sasaran luapan emosi Gibran. Aku sudah memprediksi hal ini mungkin saja terjadi padaku, tapi dengan bodohnya aku bertahan dan berharap suatu saat Gibran akan membuka hatinya untukku.

Sakit di tubuhku memang sakit, tapi hatiku lebih terasa sakit sebab dengan bodohnya hatiku mulai menikmati setiap momen bersama pria iblis seperti Gibran.

Sebelum mataku terpejam sempurna, ku lihat tatapan Gibran yang penuh kebencian padaku.

“Jangan berharap lebih dariku, kau hanyalah kekasih palsu dan ini akibatnya jika melanggar aturanku!”

Bentakan Gibran masih samar-samar ku dengar sebelum akhirnya seluruh pandanganku gelap dan aku tak sadarkan diri.

⚘⚘⚘⚘⚘

Pagi ini aku sadar setelah pingsan semalaman.

Wajah, sudut bibirku, dan beberapa bagian tubuhku yang lain sudah tertutupi plester luka.

Kenyataan pahit jika pagi ini Gibran hanya mengantarku pulang tanpa berucap sepatah katapun. Tanpa penyesalan atau rasa bersalah.

Bagai dunia belum puas tertawa dengan kondisikiu saat ini, baru saja ponselku ku aktifkan dan sebuah pesan mengejutkan yang menyapaku.

Tanpa menghiraukan rasa sakit di tubuhku. Segera aku menuju tempat yang disebutkan di pesan itu yaitu rumah sakit.

Yang kutemui ketika aku tiba di sana, Bundaku dengan tubuh penuh luka, serta ayah dan adikku yang tertutupi kain putih.

Air mataku luruh, hampir saja aku terjatuh jika seorang pria berjas putih tak menolongku.

Pasha, nama yang terasa familiar, sempat kubaca pada name tag yang Ia kenakan.

Aku kehilangan ayah dan adikku untuk selamanya.

Dari Naila akhirnya kuketahui jika malam itu keluargaku hendak mencariku karena tak bisa dihubungi. Dan berakhir mengalami kecelakaan.

“Ini salahku, ini salah Gibran,” pikirku picik.

Lalu fakta lain, saat sadar Bunda mengungkap jika mereka ditabrak, bukan kecelakaan tunggal. Namun kebenaran infromasi dari bunda diragukan oleh pihak berwajib sebab bunda dinyatakan depresi.

Aku merasa semesta menolakku di tempat ini. Aku merasa semua yang ada di tempat ini ingin menjatuhkanku.

Akhirnya aku memilih untuk pergi. Dengan tekad suatu saat nanti mereka yang menolak mendengarkan suaraku saat ini , nanti akan ku pastikan mereka akan mendengarkannya. "Mereka harus," tekadku.

⚘⚘⚘⚘ to be continue ⚘⚘⚘⚘⚘

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!