Nesha Himalaya Ayesha atau biasa dipanggil Shasha merupakan seorang siswi SMA. Dia cantik, pintar dan menarik sehingga membuat dirinya menjadi primadona di sekolahnya. Shasha sendiri memiliki hobi yaitu membaca sehingga dia selalu menghabiskan waktunya di perpustakaan sekolah. Ada kalanya, dia juga pergi ke toko buku sekedar update informasi novel yang sedang laris atau yang baru rilis.
Shasha yang terlalu fokus membaca tidak menyadari bahwa ada tiga pasang mata yang sedang mengawasinya dari arah yang berbeda.
Sebenarnya tak hanya kali ini saja ada beberapa pasang mata yang mengincarnya namun ini sudah kesekian kalinya jika dia sedang sendiri dan berada ditempat umum.
Ketiga pasang mata tersebut memiliki niat yang berbeda-beda. Ada yang berniat untuk melindungi, mencelakai bahkan ada yang ingin memanfaatkan Shasha. Dan seseorang yang ingi memanfaatkannya dia tak lain adalah Abra.
Kesempatan Abra terbuka lebar saat Shasha tak sadar dan terlalu fokus untuk mengambil buku di rak paling tingg, dia mencoba meraih buku tersebut. Abra yang melihat segera mendekati dan membantu untuk mengambil buku yang dimaksud Shasha.
"Apa ini novel yang kamu maksud?" ucap Abra yang tiba-tiba muncul di dekatnya.
"Iya, terimakasih bantuannya." ucap Shasha cuek karena dia penasaran dengan jalan cerita pada novel yang ada ditangannya.
"Kamu sendiri disini?" tanya Abra mencoba mencairkan suasana.
"Gak!" jawabnya singkat.
"Lalu kenapa kamu sendirian disini?"
"Disini ada banyak orang jadi aku tak merasa sendiri."
Abra yang mendengar jawaban itu mencoba tetap tersenyum meski hatinya kesal.
"Kamu benar-benar menarik, aku suka wanita seperti dirimu."
Shasha yang mendengar itu tak menanggapi dan berlalu meninggalkan Abra untuk pergi ke kasir membayar novel yang dibelinya.
Abra menyusul Shasha dan menerobos antrian Shasha dan itu membuat Shasha jengkel karena Abra membayar semua novel yang dibeli Shasha.
Setelah dari kasir dengan malas Shasha menghampiri Abra yang berjalan menuju ke food court. Sadar dirinya sedang dikejar Abra melambatkan langkahnya.
"Mas... Mas... tunggu, Mas!" panggil Shasha sambil berlari mengejar Abra.
Abra berhenti "Kamu memanggilku?"
"Hem, ini aku kembalikan uangnya," ucapnya sambil membuka dompet.
Abra tak sengaja melihat isi dompet Shasha.
"Wow lumayan tajir ni bocah gak salah aku mendekati dia." ucapnya dalam hati
"Ini mas, kembalinya mas ambil saja. Aku tak biasa dibayarin oleh seseorang yang belum aku kenal."
"Kalau begitu kita kenalan saja, ayo ikut aku ke food court. Disana kita bisa saling berkenalan."
"Tidak, terimakasih. Karena aku harus bimbel satu jam lagi. Ini uangnya." tolak Shasha sambil menyerahkan uang
Abra tak ingin berdebat dengan wanita di depannya, segera dia menggandeng tangan Shasha sampai menuju food court. Ditariknya kursi agar Shasha duduk tepat didepannya.
"Karena kamu mau bimbel maka makanlah dulu, perut jangan sampai kosong nanti kamu sakit. Jika kamu sakit maka hari-hariku akan hampa."
"Kamu sehat, Mas? hampa bagaimana? kita tak saling mengenal bahkan baru pertama kita bertemu."
"Tidak, ini bukan pertemuan pertama kita tapi ini pertemuan kita untuk yang kesekian kalinya."
Shasha yang bingung mengernyitkan keningnya, "maksudnya bagaimana ya?"
"Berapa kali dalam seminggu kamu datang ke toko buku?"
"Tak tentu."
"Paling banyak?"
"Tiga kali dalam seminggu."
"Yang pasti dalam seminggu itu hari Sabtu adalah hari favoritmu untuk membaca disini, bukan?"
"Hem."
"Jadi, ayo sekarang kita saling mengenal dan nanti aku yang akan mengantarmu ketempat bimbel."
Kini mereka berdua saling memesan makan dan berbincang bahkan Abra sudah mulai meminta nomor Shasha.
Tak sadar bahwa perbincangannya dengan Abra membuatnya terlambat 1,5 jam untuk bimbel.
"Haduh gawat, sudah terlambat aku."
"Terlambat apa?bimbel?"
"Iya, semua ini gara-gara kamu Mas!"
"Maaf, aku tak bermaksud tadi kita berdua keasyikan bercanda."
"Lalu bagaimana dengan tugas belajarku, besok harus dikumpulkan?" gerutu Shasha sambil ingin menangis.
"Boleh aku lihat pekerjaan rumahmu?"
Shasha menyodorkan pekerjaan rumahnya. Abra mulai mengerjakan dengan cepat tanpa ada kebingungan sama sekali. Dalam waktu 30 menit dia sudah selesai mengerjakannya.
"Wow... Hebat, bagaimana kamu bisa Mas?"
"Aku pernah menang juara olimpiade sains Se- Indonesia, jadi model seperti ini sangat mudah bagiku."
"Pernah menang olimpiade sains.. Wow keren!"
"Makanya kamu tak akan rugi jika berpacaran denganku. Kamu cantik dan aku pintar jadi pasangan yang menakjubkan, bukan?" jelas Abra dengan penuh rasa percaya diri
Shasha yang tak menanggapi ucapan Abra, dia mencoba untuk tenang agar wajahnya tidak merah padam.
"Mas, aku ini masih kecil."
"Lalu kenapa? cinta itu tak perlu melihat umur." ucap Abra sambil mengambil KTP nya kepada Shasha. "Ni, kamu lihat sendiri usiaku baru 20 dan aku yakin usiamu masih 18."
Shasha menahan tawanya karena melihat foto KTP Abra yang tampak lebih tua dari aslinya
"Ada yang lucu?" tanya Abra sambil mengernyitkan dahinya.
"Tidak, ucap Shasha tanpa melihat kearah Abra karena dia fokus dengan pekerjaan rumahnya.
"Jadi itu nama kamu, kenalkan aku Abra Giovani. Kamu bisa memanggilku Abra. Aku sudah menuliskan no handphone ku di halaman belakang buku mu ini." kata Abra sambil menutup buku Shasha.
"Baiklah, apa ada yang ditanyakan dari tugasmu ini? jika tidak ada aku pamit dulu. Semoga kita bisa bertemu lagi dengan status yang berbeda. Aku ada janji dengan temanku, kalau begitu ku tinggal dulu" ucap Abra sambil berdiri dari duduknya.
Pertemuan dan perkenalan dengan Abra seolah menjadi candu bagi Shasha, entah apa yang ada dibenaknya. Shasha ingin sekali bertemu dan meminta bantuan mengerjakan pekerjaan rumahnya bersama Abra. Padahal dia dan teman-teman belajarnya berdiskusi dengan guru les di tempat bimbel.
Shasha mulai membuka dan mencari nomor yang ada pada bukunya kemudian mengirim pesan kepada Abra. Mereka bertemu untuk kedua kalinya dan begitu selanjutnya hingga mereka sering bertemu untuk yang kesekian kalinya.
Sudah hampir satu bulan mereka sering bertemu dengan rentang interval yang sangat sering dan membuat Shasha merasakan sesuatu yang berbeda didalam hatinya. Kelembutan, perhatian dan sikap manis serta kesabaran Abra membuatnya luluh lantah.
Ditambah jarak umur diantara mereka berdua membuat Shasha merasa bahwa Abra lelaki yang selama ini dicarinya yaitu sesuai dengan kriterianya tinggi, tak terlalu tampan, pintar, dan memilliki jarak umur lebih tua dari dirinya.
Hush,apa yang sedang aku pikirkan. Tak mungkin Shasha, tak mungkin! dirimu sudah memiliki kekasih yang tampan, baik, sopan dan perhatian kepadamu!, batin Shasha berbicara pada dirinya sendiri
Itensitas dirinya bertemu dengan Abra membuatnya justru jarang untuk bertemu dengan Dion kekasihnya. Dan ini sudah hampir satu bulan Dion yang selalu menyempatkan dirinya untuk mengajak Shasha keluar setiap malam Minggu, mengantar jemput Shasha pulang sekolah dan bimbel sudah tidak lagi.
Dion tak menaruh curiga kepada Shasha karena dia amat sangat mencintai dan percaya kepada Shasha bahwa kekasihnya itu hanya mencintai dirinya seorang. Mereka berdua sudah dinobatkan menjadi 'The romantic and the best couple of this years'. Meski sekolah mereka berbeda namun masih dalam satu komplek sehingga semua orang tahu bahwa Shasha milik Dion dan Dion milik Shasha.
Malam Minggu kali ini Shasha tak lagi pergi ke kafe atau food court bersama Abra melainkan kini mereka berada disebuah bukit yaitu bukit bintang dan ini pertama kalinya Shasha datang ketempat ini.
"Kak, kenapa kita kesini? bukannya lebih nyaman kita ditempat biasa?" tanya Shasha heran.
"Sha, kakak akan selalu merasa nyaman di manapun kakak berada asalkan itu bersamamu." ucapnya sambil memandang wajah Shasha.
"Apaan ka, stop memandangku seperti itu, aku tak biasa kak!"
"Kalau begitu biasakanlah." ucapnya sambil mengambil tangan Shasha yang berada di kursi taman.
"Apaan ka lepasin jangan seperti ini aku tak nyaman," ucap Shasha lirih
"Sha.. Apa kamu mau menjadi kekasihku?"
Deg
Rasanya jantung Shasha berhenti sementara karena dia tak menyangka akan secepat ini dan jika dia menerimanya maka dia akan menjalin hubungan terlarang.
"Bagaimana?" tanya Abra yang tak sabar mendengar jawaban Shasha.
Saat akan menjawab terdengar suara yang begitu nyaring, yaitu suara handphone Abra. Abra menerima panggilan tersebut menjauh dari Shasha. Shasha melihat dengan keheranan, mengapa harus jauh-jauh menerima telfonnya, padahal dia tak mungkin juga menganggu. Dia sendiri tak kuasa untuk membuka handphonenya yang sedari tadi dapat dirasakan telah banyak ada notif pesan masuk.
Dion : "Honey..kamu dimana?"
Dion : "Kita jalan yuk, sudah lama kita tak bertemu."
Dion : "Honey... Kamu sudah tidur ya?"
Dion : "Atau kak Eza melarang mu keluar?"
Dion : "Yasudah kita ketemu besok Senin ya, aku tunggu di perpustakaan."
Dion : ❤️ u Acha
Setelah membaca pesan yang dikirim Dion dia merasa bersalah dan jahat. Dion yang baik, sopan dan lembut dalam tuturnya tak pernah sekalipun membentak dirinya meski saat itu Shasha emosi karena sedang datang bulan.
"Dion...maafkan aku. Aku sendri tak mengerti kenapa hatiku menjadi berubah." ucap Shasha lirih.
Seketika dari arah belakang ada yang membelai rambutnya
"Sha, bagaimana?"
"Apa?" ucap Shasha bohong.
Abra mulai berucap dan mengulangi kata-katanya tadi. Sebenarnya dia merasa jengkel karena dia merasa Shasha terlalu jual mahal.
Entah apa yang membuat mulut Shasha berucap iya padahal otaknya melarang.
"Oke.. Sekarang kita jadian. Ayo kita pulang, sekarang sudah malam." ucap Abra sambil melihat jam yang ada ditangannya.
Setelah jadian Abra meminta agar Shasha mengubah panggilan namanya. Shasha bingung harus bagaimana memanggil orang yang lebih tua jika menjalin kasih. Tanpa pikir panjang Shasha memanggilnya dengan sebutan kak.
Shasha hanya menurut sambil melihat jam ditangannya.
"Tapi kak.. Ini baru jam tujuh?"
"Bagi kakak ini malam dan tak boleh anak kecil keluyuran malam-malam."
"Tapi, aku bukan anak kecil kak?aku sudah SMA."
Mereka berdua di dalam perjalan pulang saling berdebat. Bagi Shasha ini mengasyikkan. Hubungan yang ada perdebatan dan perbedaan umur sehingga tidak monoton dijalani.
Tiba dirumah Shasha membuka handphonenya kembali dan membaca status Dion. Terlihat dari status Dion yang memasang foto mereka berdua dengan tulisan Miss u.
Kembali Shasha merasa bersalah karena dia telah menerima cinta Abra. Padahal perjuangan kedua lelaki tersebut jika dibandingkan dalam mendapatkan Shasha adalah Dion pemenangnya karena butuh waktu satu tahun untuk menaklukkan hati Shasha.
Resmi berpacaran dengan Abra membuat Shasha menjadi gadis yang paling jahat karena telah mempermainkan dua hati terutama hati Dion.
Setiap kali jam istirahat Dion selalu menyempatkan untuk bertemu Shasha. Lega hatinya jika sudah bertemu sang kekasih namun lain halnya dengan Shasha. Dadanya justru terasa sesak karena dari lubuk hati terdalam tak terima bahwa dirinya tega menduakan Dion.
Shasha sendiri berniat untuk memutuskan hubungannya dengan Dion namun menunggu saat yang tepat agar keputusannya tak terlalu menyakiti hati Dion.
Kini sudah menginjak satu minggu Shasha menjalani hubungan terlarang dengan Abra. Tampak perbedaan sikap Abra. Dulu Abra selalu menjemput Shasha namun sekarang sebaliknya. Abra selalu beralasan tentang mobil atau motornya yang rusak dan sedang dalam perbaikan.
Semua alasan yang Abra katakan menurut Shasha sangat aneh dan terkesan monoton.
Tak hanya itu, saat ini Abra tidak lagi mengeluarkan uang jika mereka keluar dan makan bersama padahal dengan status Shasha yang masih pelajar dan status Abra yang masih pengangguran kelas mapan seharusnya mereka saling bergantian.
Rasanya ingin sekali protes, namun belum juga protes Abra sepertinya mulai sadar dengan ketidaknyamanan yang dirasakan Shasha.
"Sha, kartu ATM DEBIT dan KREDIT ku sedang di blokir orang tuaku, jadi untuk sementara kamu yang bayar."
"Kenapa kak?" tanya Shasha spontan
"Entah, mungkin mereka merasa akhir-akhir ini diriku terlalu boros lagipula aku disini tinggal bersama pamanku. Maka tak seharusnya biaya pengeluaran ku banyak."
"Iya kak.. Gak papa."
"Kamu kecewa ya? Aku tak sesuai harapanmu yang mapan?" tanya Abra sengaja memancing perasaan Shasha
"Oh gak kak, bukan itu maksud Shasha,"
"Tapi sepertinya benar, kamu kecewa."
"Gak kak, kenapa berfikir gitu?"
"Kita ini pasangan setidaknya kita seperti merasakan chemistry satu sama lain dan aku merasakan kekecewaan mu itu," ucap Abra asal.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Saat di sekolah Shasha terus berusaha bermain kucing-kucingan dengan Dion. Dia selalu menghindari dan bersembunyi dari pandangan Dion. Dia tidak lagi melewati taman tempat biasa mereka bertemu. Bahkan Shasha juga merubah tempat favoritnya dari sebuah perpustakaan menjadi ruangan OSIS. Tetapi, jika ruangan OSIS sedang ramai dirinya memilih kembali ke kelas sambil memasang head set dan membaca, tak lupa pula me nonaktifkan ponsel agar tak ada yang mengganggunya.
Bel mulai berbunyi, artinya jam istirahat dimulai.
Dion segera berjalan keluar dari kelasnya dan menuju ke sekolah Shasha, dirinya berjalan menyusuri parkiran untuk mencari Shasha. Dion tidak menemukannya, dicarinya kembali ke taman belakang dan hasilnya masih sama. Kemudian ke perpustakaan dan sama. Terakhir dia mencari Shasha di kelas, hasilnya pun sama. Saat Dion hendak kembali dengan perasaan kecewa dari arah belakang ada yang menepuk bahunya
"Cari Shasha?" tanya Wisnu yang merupakan ketua kelas Shasha
"Heem, apa kamu melihatnya?"
"Setelah bel sepertinya dia berjalan ke arah ruang OSIS. Mungkin dia disana."
"Oke, thanks ya Nu."
Saat berjalan menuju ruang OSIS dari sebrang dia melihat Shasha yang berjalan dengan cepat menuju ke arah kamar mandi.
Dion yang melihat itu hanya dapat tersenyum. Dengan melihat Shasha berjalan di seberangnya membuat Dion bahagia. "Mungkin dia sedang datang bulan, sehingga menghindari ku. Kamu memang unik tapi aku suka," ujar Dion lirih
Lega walau hanya sekilas melihat. Tak terasa bel istirahat kembali berbunyi, artinya jam istirahat telah usai. Dion pun kembali ke kelasnya.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Sudah enam bulan lamanya Shasha mencoba untuk menghindari Dion, meski kadang berhasil dan kadang tidak. Keadaan itu yang membuat dirinya semakin tersiksa karena Dion sama sekali tak menunjukkan sikap marah kepada dirinya malah Dion makin gemas dengan sikap Shasha akhir-akhir ini.
Shasha menjadi bingung dan frustasi memikirkan caranya untuk melepas Dion. Bahkan dia mencari-cari di internet, tak hanya itu dia mulai mencari tahu masa lalu Dion. Itu semua tak berarti. Semua cara-cara yang diajarkan di internet tak berlaku untuk diterpakan kepada Dion, sedangkan untuk mencari tahu masa lalu Dion tak dia dapatkan hanya muncul bahwa Dion merupakan seorang atlet basket.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Dug... Dug...Dug... (suara bola terpantul dari atas ke bawah)
Dion sedang bermain basket. Permainannya saat ini bukan karena dia sedang latihan melainkan dia sedang tersiksa dengan sikap Shasha yang mulai berubah. Dia berada di tempat favorit ini selama berjam-jam hingga kesal dan kecewanya hilang. Tempat favorit ini adalah sebuah lapangan basket indor yang dihadiahi ayahnya.
Sebuah lapangan olahraga indor dengan ukuran tidak terlalu besar namun begitu sangat nyaman. Disana dia melampiaskan rasa pahit yang dia rasakan. Berulang kali melakukan lemparan shooting namun tak ada satu bola yang masuk ke keranjang.
Kegiatan itu sudah dia lakukan hampir enam bulan terkahir ini. Fisiknya yang kelelahan membuat dirinya terlihat lusuh dan capek. Dia berharap Shasha akan empati dengan perubahan yang terjadi pada dirinya namun harapannya salah.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Tidak terasa hubungan Shasha dan Abra sudah berjalan enam bulan. Abra jarang menghubungi dan menanyakan kabar. Dia hanya mengajak Shasha jalan jika ada sesuatu yang diinginkannya.
Terbukti, selama seminggu ini Shasha merasa Abra kembali seperti saat sebelum dirinya meminta Shasha menjadi pacarnya. Perlakuan yang hangat membuat dia terhipnotis dan yakin bahwa Abra sudah berubah baik. Ternyata itu semua hanyalah topeng.
Tak hanya itu, saat akhir pekan Abra mengajaknya keluar. Sampai di sebuah mall Abra segera mengajak Shasha ke sebuah gerai outlet baju branded. Satu persatu baju sudah dicobanya hingga Abra menjatuhkan pilihannya dan Abra berbisik " Yank, bayarin ya? uang kiriman mama aku pakai untuk perbaiki motorku. Kemarin kan aki motorku rusak."
Shasha hanya bisa mengangguk dengan rasa hati yang tak ikhlas.
Tak hanya itu saja sikap Abra lainnya adalah tentang gaya berpakaian. Abra kerap membandingkan gaya berpakaian Shasha dengan para wanita yang menggunakan pakaian kurang bahan. Dia berharap agar Shasha memakai pakaian seperti itu.
Shasha tak kuasa dan habis pikir dengan kemauan Abra, padahal seharusnya yang namanya kekasih tidak rela jika harus berbagi kenikmatan dengan melihat tubuh orang yang disayanginya. Shasha tak menggubris keinginan gila tersebut justru dia merasa kesal dan ingin rasanya berteriak dasar orang gilaaaaaaaaaaa
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Kini hubungan mereka sudah berjalan hampir satu tahun. Kehidupan Abra yang belum jelas membuat Shasha tak tega untuk mengakhiri hubungannya. Ini karena Abra sering sekali bercerita tentang masalah kehidupannya. Dia yang merupakan seorang anak broken home, kedua orang tuanya bercerai saat Abra masih duduk di bangku sekolah dasar. Karena pengaruh itulah membuat Abra menjadi tempramen.
Sikap tempramen Abra ditunjukkan saat mereka sedang perjalan ke sebuah mall. Tiba-tiba hujan turun tak begitu lebat hanya gemericik air yang turun saat itu, sehingga Abra tetap melajukan motor tanpa menggunakan jas hujan. Kebetulan mereka tinggal beberapa meter sudah sampai mall. Segera Abra asal memarkirkan motor secara tergesa-gesa dan mencari tempat berteduh di area penitipan helm sedangkan Shasha yang masih tertinggal tetap tenang karena dia harus memarkirkan motornya dengan baik kemudian segera menyusul Abra.
"Kak, tunggu aku, jangan cepat-cepat." teriak Shasha manja.
"Kamu yang terlalu lambat!"
"Aku merapikan motornya kak tadi kakak lupa masih meninggalkan kunci di motor."
Lalu mereka berjalan menuju ke pintu mall. Shasha yang kedinginan ingin memegang lengan Abra.
"Apaan sih,lepas! apa kamu tak sadar bajumu itu basah!?" omel Abra sambil menghempaskan tangan Shasha.
"Iya, Shasha kedinginan Kak."
"Bodoh! makanya jika punya otak dipake itulah kenapa tadi aku segera lari ei kamu yang lambat alasan parkir motor karena gak rapi, kunci ketinggalan atau apalah!"
Shasha merasa malu karena Abra berucap dengan sangat keras. Ingin rasanya dia menitihkan air mata. Namun dia tahan.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Semenjak kejadian itu Shasha berusaha untuk membatasi dirinya agar tidak bertemu dengan Abra setiap minggu. Tak disangka bahwa dia menerima pesan dari Abra, bahwa besok hari Minggu akan menjemput dirinya.
Minggu telah tiba, Shasha yang sudah berdiri di mini market menunggu kedatangan Abra
"Sha! maaf terlambat."
"Tak apa kak, kita mau kemana kak?"
"Ada. Kamu ikut saja."
Kini mereka berada di sebuah rumah besar dan ternyata itu adalah rumah paman Abra
"Ayo masuk, ini rumah paman ku." ucap Abra sambil membukakan pagar rumah.
"Kak..buat apa kita kemari?"
Abra hanya diam dan tetap melanjutkan masuk ke rumah.
"Kenapa tampak sepi?" tanya Shasha sambil celingukan mencari seseorang dari dalam rumah.
"Hari ini sampai besok tak ada orang dirumah, jadi sekarang kita habiskan waktu disini saja."
"Kak, kita keluar saja. Rasanya lebih nyaman jika kita menghabiskan waktu di kafe." ucap Shasha dengan takut karena dia merasa ada yang tak beres dengan Abra.
Shasha yang sudah merasa curiga dengan kelakuan Abra mulai mencari ide bagaimana dapat dia keluar dari rumah ini. Dia melihat sekeliling rumah dan akhirnya dia berhasil menemukan ide yaitu masuk kedalam kamar yang paling luas yang dipenuhi dengan barang-barang.
Abra yang saat itu sedang sibuk mengunci beberapa pintu utama kehilangan jejak Shasha padahal saat itu dia sudah tersenyum licik dan sudah berfantasi pikirannya.
Sudah beberapa menit dia masih belum dapat menemukan Shasha, rasanya ingin marah karena dia merasa dipermainkan oleh Shasha. Abra berfikir bagaimana cara menemukan Shasha, dia yakin Shasha masih ada didalam rumah ini karena tas Shasha yang masih tergeletak di kursi ruang tamu.
Abra mulai menekan tombol hijau untuk menelfon Shasha dan gotcha dia menemukan keberadaan Shasha. Shasha sendiri lupa tidak me non aktifkan nada deringnya. Mati aku!, Bagaimana ini?
Terdengar langkah seseorang berjalan ke arah gudang
"Shasha... Shasha... Kamu sedang bermain-main dengan ku ternyata." ucap Abra dengan memanjangkan kata-katanya.
"Kamu mau keluar sendiri atau aku paksa keluar?" ancam Abra dengan suara berat.
"Oke.. Jika itu kemauan mu jangan memancing ku untuk melakukan tindakan yang tidak pernah kamu bayangkan!" geram Abra
Krekkkk....(pintu mulai terbuka)
Hati Shasha berdetak dan berdegup tak karuan saat terdengar suara pintu terbuka degup jantungnya naik berkali-kali lipat
Deg... Deg .. Deg .. Deg ..
Hatchi..chi... (bunyi suara bersin Shasha)
"Hahaha... Hahaha... Mau lari kemana, Sha? Aku sebenarnya hanya ingin melampiaskan keinginanku yang tertunda tapi kamu malah memancing emosiku."
Dan "Aw... Aw....," teriak Shasha karena dia merasakan seseorang menarik rambutnya dari belakang.
"Kena kamu! Coba tadi kamu menjadi gadis manis tentunya kamu tak akan ku sakiti seperti ini, bukan?"
"Kak, lepaskan? ini benar-benar sakit kak," pinta Shasha sambil menangis
"Oke, akan aku lepaskan dengan satu syarat yaitu penuhi kemauan ku tanpa penolakan."
Shasha masih pura-pura tidak mengerti dengan ucapan Abra
"Apa kak?aku tak paham?"
"Layani aku saat ini juga!" teriak Abra sambil mencengkram tangan kanan Shasha dan menarik kuat rambut Shasha.
Shasha meronta-ronta kesakitan dia pun berusaha berontak agar cengkraman Abra dapat lepas. Shasha mulai mengigit bagian apa saja yang dapat digigit dari tubuh Abra dan "aduh" teriak Abra keras namun tetap mencengkram tangan Shasha dengan tangan satunya.
Kini Shasha sudah berada di kursi ruang tamu dengan wajah kacau sedangkan Abra sudah berada di atas Shasha dan mencoba memaksa Shasha untuk membuka mulutnya agar mau berciuman dengan dirinya.
Shasha tetap menutup mulutnya karena ini adalah pertama kalinya dia diperlakukan dengan hina dan paksa oleh lelaki.
Beruntungnya tiba-tiba terdengar bunyi suara mobil yang berhenti di depan rumah dan mulai membunyikan bel.
Ting tong...Ting tong.
Ting tong...Ting tong.
Abra mulai panik dan bingung karena tamu tersebut dari tadi menekan bel tanpa henti.
Emosi rasanya. Hingga dia mau tidak mau beranjak dari tempat tersebut dan keluar menemui tamu tersebut.
"Apa anda keponakan dari bapak Anton?" tanya tamu tersebut
"Benar, ada perlu apa!?" tanya Abra balik.
"Saya diminta untuk membersihkan gudang rumah ini."
Abra yang tak tahu dengan urusan sang paman mulai menghubungi pamannya.
"Oke segera bersihkan!"
Abra mulai membukakan pintu dan muncul seorang pria tadi keluar dari mobil dan mulai mengerjakan pekerjaan pura-pura tersebut.
Shasha mulai membaca situasi dan memanfaatkan kesempatan ini. Segera dia keluar dari rumah laknat tersebut menuju mobil sedangkan Abra yang fokus melihat pekerjaan orang tersebut karena dia mendapat pesan dari pamannya agar mengawasinya
Dilain tempat seorang wanita yang tak lain adalah detektif yang disewa seseorang untuk selalu melindungi Shasha berhasil menyuruh orang lain masuk. Dan orang tersebut adalah orang bayaran profesional yang biasa digunakan untuk menyamar dalam menyelamatkan target. Dan kali ini tugas si profesional itu menjadi tukang bersih gudang, sedangkan untuk pesan antara Abra dan pamannya adalah si detektif tersebut yang menyadap kedua handphone tersebut.
Memastikan bahwa targetnya selamat dari gangguan maka si profesional mengulurkan waktu selama kurang lebih 45 menit kemudian pamit pulang. Sedangkan Shasha yang sudah bersembunyi di bangku penumpang bingung bagaimana cara keluarnya. Orang tersebut paham akan situasi Shasha namun pura-pura tidak sadar dengan keberadaan Shasha, dia hanya menepikan mobilnya di sebuah minimarket dekat rumah Shasha.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Setelah menemani dan mengantar seseorang yang membersihkan gudang keluar dari rumah segera dia mencari keberadaan Shasha. Lagi dan lagi dia harus mencari Shasha akan tetapi kali ini dia tak menemukan tas Shasha. Sadar sandal Shasha sudah tidak ada di rak sepatu segera dia mencoba mengubungi Shasha namun tak ada sahutan. Padahal biasanya jika dirinya telefon dengan segera Shasha mengangkat telfon dari dirinya.
Abra menyadari kesalahan pada dirinya. Dirinya lebih mementingkan nafsuh dibandingkan prioritas tujuan hidupnya yaitu memacari Shasha hanya demi sebuah materi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!