Blak! Pintu ruang meeting terbanting. Seorang wanita berparas ayu berdiri di garis pintu dengan percaya diri setelah menyentak semua orang di dalam ruangan.
Lampu paling terang menyorot lelaki paling tampan dan muda dengan tinggi 185an, yang terlihat menghentikan presentasi dan menatap ke arah si perempuan dengan nyalang.
Suara sepatu hak memecahkan keheningan mengambil alih perhatian semua orang. Pria yang yang sedang presentasi itu terlihat geram melihat perempuan berbalut gaun merah, mengalihkan fokus beberapa calon investornya yang tersenyum sambil mengedipkan satu mata memberi kode nakal.
"Maaf mengganggu Tuan-Tuan terhormat. Ijinkan saya meminta waktu sebentar." Lala berbicara dengan bapak-bapak yang hanya tersenyum seolah menebarkan pesona mereka.
Kemudian Lala melipat tangan di depan dada sambil memutar tumitnya. Entah mendadak merasakan aura kuat dari tatapan tajam si pemuda seperti tombak yang mengarah padanya.
"Keluar!" Kevin dengan suaranya yang tinggi, menggema ke seluruh ruangan. Wajah para investor langsung pucat pasi.
"Keluar? Lalu bagaimana denganmu?"
"Siapa? Aku? Berani kau!" Pemuda itu mendekati Lala dan menendang keras ke sepatu hitam berhak tinggi sampai terdengar rintihan.
"Anda mencampuri minuman saya dengan obat!" Lala mundur ke meja terdekat dan meraih kopi yang tadi dilihatnya.
Terlihat tangan lelaki itu melonggarkan dasi. Lala jadi mengamati setelan jas warna navi dan terus meyakinkan diri sendiri. Dia meminum kopi, tanpa sadar berkumur lalu terpikirkan sebuah ide. Ia memuntahkan kembali kumuran itu ke cangkir.
Tanpa mau membuang waktu. Lala melayangkan isi cangkir hingga air melayang dan mendarat di wajah tampan yang kini terlapisi tetesan cairan hitam. Bulir air menetas melewati dagu leher dan ke sebagian kecil jas biru navi.
"Shit!" Kevin mengusap cairan di wajah dengan geli karena sesuatu licin.
"Saya akan laporkan anda ke polisi!!" Lala dengan wajah geram saat semua orang yang berwajah pucat itu dan melotot tajam kearahnya.
Prang! Suara gaduh terdengar setelah Kevin melempar vas bunga hingga mengenai sepatu berhak wanita itu. Serpihan kaca tercecer membuat wanita itu mundur. "Beraninya!"
Dua penjaga masuk dan menjagal wanita penyusup. Jagalan penjaga terlepas karena kaget mendengar teriakan Kevin yang mata biru itu sudah seperti iblis.
"Mendekat!"
"Jangan mimpi!" Lala dengan seribu langkah melarikan diri. Menyelinap, melewati rombongan tamu yang turun dari bis di lobi. Dia berhasil menjauh dari mereka.
Kaitan sepatu dengan cepat dilepas, setelah Lala kesleo. Ketika menoleh kebelakang, salah satu dari mereka, mencengkram tangan kirinya. Lala mengayunkan hak sepanjang 14 cm ke hidung si pengawal lalu kabur parkiran.
"Nafasku sudah habis rasanya, aku tidak sanggup lari lagi. Obat si mesum, seperti mulai bereaksi!"
Kaki Anna tersandung oleh kaki lain. Wajah itu mendarat duluan ke susunan paving. Nyeri langsung menjalar ke kepala saat Lala memegangi hidung yang sakit tak ketulungan.
"Apa kamu baik-baik saja?"
DEG. Suara seorang pemuda yang membuat jantung Lala terasa mau copot. Ia menoleh ke belakang. Dia berusaha berdiri tetapi gagal, rasanya kakinya begitu lunglai.
Terlihat celana jeans biru itu semakin jongkok, ternyata pemuda tampan yang seumuran. Di belakang sana, tidak ada penjaga yang mengejar. Parkiran ini sangat sepi.
"Tolong .... " Lala memelas dan mengatupkan kedua tangan di depan dada, berharap pria itu mau membantu. "Sembunyikan saya. Kaki saya tidak mampu berdiri!"
Rasanya, Lala tidak memiliki harapan karena pemuda itu hanya diam. Sampai Lala kemudian mendengar suara orang-orang di kejauhan.
"Cepat masuk!" Pemuda itu membuka pintu di dekatnya dan Lala langsung seolah memiliki tenaga langsung melengsak masuk ke jok belakang
Setelah si pemuda menutup pintu dan menghampiri mereka. Jantung Lala berdegup kencang. Dia terbaring sambil menutup rapat wajah dengan kedua tangan.
Seluruh tubuh terasa bergetar dan pikiran sudah tidak karuan saat-pria dewasa di luar saling mengumpat dan menyalahkan.
"Tuan, apa kau melihat seorang wanita?"
"Wanita? aku baru tiba."
Beberapa saat keadaan sunyi. Lala mengintip ke jendela setelah mendengar mereka berlari. Dia mematung saat kemudian pemuda itu membuka pintu dan menatapnya. "Mereka sudah pergi?"
"Sudah, kau lihat sendiri. Apa masalah mu dengan mereka?"
"Terimakasih sudah menolong saya, tapi ini bukan urusan kamu."
Pria itu mengeluarkan ponsel dari saku celana lalu melihat layar hp. Tidak lama kemudian memasukan ponsel itu ke dalam saku kembali. "Menarik ya?" ujarnya sambil menatap Lala dengan penuh tanda tanya.
"Tunggu sebentar, kakiku linu." Lala memijit kaki, dengan kepala mulai terasa pening.
Pemuda itu masuk mobil dan menyalakan mesin. "Tidak mungkin sebentar."
"Eh !"
"Aku hanya menyalakan AC. Kau terlihat berkeringat. Bisa tutup pintunya!?"
Lala menurut dan menarik pintu dengan ragu sampai tertutup. "Sudah, Mas."
"Mas? Kau bilang apa? Namaku, JOHAN. Panggil itu saja." Johan melirik ke spion tengah, lalu tertawa.
"Aku LALA."
Setengah jam kemudian kaki Anna mendapatkan kekuatannya lagi. "Terimakasih Jo, kakiku sudah sembuh."
"Aku akan antar kamu pulang."
"Tidak, saya bisa pulang sendiri." Lala tidak mau berhubungan dengan pria asing jika bukan karena kepepet.
Baru lima langkah, Lala mendengar dari kejauhan penjaga lain berteriak.
"Zona B! Zona B! Dia diparkiran! Ganti." Penjaga dengan sigap mencengkram tangan Lala. Namun, tendangan keras Johan berhasil membuat orang itu terpental.
"Masuk mobil! mereka akan menangkapmu!"
Penjaga yang mumpuni itu bangkit lagi, dan menghajar balik Johan hingga kewalahan. Meski begitu, itu tidak bertahan lama. Pada akhirnya penjaga itu berhasil dilumpuhkan.
Johan melepas jaket hijau. "Masih berdiri di luar? tak mengindahkan ucapan ku? Pakai ini!"
Lala menangkap jaket yang baru dilempar. Ia memutari depan mobil dan duduk di depan. Jaket besar itu menutupi pakaiannya dan bau ini sangat harum.
"Ikat rambutmu!"
"Aku tidak bawa ikat. Ouh ini kumis? Aku tidak mau!"
Johan mengambil kembali kumis yang sempat dilempar ke dashboard. "Pakai ya, kamu harus menyamar." Dia menempelkan kumis ke Lala. Lalu menggulung rambut panjang itu dan memasangkan wig.
"Pakai sendiri topinya. Nanti jangan bersuara kalo ketangkap kita bisa mati." Johan menjelaskan saat mulai memajukan kendaraan.
Gelisah bercampur dongkol, Lala menutup wig dengan topi hingga di dalam cermin mini dia tampak seperti laki-laki.
Awalnya hangat tetapi rambutnya yang tebal di dalam wig itu justru membuatnya berkeringat, gatal ingin menggaruk dan sedikit pusing. Lala tak tahan lagi dan terus menggaruk kepala sampai mobil tiba di gerbang.
"Teman saya tidak bisa berbicara, TBCnya sedang kambuh. Dia tak boleh melepas masker atau saya tertular," kata Johan pada penjaga, lalu menoleh ke Lala. "Iya kan, Bro?"
Lala mengangguk.
Tiut! Tiut!
"Tim satu, lapor. Petugas keamanan B terluka, ganti," suara HT keamanan membuat suasana mendadak gelap bagi Lala.
"Buka topi mu." Petugas itu masih mencurigai Lala.
"Teman saya harus cepat ke rumah sakit," kata Johan beralasan. Gelagat mencurigakan itu dirasakan petugas.
"Biar saya saja. Dia terlalu sensitif." Johan membuka topi Lala dengan hati-hati agar wig tidak terlepas.
"Bagasi aman!" kata petugas lain.
"Semoga cepat sembuh," kata penjaga pintu lalu memberi kode agar petugas lain mengangkat portal.
Tiut! Tiut!
"PERINTAH DARURAT! TUTUP PINTU KELUAR, GANTI!" suara HT membuat Johan dan Lala saling pandang.
Johan menancap gas kencang membabat apapun yang menghalangi laju mobil hingga menimbulkan suara mengerikan saat atap mobil ringsek membuat Lala menjerit histeris.
Begitu tiba di jalan raya, Johan memeriksa keadaan Lala sambil memperhatikan jalan. "Hei, kita berhasil kabur. Kamu tidak apa-apa? Pakai sabuk pengamanmu."
Johan melaju dengan cepat dan zig-zag, menyalip setiap mobil di depan lalu membanting setir dengan tajam, memasuki tol.
"Ah! terlalu cepat!"
"Kau lihat dibelakang, ada yang mengikuti."
Hantaman mobil lain dari sisi kanan membuat mobil oleng. Dengan kelimpungan Johan mengembalikan keseimbangan setir. Hantaman datang dari sudut kiri belakang dan mobil Johan bergetar dipepet dua mobil.
"Aaaaaaaaaaaaaaahh!" teriakan Lala sangat nyaring.
"Tenang!"
"Aku belum mau mati!"
Tembakan bertubi-tubi mengenai kaca belakang, membuat Lala langsung membisu dan tertekan. Ia merasakan gerakan tangan kiri Johan yang mendorong kepalanya ke bawah.
"Meringkuk! Sialan terpaksa!" Johan menekan tombol khusus, hingga fitur tenaga jet Aktif. Kecepatan pun langsung meningkat.
"Apa kamu pingsan? Kita sudah aman!" Johan mendapati Lala pucat dan tampak tak bertenaga "Maaf. Kamu pertama kali menghadapi situasi ini y? Kita akan keluar tol. Beristirahat saja dan tenangkan dirimu."
"A-aku kira sudah mati?"
...****************...
Udara dingin menerobos melalui lubang-lubang jendela plafon yang rusak. Setengah jam baru kemudian mobil keluar dari tol.
"Kenapa lama sekali?" Tanya Lala dengan suara serak namun terlihat semakin lucu dimata Johan.
Pemuda itu sedikit tertawa karena Lala terlihat manis. Lalu tawa itu langsung senyap karena melihat kekesalan di raut wajah Lala. "Kau sudah bangun? Tadi kamu tidur!"
"Kamu membawaku kemana?" Lala berusaha merapikan rambut yang acak-acakan dengan jemarinya yang begitu dingin.
"Ini, ke rumah Bibi ku. Maaf kita tak bisa pulang. Aku sangat mengantuk. Kamu hubungi orang rumah, kita pulang besok pagi."
"Pinjamkan aku ponselmu. Tasku jatuh di hotel," pinta Lala sambil menarik baju Johan.
"Apa di hotel? Bodoh!" Johan menggeleng kepala, dia tidak percaya jika gadis itu begitu ceroboh. Percuma aku membawa mu kabur kalau begitu.
"Sudahlah kita istirahat dulu," sahut Johan, seraya mengarahkan mobil masuk ke halaman rumah kuno yang terawat.
Johan membukakan pintu mobil. "Ayo turun!"
Mereka berjalan melewati taman yang dikelilingi bunga rumput yang kena sorot lampu kuning. Sangat cantik.
Seorang lelaki tua berlari menutup gerbang lalu memutari mobil sambil mengamati dengan heran. "Den, sudah lama tidak kemari. Aden baik-baik saja? Mobilnya sangat parah."
"Aku tak apa. Ini insiden kecil, Pak Fuad." Johan menggandeng Lala, sebelum Pak Fuad makin banyak pertanyaan.
Setelah melewati ruang tamu bergaya klasik dan berakhir di ruang yang yang luas. Tampak di atas meja tersedia beberapa makanan yang masih mengepul.
Johan celingak-celinguk. "Paman dan Bibi belum pulang?"
"Oh, mereka sering pulang larut malam."Pak Fuad menatap gadis itu daei atas ke bawah. Lalu berbicara dengan sopan. "Silahkan Nona makan malam dahulu. Laku beristirahat di kamar. Jadi selamat beristirahat Den Johan dan Nona, saya pamit." Pak Fuad memberi hormat.
"Terimakasih Pak Fuad," sahut mereka bersamaan.
...****************...
Johan meminjamkan baju milik sepupu perempuan nya tanpa dalaman kepada Lala. Dia merasa malu bila meminjam sesuatu yang menggelikan .
Ketika Johan di kamar, Lala menghubungi ayahnya lewat hp Johan. "Halo Ayah selamat malam maaf ponsel ku hilang. Jangan khawatir, besok pagi Lala pulang. Aku akan jaga diri."
...****************...
Dua sofa bersebrangan itu ditiduri Lala dan Johan. Di tengah mereka sebuah karpet lembut berserakan bungkus chiki. Di ujung sofa terdapat TV menyala.
"Tidur sana!" perintah Johan. Dia sendiri mengantuk dan terus menguap.
"Nanti," sahut Lala dengan suara parau.
Mereka asik rebahan dan berselimut tebal. Lala berselimut biru laut, sedangkan Johan berselimut hijau. Mereka menyembunyikan tubuh rapat-rapat. Johan pun tidak tahu mengapa dirinya ikut menyembunyikan diri dalam selimut sambil menonton 'LORD OF THE RING'.
"Kamu dapat beasiswa, di Universitas Melalang Buana?" tanya Johan masih tidak percaya.
"Iya, aku berhasil mendapatkannya," lirih Lala dengan mata terasa berat.
Johan menengok ke kiri, melihat Lala yang sudah tidur. Dia memindahkan ke kamar. "Gadis ini terlihat lucu."
"Tuhan mempertemukan ku dengan gadis seunik ini tetapi sayang kamu mengusik dunia orang yang paling kejam. Petinggi perusahaan Saint Mariano Grup." Johan menghela nafas kasar lalu menggelengkan kepala dengan kasian. "Gadis bodoh dan tidak beruntung."
Johan menyentuh rambut itu sampai dia mendengar suara tegas dari belakang.
"Singkirkan tanganmu Jo!"
“Bibi sakit!" pekik Johan dan menahan tangan Bibi yang menjewer telinganya dengan keras
"Kau nakal sekali ya, berani-beraninya!"
"Johan ... " Gadis itu terjaga.
"Ah! bibi membangunkannya," keluh Johan saat Lala langsung duduk.
"Apa yang kamu lakukan bocah tengik?" Bibi masih butuh penjelasan.
"Lepaskan dulu tangan mu malu sama Lala."
"Emang kamu masih punya malu padahal kamu mau ganggu gadis yang tidur ini kan! dasar, playboy cap kapak!"
"Johan?" Lala menatap Johan tak percaya.
"Ini salah paham, biar saya jelasin. Aku ya La ... di rambutmu ada remahan wafer, jadi aku mengambilnya," ucapnya setenang mungkin.
"Beneran begitu? Kamu tidak sedang mengibulin Bibi lagi?" Bibi menteot tangan Johan, dengan tatapan menyelidik.
"Sakit Bi! Kapan Jo bohong?" Johan berlagak polos sambil berusaha melepaskan jeweran.
"Maaf kamu jadi bangun karena keributan kecil ini. Jangan kaget, ini amat memalukan," kata bibi sambil tertawa.
"Saya yang harusnya berterima kasih, karena Bibi mengijinkan saya istirahat disini." Lala merasa tak enak.
"Ah jangan sungkan Bibi suka dengan kedatanganmu, baru kali ini bocah ini membawa gadis kesini," kata bibi sambil tertawa membuat Lala merasakan sesuatu yang sangat dirindukannya.
"Tidurlah dan kunci dari dalam. Jangan sampai bocah tengil ini masuk ke kamarmu diam-diam." Bibi mengelus kepala Lala.
"Bibi keterlaluan memang aku ngapain!" dengus Johan.
"Selamat tidur Lala," ucap Johan dengan senyum mautnya, membuat sang bibi meneplak pantat Johan dengan keras. Namun sedetik kemudian bibi menggandeng tangan keponakan kesayangannya menjauh.
Matahari memberikan kehangatan di sebuah tampan yang terdapat meja dan bangku tua yang masih kokoh. Keceriaan jelas mengembang di antara mereka.
"Jadi kamu mendapatkan beasiswa di Universitas Melalang Buana?" tanya pria tua yang tengah memakan roti bakar.
"Iya Paman, saya bersyukur, bisa mendapatkan beasiswa di universitas ternama Melalang Buana. Itu impian saya dari kecil dan saya masih saja tidak menyangka, bisa mendapatkannya." Lala dengan penuh semangat.
"Pintar ya kamu, tidak seperti Jo hobinya cuma pacaran."
"Bibi!" sanggahnya.
"Biar saja Lala tau." Bibi beralih menatap Lala. "Kamu jangan kemakan mulut manisnya ya .... Hobinya saja gonta-ganti pacar!"
"Bibi sungguh bilang begitu ke Lala," rengek Johan.
"Kenapa? memang faktanya begitu. Mamamu saja selalu mengeluh dengan Bibi. Kelakuanmu itu … ! " Bibi jadi kesal.
"Lala anti rayuan Bibi, jadi tidak akan gampang kemakan." jawab Lala tertawa dengan riang.
"Bagus kamu, La. Jangan asal mau percaya omongan lelaki, ya.Lain di mulut, lain di hati," tukas Bibi .
"Sudahlah, namanya juga anak muda, wajar." Sang paman membela Johan. "Jo pasti senang ya, bisa sejurusan denganmu?"
"Maksud Paman?" tanya Lala.
"Oh Jo belum cerita? Biar Johan yang menceritakannya." Paman melirik Johan.
"Iya La, ternyata kita masuk di universitas dan jurusan yang sama."
"Beneran apa yang kamu bilang, Jo? Ini sungguh tak terduga ya!"
Mereka berempat melanjutkan cerita di taman yang sangat asri, sampai matahari terasa mulai hangat di kulit.
Kemudian Lala dan Johan, pamit pulang menggunakan mobil milik pamannya
Mobil Johan sudah tidak beraturan. Sisi: kanan; kiri; belakang; dan atapnya, penyok. Kacanya berlubang. Johan enggan menaikinya.
.
.
...-Saint Mariano Group-...
Sekumpulan orang sibuk bekerja. Seorang asisten cantik berpakaian rapi masuk ke ruangan besar, bergaya modern dengan warna klasik.
"Pagi Pak Kevin, ini yang Pak Kevin minta."
Sang sekertaris menaruh map dan dua putih di atas meja. Lalu berdiri menunggu perintah. Bos itu duduk di kursi kebesaran dengan malas, mulai memeriksa.
Dompet sedikit kusam dengan warna krem. Ia buka pengait itu. Dilihat terdapat beberapa lembar pecahan puluhan ribu. Matanya tertuju pada satu foto lawas wanita paruh baya dan satu foto seorang gadis, serta sebuah kartu identitas diri.
Pandangan itu teralihkan ke sebuah ponsel lawas tanpa kata sandi. Kemudian beralih ke map yang berisi lembar informasi.Ia menutup map lalu terdiam sejenak.
"Meme."
"Ya Pak Kevin," jawab Meme.
"Urus pendaftaran ku di universitas Melalang Buana dengan jurusan yang sama dengan LALA. Kuberi waktu kau satu hari," ucap pria itu dengan dinginnya.
"Baik Pak Kevin." Mendengar cara bosnya menyebut nama LALA, bulu kuduknya langsung berdiri. Lebih baik Ia cepat undur diri.
Foto di tangan terus diamati Kevin, dia menyeringai. "Gadis yang tak punya rasa takut ya?"
"Bagaimana bila saya membuatmu merasakan sesuatu, yang pasti tidak pernah kau sangka bahkan tidak pernah kamu bayangkan sebelumnya?"
"Saya tidak akan membuatmu mati dengan mudah, bagaimana bila kamu lebih dulu merasakan perih? terus perih sampai kau sendiri tidak sanggup menahannya. Apakah kamu masih bisa berdiri seperti itu?"
"Permainan ini sungguh ... " Seringai Kevin tidak melanjutkan kata-kata.
.
.
Keringat bercucuran membasahi leher dan kaos yang Lala kenakan. Kipas kertas diayunkan. Badannya terasa mendidih membuat dia keluar kamar.
Sang ayah tengah asik di depan laptop dengan kipas angin dan televisi yang menyala.
"Ayah masih sibuk mengirim cv? Makan dulu sana ayah," pinta Lala setelah melirik laptop. Dia bersandar di punggung kekar dan berharap kipas angin bisa mendinginkan badannya.
"Aku sudah makan. Ceplok telurnya itu buat ," kata Ayah sambil mengirim surel.
"Ayah cuma makan pakai kecap doang? Ayah harus makan protein untuk tenaga." Lala memeluk Ayahnya. "Lala masih punya tabungan untuk beberapa bulan. Pakai saja itu.
"Tabunganmu di simpan saja ya." Dielusnya rambut Lala.
"Ayah semangat! semoga secepatnya Ayah diterima."
"Ayah janji akan lebih bersemangat."
"Pendiri Agensi Model XX, diduga terlibat kasus pelecehan asusila terhadap talentnya. Dia kini telah dijemput oleh pihak berwenang. Para korban yang telah dilecehkan ramai-ramai mulai berdatangan ke kantor polisi."
DEG
"A... Yah..." panggil Lala.
"Agensi yang kamu datangi kemarin?" Geram ayah. "Si botak itu biar aku hajar!"
"Ayah berjanji kepadaku jika Ayah tidak akan memukul orang lagi." Lala menatap ayahnya.
"Owner agensi XX di TV kok botak. Yang aku temui tinggi!? kenapa dia lebih pendek, gendut dan botak." Lala menggaruk kepala.
"Kamu gak salah orang kan-?"
Lala memukuli kakinya, mengingat-ingat.
"Lalu siapa yang Lala marahin kemarin?" Lala memeluk lututnya, menggigit jarinya saat tatapan ayah penuh curiga.
"Siapa yang sudah kucaci maki di depan umum. Aku menyiramnya dengan air kopi! Tapi di ruang meeting itu hanya dia yang pakai jas warna Navi. Aduh!" Batin Lala.
-kilas balik Lala-
Lala mengikuti group pemilihan model atas rekomendasi teman, untuk Brand Ambassador. Tempat audisi di kamar hotel Besar Martini nomor 1011.
Lala datang sore itu, para pendaftar lain telah selesai audisi, Lala yang terakhir.
Juri memberikan segelas jus jeruk. Setelah Lala meminumnya, orang itu keluar mengangkat telepon.
Saat Lala ke kamar mandi, Ia mendengar sebuah percakapan tentangnya.
Dengan cepat Lala menutup pintu kamar mandi, Ia mencolok tenggorokan berkali-kali agar bisa memuntahkan isinya. Meski begitu Lala tak yakin minuman yang sudah dicampuri obat itu, apa bisa berhasil dikeluarkan semua dari perut.
Lala mencoba bersikap wajar, tapi kepala itu mulai terasa pusing.
Dengan penuh amarah Ia mendatangi pemilik agensi XX di ruang meeting Raflesia. Sesuai gambaran informasi yang diberitahukan oleh si caster. Yang dimaksud itu pria berjas warna navi.
Maka begitu Lala yakin telah menemukannya, Lala langsung mendamprat orang tersebut.
-Kilas balik selesai -
Lala memandang ayah, lalu meneplak kening sendiri. Dia berusaha menahan gejolak di hatinya. "Apa aku benar-benar salah orang???
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!